Kami adalah orang-orang yang telah hidup dalam kesengsaraan dan
ketersakitan yang tak pernah berujung dan tidak pernah terlihat
sedikitpun ujung pangkalnya oleh kasat mata ini. Entah sampai kapan deru
bathin ini mengadu dalam isak tangis tak menentu, berharap seorang
kasih datang menghampiri dan menyeka dengan lembut setiap tetesan air
mata yang membasahi pipi dan wajah kehidupan ini. Kami telah terlalu
banyak mencaci maki dan mengelak putaran waktu dalam rona wajah silih
bergantinya kehidupan ini. Kami tahu, saat ini kami sedang duduk diatas
perjamuan waktu saat mentari datang dengan membawa seribu keindahan
baru, mengabarkan kebahagiaan baru dihari yang indah. Namun, sayangnya
kami begitu berharap pagi ini lekas berganti malam, karena dalam
teriakan bathin ini berharap sunyi senyap tanpa sapa-an sang Mentari.
Kami tahu dan sadari sepenuhnya, perguliran waktu berganti gelap saat
malam mencakar garis-garis cakrawala, dimana bintang-bintang angkasa dan
pancaran cahaya lembut sang rembulan terlihat jelas bermesraan diatas
tiang-tiang langit dengan seluruh pesona keindahannya, namun kami tak
berharap begitu.
Dalam bathin merogoh seluruh jiwa
menginginkan mentari bersua mengisahkan terik panasnya. Lantaran itu
kami didera penderitaan yang tak pernah berujung. Siang berganti malam,
tak ada suatu kebahagiaan yang kami rasakan. Yang ada adalah tuntutan
demi tuntutan untuk pemenuhan kepuasaan yang tak akan pernah terpuaskan,
justru yang tertanggalkan adalah rasa kekurangan tanpa pernah mencicipi
indahnya kebahagiaan saat rasa berkecukupan menjadi teman jiwa. Kami
sadari itu, namun kami selalu saja hidup dalam ragam tuntutan yang tak
pernah berkesudahan. Betapa bodohnya kami sebagai manusia, berharap
Tuhan menyapih kami dan kehidupan ini atas apa yang kami mau, bukan lagi
bersimpuh pada persujudan suci didepan Kuasa Illahi, menerima
sepenuhnya dengan setulus hati apa yang telah Ia beri.
Barangkali mereka yang ada disana juga sedang menderita, bernasib sama
seperti apa yang sedang kami alami saat ini dan sudah sejak dahulunya
berceritra begitu. Selalu saja menuntut waktu berputar dengan cepatnya,
mengharapkan keajaiban datang menghampiri dan meminta Tuhan berlaku
sebagaimana apa yang terlintas dari segala yang kami minta. Sungguh
naifnya sikap bodoh kami ini. Sadar betul kebodohan terlintas disetiap
pijakan, namun entah mengapa kami bertahan dalam kenaifan ini.
Seakan-akan kami merasakan kenyamanan ditengah kemelut penderitaan
dengan ragam mutiara duniawi yang sebenarnya membuat haus seluruh raga
dan jiwa ini.
Wahai sahabat! Maukah engkau mengetahui
rahasia dibalik kesedihan kami ini? Atau mungkin ingin tahu sebab
teriakan tangisan mereka yang ada diujung jalan sana? Akankah
kuceritakan semua kesedihan yang menimpa dalam kisah hidup kami yang
kini telah hidup kembali dalam jiwa dan raga disetiap perputaran waktu,
kali ini? Barangkali sahabat akan bosan mendengarkan isak tangis yang
tidak pernah berkesudahan ini. Atau mungkin sahabat akan meng-Iya-kan
apa yang sebenarnya terjadi pada diri kami karena sungguh benar,
sahabatpun sedang menderita seperti apa yang sedang kami rasa. Layaknya
seorang penari yang sedang bersimfoni bersama, bergerak bersama, dan
menyanyikan lagu dalam penderitaan ditengah perjalanan waktu dalam deru
langkah kehidupan ini.
Sungguh naifnya kami yang
menuntut Tuhan berlaku atas kehendak kami yang tak jemu-jemunya meminta
sesuatu yang hanya bisa membuat mata terpesona, namun bathin kami ini
sebenarnya kosong, kering kerontang, dan tak ada kedamaian yang
dirasakan didalamnya. Kami telah melewatkan kebahagiaan itu disetiap
waktu. Betapa tidak, kami sebenarnya sedang bertengger didepan mahligai
keindahan kehidupan ini. Alangkah bodohnya kami yang tidak menyadarinya.
Kenyamanan yang kami cari tidak sedang berjauhan dengan hati dan
sanubari, bahkan jaraknya sangat dekat sekali dengan jasad kasar kami.
Sungguh naifnya kami yang membiarkannya berlalu meninggalkan kami dalam
rumah penderitaan.
Kapankah kami bisa merasakan
seteguk air kebahagiaan yang selama ini kami cari kesana kemari,
layaknya seorang Pengelana waktu yang terus berlalu, entah sedang
mencari apa, namun langkah kakinya selalu saja membawanya menelusuri
garis waktu, tanpa pernah berhenti meluangkan waktu menikmati keindahan
yang sedang terpajangkan ditempat penginapan kala malam menyambut tubuh
dalam letihnya dengan keheningan bertabur kesejukan yang sangat
menabjubkan. Akankah doa kami yang salah saat meminta kepada Sang Kasih.
Kami Terlalu memaksa agar tuhan mengabulkan segala pinta yang terucap
tanpa pernah kami memikirkannya, atau jangan-jangan suara ego yang
membisikkan seluruh lantunan bahasa halusnya dari wajah palsu bertopeng
pengharapan dalam setiap persujudan diwaktu siang ataupun malam
bertahtakan seribu keheningan?
Wahai sahabat. Jika
engkau juga merasakan hal demikian, sama seperti penderitaan yang saat
ini mendera jiwa kami. Akankah engkau ingin membisikkan kata-kata
indahmu atau mungkin ingin menuturkan seluruh pengalaman masa lalu agar
nantinya kita bisa terbebas lepas dari segala derita ini? lagi-lagi kami
ingin ceritakan. Tahukah engkau sahabat, awal penderitaan kami ini
bermula dari keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Menuntut siang kala
malam, menuntut dingin kala panas menerpa, menuntut ramai dalam
keheningan sepi nan-sunyi, menuntut malam kala siang mengejawantahkan
diri diatap semesta, menuntut ini dan itu. Sampai kapan kita berhenti
mencibir dan menuntut semuanya? Terus terang saja, kita telah lama
berlalu tanpa mencicipi sedikit dari apa yang sedang tersedia didepan
mata dan kepala. Sampai kapan kita berlari dan berlari tanpa pernah
berhenti barang sedikitpun.
Seandainya ada seorang
bijak yang akan datang menghampiri dan membisikkan kata-kata penuh arti,
penuh makna dan inspirasi yang mampu menyejukkan hati. Kami akan
sepenuhnya mendengarkan syair-syair bijak mereka agar kami bisa melepas
dan mengakhiri penderitaan ini. Sungguh, kami sadari mengapa semua ini
terjadi. sudah sejak awal kami mengharapkan pagi saat petang
menginjjakkan kaki, sudah dari dulu kami meminta ini dan itu, padahal
kami memiliki sesuatu yang terlihat lebih, ketimbang mereka yang sedang
menikmati hidup dibawah kolom jembatan penderitaan ataupun mereka yang
dihimpit agam kekurangan. Betatapun banyakknya keberlimpahan harta
dunia, namun tanpa sentuhan lembut dari dalam jiwa untuk menerima
karunia Illahi, sungguh semua itu tiadalah arti. Terasa berkejaran dan
terus berkejaran dan tidak akan pernah berhenti.
Semenjak fajar masa muda terbit menyambut hari, terus menerus kami
diburu oleh pengasuhan yang tak pernah mengajarkan kami arti untuk
menerima karunia dunia ini dengan sentuhan ketulusan jiwa. Yang ada
hanyalah tuntutan untuk memburu ini dan itu tanpa pernah berhenti.
Dibangku-bangku pengajaran juga telah berlaku demikian, bukan lagi
menampak wajah keteduhan. Boleh saja kami diajarkan memiliki
kredibilitas tinggi, diburu oleh serangkaian angka-angka yang begitu
tinggi agar nantinya kami disebut sebagai seorang berprestasi. Namun
tanpa Ilham kebijaksanaan untuk menerima dan belajar dari sentuhan
lembut kesedihan, kami akan dibentuk menjadi manusia sombong ataupun
manusia yang tak akan pernah berhenti mengharap mutiara duniawi menjadi
milik raga agar terus melaju menjadi sosok seorang yang layak
dibanggakan dihadapan mata-mata dunia. Sungguh jiwa terasa kering dari
sentuhan air makna, terjauhkan dari segala kedamaian dan keteduhan
dimata Sang Pencipta. Masihkah kami melaju dalam penderitaan ini? kapan
kami akan mengakhiri segala tuntutan-tuntutan kemelekatan yang
mengasingkan jiwa Insani dari Illahi, Sang Kasih Kehidupan tanpa pernah
berhenti memberi.
Wahai sahabat. Masihkah engkau ingin
mendengarkan penuturan kami yang pernah disampaikan oleh seorang tua
dimusim lalu. Penuturan sederhana yang pernah kami abaikan, namun kini
kami sadarai betapa berartinya pesan bijak itu. Sederhana, namun
sesungguhnya didalamnya menyimpan seribu makna yang sangat indah. Bahasa
sederhana yang mengajarkan diri kita untuk menerima kehidupan ini.
Dalam mimik wajah sederhana tanpa meminta apa-apa terkecuaili keridhoan
hati menyimak apa yang dituturkannya, “Terimalah kehidupan ini apa
adanya. Ketinggian seseorang bukanlah terletak dari kepemilikannya
dibandingkan orang lain. Bukan pula karena ia dikenal dimata manusia
lainnya karena memiliki ini dan itu. Mereka yang mampu merasakan
damaianya hidup ini adalah mereka yang menerima karunia Illahi. Bukan
karena mereka bodoh yang hanya mau menerima sedikit karunia, namun
karena ketulusa ikhlasan hati untuk menyambut segala pemberian dari Sang
Kasih, itulah kebahagiaan yang mampu menghadirkan kesejukan.”
Sejanak
sang bijak itu terdiam. Dan kemudian dari wajah lembutnya terhias
senyuman. Barulah ia kembali menuturkan, melanjutkan pesannya itu yang
sempat terpotong oleh sambutan bahasa kasihnya dibalik mimik wajah penuh
ungkapan rasa persahabatan. “Ada pula yang sering terlupakan didalam
kehidupan kebanyakan manusia, terlalu rakus menuntut putaran waktu,
menginginkan siang saat ini juga padahal ia sepenuhnya sedang duduk
bersimpuh dihadapan malam, begitu pula sebaliknya, maka mereka ini tidak
akan pernah merasakan damaianya kehidupan dunia. Oleh karenanya,
terimalah sentuhan Illahi disetiap waku. Ingatkan diri betapa Mulianya
kasih Sang Pencipta kepada kita, Hamba-Nya. Disaat keyakinan diri untuk
mengakhiri segala penderitaan ini, disaat itulah terbukanya pintu
Pembebasan yang akan menuturkan awal kisah kebahagiaan bagi jiwa-jiwa
yang merindukan sentuhan Lembut Kasih Tuhan.” Keep Spirit For Our Life
Better…
Salam satu Jiwa. Salam sehat Jiwa Untuk
menggapai Hidup Bahagia.
Mustafid Amna Umary Erlangga
Kusuma Perdana Saputra Zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar