Dikejauhan sana, dipinggir pantai Gili Lampu, terlihatlah sosok
laki-laki yang sedang berjalan menelusuri garis-garis pantai. Langkahnya
terlihat sempoyongan, sesekali ia terlihat melontarkan batu karang
ketengah ombak lautan yang sedang melaju kencang, tak terlihat olehnya
riak-riak air laut oleh dentuman batu karang yang ia lemparkan, hanya
saja ada sisa buih-buih yang mengambang lepas tanpa seorangpun mampu
menahannya. Adalah indah untuk bisa menyaksikan langsung bagaimana
tampilan panorama keindahan bibir pantai dan segala panorama alam
pesisir pantai saat mentari telah usai menghujamkan terik panasnya
diatas muka bumi. Namun laki-laki itu tak jua mendapatkan keindahan
panorama alam saat melintasi garis-garis pantai, barangkali ada sesuatu
yang sedang terjadi dan sedang berkecamuk didalam hatinya. Sisa jejak
langkah kaki laki-laki itu tak satupun tersisa setelah disapu oleh
desiran ombak yang menyapa bibir pantai. Terkadang laki-laki bermata
sipit dengan wajah oval itu berteriak lepas mengimbangi lantunan deru
ombak, memecah kesunyian disore itu. Namun tak jua ia mampu membuat
suara dentuman ombak menciut ditengah hentakan suara keras saat mengisi
kegalauan hatinya itu.
“Erlangga, Tunggu donk.” Sapa
laki-laki berambut pirang, bertubuh kekar. Maklumlah, ia seringkali
mengisi tempat kebugaran untuk melatih fisiknya agar terlihat seperti
tubuh para atletis. Namanya Andi, sahabat dekat Erlangga sejak duduk
dibangku SMA. “Waaah, kamu tega ninggalin aku sendiri, mentang-mentang
lagi patah hati. Jangan sampai sahabat dekatMu ini jadi korban
kekecewaan. Tungguuuu brooow…” teriak Andi. Namun tak jua ada suara Andi
yang terdengar mengisi ruang dalam telinga Erlangga, suara kecil
bersambut deru ombak, berirama dalam tautan musik alam. Hanya ada
sambutan riuh sang ombak yang sedang menari-nari diatas samudra lepas.
Erlangga menengok kebelakang, menengok kearah sahabatnya itu lantas ia
hanya terdiam seperti patung, menunggu kedatangan sahabatnya yang sudah
begitu jauh tertinggal dibelakang. Bagaimana tidak, Andi sibuk mencari
kerang dan beragam pernak-pernik perhiasan laut yang berceceran
disepanjang garis pantai. Andi adalah pecinta barang-barang seni, ia
lebih senang mengoleksi barang dan hiasan yang ia temukan dialam. Wajar
saja kunjungannya kepantai tidak luput dari kegemarannya untuk
mengoleksi barang antic yang ia temukan disepanjang torehan jejak
langkahnya.
Hembusan angin sepoi-sepoi menyisir dataran
luas pantai membuat suasana semakin terasa sejuk dalam damai, mega
kuning diatas garis horizon terlihat samar-samar, menampakkan cahaya
mega kuning pertanda waktu petang akan menggoreskan keindahannya diatas
cakrawala, menyambut datangnya malam bertunaskan keheningan dalam
kegelapan bersama lentera semesta saat Malam telah melukiskan segala
keindahannya, begitupula tak terlupakan sapaan bintang-bintang angkasa.
Sulit rasanya untuk bisa diungkapkan oleh keindahan kata-kata ataupun
diungkapkan dalam bentuk ukiran dua dimensi seperti lukisan diatas
kanvas. Dua sahabat terlihat menapaki bibir pantai. Menyusuri keindahan
alam yang sangat menawan. Ditambah lagi oleh sapaan mesra sang angin
yang sedang berhembus menyapu setiap daratan, mengigaukan syair-syair
merdu dalam bahasa keheningan.
“Erlangga… dari tadi Cuma
diam ajja. Sudah bosan ngomong brow? Masa gara-gara ditinggal sama
Herna, kamu berubah kayak gini? Please dech..!” sapa Andi, mencoba untuk
menelusuri jalan kesedihan yang sedang berbalut kabut kekecewaan
membuat semua terlihat gelap adanya. “Nggak berubah kok. Semuanya
baik-baik saja kok. Kamu sok tahu dech, siapa juga yang lagi bersedih?.”
Jawab Erlangga menimpali sahabatnya itu. Apa mau dikata, mimik wajah
Erlangga terlihat jelas menyampaikan senyuman kecut tak bermakna apa-apa
selain usaha untuk menyimpan derita dibalik senyumannya itu,
seakan-akan ia mencoba untuk menutupi kegundahan hati yang sedang
menari-nari didalam labirin jiwa, walau demikian ia sudah mencoba
menutupi rapat-rapat kekecewaannya itu dalam-dalam, namun sesungguhnya
wajah kesedihan tidak akan mungkin bisa ia sembunyikan dari sosok
seorang sahabat dekat yang sudah menemani hidupnya sejak duduk dibangku
kelas dua SMA hingga sampai saat ini hubungan persahabatan masih
mewarnai diatas lembaran kehidupan.
“Mana Mungkin sahabat
bisa menutupi kesedihannya dimata sahabatnya yang lain. Benar gak?”
celetuk Andi, sengaja umpan balik pembicaraan agar Erlangga mau membuka
mulut atas segala kepedihan yang sedang menyelimuti hatinya. “Kamu putus
sama Herna? Sudahlah brow, Herna bukan tipe cewek yang cocok dijadikan
Istri untuk anak-anakMu kelak. Dia tipe cewek yang memang sengaja
memanfaatkanmu. Siapa tahu dibalik wajah cantiknya itu menyimpan
segudang cowok selain kamu. Terlalu banyak cewek sekarang yang begitu,
walau tidak semuanya sich yang kayak gittu.., Sudahlah, lupakan saja
Herna. Apa gunanya pergi ketempat ini, namun kamu belum juga bisa
melepas segala penat yang membungkus pikiranmu. Cari saja cewek yang
lain yang memang mencintaimu. Naaah, gemana kalau kamu sama Hardiania
ajja, saya rasa cocok banget tuch, apalagi kita sudah lama berteman
dengannya” Lanjut Andi mencoba menasihati.
“Iya juga sich
brow, akhir-akhir ini saya merasa Herna sudah banyak berubah, apalagi
kemarin itu dia jalan bareng sama cowok, mantan pacarnya dulu. Nggak
seperti biasanya sich dari penampilan mereka berdua. Tapi, saya sulit
sekali untuk bisa melupakannya brow, saya sudah terlalu mencintainya,
walau saya sudah banyak disakitinya. Terus gemana donk?!” Tanya
Erlangga, mencoba mencari solusi, menemukan titik terang atas masalah
yang sedang hinggap dalam kehidupannya. Sebenarnya kunjungannya kepantai
tidak lain hanyalah untuk bisa melepas segala kepenatan dan kekecewaan
yang menghujam didalam jiwanya. Namun apa mau dikata, tanpa hasrat dan
keinginan yang kuat untuk melepas segala deraan peristiwa yang tidak
diinginkan jiwa, semuanya hanya sia-sia belaka. Sekonyong-konyong
mencoba menelusuri garis pantai tanpa henti, namun tak ada satupun
keinginan dalam hati melupakan segala kegundahan itu, sama artinya
bohong. Boleh saja para psikolog menelurkan teori pemecahan dan
pelepasan masalah dengan mengajak anda mengunjungi garis pantai ataupun
tempat lainnya, jika saja dihati terasa berat melupakan semua kekisruhan
dalam ruang jiwa, tidak ada artinya apa yang dinasihatkan psikolog
handal ataupun Psikiater; spesialis jiwa, guna membantu anda melupakan
segala kegundahan dan masalah pelik yang sedang bersemayam dikedalaman
sana.
“sudahlah, cinta bukan untuk menyakiti brow… Jika
benar-benar cinta, gak seperti ini caranya, kalau boleh kasih masukan
nich, masih banyak bintang dilangit, eeeh, maksudnya masih banyak cewek
yang lain, soo, tinggal pilih yang mana yang paling menarik hati. Cewek
sekarang khan banyak tuch. Hehehe.” Mulut andi terlihat komat-kamit saat
menasihati sahabat baiknya itu, Sambil melemparkan senyuman kepada
Erlangga, seolah-olah apa yang diucapkannya itu berasal dari serangkaian
pengalaman panjang yang sudah ia lewati. “Benar juga sich brow, tapi
mau gemana lagi, memang banyak bintang dilangit tapi tidak ada satupun
yang terlintas dipelupuk mata ini untuk bisa dimiliki. Mmmm, kalau
misalnya PDKT sama Hardiania, apa gak salah orang tuch. Saya merasa
Hardiania adalah cewek yang terlalu baik untuk dimiliki, jadi merasa
minder untuk melakukan pendekatan, apalagi dia adalah sahabat kita sejak
duduk dibangku SMA. Mmmm, gemana yach?!” jawab Erlangga. Dalam
pikirannya sedang terjadi gejolak riuh-riuh harapan antara impian dan
kekecewaan. Mengapa tidak, dalam hati Erlangga terlintas angan-angan
untuk meninggalkan cinta yang sudah sekian kalinya menorehkan luka
dihatinya namun ia masih saja bertahan, namun saat ini keliahatannya
Erlangga sudah tidak kuasa lagi menahan derita yang dipersembahkan
kekasihnya itu; Herna. Disatu sisi yang lain terlintas pula impian untuk
bisa memiliki Hardiania, sosok seorang wanita cantik dengan balutan
kerudung diatas kepalanya ditambah lagi dengan sikap lemah lembut dan
budi pekerti yang layak untuk diacungi jempol. Membuat Erlangga malu
untuk bisa memiliki cinta dari seorang Hardiania, sahabat dekatnya saat
duduk dibangku SMA.
“Kenapa harus bingung, toh juga
Hardiania tidak kalah cantiknya dengan Herna, hanya saja Hardiania mampu
menutupi kecantikannya itu dengan baik, bajunya sopan. Pokoknya mantap
dech. Tanpa menggunakan make up, dia sudah memiliki kecantikan alami
lho. Tidak seperti Herna yang seringkali terlihat seksi dengan
penampilan busana yang aduhai… membuat mata saya terkadang seringkali
mengekor dibelakangnya setiap kali dia berjalan. Sesekali ambil
kesempatan untuk bisa melihat likuk tubuhnya. Maklum, pacar sahabat.
Hehehe.” Jawab Andi dengan santainya, maklum keperibadian Andi yang
terkadang ceplas-ceplos membuat sahabatnya terkadang nyaman dan Andi
enak diajak Ngobrol walau sesekali membuat hati orang lain terusik.
Wajarlah, tidak ada seorangpun yang memiliki kesempuranaan, semuanya
pasti memiliki kekurangan juga.
“Waaah, ternyata kamu
sering curi pandang gittu sama Herna. Ketahuan dech loe… Oya, kapan
terakhir kali kamu bertemu sama Hardiania? Saya sudah dua bulan terakhir
ini tidak bertemu dengannya.” Tanya Erlangga, menelusuri informasi
tentang sahabat lamanya itu. Sosok sahabat yang ia kenal baik. Bahkan
Sebenarnya Erlangga pernah menyimpan rasa dihati tentang sosok wanita
baik itu; Hardiania, namun ia lebih terhipnosis dengan kecantikan Herna
sehingga ia lebih memilih Herna menjadi teman pendamping hidupnya, namun
kini ia harus menanggung derita atas pilihannya itu. Kebanyakan
laki-laki didunia ini juga demikian walau tidak semua mereka berpikiran
dalam sudut pandang yang demikian itu. setiap apa yang kita pilih
sebenarnya menyimpan beribu konsekuensi logis yang harus kita terima,
sebagaimana derita Erlangga saat menentukan pilihan hatinya itu pada
sosok Herna, wanita cantik yang selama ini menyakiti hatinya. Walau
demikian tidak semua wanita cantik menyimpan racun kehidupan, masih
banyak wanita yang memiliki keperibadian baik yang patut untuk diberikan
dua jempol atau bahkan lebih, diberikan penghargaan yang layak ditengah
bentangan kehidupan ini.
“Dua minggu lalu saya bertemu
diPuskesmas Wanasaba, katanya sich dia tugas disana.” Jawab Andi.
“Kelihatannya matahari sudah terbenam nich, takutnya ntar kita terlambat
sampai rumah.” Lanjut Andi.
Sajak magrib mengitari
mentari diantara bentangan benang putih berbaur garis hitam di atas ufuk
barat semesta, menemani rotasi alam penuh kemesraan, menampakkan kilau
wajah kesetiaan, menerawang mega kuning diatas singgasana jiwa bersama
tarian lentera semesta yang sudah menanggalkan diri dari tiang-tiang
langit. Matahari telah menutup diri dari pandangan mata setiap manusia.
Ditengah Lautan lepas sana, Matahari telah sepenuhnya menghilang, tanpa
menyisakan jejak diatas tiang langit diufuk barat. Suasana gelap sudah
mulai terasa menyelimuti ruang kehidupan. Waktu adzan magrib
mengumandang, suara muadzin mendayu-dayu mengisi ruang semesta membuat
hati insan terketuk untuk menghadap Sang Pencipta.
“Ayo
kita pulang. Sudahlah lupakan saja Herna. Tuhan semakin meyakinkan
hatimu brow. Jika saja besok Herna menjadi istrimu, betapa sakitnya
hatimu jika ditinggalkan olehnya dengan laki-laki lain. Lupakan saja.
Tak ada gunanya lagi menyesal. Justru kamu harus bersyukur sama tuhan.
Ini kunci kontak sepeda motornya. Kamu saja jadi depan.” Sapa Andi
sambil mendekati Erlangga yang sedang berdiri terpaku menatapi sisa-sisa
mega kuning diatas cakrawala nun jauh diatas sana. Sesekali terpaan
mesra angin malam tepianpantai menyibak rambut mereka, memperlihatkan
ketampanan wajah mereka yang terlihat seperti actor film korea.
Suara
deru sepeda motor terdengar melintasi jalan setapak, meninggalkan
pesisir pantai. Mereka melintasi pohon kelapa yang bediri kokoh
disepanjang jalan, seolah-olah pohon kelapa tersebut sedang berpesan
arti sebuah ketegaran saat dihantam oleh beragam cobaan dalam kehidupan,
sebagaimana ia ditimpa hembusan angin, namun tetap saja ia berdiri
kokoh tanpa seorangpun mampu menumbangkannya, akan tetapi Erlangga tak
mampu mengambil pelajaran berharga dibalik bisikan alam dalam suara
keheningan. Luka dihati telah sepenuhnya merogoh jiwanya hingga
membuatnya terbuai dalam kesedihan. Adalah kebanyakan laki-laki yang
begitu cepat melupakan kisah sedih yang mereka alami saat berkumpul
dengan sahabat. Berbeda halnya dengan kaum hawa yang sulit untuk
melupakan kesedihan, apalagi kesedihan yang dimunculkan oleh asmara dan
cinta.
Sudah setengah perjalanan mereka lalui. Terlintas
dalam pikiran Erlangga sosok wanita yang telah menyakiti hatinya itu,
membuat ia semakin tidak terkendali. Dalam lamunannya tersimpan beragam
penyesalan menghampiri, seakan-akan penyesalan itu begitu memberatkan
dirinya. Membuat kaki dan tangannya terasa dingin apalagi ditambah oleh
hempasan keras angin saat ia melintasi jalan. Tiba-tiba saja sedan
berwarna hitam dengan kecepatan tinggi melaju didepan mereka.
“Tidiiiit-tiiiitttt, tidiiitttttt.” Suara bel sedan warna hitam memecah
keheningan malam itu membuat kesadaran Erlangga tersentak hingga ia
tidak mampu mengendalikan Laju Sepeda Motor yang mereka Tumpangi. Sedan
warna hitam itu menimpa sayap kanan sepeda motor, membuat Erlangga dan
Andi terpanting ke pinggir jalan. Namun Laju sedan tersebut semakin
kencang, barangkali ia begitu takut dengan hakim masa yang berada
disekitar lokasi kejadian.
Tubuh Erlangga tergeletak lemas
tak berdaya, pun juga tak sadarkan diri. Lumuran Darah anyir mewarnai
baju yang ia kenakan, terlihat juga aliran darah mengalir dari
kepalanya. Andi mendekati tubuh Erlangga yang sudah tidak lagi mampu
bersuara, dengan langkah kaki yang terpincang-pincang dengan luka
ditubuhnya, Andi mencoba membangunkan sahabatnya itu, akan tetapi
Erlangga tidak jua menunjukkan respon sama sekali, namun tanda-tanda
kehidupan masih melekat ditubuhnya yang tergelatak itu, layaknya sedang
mengaplikasikan teori uji coba tingkat kesadaran ala sekala koma
glasgow.
Beberapa orang berdatangan melihat kondisi mereka
yang saat itu masih tergeletak dipinggir jalan, seolah-olah bahaa tubuh
mereka ingin menyampaikan pertolongan. Sebagian pengendara sepeda motor
menghentikan sejenak perjalanan mereka lantaran melihat dua sosok tubuh
manusia tergelatak lemas tak berdaya. Warga sekitar lokasi kejadian
berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pertolongan pertama. Mereka
berdua pun dilarikan ke puskesmas terdekat untuk diberikan perawatan
medis secara intensif oleh puhak yang profesional, kebetulan saat itu
jarak mereka tidak terlalu jauh dari Puskesmas Wanasaba.
Tetesan
cairan Infus mengalir didalam vena Erlangga. Balutan kain kasa
mengelilingi seluruh kepala begitu pula dengan kaki dan tangannya.
Tubuhnya tergeletak kaku tak berdaya. Matanya yang sipit belum juga
mampu menatap lingkungan sekitar. Jam dinding yang menghiasi dinding
kamar Puskesmas sudah menunjukkan pukul 04:30, waktu sholat subuh sudah
tiba, suara muadzin lagi-lagi mendayu membangunkan setiap insan dari
tidur lelapnya. Erlangga belum juga sadarkan diri. Sudah semalaman ia
terbuai dalam mimpi, entah mimpi indah ataupun buruk yang sedang
menemani hidupnya. Entahlah, hanya Erlangga yang mampu menceritakan apa
yang sebenarnya sedang ia rasakan dalam bahasa tubuh diam tanpa suara
itu.
Benda langit bersinar terang penuh keikhlasan untuk
melantunkan gema dzikir indahnya disetiap pancaran cahaya kasih untuk
menyambut pagi ini dengan sebuah senyum kesyukuran dari palung hati yang
paling dalam hingga menggegap gempita diatas samudra jiwa, menyibak
selimut dan menghadirkan semangat baru bagi setiap insan untuk menjalani
aktifitas harian. Mentari pagi sudah menapaki dua, tiga, dan empat
langkah garis-garis cakrawala diufuk timur sana. Terlihat dipuskesmas
itu para perawat dan petugas kesehatan lainnya mengisi ruangan dimana
mereka bertugas. Ada yang sibuk merapikan berkas laporan, daftar
absensi. Ada yang sibuk membersihkan ruangan puskesmas. Ada pula
diantara mereka yang mondar-mandir kesana kemari melihat kondisi pasien
yang sedang dirawat diPuskesmas tersebut.
Hardiania salah
seorang perawat yang memang bertugas dipuskesmas tersebut terlihat sibuk
melihat perkembangan pasien-pasiennya. Satu demi satu ruangan ia masuki
untuk mengontrol; menanyakan sekaligus melihat perkembangan dari waktu
kewaktu pasien yang sedang dirawat sambil mengisi lembaran putih yang
ada digenggaman tangan kirinya. Dipojokan ruangan Puskesmas ia terdiam
sejenak melihat sosok laki-laki yang sedang tergeletak tak berdaya tanpa
suara. Hardiania menatap dalam-dalam sosok laki-laki yang tadi malam
baru saja masuk ruang perawatan. Rupanya ia mengenal laki-laki tersebut.
“Mas
Erlangga…!!!” gumamnya dalam hati. Seolah-olah dia tidak percaya dengan
pemandangan yang sedang ia saksikan didepan mata. Antara percaya dengan
tidak. Matanya tetap terfokus memandangi Erlangga yang belum juga
sadarkan diri. Hardiania mendekati tubuh laki-laki tersebut dan
menatapnya dari ujung rambut sampai kaki tanpa satupun terlewatkan oleh
pengawasan indra penglihatannya. Tangannya yang putih itu menyentuh
kepala Erlangga, sahabat dekat saat duduk dibangku SMA. Jujur saja,
Hardiania menyimpan rasa yang sampai saat ini ia simpan rapi tanpa
seorang pun tahu apa yang tergoreskan didalam kanvas hatinya. Hanya dia
dan tuhannya sajalah yang tahu apa yang sebenarnya ada.
Hardiania
duduk disamping Erlangga, tepat berada bersebelahan dengan balutan kain
kasa yang menutupi kepala Erlangga. Pikirannya masih tidak percaya
dengan kenyataan yang disaksikannya itu. “Mas Erlangga kenapa? Kok bisa
sampai kayak begini?” bisik hatinya dalam-dalam. Laki-laki sipit ala
actor film korea itu tak mampu menjawab semua pertanyaan yang Hardiania
sampaikan. Tiba-tiba saja pintu ruang perawatan terbuka, laki-laki
bertubuh ala atletis masih berdiri didepan pintu, menyaksikan Dua
sahabatnya itu dalam satu ruangan. Entah apa yang masih terpikirkan,
Andi hanya melihat tubuh Sahabat dekatnya tergeletak tanpa suara,
begitupula tatapannya tidak juga mengindahkan diri dari sosok wanita
berbaju putih dengan alat medis lengkap disakunya. “Hardiania…” Sapa
Andi, mencoba membuka pembicaran, tetapi tubuhnya masih belum sepenuhnya
memasuki ruang perawatan. “Mas Andi,,,” Jawab Hardiania. Dengan gaya
jalan pincangnya sisa bekal luka kejadian kemarin, Andi mendekati
sahabat lama saat duduk dibangku SMA.
“Hardiania bertugas
pagi ini Yach, soalnnya tadi malam kita tidak sempat bertemu ditempat
ini.” “Iya Mas, saya bertugas pagi sampai sore nanti. Kalau malam sudah
pulang digantikan dengan petugas jaga malam. Oya, sejak kapan Mas
Erlangga dirawat ditempat ini? Dia kenapa” Tanya Hardiania, mencoba
mencari informasi seputar peristiwa yang telah menimpa laki-laki pujaan
hatinya itu. Namun sungguh ia telah benar-benar mampu menyembunyikan
segala rasa yang bersemai sejak duduk dibangku SMA. Sampai saat ini ia
menyimpannya dengan rapi, hingga Erlangga tidak pernah menyadari akan
rasa cinta yang tersimpan dalam jiwa Hardiania. Layaknya wanita timuran
yang masih membungkus diri dalam budaya ketimuran, menjunjung tinggi
integritas diri, idiologi ketimuran seperti itulah yang melekat dalam
diri Hardiania hingga ia lebih memilih untuk menyimpan perasaan
ketimbang mengungkapkannya terlebih dahulu.
“Mas Erlangga
Jatuh dari sepeda motor. Ditabrak lari oleh sedan warna hitam yang
melaju kencang dari arah berlawanan. Saya duduk dibelakang mas Erlangga,
kebetulan boncengan. Kondisi Saya tidak begitu parah, Cuma lecet doank
dikaki dan siku sebelah kanan. Tidak seperti mas Erlangga yang sampai
saat ini belum sadarkan diri sejak dilarikan ke Puskesmas ini, tadi
malam.” Jawab andi. Tiba-tiba saja Erlangga menggerakkan kaki dan
tangannya. “Akuuu.di-dima-na?” Tanya Erlangga dengan suara terbata-bata,
mendayu-dayu mengisi ruang perawatan.
“Mas Erlangga…
sudah simuan yach?” Tanya Hardiania. “Waaah, kamu gak kenapa-kenapa khan
brow.” Lanjut Andi menghampiri sahabatnya yang sedang terbaring lemas
tak berdaya itu. Wajah Erlangga telihat sayu, sesekali ia menatap
Hardiania yang sedang duduk disamping tempat tidur diruang perawatan
pasien. “se-sejjaak kaaa-pan mbak Haardiiania disini?” Tanya Erlangga
sambil memandangi wanita cantik berbalut kerudung warna putih
dikepalanya itu, suaranya lemas tak bertenaga. “Sejak tadi pagi kok mas.
Saya memang tugas disini.”
“Mii-nuuum… Mii-minuum” pinta
Erlangga yang tidak kuasa lagi menggerakkan seluruh anggota tubuhnya.
“Ini air minumnya. Gak usah terlalu banyak bergerak brow, biar
kondisinya bisa lebih cepat membaik.” Tukas Andi sambil menyodorkan
gelas berisi air putih dan sendok ke mulut Erlangga. “Mas Erlangga, Saya
ke ruang jaga dulu yach, nanti bakal balik kok kalau semua urusan sudah
selesai. Lekas sembuh yach…” Wajah hardiania mencoba tersenyum, memberi
motifasi bagi Erlangga, walau sebenarnya didalam hatinya menangis saat
menyaksikan luka disekujur tubuh Erlangga. Langkah kakinya terdengar
jelas saat meninggalkan ruang perawatan dimana Erlangga tergeletak lemas
tak berdaya. Erlangga tersenyum kecil, alis matanya mengisyaratkan rasa
syukur yang mendalam saat melihat wajah Hardiania, apalalagi setelah
mendengar kata-kata motifasi untuk dirinya. “Ibu sus tugas dulu dech,
nanti takutnya mengecewakan pasien yang lain. Met sibuk yach…” celetuk
Andi, menghibur sahabatnya.
Waktu terus bergulir begitu
cepatnya, hari demi hari secara terus menerus saling mengisi. Semua
telah berubah seiring perjalanan waktu yang terus melaju tanpa henti.
Kini Erlangga sudah sepenuhnya pulih dari kondisinya yang sempat kritis
saat dirawat diPuskesmas. Ia masih butuh istirahat untuk bisa
mengembalikan kondisi kesehatannya seperti semula. Erlangga belum bisa
meninggalkan rumah untuk beraktifitas sebagaimana mereka yang memiliki
kondisi kesehatan prima. Ia harus mengkonsumsi beberapa butir obat
setiap harinya dan mematuhi apa yang dokter sarankan kepadanya. Namun
ternyata, pikirannya tidak mampu untuk beristirahat sebagaimana tubuhnya
yang masih tergeletak lemas ditempat tidur. Pikirannya melintasi ruang
dan waktu, mengingatkan kenangan masa lalu saat duduk dibangku SMA, saat
berkumpul bersama dengan Perawat yang telah merawatnya selama
dipuskesmas. Berkumpul bersama Andi dan juga teman dekat lainnya.
Terlebih lagi moment-moment yang tak mungkin terlupakan saat acara
Liburan bersama setelah ujian selesai digelar oleh pihak sekolah. Tentu
semua kenangan itu masih membekas dalam ingatan, seakan-akan kenangan
itu benar-benar terjadi dimasa sekarang.
Semua kenangan
itu terlintas satu persatu dalam pikiran Erlangga. Semua sahabat
menampakkan diri, mengingatkannya masa lalu yang indah saat
bercengkerama bersama, canda dan tawa bersama. Namun demikian, semua itu
sudah tidak mungkin lagi kembali dimasa saat sekarang ini. Erlangga
sangat menyesal, betapa tidak, ia telah salah dalam menambatkan hatinya,
melabuhkan seluruh cinta dan kasihnya. Hardiania yang telah ia abaikan
ternyata meyimpan kebaikan yang tak mampu terlukiskan keindahan kata.
Wajah cantik hardianaia terbalut dalam bingkai keperibadian yang
menawan, membuatnya terlihat seperti apa adanya. pilihan hati Erlangga
untuk memilih Herna adalah kesalahan besar, hanya demi kecantikan ia
rela mengorbankan apa yang sesungguhnya tergoreskan dalam hati yang
paling dalam.
Kebaikan-kebaikan Hardianaia membuat
Erlangga malu akan apa yang telah tergoreskan dimasa silam. Perasaan
yang pernah ada itu semakin menampak diri diatas pelupuk mata membuat ia
tidak mampu mengelak kehadiran Hardiania didalam jiwanya, kehadiran
wanita cantik yang telah merawatnya selama meringkuk tergeletak lemas
diPuskemas. Penyesalan kini tinggalah penyesalan. Perdebatan didalam
pikiran dan perasaan Erlangga tak kunjung usai. Hanya saja ia mampu
berandai-andai untuk memiliki sosok Hardiania dikehidupannya mendatang.
Ia sepenuhnya sadar, ternyata kecantikan berbungkus busana seksi tak
membuatnya bahagia, hanya meninggalkan luka dibalik sayatan-sayatan
berbalutkan larutan NaCl.
“Ya Allah, berikanlah hambaMu
ini kesempatan untuk merubah wajah kehidupan ini. Janganlah engkau
lumpuhkan hambamu atas kesalahan masa lalu. Jika memang engkau
menitipkan cinta untuk seorang sahabat yang begitu baik didalam jiwa
ini, izinkalah pertemuan itu akan kembali mengisi ruang dalam jiwa
hingga aku akan mampu merengguk setetes air kebahagiaan.” Gumamnya dalam
hati sembari menitipkan sebaris doa pengharapan agar hidupnya tidak
lagi terpuruk dalam kesedihan. Keep spirit For Our Life Better…
Salam
satu Jiwa… Salam sehat Jiwa untuk menggapai bahagia….
Mustafid
Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar