Senin, 12 Maret 2012

Kami adalah kawanan orang yang merogoh penderitaan sebagai bagian dari kehidupan

Kami adalah orang-orang yang telah hidup dalam kesengsaraan dan ketersakitan yang tak pernah berujung dan tidak pernah terlihat sedikitpun ujung pangkalnya oleh kasat mata ini. Entah sampai kapan deru bathin ini mengadu dalam isak tangis tak menentu, berharap seorang kasih datang menghampiri dan menyeka dengan lembut setiap tetesan air mata yang membasahi pipi dan wajah kehidupan ini. Kami telah terlalu banyak mencaci maki dan mengelak putaran waktu dalam rona wajah silih bergantinya kehidupan ini. Kami tahu, saat ini kami sedang duduk diatas perjamuan waktu saat mentari datang dengan membawa seribu keindahan baru, mengabarkan kebahagiaan baru dihari yang indah. Namun, sayangnya kami begitu berharap pagi ini lekas berganti malam, karena dalam teriakan bathin ini berharap sunyi senyap tanpa sapa-an sang Mentari. Kami tahu dan sadari sepenuhnya, perguliran waktu berganti gelap saat malam mencakar garis-garis cakrawala, dimana bintang-bintang angkasa dan pancaran cahaya lembut sang rembulan terlihat jelas bermesraan diatas tiang-tiang langit dengan seluruh pesona keindahannya, namun kami tak berharap begitu.

Dalam bathin merogoh seluruh jiwa menginginkan mentari bersua mengisahkan terik panasnya. Lantaran itu kami didera penderitaan yang tak pernah berujung. Siang berganti malam, tak ada suatu kebahagiaan yang kami rasakan. Yang ada adalah tuntutan demi tuntutan untuk pemenuhan kepuasaan yang tak akan pernah terpuaskan, justru yang tertanggalkan adalah rasa kekurangan tanpa pernah mencicipi indahnya kebahagiaan saat rasa berkecukupan menjadi teman jiwa. Kami sadari itu, namun kami selalu saja hidup dalam ragam tuntutan yang tak pernah berkesudahan. Betapa bodohnya kami sebagai manusia, berharap Tuhan menyapih kami dan kehidupan ini atas apa yang kami mau, bukan lagi bersimpuh pada persujudan suci didepan Kuasa Illahi, menerima sepenuhnya dengan setulus hati apa yang telah Ia beri.

    Barangkali mereka yang ada disana juga sedang menderita, bernasib sama seperti apa yang sedang kami alami saat ini dan sudah sejak dahulunya berceritra begitu. Selalu saja menuntut waktu berputar dengan cepatnya, mengharapkan keajaiban datang menghampiri dan meminta Tuhan berlaku sebagaimana apa yang terlintas dari segala yang kami minta. Sungguh naifnya sikap bodoh kami ini. Sadar betul kebodohan terlintas disetiap pijakan, namun entah mengapa kami bertahan dalam kenaifan ini. Seakan-akan kami merasakan kenyamanan ditengah kemelut penderitaan dengan ragam mutiara duniawi yang sebenarnya membuat haus seluruh raga dan jiwa ini.

    Wahai sahabat! Maukah engkau mengetahui rahasia dibalik kesedihan kami ini? Atau mungkin ingin tahu sebab teriakan tangisan mereka yang ada diujung jalan sana? Akankah kuceritakan semua kesedihan yang menimpa dalam kisah hidup kami yang kini telah hidup kembali dalam jiwa dan raga disetiap perputaran waktu, kali ini? Barangkali sahabat akan bosan mendengarkan isak tangis yang tidak pernah berkesudahan ini. Atau mungkin sahabat akan meng-Iya-kan apa yang sebenarnya terjadi pada diri kami karena sungguh benar, sahabatpun sedang menderita seperti apa yang sedang kami rasa. Layaknya seorang penari yang sedang bersimfoni bersama, bergerak bersama, dan menyanyikan lagu dalam penderitaan ditengah perjalanan waktu dalam deru langkah kehidupan ini.

    Sungguh naifnya kami yang menuntut Tuhan berlaku atas kehendak kami yang tak jemu-jemunya meminta sesuatu yang hanya bisa membuat mata terpesona, namun bathin kami ini sebenarnya kosong, kering kerontang, dan tak ada kedamaian yang dirasakan didalamnya. Kami telah melewatkan kebahagiaan itu disetiap waktu. Betapa tidak, kami sebenarnya sedang bertengger didepan mahligai keindahan kehidupan ini. Alangkah bodohnya kami yang tidak menyadarinya. Kenyamanan yang kami cari tidak sedang berjauhan dengan hati dan sanubari, bahkan jaraknya sangat dekat sekali dengan jasad kasar kami. Sungguh naifnya kami yang membiarkannya berlalu meninggalkan kami dalam rumah penderitaan.

    Kapankah kami bisa merasakan seteguk air kebahagiaan yang selama ini kami cari kesana kemari, layaknya seorang Pengelana waktu yang terus berlalu, entah sedang mencari apa, namun langkah kakinya selalu saja membawanya menelusuri garis waktu, tanpa pernah berhenti meluangkan waktu menikmati keindahan yang sedang terpajangkan ditempat penginapan kala malam menyambut tubuh dalam letihnya dengan keheningan bertabur kesejukan yang sangat menabjubkan. Akankah doa kami yang salah saat meminta kepada Sang Kasih. Kami Terlalu memaksa agar tuhan mengabulkan segala pinta yang terucap tanpa pernah kami memikirkannya, atau jangan-jangan suara ego yang membisikkan seluruh lantunan bahasa halusnya dari wajah palsu bertopeng pengharapan dalam setiap persujudan diwaktu siang ataupun malam bertahtakan seribu keheningan?

    Wahai sahabat. Jika engkau juga merasakan hal demikian, sama seperti penderitaan yang saat ini mendera jiwa kami. Akankah engkau ingin membisikkan kata-kata indahmu atau mungkin ingin menuturkan seluruh pengalaman masa lalu agar nantinya kita bisa terbebas lepas dari segala derita ini? lagi-lagi kami ingin ceritakan. Tahukah engkau sahabat, awal penderitaan kami ini bermula dari keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Menuntut siang kala malam, menuntut dingin kala panas menerpa, menuntut ramai dalam keheningan sepi nan-sunyi, menuntut malam kala siang mengejawantahkan diri diatap semesta, menuntut ini dan itu. Sampai kapan kita berhenti mencibir dan menuntut semuanya? Terus terang saja, kita telah lama berlalu tanpa mencicipi sedikit dari apa yang sedang tersedia didepan mata dan kepala. Sampai kapan kita berlari dan berlari tanpa pernah berhenti barang sedikitpun.

    Seandainya ada seorang bijak yang akan datang menghampiri dan membisikkan kata-kata penuh arti, penuh makna dan inspirasi yang mampu menyejukkan hati. Kami akan sepenuhnya mendengarkan syair-syair bijak mereka agar kami bisa melepas dan mengakhiri penderitaan ini. Sungguh, kami sadari mengapa semua ini terjadi. sudah sejak awal kami mengharapkan pagi saat petang menginjjakkan kaki, sudah dari dulu kami meminta ini dan itu, padahal kami memiliki sesuatu yang terlihat lebih, ketimbang mereka yang sedang menikmati hidup dibawah kolom jembatan penderitaan ataupun mereka yang dihimpit agam kekurangan. Betatapun banyakknya keberlimpahan harta dunia, namun tanpa sentuhan lembut dari dalam jiwa untuk menerima karunia Illahi, sungguh semua itu tiadalah arti. Terasa berkejaran dan terus berkejaran dan tidak akan pernah berhenti.

    Semenjak fajar masa muda terbit menyambut hari, terus menerus kami diburu oleh pengasuhan yang tak pernah mengajarkan kami arti untuk menerima karunia dunia ini dengan sentuhan ketulusan jiwa. Yang ada hanyalah tuntutan untuk memburu ini dan itu tanpa pernah berhenti. Dibangku-bangku pengajaran juga telah berlaku demikian, bukan lagi menampak wajah keteduhan. Boleh saja kami diajarkan memiliki kredibilitas tinggi, diburu oleh serangkaian angka-angka yang begitu tinggi agar nantinya kami disebut sebagai seorang berprestasi. Namun tanpa Ilham kebijaksanaan untuk menerima dan belajar dari sentuhan lembut kesedihan, kami akan dibentuk menjadi manusia sombong ataupun manusia yang tak akan pernah berhenti mengharap mutiara duniawi menjadi milik raga agar terus melaju menjadi sosok seorang yang layak dibanggakan dihadapan mata-mata dunia. Sungguh jiwa terasa kering dari sentuhan air makna, terjauhkan dari segala kedamaian dan keteduhan dimata Sang Pencipta. Masihkah kami melaju dalam penderitaan ini? kapan kami akan mengakhiri segala tuntutan-tuntutan kemelekatan yang mengasingkan jiwa Insani dari Illahi, Sang Kasih Kehidupan tanpa pernah berhenti memberi.

    Wahai sahabat. Masihkah engkau ingin mendengarkan penuturan kami yang pernah disampaikan oleh seorang tua dimusim lalu. Penuturan sederhana yang pernah kami abaikan, namun kini kami sadarai betapa berartinya pesan bijak itu. Sederhana, namun sesungguhnya didalamnya menyimpan seribu makna yang sangat indah. Bahasa sederhana yang mengajarkan diri kita untuk menerima kehidupan ini. Dalam mimik wajah sederhana tanpa meminta apa-apa terkecuaili keridhoan hati menyimak apa yang dituturkannya, “Terimalah kehidupan ini apa adanya. Ketinggian seseorang bukanlah terletak dari kepemilikannya dibandingkan orang lain. Bukan pula karena ia dikenal dimata manusia lainnya karena memiliki ini dan itu. Mereka yang mampu merasakan damaianya hidup ini adalah mereka yang menerima karunia Illahi. Bukan karena mereka bodoh yang hanya mau menerima sedikit karunia, namun karena ketulusa ikhlasan hati untuk menyambut segala pemberian dari Sang Kasih, itulah kebahagiaan yang mampu menghadirkan kesejukan.”

Sejanak sang bijak itu terdiam. Dan kemudian dari wajah lembutnya terhias senyuman. Barulah ia kembali menuturkan, melanjutkan pesannya itu yang sempat terpotong oleh sambutan bahasa kasihnya dibalik mimik wajah penuh ungkapan rasa persahabatan. “Ada pula yang sering terlupakan didalam kehidupan kebanyakan manusia, terlalu rakus menuntut putaran waktu, menginginkan siang saat ini juga padahal ia sepenuhnya sedang duduk bersimpuh dihadapan malam, begitu pula sebaliknya, maka mereka ini tidak akan pernah merasakan damaianya kehidupan dunia. Oleh karenanya, terimalah sentuhan Illahi disetiap waku. Ingatkan diri betapa Mulianya kasih Sang Pencipta kepada kita, Hamba-Nya. Disaat keyakinan diri untuk mengakhiri segala penderitaan ini, disaat itulah terbukanya pintu Pembebasan yang akan menuturkan awal kisah kebahagiaan bagi jiwa-jiwa yang merindukan sentuhan Lembut Kasih Tuhan.” Keep Spirit For Our Life Better…

    Salam satu Jiwa. Salam sehat Jiwa Untuk menggapai Hidup Bahagia.

    Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar