Rabu, 07 Maret 2012

Ajari Aku menapaki garis pantai ini agar aku tak lagi melihat sayatan luka dihati

Dikejauhan sana, dipinggir pantai Gili Lampu, terlihatlah sosok laki-laki yang sedang berjalan menelusuri garis-garis pantai. Langkahnya terlihat sempoyongan, sesekali ia terlihat melontarkan batu karang ketengah ombak lautan yang sedang melaju kencang, tak terlihat olehnya riak-riak air laut oleh dentuman batu karang yang ia lemparkan, hanya saja ada sisa buih-buih yang mengambang lepas tanpa seorangpun mampu menahannya. Adalah indah untuk bisa menyaksikan langsung bagaimana tampilan panorama keindahan bibir pantai dan segala panorama alam pesisir pantai saat mentari telah usai menghujamkan terik panasnya diatas muka bumi. Namun laki-laki itu tak jua mendapatkan keindahan panorama alam saat melintasi garis-garis pantai, barangkali ada sesuatu yang sedang terjadi dan sedang berkecamuk didalam hatinya. Sisa jejak langkah kaki laki-laki itu tak satupun tersisa setelah disapu oleh desiran ombak yang menyapa bibir pantai. Terkadang laki-laki bermata sipit dengan wajah oval itu berteriak lepas mengimbangi lantunan deru ombak, memecah kesunyian disore itu. Namun tak jua ia mampu membuat suara dentuman ombak menciut ditengah hentakan suara keras saat mengisi kegalauan hatinya itu.

“Erlangga, Tunggu donk.” Sapa laki-laki berambut pirang, bertubuh kekar. Maklumlah, ia seringkali mengisi tempat kebugaran untuk melatih fisiknya agar terlihat seperti tubuh para atletis. Namanya Andi, sahabat dekat Erlangga sejak duduk dibangku SMA. “Waaah, kamu tega ninggalin aku sendiri, mentang-mentang lagi patah hati. Jangan sampai sahabat dekatMu ini jadi korban kekecewaan. Tungguuuu brooow…” teriak Andi. Namun tak jua ada suara Andi yang terdengar mengisi ruang dalam telinga Erlangga, suara kecil bersambut deru ombak, berirama dalam tautan musik alam. Hanya ada sambutan riuh sang ombak yang sedang menari-nari diatas samudra lepas. Erlangga menengok kebelakang, menengok kearah sahabatnya itu lantas ia hanya terdiam seperti patung, menunggu kedatangan sahabatnya yang sudah begitu jauh tertinggal dibelakang. Bagaimana tidak, Andi sibuk mencari kerang dan beragam pernak-pernik perhiasan laut yang berceceran disepanjang garis pantai. Andi adalah pecinta barang-barang seni, ia lebih senang mengoleksi barang dan hiasan yang ia temukan dialam. Wajar saja kunjungannya kepantai tidak luput dari kegemarannya untuk mengoleksi barang antic yang ia temukan disepanjang torehan jejak langkahnya.

Hembusan angin sepoi-sepoi menyisir dataran luas pantai membuat suasana semakin terasa sejuk dalam damai, mega kuning diatas garis horizon terlihat samar-samar, menampakkan cahaya mega kuning pertanda waktu petang akan menggoreskan keindahannya diatas cakrawala, menyambut datangnya malam bertunaskan keheningan dalam kegelapan bersama lentera semesta saat Malam telah melukiskan segala keindahannya, begitupula tak terlupakan sapaan bintang-bintang angkasa. Sulit rasanya untuk bisa diungkapkan oleh keindahan kata-kata ataupun diungkapkan dalam bentuk ukiran dua dimensi seperti lukisan diatas kanvas. Dua sahabat terlihat menapaki bibir pantai. Menyusuri keindahan alam yang sangat menawan. Ditambah lagi oleh sapaan mesra sang angin yang sedang berhembus menyapu setiap daratan, mengigaukan syair-syair merdu dalam bahasa keheningan.

“Erlangga… dari tadi Cuma diam ajja. Sudah bosan ngomong brow? Masa gara-gara ditinggal sama Herna, kamu berubah kayak gini? Please dech..!” sapa Andi, mencoba untuk menelusuri jalan kesedihan yang sedang berbalut kabut kekecewaan membuat semua terlihat gelap adanya. “Nggak berubah kok. Semuanya baik-baik saja kok. Kamu sok tahu dech, siapa juga yang lagi bersedih?.” Jawab Erlangga menimpali sahabatnya itu. Apa mau dikata, mimik wajah Erlangga terlihat jelas menyampaikan senyuman kecut tak bermakna apa-apa selain usaha untuk menyimpan derita dibalik senyumannya itu, seakan-akan ia mencoba untuk menutupi kegundahan hati yang sedang menari-nari didalam labirin jiwa, walau demikian ia sudah mencoba menutupi rapat-rapat kekecewaannya itu dalam-dalam, namun sesungguhnya wajah kesedihan tidak akan mungkin bisa ia sembunyikan dari sosok seorang sahabat dekat yang sudah menemani hidupnya sejak duduk dibangku kelas dua SMA hingga sampai saat ini hubungan persahabatan masih mewarnai diatas lembaran kehidupan.

“Mana Mungkin sahabat bisa menutupi kesedihannya dimata sahabatnya yang lain. Benar gak?” celetuk Andi, sengaja umpan balik pembicaraan agar Erlangga mau membuka mulut atas segala kepedihan yang sedang menyelimuti hatinya. “Kamu putus sama Herna? Sudahlah brow, Herna bukan tipe cewek yang cocok dijadikan Istri untuk anak-anakMu kelak. Dia tipe cewek yang memang sengaja memanfaatkanmu. Siapa tahu dibalik wajah cantiknya itu menyimpan segudang cowok selain kamu. Terlalu banyak cewek sekarang yang begitu, walau tidak semuanya sich yang kayak gittu.., Sudahlah, lupakan saja Herna. Apa gunanya pergi ketempat ini, namun kamu belum juga bisa melepas segala penat yang membungkus pikiranmu. Cari saja cewek yang lain yang memang mencintaimu. Naaah, gemana kalau kamu sama Hardiania ajja, saya rasa cocok banget tuch, apalagi kita sudah lama berteman dengannya” Lanjut Andi mencoba menasihati.

“Iya juga sich brow, akhir-akhir ini saya merasa Herna sudah banyak berubah, apalagi kemarin itu dia jalan bareng sama cowok, mantan pacarnya dulu. Nggak seperti biasanya sich dari penampilan mereka berdua. Tapi, saya sulit sekali untuk bisa melupakannya brow, saya sudah terlalu mencintainya, walau saya sudah banyak disakitinya. Terus gemana donk?!” Tanya Erlangga, mencoba mencari solusi, menemukan titik terang atas masalah yang sedang hinggap dalam kehidupannya. Sebenarnya kunjungannya kepantai tidak lain hanyalah untuk bisa melepas segala kepenatan dan kekecewaan yang menghujam didalam jiwanya. Namun apa mau dikata, tanpa hasrat dan keinginan yang kuat untuk melepas segala deraan peristiwa yang tidak diinginkan jiwa, semuanya hanya sia-sia belaka. Sekonyong-konyong mencoba menelusuri garis pantai tanpa henti, namun tak ada satupun keinginan dalam hati melupakan segala kegundahan itu, sama artinya bohong. Boleh saja para psikolog menelurkan teori pemecahan dan pelepasan masalah dengan mengajak anda mengunjungi garis pantai ataupun tempat lainnya, jika saja dihati terasa berat melupakan semua kekisruhan dalam ruang jiwa, tidak ada artinya apa yang dinasihatkan psikolog handal ataupun Psikiater; spesialis jiwa, guna membantu anda melupakan segala kegundahan dan masalah pelik yang sedang bersemayam dikedalaman sana.

“sudahlah, cinta bukan untuk menyakiti brow… Jika benar-benar cinta, gak seperti ini caranya, kalau boleh kasih masukan nich, masih banyak bintang dilangit, eeeh, maksudnya masih banyak cewek yang lain, soo, tinggal pilih yang mana yang paling menarik hati. Cewek sekarang khan banyak tuch. Hehehe.” Mulut andi terlihat komat-kamit saat menasihati sahabat baiknya itu, Sambil melemparkan senyuman kepada Erlangga, seolah-olah apa yang diucapkannya itu berasal dari serangkaian pengalaman panjang yang sudah ia lewati. “Benar juga sich brow, tapi mau gemana lagi, memang banyak bintang dilangit tapi tidak ada satupun yang terlintas dipelupuk mata ini untuk bisa dimiliki. Mmmm, kalau misalnya PDKT sama Hardiania, apa gak salah orang tuch. Saya merasa Hardiania adalah cewek yang terlalu baik untuk dimiliki, jadi merasa minder untuk melakukan pendekatan, apalagi dia adalah sahabat kita sejak duduk dibangku SMA. Mmmm, gemana yach?!” jawab Erlangga. Dalam pikirannya sedang terjadi gejolak riuh-riuh harapan antara impian dan kekecewaan. Mengapa tidak, dalam hati Erlangga terlintas angan-angan untuk meninggalkan cinta yang sudah sekian kalinya menorehkan luka dihatinya namun ia masih saja bertahan, namun saat ini keliahatannya Erlangga sudah tidak kuasa lagi menahan derita yang dipersembahkan kekasihnya itu; Herna. Disatu sisi yang lain terlintas pula impian untuk bisa memiliki Hardiania, sosok seorang wanita cantik dengan balutan kerudung diatas kepalanya ditambah lagi dengan sikap lemah lembut dan budi pekerti yang layak untuk diacungi jempol. Membuat Erlangga malu untuk bisa memiliki cinta dari seorang Hardiania, sahabat dekatnya saat duduk dibangku SMA.

“Kenapa harus bingung, toh juga Hardiania tidak kalah cantiknya dengan Herna, hanya saja Hardiania mampu menutupi kecantikannya itu dengan baik, bajunya sopan. Pokoknya mantap dech. Tanpa menggunakan make up, dia sudah memiliki kecantikan alami lho. Tidak seperti Herna yang seringkali terlihat seksi dengan penampilan busana yang aduhai… membuat mata saya terkadang seringkali mengekor dibelakangnya setiap kali dia berjalan. Sesekali ambil kesempatan untuk bisa melihat likuk tubuhnya. Maklum, pacar sahabat. Hehehe.” Jawab Andi dengan santainya, maklum keperibadian Andi yang terkadang ceplas-ceplos membuat sahabatnya terkadang nyaman dan Andi enak diajak Ngobrol walau sesekali membuat hati orang lain terusik. Wajarlah, tidak ada seorangpun yang memiliki kesempuranaan, semuanya pasti memiliki kekurangan juga.

“Waaah, ternyata kamu sering curi pandang gittu sama Herna. Ketahuan dech loe… Oya, kapan terakhir kali kamu bertemu sama Hardiania? Saya sudah dua bulan terakhir ini tidak bertemu dengannya.” Tanya Erlangga, menelusuri informasi tentang sahabat lamanya itu. Sosok sahabat yang ia kenal baik. Bahkan Sebenarnya Erlangga pernah menyimpan rasa dihati tentang sosok wanita baik itu; Hardiania, namun ia lebih terhipnosis dengan kecantikan Herna sehingga ia lebih memilih Herna menjadi teman pendamping hidupnya, namun kini ia harus menanggung derita atas pilihannya itu. Kebanyakan laki-laki didunia ini juga demikian walau tidak semua mereka berpikiran dalam sudut pandang yang demikian itu. setiap apa yang kita pilih sebenarnya menyimpan beribu konsekuensi logis yang harus kita terima, sebagaimana derita Erlangga saat menentukan pilihan hatinya itu pada sosok Herna, wanita cantik yang selama ini menyakiti hatinya. Walau demikian tidak semua wanita cantik menyimpan racun kehidupan, masih banyak wanita yang memiliki keperibadian baik yang patut untuk diberikan dua jempol atau bahkan lebih, diberikan penghargaan yang layak ditengah bentangan kehidupan ini.

“Dua minggu lalu saya bertemu diPuskesmas Wanasaba, katanya sich dia tugas disana.” Jawab Andi. “Kelihatannya matahari sudah terbenam nich, takutnya ntar kita terlambat sampai rumah.” Lanjut Andi.

Sajak magrib mengitari mentari diantara bentangan benang putih berbaur garis hitam di atas ufuk barat semesta, menemani rotasi alam penuh kemesraan, menampakkan kilau wajah kesetiaan, menerawang mega kuning diatas singgasana jiwa bersama tarian lentera semesta yang sudah menanggalkan diri dari tiang-tiang langit. Matahari telah menutup diri dari pandangan mata setiap manusia. Ditengah Lautan lepas sana, Matahari telah sepenuhnya menghilang, tanpa menyisakan jejak diatas tiang langit diufuk barat. Suasana gelap sudah mulai terasa menyelimuti ruang kehidupan. Waktu adzan magrib mengumandang, suara muadzin mendayu-dayu mengisi ruang semesta membuat hati insan terketuk untuk menghadap Sang Pencipta.

“Ayo kita pulang. Sudahlah lupakan saja Herna. Tuhan semakin meyakinkan hatimu brow. Jika saja besok Herna menjadi istrimu, betapa sakitnya hatimu jika ditinggalkan olehnya dengan laki-laki lain. Lupakan saja. Tak ada gunanya lagi menyesal. Justru kamu harus bersyukur sama tuhan. Ini kunci kontak sepeda motornya. Kamu saja jadi depan.” Sapa Andi sambil mendekati Erlangga yang sedang berdiri terpaku menatapi sisa-sisa mega kuning diatas cakrawala nun jauh diatas sana. Sesekali terpaan mesra angin malam tepianpantai menyibak rambut mereka, memperlihatkan ketampanan wajah mereka yang terlihat seperti actor film korea.

Suara deru sepeda motor terdengar melintasi jalan setapak, meninggalkan pesisir pantai. Mereka melintasi pohon kelapa yang bediri kokoh disepanjang jalan, seolah-olah pohon kelapa tersebut sedang berpesan arti sebuah ketegaran saat dihantam oleh beragam cobaan dalam kehidupan, sebagaimana ia ditimpa hembusan angin, namun tetap saja ia berdiri kokoh tanpa seorangpun mampu menumbangkannya, akan tetapi Erlangga tak mampu mengambil pelajaran berharga dibalik bisikan alam dalam suara keheningan. Luka dihati telah sepenuhnya merogoh jiwanya hingga membuatnya terbuai dalam kesedihan. Adalah kebanyakan laki-laki yang begitu cepat melupakan kisah sedih yang mereka alami saat berkumpul dengan sahabat. Berbeda halnya dengan kaum hawa yang sulit untuk melupakan kesedihan, apalagi kesedihan yang dimunculkan oleh asmara dan cinta.

Sudah setengah perjalanan mereka lalui. Terlintas dalam pikiran Erlangga sosok wanita yang telah menyakiti hatinya itu, membuat ia semakin tidak terkendali. Dalam lamunannya tersimpan beragam penyesalan menghampiri, seakan-akan penyesalan itu begitu memberatkan dirinya. Membuat kaki dan tangannya terasa dingin apalagi ditambah oleh hempasan keras angin saat ia melintasi jalan. Tiba-tiba saja sedan berwarna hitam dengan kecepatan tinggi melaju didepan mereka. “Tidiiiit-tiiiitttt, tidiiitttttt.” Suara bel sedan warna hitam memecah keheningan malam itu membuat kesadaran Erlangga tersentak hingga ia tidak mampu mengendalikan Laju Sepeda Motor yang mereka Tumpangi. Sedan warna hitam itu menimpa sayap kanan sepeda motor, membuat Erlangga dan Andi terpanting ke pinggir jalan. Namun Laju sedan tersebut semakin kencang, barangkali ia begitu takut dengan hakim masa yang berada disekitar lokasi kejadian.

Tubuh Erlangga tergeletak lemas tak berdaya, pun juga tak sadarkan diri. Lumuran Darah anyir mewarnai baju yang ia kenakan, terlihat juga aliran darah mengalir dari kepalanya. Andi mendekati tubuh Erlangga yang sudah tidak lagi mampu bersuara, dengan langkah kaki yang terpincang-pincang dengan luka ditubuhnya, Andi mencoba membangunkan sahabatnya itu, akan tetapi Erlangga tidak jua menunjukkan respon sama sekali, namun tanda-tanda kehidupan masih melekat ditubuhnya yang tergelatak itu, layaknya sedang mengaplikasikan teori uji coba tingkat kesadaran ala sekala koma glasgow.

Beberapa orang berdatangan melihat kondisi mereka yang saat itu masih tergeletak dipinggir jalan, seolah-olah bahaa tubuh mereka ingin menyampaikan pertolongan. Sebagian pengendara sepeda motor menghentikan sejenak perjalanan mereka lantaran melihat dua sosok tubuh manusia tergelatak lemas tak berdaya. Warga sekitar lokasi kejadian berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pertolongan pertama. Mereka berdua pun dilarikan ke puskesmas terdekat untuk diberikan perawatan medis secara intensif oleh puhak yang profesional, kebetulan saat itu jarak mereka tidak terlalu jauh dari Puskesmas Wanasaba.

Tetesan cairan Infus mengalir didalam vena Erlangga. Balutan kain kasa mengelilingi seluruh kepala begitu pula dengan kaki dan tangannya. Tubuhnya tergeletak kaku tak berdaya. Matanya yang sipit belum juga mampu menatap lingkungan sekitar. Jam dinding yang menghiasi dinding kamar Puskesmas sudah menunjukkan pukul 04:30, waktu sholat subuh sudah tiba, suara muadzin lagi-lagi mendayu membangunkan setiap insan dari tidur lelapnya. Erlangga belum juga sadarkan diri. Sudah semalaman ia terbuai dalam mimpi, entah mimpi indah ataupun buruk yang sedang menemani hidupnya. Entahlah, hanya Erlangga yang mampu menceritakan apa yang sebenarnya sedang ia rasakan dalam bahasa tubuh diam tanpa suara itu.

Benda langit bersinar terang penuh keikhlasan untuk melantunkan gema dzikir indahnya disetiap pancaran cahaya kasih untuk menyambut pagi ini dengan sebuah senyum kesyukuran dari palung hati yang paling dalam hingga menggegap gempita diatas samudra jiwa, menyibak selimut dan menghadirkan semangat baru bagi setiap insan untuk menjalani aktifitas harian. Mentari pagi sudah menapaki dua, tiga, dan empat langkah garis-garis cakrawala diufuk timur sana. Terlihat dipuskesmas itu para perawat dan petugas kesehatan lainnya mengisi ruangan dimana mereka bertugas. Ada yang sibuk merapikan berkas laporan, daftar absensi. Ada yang sibuk membersihkan ruangan puskesmas. Ada pula diantara mereka yang mondar-mandir kesana kemari melihat kondisi pasien yang sedang dirawat diPuskesmas tersebut.

Hardiania salah seorang perawat yang memang bertugas dipuskesmas tersebut terlihat sibuk melihat perkembangan pasien-pasiennya. Satu demi satu ruangan ia masuki untuk mengontrol; menanyakan sekaligus melihat perkembangan dari waktu kewaktu pasien yang sedang dirawat sambil mengisi lembaran putih yang ada digenggaman tangan kirinya. Dipojokan ruangan Puskesmas ia terdiam sejenak melihat sosok laki-laki yang sedang tergeletak tak berdaya tanpa suara. Hardiania menatap dalam-dalam sosok laki-laki yang tadi malam baru saja masuk ruang perawatan. Rupanya ia mengenal laki-laki tersebut.

“Mas Erlangga…!!!” gumamnya dalam hati. Seolah-olah dia tidak percaya dengan pemandangan yang sedang ia saksikan didepan mata. Antara percaya dengan tidak. Matanya tetap terfokus memandangi Erlangga yang belum juga sadarkan diri. Hardiania mendekati tubuh laki-laki tersebut dan menatapnya dari ujung rambut sampai kaki tanpa satupun terlewatkan oleh pengawasan indra penglihatannya. Tangannya yang putih itu menyentuh kepala Erlangga, sahabat dekat saat duduk dibangku SMA. Jujur saja, Hardiania menyimpan rasa yang sampai saat ini ia simpan rapi tanpa seorang pun tahu apa yang tergoreskan didalam kanvas hatinya. Hanya dia dan tuhannya sajalah yang tahu apa yang sebenarnya ada.

Hardiania duduk disamping Erlangga, tepat berada bersebelahan dengan balutan kain kasa yang menutupi kepala Erlangga. Pikirannya masih tidak percaya dengan kenyataan yang disaksikannya itu. “Mas Erlangga kenapa? Kok bisa sampai kayak begini?” bisik hatinya dalam-dalam. Laki-laki sipit ala actor film korea itu tak mampu menjawab semua pertanyaan yang Hardiania sampaikan. Tiba-tiba saja pintu ruang perawatan terbuka, laki-laki bertubuh ala atletis masih berdiri didepan pintu, menyaksikan Dua sahabatnya itu dalam satu ruangan. Entah apa yang masih terpikirkan, Andi hanya melihat tubuh Sahabat dekatnya tergeletak tanpa suara, begitupula tatapannya tidak juga mengindahkan diri dari sosok wanita berbaju putih dengan alat medis lengkap disakunya. “Hardiania…” Sapa Andi, mencoba membuka pembicaran, tetapi tubuhnya masih belum sepenuhnya memasuki ruang perawatan. “Mas Andi,,,” Jawab Hardiania. Dengan gaya jalan pincangnya sisa bekal luka kejadian kemarin, Andi mendekati sahabat lama saat duduk dibangku SMA.

“Hardiania bertugas pagi ini Yach, soalnnya tadi malam kita tidak sempat bertemu ditempat ini.” “Iya Mas, saya bertugas pagi sampai sore nanti. Kalau malam sudah pulang digantikan dengan petugas jaga malam. Oya, sejak kapan Mas Erlangga dirawat ditempat ini? Dia kenapa” Tanya Hardiania, mencoba mencari informasi seputar peristiwa yang telah menimpa laki-laki pujaan hatinya itu. Namun sungguh ia telah benar-benar mampu menyembunyikan segala rasa yang bersemai sejak duduk dibangku SMA. Sampai saat ini ia menyimpannya dengan rapi, hingga Erlangga tidak pernah menyadari akan rasa cinta yang tersimpan dalam jiwa Hardiania. Layaknya wanita timuran yang masih membungkus diri dalam budaya ketimuran, menjunjung tinggi integritas diri, idiologi ketimuran seperti itulah yang melekat dalam diri Hardiania hingga ia lebih memilih untuk menyimpan perasaan ketimbang mengungkapkannya terlebih dahulu.

“Mas Erlangga Jatuh dari sepeda motor. Ditabrak lari oleh sedan warna hitam yang melaju kencang dari arah berlawanan. Saya duduk dibelakang mas Erlangga, kebetulan boncengan. Kondisi Saya tidak begitu parah, Cuma lecet doank dikaki dan siku sebelah kanan. Tidak seperti mas Erlangga yang sampai saat ini belum sadarkan diri sejak dilarikan ke Puskesmas ini, tadi malam.” Jawab andi. Tiba-tiba saja Erlangga menggerakkan kaki dan tangannya. “Akuuu.di-dima-na?” Tanya Erlangga dengan suara terbata-bata, mendayu-dayu mengisi ruang perawatan.

“Mas Erlangga… sudah simuan yach?” Tanya Hardiania. “Waaah, kamu gak kenapa-kenapa khan brow.” Lanjut Andi menghampiri sahabatnya yang sedang terbaring lemas tak berdaya itu. Wajah Erlangga telihat sayu, sesekali ia menatap Hardiania yang sedang duduk disamping tempat tidur diruang perawatan pasien. “se-sejjaak kaaa-pan mbak Haardiiania disini?” Tanya Erlangga sambil memandangi wanita cantik berbalut kerudung warna putih dikepalanya itu, suaranya lemas tak bertenaga. “Sejak tadi pagi kok mas. Saya memang tugas disini.”

“Mii-nuuum… Mii-minuum” pinta Erlangga yang tidak kuasa lagi menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. “Ini air minumnya. Gak usah terlalu banyak bergerak brow, biar kondisinya bisa lebih cepat membaik.” Tukas Andi sambil menyodorkan gelas berisi air putih dan sendok ke mulut Erlangga. “Mas Erlangga, Saya ke ruang jaga dulu yach, nanti bakal balik kok kalau semua urusan sudah selesai. Lekas sembuh yach…” Wajah hardiania mencoba tersenyum, memberi motifasi bagi Erlangga, walau sebenarnya didalam hatinya menangis saat menyaksikan luka disekujur tubuh Erlangga. Langkah kakinya terdengar jelas saat meninggalkan ruang perawatan dimana Erlangga tergeletak lemas tak berdaya. Erlangga tersenyum kecil, alis matanya mengisyaratkan rasa syukur yang mendalam saat melihat wajah Hardiania, apalalagi setelah mendengar kata-kata motifasi untuk dirinya. “Ibu sus tugas dulu dech, nanti takutnya mengecewakan pasien yang lain. Met sibuk yach…” celetuk Andi, menghibur sahabatnya.

Waktu terus bergulir begitu cepatnya, hari demi hari secara terus menerus saling mengisi. Semua telah berubah seiring perjalanan waktu yang terus melaju tanpa henti. Kini Erlangga sudah sepenuhnya pulih dari kondisinya yang sempat kritis saat dirawat diPuskesmas. Ia masih butuh istirahat untuk bisa mengembalikan kondisi kesehatannya seperti semula. Erlangga belum bisa meninggalkan rumah untuk beraktifitas sebagaimana mereka yang memiliki kondisi kesehatan prima. Ia harus mengkonsumsi beberapa butir obat setiap harinya dan mematuhi apa yang dokter sarankan kepadanya. Namun ternyata, pikirannya tidak mampu untuk beristirahat sebagaimana tubuhnya yang masih tergeletak lemas ditempat tidur. Pikirannya melintasi ruang dan waktu, mengingatkan kenangan masa lalu saat duduk dibangku SMA, saat berkumpul bersama dengan Perawat yang telah merawatnya selama dipuskesmas. Berkumpul bersama Andi dan juga teman dekat lainnya. Terlebih lagi moment-moment yang tak mungkin terlupakan saat acara Liburan bersama setelah ujian selesai digelar oleh pihak sekolah. Tentu semua kenangan itu masih membekas dalam ingatan, seakan-akan kenangan itu benar-benar terjadi dimasa sekarang.

Semua kenangan itu terlintas satu persatu dalam pikiran Erlangga. Semua sahabat menampakkan diri, mengingatkannya masa lalu yang indah saat bercengkerama bersama, canda dan tawa bersama. Namun demikian, semua itu sudah tidak mungkin lagi kembali dimasa saat sekarang ini. Erlangga sangat menyesal, betapa tidak, ia telah salah dalam menambatkan hatinya, melabuhkan seluruh cinta dan kasihnya. Hardiania yang telah ia abaikan ternyata meyimpan kebaikan yang tak mampu terlukiskan keindahan kata. Wajah cantik hardianaia terbalut dalam bingkai keperibadian yang menawan, membuatnya terlihat seperti apa adanya. pilihan hati Erlangga untuk memilih Herna adalah kesalahan besar, hanya demi kecantikan ia rela mengorbankan apa yang sesungguhnya tergoreskan dalam hati yang paling dalam.

Kebaikan-kebaikan Hardianaia membuat Erlangga malu akan apa yang telah tergoreskan dimasa silam. Perasaan yang pernah ada itu semakin menampak diri diatas pelupuk mata membuat ia tidak mampu mengelak kehadiran Hardiania didalam jiwanya, kehadiran wanita cantik yang telah merawatnya selama meringkuk tergeletak lemas diPuskemas. Penyesalan kini tinggalah penyesalan. Perdebatan didalam pikiran dan perasaan Erlangga tak kunjung usai. Hanya saja ia mampu berandai-andai untuk memiliki sosok Hardiania dikehidupannya mendatang. Ia sepenuhnya sadar, ternyata kecantikan berbungkus busana seksi tak membuatnya bahagia, hanya meninggalkan luka dibalik sayatan-sayatan berbalutkan larutan NaCl.

“Ya Allah, berikanlah hambaMu ini kesempatan untuk merubah wajah kehidupan ini. Janganlah engkau lumpuhkan hambamu atas kesalahan masa lalu. Jika memang engkau menitipkan cinta untuk seorang sahabat yang begitu baik didalam jiwa ini, izinkalah pertemuan itu akan kembali mengisi ruang dalam jiwa hingga aku akan mampu merengguk setetes air kebahagiaan.” Gumamnya dalam hati sembari menitipkan sebaris doa pengharapan agar hidupnya tidak lagi terpuruk dalam kesedihan. Keep spirit For Our Life Better…

Salam satu Jiwa… Salam sehat Jiwa untuk menggapai bahagia….

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar