Pagi buta sebelum datangnya sang fajar itu, Fiyyani; kekasihku
ungkapkan rasa terima kasih atas segalanya lewat telpon genggam yang
biasa menemani hari-hariku. Aku tak tahu untuk apa ucapan itu. Untuk
sebuah rasa didalam relung hati yang dia anggap suatu kebahagiaan besar
bertajuk rasa syukur ataukah kerinduan yang membuat jiwanya membisu
untuk berlari dari apa yang sedang menjelma dikedalaman sana!? Ah,
sudahlah, jangan pikirkan hal-hal yang telah berlalu, dan terukir indah
diatas kanvas kenangan masa lalu. Sungguhpun semuanya telah sirna
dimakan rayap-rayap waktu yang terus berdenting mengibaskan
keangkuhannya.
Bagiku, Fiyyani adalah sosok
perempuan yang sungguh menakjubkan. Ya, Dia telah menjelma sebagai
seorang Juliet, dan aku sebagai Romeonya, meski mungkin yang terjadi
adalah sebaliknya. Atau, akulah seorang Adam yang terus melangkah
menyisir garis bumi untuk menemukan sang hawa yang telah tuhan
peruntukkan bagi cinta, penggenap rasa yang terus bergejolak didalam
bathinku.
Aku terbungkam membisu dan tidak tahu
harus berkata apa kepadanya yang telah datang Meruntuhkan hatiku dari
bangunan teori-teori dan prinsip relatifitas ataupun absolutifitas dari
para pakar dan teroritikus handal. Mungkin karena aku tidak pernah
sekolah, atau terlalu bodoh untuk mendefinisikan semua itu. Apakah
semua kisah akan mengawali ceritra indah antara aku dengannya hanya
dengan sebuah sapaan lembut dimalam pekat berselimut keheningan tebal,
ketika waktu seakan tak berjarak antara jiwaku dan senyumannya yang
lembut itu dikejauhan sana, dan ruang menjadi hinggap pada dentingan
waktu yang tak lagi pasti?
“Cinta adalah sebuah
pengorbanan dan keihlasan” ujar Fiyyani satu hari saat aku berdiri
didepan wanita cantik berkulit putih dengan balutan jilbab putih yang
bertengger diatas kepalanya. Waktu itu kami menikmati suasana malam
yang indah ditaman rumah sambil berbagi cerita terkadang canda dan
tawa. Dan aku hanya tertawa mendengar ungkapan polosnya yang berceritra
arti cinta yang sesungguhnya, bak seorang filosuf handal yang merenungi
makna cinta. Aku benar-benar tak mampu lagi menahan tawa bak seorang
pendengar ceritra lelucon yang menghempaskan jiwa dengan tutur kocak
penuh canda dan tawa.
“Ah, kau seorang penyair cinta” jawabku.
“Iya
mas, kau telah membuatku mengabdikan diri pada cinta ini. Tahu nggak,
aku telah kehabisan kata-kata untuk menuturkan segala rasa?”
“Mengapa
semuanya menjadi sulit?” tanyaku kepadanya, seolah-olah ingin menelusuk
masuk kedalam rahasia bathin yang tersimpan didalam jiwanya tentang
cinta yang sulit untuk kumengerti, apalagi untuk dimaknai, dikedalaman
sana.
“Entahlah. Aku sebenarnya cemburu padamu
yang bisa memaknai cinta” ungkap Fiyyani, manja. Wajahya merunduk,
mengatup bak bunga yang sedang menyimpan aroma segar dari kelopaknya.
Sepertinya perasaan malu telah membuatnya tak berkutik untuk mengatakan
sepatah apapun yang begitu indah untuk diceritakan, seperti hendak
menyembunyikan sesuatu namun tak kuasa. Ah, mungkin juga analisaku
salah, ah, mungkin aku hanya bisa mengestimasi dari apa yang bisa aku
tangkap dari cukilan-cukilan kata.
“Ya sudah,
apapun itu, sungguh aku sangat menyayangimu. Kaulihat bintang yang
sedang melintasi garis cakrawala itu gak?” tanyaku kepada Fiyyani yang
saat itu bermandikan rasa malu bercampur harap saat mendengar ungkapan
tulus dari dalam bathinku.
Fiyyani mendongak
mencari bintang jatuh yang sedang melintasi cakrawala. Mencari-cari,
lalu ia berkata kepadaku. “Bintang yang mana mas? Aku tidak melihatnya?”
“Yang
itu tuuuch. Dinda sudah melihatnya kaan?” Jari telunjukku mencoba
menuntun bola matanya untuk melihat keindahan malam yang tak terkira,
seakan-akan akupun sedang menuntun jiwanya untuk bersimpuh pada getaran
sukma untuk berdoa disaat semesta menyuguhkan panorama yang sungguh
indah, sulit untuk dilukiskan kata-kata. Begitulah yang aku tahu,
berdoa disaat gejala alam menampakkan keindahannya, Tuhan yang Maha
Pemurah akan benar-benar membuka pintu rahmatnya bagi jiwa-jiwa yang
tergetar hatinya untuk menuturkan seuntai pengharapan kepada Yang Maha
Kuasa.
***>>***
Aku
seharusnya ingin tetap bersamanya, dan bahkan berusaha melarikan diri
dari tempat jauh yang telah memisahkanku dengan raga seorang yang
begitu aku cintai. Bukan aku tak kuat berada ditempat jauh ini, sekali
lagi bukan karena alasan itu, tapi hari-hari yang kulalui terasa
semakin berat ketika berjauhan dengannya, mungkinkah aku sedang merindu
ataukah cinta telah membuatku masuk kedalam keindahan untuk selalu
memanjakan wajah Fiyyani didalam labirin jiwaku atau mungkin
menyebutnya disetiap ungkapan tulus dalam lirik doaku, berharap Sang
Kasih memepersatukan kita dalam rajutan makna terindah mahkota cinta.
Ya, sebab rindu bukan hanya membuat seseorang terhunus geletar yang
berdesir lembut didalam rongga dada, namun juga mampu mengantarkan
imajinasi seseorang memasuki taman surga, tapi juga adalah realitas
saat jiwa telah sepenuhnya terpaut rasa. Yang menusuk-nusuk bak seorang
pasien yang sedang mengidap angina.
Terkadang
dalam malamku, merenung sejenak akan kisah yang terus berjalan antara
aku dengan Fiyyani. Mungkin dia adalah sosok orang yang muncul pada
ruang dan waktu dan tak pernah alpa dalam ungapan do’aku. Seperti
sebuah garis tebal yang menempel di lukisan monalisa. Indah, dan
menyimpan sejuta rahasia didalamnya.
Terkadang
pula batinku mengadu, “Maafkan aku kasihku, jikalau aku harus
meninggalkanmu dan berjarak oleh ruang dan waktu. Sungguh bukan niatan
hati ini untuk menjauh darimu. Barangkali ini adalah suaratan takdir
yang harus kita terima untuk bisa lebih dewasa dan berfokus dalam
mengukir cita-cita.” Aku tak kuasa membuka setiap senyumanmu yang
tersimpan didalam layar handphone-ku, sungguh tak sanggup menanggungkan
kerinduan yang sedang bergejolak dalam hatiku. Dan tahukah engkau wahai
kekasihku, jika bermalam-malam ditempat ini, seakan-akan batinku
berkata lantang dan mencoba menggedorku dengan kenangan indah akan
hari-hari saat bersamamu, hari-hari seekor kumbang yang terus mendekati
kelopak bunga dengan cinta yang membara.
***>>***
Aku
benar-benar dihinggapi rasa kebingungan dengan semua ini. Mengapakah
sosok seorang yang aku cintai begitu kokoh saat aku berada diruang dan
waktu yang terpisah dengannya. Dengan ikhlas ia merelakanku untuk bisa
meraih mimpi yang sedang bercokol dalam harapanku.
Suatu
waktu, handpone-ku bergetar, pertanda ada panggilan masuk dari seorang
yang aku kenal, bahkan sangat aku mengenalinya. Dari pembicaraan
panjang antara aku dengannya, ada sepatah kata yang begitu sulit
terlupakan oleh ingatanku dan tak pernah ada niatan batinku untuk
melupakannya, “Mas... Dinda sangat merindukanmu. Ingin rasanya
menikmati suasana seperti dulu.” Batinku tergetar mendengar isak
kerinduannya yang sedang mendorongku untuk merangkul jiwanya, bersama
lantas terbang mengitari semesta. Ingin aku menuturkan sesuatu
kepadanya namun aku malu, “ mengapa engkau tak menangis saja, biar air
mata itu meruntuhkan seluruh beban kerinduanmu?” Sungguh aku tak berani
mengatakannya. Aku tahu Fiyyani, kekasihku adalah seorang wanita yang
melekat dengan senyuman indah saat kebahagiaan maupun kesedihan sedang
mencungkil kehidupannya. Yang aku tahu, ia wanita yang sungguh tegar
dalam menjalani segala aral yang terbentang didepan mata. Keep spirit
for our life better
Sabtu, 30 Juni 2012
Selasa, 26 Juni 2012
Abadikanlah cinta ini dalam keindahan sebagaimana engkau telah mengabadikan keindahan disetiap ciptaanMu
Ombak berlarian mencapai pesisir pantai. Buih-buih ombak
menyuarakkan teriakannya kemudian menghilang disambut teriakan baru
yang terus berdebam, seperti sorak-sorai yang tak pernah kunjung usai.
Ketika Vhya dan Amnaniya. Dua orang sahabat karib menatap mentari yang
kian memerah memuncakkan warna mega kuning diujung cakrawala diufuk
timur sana. Matahari perlahan-lahan memunculkan wajah aslinya dari
dasar lautan, tepat di ujung laut sebelah timur, dikejauhan sana. Lalu
beranjak dari peraduannya perlahan-lahan menjunjung sinarnya keatas
angkasa, mengimbangi lambaian nyiur-nyiur yang berdiri tegak sepanjang
pesisir pantai sambil mengibaskan kelembutannya menyambut pagi.
Di tepi laut itu, Dua sahabat karib berjalan mengejar buih putih yang dipersembahkan oleh sang ombak di antara pasir putih yang tak kunjung bosan-bosannya menyambut tarian samudra. Mereka berdua sama sekali tidak menghiraukan burung camar yang meliuk-liuk diantara mega yang memulai memudar yang kini menampakkan wajah cerah membusung diatas cakrawala, menyembunyikan kemerlap bintang kejora yang sudah semalaman menemani tidur lelap manusia. Sesekali suara ombak dan liuk-liuk suara burung camar memekikkan telingga dengan suara lantang menyambut panorama alam yang bertutur keindahannya dipagi hari.
“Kamu merasa senang berada ditempat ini gak?” kata Amnaniya mencoba mencairkan suasana pagi diantara liuk-liuk langkah sabat karibnya. Tegur sapa Amnaniya berhasil memecah kesunyian.
“Ya, senang sekali, tumben saya bisa menikmati suasana pagi dipinggir pantai ini. Setelah lama meninggalkan keindahannya Sejak diperantauan. Entah kapan lagi saya bisa menikmati keindahan seperti ini. Kalau kamu bagaimana?” jawab Vhya singkat. Sesingkat cerita yang telah berjalan dipagi buta. Walaupun suara Vhya tidak terdengar seriang nada ombak yang sahut menyahut dipinggir pantai yang menandakan gejolak kegembiraan tiada tara, namun suara tersebut menyusup masuk kedalam rasa yang mempertemukan mereka sebagai seorang sahabat.
“Yaaach, Lumayan juga sich, walau setiap minggunya saya menikmati suasana seperti ini. Sebenarnya yang membuat suasana pagi kali ini berbeda ada satu lho... tahu gak??? Senyumanmu.. lumayan, sudah lama kita tidak bertemu semenjak keberangkatanmu ke tanah perantauan.” Jawab Amnaniya. Mencoba menelusuk masuk kedalam kerinduan yang telah terbangun diantara jari-jemari persahabatan mereka. kini mereka pun mulai lagi terbawa ke alam bawah sadar masing-masing. Menguak ceritra masa lalu. Terkadang Menghayalkan dan memikirkan sesuatu yang bakal terjadi atau sama sekali tidak akan pernah terjadi. Sambil terus melangkahkan kaki menjauhi keramaian. Keramaian yang penuh dengan suara bising dan hingar bingar khas kehidupan perkotaan yang tak mengenal keheningan.
Amnaniya tidak peduli lagi dengan langkahnya yang semakin jauh. Setapak demi setapak yang meninggalkan bekas dan kemudian di sapu oleh ombak yang kian mendekati bibir pantai.
“Amnani.... tunggu dooonk...” seru Vhya...
“Waaah, jalannya lemot sich,, buruan.” Teriak Amnaniya.
Langkah Vhya berderu mengimbangi tarian ombak, menyeruakkan kerinduan, mendekati sang sahabat yang telah lama tak menatap wajahnya.
“Mmmmm, jalannya cepat banget sich.” Kata Vhya.
“Iya dooonk. Hari gini jalan lemot, bakal ketinggalan kereta dech.”
“Kamu tahu gak,,, Ternyata Salim CLBK lagi lho sama Rima.” Lanjut Amnaniya, mengingatan cungkilan kisah masa lalu yang sudah usang ditutupi debu-debu masa kini, dan kini kembali menyeruak kepermukaan dalam bingkai ceritra yang terkadang membawa imajinasi seakan-akan sedang duduk dipangkuan masa lalu.
“Masa sich, Yang benar sajja dech?”. Vhya seakan-akan tidak percaya kabar terbaru sahabat lama yang ia tinggalkan merantau. Sosok seorang Salim yang pernah mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Namun Vhya lebih memlih untuk berdiam diri, tak memberi jawaban sepatah katapun kepada Salim; sahabat dekatnya sejak duduk dibangku SMA. Bathinnya tahu dan benar-benar menyadari kesalahan besar yang akan diperbuatnya jika menerima seorang salim; sahabat dekatnya. Batinnya menasihati; tak akan mungkin tega untuk menyakiti hati sahabatnya yang sudah lebih dahulu menjalin hubungan dengan Salim. Rima, wanita yang pernah ada dihati salim, wanita niaf yang seringkali diacuhkan oleh salim, laki-laki bertubuh atletis, wajah ovale khas aktor korea yang banyak dikagumi para wanita se-saentro pertiwi.
Sebenarnya bukan alasan itu yang membuat Vhya harus terdiam dan tak memberi jawaban sepatah atau dua patah kata. Sesungguhnya, jauh menelusuk dalam ruang bathin yang paling dalam. Ada kisah yang tak mungkin terlupakan olehnya. Ada getaran yang tak mungkin terbahasakan selain kehalusan jiwanya untuk mengatakan sejujurnya apa yang sedang dirasa didalam jiwa.
“Mereka jadian lagi lho... Maklum, Rima nggak mungkin melepas cowok seganteng Salim.” Jawab Amnaniya.
“Tapi kaan... Rima sudah seringkali disakiti. Kaan kasihan banget kalau terus-terusan kayak begini terus kisah cinta mereka.” Seakan-akan Vhya tidak percaya, tapi apa mau dikata. Rasa empati berselimutkan simpati kepada sahabat dekatnya; rima, hanya sekedar empati memelas wajah kasihan belaka, yang terjadi tetaplah terjadi tanpa bisa menghadangnya dengan kekuatan tubuh kasar yang tak lagi berdaya.
“sudahlah... kelihatannya Salim sudah taubat tuuuch. Kayaknya sifat playboy-nya sudah kagak laku lagi, makanya dia balik lagi sama Rima. Tahu gak?!?!? Tiga bulan yang lalu, salim nembak Eny, temannya Hikmi, anak kelas ipa yang terkenal cantiknya itu lhooo, tapi Salim ditolak mentah-mentah. Jadi wajar kalau Salim harus tahu diri. Masa pacarnya sendiri disia-siakan kayak gitu. Kayak gak mengerti perasaan cewek. Huuuh”
“ooooo, Salim habis nembak Eny yach. Ckckck. Kayaknya saya jadi korban juga nich. Tapi syukurlah gak kebawa rayuan gombal salim.” Celetuk Vhya, manja.
“Maksudnya gemana nich??? Cerita dooonk” raut wajah Amnaniya berdecak penasaran, suaranya memelas lembut.
“Begini ceritanya, enam bulan yang lalu, Salim sering colak-colek lewat facebook. Perhatian banget pokoknya. Kirim pesan lewat inbox, tempel ini-itu didinding fb. Eeeh, tiba-tiba seminggu kemudian dia ungkapin perasaannya. Tapi nggak tak respon sich, kasihan rima. Jarang lho ada cewek sesabar rima.”
“Ooooo,,, ternyata vhya jadi targetnya yach? Hahahaha”
“Lhoooo, kok tertawa sich??? Ada yang aneh?”
“nggak aneh sich. Iya lucu ajja. Ternyata diam-diam Salim suka sama vhya.”
“Uuuups, jangan salah. Nggak salim doank kok yang suka. Cowok-cowok dikelas kita dulu banyak yang ungkapin perasaanya lewat fb lhooo. Mereka berani ungkapin perasaan setelah berpisah. Mmmm, kagak usah heran, maklum artis. Hahahahaha.” Gelegak tawa Vhya memekik teriakan sang ombak dilautan lepas. Sisa langkah mereka terhapus sudah oleh air laut yang datang mengusap lembut pesisir pantai, seakan-akan sedang mencoba menarik kaki dua sahabat yang sedang asyik menikmati suasana pagi dipesisir pantai labuhan hajji, pesisir pantai yang keindahannya tidak diragukan lagi oleh para pelancong dari dalam dan luar negeri, khususnya para pelancong dari negeri seberang; Mamben, para pelancong yang tidak pernah ketinggalan dalam menikmati suasana alam.
Semburat mega telah sirna tak bersisa, cahaya terang sang mentari pagi memenuhi jagad semesta, menyapa alam untuk memulai kisah dipagi hari dengan sentuhan lembut keceriaan bak mentari pagi terbit dalam rengkuh semangat yang tak pudar hingga senja datang menyapa. Dan bersama pasir putih yang ikhlas dijamah oleh sentuhan lidah-lidah ombak dan membawanya menuruni bibir pantai, bersama kesetiaan yang tak pernah hilang antara kasih sang obak dan ketulsan pesisir yag tak pernah jemu untuk bercumbu.
“Vhya... pulang yuuuks, sudah siang nich.” Seru Amnaniya.
“Bentar lagi... Asyiii nich. Iiii, ada kepiting nich. Coba lihat, imuut lhooo.”
“iiiiih, kayak orang yang nggak pernah lihat ajja. Tak tunggu diparkiran yach... okey!!!”
“Okey..”
Vhya tak jua meninggalkan jejak kakinya dipesisir pantai, seakan-akan ia telah tersihir oleh keindahannya atau mungkin ada alasan lain yang membuatnya tak beranjak pergi dari keindahan deru ombak yang semakin hangat dalam sentilan suara merdunya yang berdebam tak kenal henti.
“Mas Afid, masih ingat di mana kita pertama kali bertemu, gak. Sekarang Vhya sedang menikmati indahnya suasana pagi seperti kita pernah menikmatinya dua tahun yang lalu.” Guamnya lembut dalam relung hati. Mata Vhya menerawang bebas menatap apapun yang bertengger didepan kelopak mata. Seolah-olah ia sedang berkata dengan seorang yang begitu dikenalnya. Namun entah itu siapa. Hanya ada batu karang yang tercecer ditemani oleh lambaian daun nyiur yang meliuk dan menari menyongsong pagi. Barangkali itu sekedar lamunan dan bahkan benar-benar khayalan imajinasi yang sedang bergejolak, tersemburkan semburat rindu, lepas mengisi kehidupannya masa kini.
Vhya berdiri tegak diatas pasir putih dipesisir pantai, memancing semua kenangan dengan mengingatkan sejarah penting antara dirinya dan Afid; laki-laki yang sangat dicintainya yang saat ini sedang duduk dibangku kuliah, semester delapan, fakultas kedokteran di jakarta. Mengingatkan kejadian dua tahun yang lalu yang membuat vhya mengenal Afid lebih dalam lagi. Yang menyiratkan butiran-butiran cinta sejak ungkapan perasaan hati antara mereka dipesisir pantai itu.
Dan yang membawa Vhya kembali mengenang masa-masa itu dipagi ini atas nama cinta, iya benar-benar atas nama cinta. Seakan-akan Vhya mencoba menghidupkan kembali lentera kenangan yang telah berlalu yang menurut sukma jiwanya sangat manis dan kenangan yang teramat manis untuk dilupakan.
“Ya,.. kita pertama kali mengungkapkan rasa ditempat ini, dipantai ini persis seperti ini. Saat langit bermandikan semburat mega keemasan. Itulah awal dari semuanya ini, awal dari kisah cinta kita. Kanda...” gumam Vhya, dalam hati. Lagi lagi ia berbicara lirih dengan aroma segar masa lalu yang bangkit kembali kepermukaan jiwanya. Ia terus menatap lepas merasakan keindahan alam yang menari bersama kenangan indah kisah kasihnya dengan Afid; laki-laki bermata sipit, kulit putih dan rambut hitam lurus. Sesekali ia melemparkan batu karang kelautan lepas yang memunculkan percikan air yang tak berarti Dan menghentikan langkah dan menatap jauh ketengah deburan ombak di tengah laut yang sangat jauh. Jauh sekali. Sampai Vhya tidak mengerti seberapa jauh pandangan mata memandang. Memang itulah pertemuan kita, batin Vhya berujar lugas membenarkan ucapannya yang sedang mencoba merasuk memori emas yang tak pernah tergantikan.
Saat Sang lentera terus memuncakkan diri dengan kehangatan tegur sapanya memenuhi jagat dan lidah ombak yang menghiasi laut serta nyanyian camar yang terus berderu, Vhya mencoba memejamkan mata, menarik nafas perlahan merasakan keindahan yang sedang menjamah jiwanya dalam-dalam. Dengan lirih batinnya berbicara dengan mesra, menyampaikan seutas doa sederhana; “Tuhan, abadikanlah cinta kami ini dalam keindahan sebagaimana engkau telah mengabadikan keindahan dan keagunganmu disetiap ciptaan-Mu.”
Sebenarnya Vhya tidak ingin mengingatkan masa silam yang penuh dengan kenangan, masa lalu yang sudah terpatri dengan damai laksana lukisan indah para malaikat keindahan yang diutus tuhan dipuncak gunung Rinjani. Namun Vhya hanya ingin memecah keheningan yang menghinggapi relung bathinnya dalam kerinduan yang tak terkira, dipinggir pantai ini beserta seluruh cinta yang berbicara dalam bahasa pengharapan dan sentuhan lembut kasih sayang dalam kerinduan yang memekik keteduhan bagi sang jiwa. Keep spirit for our life better...
Di tepi laut itu, Dua sahabat karib berjalan mengejar buih putih yang dipersembahkan oleh sang ombak di antara pasir putih yang tak kunjung bosan-bosannya menyambut tarian samudra. Mereka berdua sama sekali tidak menghiraukan burung camar yang meliuk-liuk diantara mega yang memulai memudar yang kini menampakkan wajah cerah membusung diatas cakrawala, menyembunyikan kemerlap bintang kejora yang sudah semalaman menemani tidur lelap manusia. Sesekali suara ombak dan liuk-liuk suara burung camar memekikkan telingga dengan suara lantang menyambut panorama alam yang bertutur keindahannya dipagi hari.
“Kamu merasa senang berada ditempat ini gak?” kata Amnaniya mencoba mencairkan suasana pagi diantara liuk-liuk langkah sabat karibnya. Tegur sapa Amnaniya berhasil memecah kesunyian.
“Ya, senang sekali, tumben saya bisa menikmati suasana pagi dipinggir pantai ini. Setelah lama meninggalkan keindahannya Sejak diperantauan. Entah kapan lagi saya bisa menikmati keindahan seperti ini. Kalau kamu bagaimana?” jawab Vhya singkat. Sesingkat cerita yang telah berjalan dipagi buta. Walaupun suara Vhya tidak terdengar seriang nada ombak yang sahut menyahut dipinggir pantai yang menandakan gejolak kegembiraan tiada tara, namun suara tersebut menyusup masuk kedalam rasa yang mempertemukan mereka sebagai seorang sahabat.
“Yaaach, Lumayan juga sich, walau setiap minggunya saya menikmati suasana seperti ini. Sebenarnya yang membuat suasana pagi kali ini berbeda ada satu lho... tahu gak??? Senyumanmu.. lumayan, sudah lama kita tidak bertemu semenjak keberangkatanmu ke tanah perantauan.” Jawab Amnaniya. Mencoba menelusuk masuk kedalam kerinduan yang telah terbangun diantara jari-jemari persahabatan mereka. kini mereka pun mulai lagi terbawa ke alam bawah sadar masing-masing. Menguak ceritra masa lalu. Terkadang Menghayalkan dan memikirkan sesuatu yang bakal terjadi atau sama sekali tidak akan pernah terjadi. Sambil terus melangkahkan kaki menjauhi keramaian. Keramaian yang penuh dengan suara bising dan hingar bingar khas kehidupan perkotaan yang tak mengenal keheningan.
Amnaniya tidak peduli lagi dengan langkahnya yang semakin jauh. Setapak demi setapak yang meninggalkan bekas dan kemudian di sapu oleh ombak yang kian mendekati bibir pantai.
“Amnani.... tunggu dooonk...” seru Vhya...
“Waaah, jalannya lemot sich,, buruan.” Teriak Amnaniya.
Langkah Vhya berderu mengimbangi tarian ombak, menyeruakkan kerinduan, mendekati sang sahabat yang telah lama tak menatap wajahnya.
“Mmmmm, jalannya cepat banget sich.” Kata Vhya.
“Iya dooonk. Hari gini jalan lemot, bakal ketinggalan kereta dech.”
“Kamu tahu gak,,, Ternyata Salim CLBK lagi lho sama Rima.” Lanjut Amnaniya, mengingatan cungkilan kisah masa lalu yang sudah usang ditutupi debu-debu masa kini, dan kini kembali menyeruak kepermukaan dalam bingkai ceritra yang terkadang membawa imajinasi seakan-akan sedang duduk dipangkuan masa lalu.
“Masa sich, Yang benar sajja dech?”. Vhya seakan-akan tidak percaya kabar terbaru sahabat lama yang ia tinggalkan merantau. Sosok seorang Salim yang pernah mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Namun Vhya lebih memlih untuk berdiam diri, tak memberi jawaban sepatah katapun kepada Salim; sahabat dekatnya sejak duduk dibangku SMA. Bathinnya tahu dan benar-benar menyadari kesalahan besar yang akan diperbuatnya jika menerima seorang salim; sahabat dekatnya. Batinnya menasihati; tak akan mungkin tega untuk menyakiti hati sahabatnya yang sudah lebih dahulu menjalin hubungan dengan Salim. Rima, wanita yang pernah ada dihati salim, wanita niaf yang seringkali diacuhkan oleh salim, laki-laki bertubuh atletis, wajah ovale khas aktor korea yang banyak dikagumi para wanita se-saentro pertiwi.
Sebenarnya bukan alasan itu yang membuat Vhya harus terdiam dan tak memberi jawaban sepatah atau dua patah kata. Sesungguhnya, jauh menelusuk dalam ruang bathin yang paling dalam. Ada kisah yang tak mungkin terlupakan olehnya. Ada getaran yang tak mungkin terbahasakan selain kehalusan jiwanya untuk mengatakan sejujurnya apa yang sedang dirasa didalam jiwa.
“Mereka jadian lagi lho... Maklum, Rima nggak mungkin melepas cowok seganteng Salim.” Jawab Amnaniya.
“Tapi kaan... Rima sudah seringkali disakiti. Kaan kasihan banget kalau terus-terusan kayak begini terus kisah cinta mereka.” Seakan-akan Vhya tidak percaya, tapi apa mau dikata. Rasa empati berselimutkan simpati kepada sahabat dekatnya; rima, hanya sekedar empati memelas wajah kasihan belaka, yang terjadi tetaplah terjadi tanpa bisa menghadangnya dengan kekuatan tubuh kasar yang tak lagi berdaya.
“sudahlah... kelihatannya Salim sudah taubat tuuuch. Kayaknya sifat playboy-nya sudah kagak laku lagi, makanya dia balik lagi sama Rima. Tahu gak?!?!? Tiga bulan yang lalu, salim nembak Eny, temannya Hikmi, anak kelas ipa yang terkenal cantiknya itu lhooo, tapi Salim ditolak mentah-mentah. Jadi wajar kalau Salim harus tahu diri. Masa pacarnya sendiri disia-siakan kayak gitu. Kayak gak mengerti perasaan cewek. Huuuh”
“ooooo, Salim habis nembak Eny yach. Ckckck. Kayaknya saya jadi korban juga nich. Tapi syukurlah gak kebawa rayuan gombal salim.” Celetuk Vhya, manja.
“Maksudnya gemana nich??? Cerita dooonk” raut wajah Amnaniya berdecak penasaran, suaranya memelas lembut.
“Begini ceritanya, enam bulan yang lalu, Salim sering colak-colek lewat facebook. Perhatian banget pokoknya. Kirim pesan lewat inbox, tempel ini-itu didinding fb. Eeeh, tiba-tiba seminggu kemudian dia ungkapin perasaannya. Tapi nggak tak respon sich, kasihan rima. Jarang lho ada cewek sesabar rima.”
“Ooooo,,, ternyata vhya jadi targetnya yach? Hahahaha”
“Lhoooo, kok tertawa sich??? Ada yang aneh?”
“nggak aneh sich. Iya lucu ajja. Ternyata diam-diam Salim suka sama vhya.”
“Uuuups, jangan salah. Nggak salim doank kok yang suka. Cowok-cowok dikelas kita dulu banyak yang ungkapin perasaanya lewat fb lhooo. Mereka berani ungkapin perasaan setelah berpisah. Mmmm, kagak usah heran, maklum artis. Hahahahaha.” Gelegak tawa Vhya memekik teriakan sang ombak dilautan lepas. Sisa langkah mereka terhapus sudah oleh air laut yang datang mengusap lembut pesisir pantai, seakan-akan sedang mencoba menarik kaki dua sahabat yang sedang asyik menikmati suasana pagi dipesisir pantai labuhan hajji, pesisir pantai yang keindahannya tidak diragukan lagi oleh para pelancong dari dalam dan luar negeri, khususnya para pelancong dari negeri seberang; Mamben, para pelancong yang tidak pernah ketinggalan dalam menikmati suasana alam.
Semburat mega telah sirna tak bersisa, cahaya terang sang mentari pagi memenuhi jagad semesta, menyapa alam untuk memulai kisah dipagi hari dengan sentuhan lembut keceriaan bak mentari pagi terbit dalam rengkuh semangat yang tak pudar hingga senja datang menyapa. Dan bersama pasir putih yang ikhlas dijamah oleh sentuhan lidah-lidah ombak dan membawanya menuruni bibir pantai, bersama kesetiaan yang tak pernah hilang antara kasih sang obak dan ketulsan pesisir yag tak pernah jemu untuk bercumbu.
“Vhya... pulang yuuuks, sudah siang nich.” Seru Amnaniya.
“Bentar lagi... Asyiii nich. Iiii, ada kepiting nich. Coba lihat, imuut lhooo.”
“iiiiih, kayak orang yang nggak pernah lihat ajja. Tak tunggu diparkiran yach... okey!!!”
“Okey..”
Vhya tak jua meninggalkan jejak kakinya dipesisir pantai, seakan-akan ia telah tersihir oleh keindahannya atau mungkin ada alasan lain yang membuatnya tak beranjak pergi dari keindahan deru ombak yang semakin hangat dalam sentilan suara merdunya yang berdebam tak kenal henti.
“Mas Afid, masih ingat di mana kita pertama kali bertemu, gak. Sekarang Vhya sedang menikmati indahnya suasana pagi seperti kita pernah menikmatinya dua tahun yang lalu.” Guamnya lembut dalam relung hati. Mata Vhya menerawang bebas menatap apapun yang bertengger didepan kelopak mata. Seolah-olah ia sedang berkata dengan seorang yang begitu dikenalnya. Namun entah itu siapa. Hanya ada batu karang yang tercecer ditemani oleh lambaian daun nyiur yang meliuk dan menari menyongsong pagi. Barangkali itu sekedar lamunan dan bahkan benar-benar khayalan imajinasi yang sedang bergejolak, tersemburkan semburat rindu, lepas mengisi kehidupannya masa kini.
Vhya berdiri tegak diatas pasir putih dipesisir pantai, memancing semua kenangan dengan mengingatkan sejarah penting antara dirinya dan Afid; laki-laki yang sangat dicintainya yang saat ini sedang duduk dibangku kuliah, semester delapan, fakultas kedokteran di jakarta. Mengingatkan kejadian dua tahun yang lalu yang membuat vhya mengenal Afid lebih dalam lagi. Yang menyiratkan butiran-butiran cinta sejak ungkapan perasaan hati antara mereka dipesisir pantai itu.
Dan yang membawa Vhya kembali mengenang masa-masa itu dipagi ini atas nama cinta, iya benar-benar atas nama cinta. Seakan-akan Vhya mencoba menghidupkan kembali lentera kenangan yang telah berlalu yang menurut sukma jiwanya sangat manis dan kenangan yang teramat manis untuk dilupakan.
“Ya,.. kita pertama kali mengungkapkan rasa ditempat ini, dipantai ini persis seperti ini. Saat langit bermandikan semburat mega keemasan. Itulah awal dari semuanya ini, awal dari kisah cinta kita. Kanda...” gumam Vhya, dalam hati. Lagi lagi ia berbicara lirih dengan aroma segar masa lalu yang bangkit kembali kepermukaan jiwanya. Ia terus menatap lepas merasakan keindahan alam yang menari bersama kenangan indah kisah kasihnya dengan Afid; laki-laki bermata sipit, kulit putih dan rambut hitam lurus. Sesekali ia melemparkan batu karang kelautan lepas yang memunculkan percikan air yang tak berarti Dan menghentikan langkah dan menatap jauh ketengah deburan ombak di tengah laut yang sangat jauh. Jauh sekali. Sampai Vhya tidak mengerti seberapa jauh pandangan mata memandang. Memang itulah pertemuan kita, batin Vhya berujar lugas membenarkan ucapannya yang sedang mencoba merasuk memori emas yang tak pernah tergantikan.
Saat Sang lentera terus memuncakkan diri dengan kehangatan tegur sapanya memenuhi jagat dan lidah ombak yang menghiasi laut serta nyanyian camar yang terus berderu, Vhya mencoba memejamkan mata, menarik nafas perlahan merasakan keindahan yang sedang menjamah jiwanya dalam-dalam. Dengan lirih batinnya berbicara dengan mesra, menyampaikan seutas doa sederhana; “Tuhan, abadikanlah cinta kami ini dalam keindahan sebagaimana engkau telah mengabadikan keindahan dan keagunganmu disetiap ciptaan-Mu.”
Sebenarnya Vhya tidak ingin mengingatkan masa silam yang penuh dengan kenangan, masa lalu yang sudah terpatri dengan damai laksana lukisan indah para malaikat keindahan yang diutus tuhan dipuncak gunung Rinjani. Namun Vhya hanya ingin memecah keheningan yang menghinggapi relung bathinnya dalam kerinduan yang tak terkira, dipinggir pantai ini beserta seluruh cinta yang berbicara dalam bahasa pengharapan dan sentuhan lembut kasih sayang dalam kerinduan yang memekik keteduhan bagi sang jiwa. Keep spirit for our life better...
Selasa, 19 Juni 2012
Melukis pelangi kehidupan diatas kanvas ketulusan Yuuuks
Betapa banyak ragam
penilaian terhadap diri sendiri dalam bentuk yang terlintas didalam
indra penglihatan atau indra lainnya, namun jarang sekali kita
menilainya dalam penilaian yang lebih bermakna terhadap diri sendiri
dan orang lain, dan penilaian yang lebih tinggi dimata Tuhan Sang
Pencipta Alam semsta ini. Memberikan orang lain sesuatu yang
dibutuhkan tentu saja sangat bermakna, namun jika saja pemberian itu
hanya untuk melonjakkan nama besar atau hanya ingin dipandang sebagai
orang baik dimata orang lain, apalah artinya sebuah pemberian jika
dibarengi kesombongan dan atau beragam sikap negative lainnya.
Memiliki predikat terbaik dimata diri sendiri dan orang lain adalah
sesuatu yang mampu mencitrakan diri kita dimasa sekarang dan juga
esok hari, namun jika saja predikat itu justru berdampak negatif bagi
perkembangan kesadaran jiwa kita dimasa mendatang.
Apalah arti semua
itu jika tidak memberikan sesuatu yang lebih positif bagi pertumbuhan
diri kita dimasa mendatang. Tentu saja hal serupa terjadi dalam kisah
kehidupan lain disetiap harinya. Jadi sesungguhnya apa yang
sebenarnya menjadi tolak ukur atas keberhasilan diri sendiri?
“Ketulusan”. Benarkah demikian? Mari sejenak kita renungkan
betapa berartinya sebuah ketulusan untuk melonjakkan nilai kebaikan,
meningkatkan kadar keberhasilan, memberdayakan potensi kesadaran dan
mempertemukan diri kita yang sesungguhnya pada pencapaian
keberhasilan ditengah kehidupan.
Ketulusan dalam menerima
kenyataan adalah tahapan yang pertama untuk kita bisa terus bertumbuh
disetiap harinya. Betapa tidak, sampai saat ini kita telah mampu
bertahan hidup sampai hari ini juga, semua itu tidak lain karena
ketulusan dalam menerima ragam peristiwa yang telah menimpa hidup
kita sampai saat sekarang ini. baik ataupun buruk, pahit ataupun
manis telah kita lalui, dan sampai saat ini kita telah membuktikan
bahwa ketulusan penerimaan membuat kita benar-benar belajar banyak
atas apa yang sesungguhnya sudah terlewatkan. Ketulusan penerimaan
telah membawa kita pada kehidupan sekarang. Diakui atau tidak,
ketulusan penerimaan inilah yang sesungguhnya cara tuhan menitipkan
proses sadar dalam diri kita untuk bisa mengaplikasikan potensi
alamiah yang ada dalam diri kita masing-masing. Dengan sendirinya
kita akan belajar dari ketulusan penerimaan itu sendiri. Namun
mengapa kita melupakan begitu saja peroses panjang tersebut?
Barangkali layak untuk
kita kaji tahapan-tahapan berikutnya agar kita tidak salah dalam
memahami arti sebuah pencapaian yang selama ini telah kita torehkan
diatas bentangan kehidupan. Betapa banyak orang yang telah mampu
melewati segala macam aral dan rintangan yang membentang ditengah
hidup ini namun nyatanya mereka melupkan begitu saja ragam peroses
disetiap peristiwa untuk bisa belajar darinya. Tentu saja hal ini
karena ketulusan pembelajaran telah kita lupakan. Ketulusan untuk
terus menerpa diri dalam rasa keingin tahuan yang kuat akan
benar-benar membentuk pencitraan ketulusan pembelajaran dalam diri
setiap individu, entah itu saya, anda dan juga mereka atau siapapun
juga.
Ketulusan pembelajaran
telah menjadikan sebagian besar mereka yang telah berhasil menjadi
seorang yang sangat peka terhadap perkembangan pun juga peka dalam
mengambil sebuah keputusan yang lebih matang karena mereka mampu
merekonstruksi pengalaman tersebut sehingga mereka tidak jatuh dalam
lubang kehidupan yang sama atau lubang kegamangan yang itu-itu saja;
keterhinaan. Bukankah kita seringkali jatuh dalam lubang kehidupan
yang sama: Keterhinaan, merasa bersalah, menghakimi diri sendiri dan
orang lain, dll? Semua itu terjadi berulang kali karena hilangnya
“ketulusan pembelajaran” dalam diri kita. Ketulusan untuk terus
belajar terhadap segala sesuatu yang baru agar kita tidak menjadi
manusia yang dikenal dengan istilah; keterbelakangan. Apalah artinya
kesuksesan yang ada digenggaman tangan kehidupan yang saat sekarang
ini menjadi sahabat sejati kita disetiap harinya, namun entah mengapa
peroses pencapaian kita lupakan begitu saja, seolah-olah kita tidak
tahu mengapa kita berada diatas puncak kehidupan.
Jika demikian adanya, kita
tidak lebih hitungannya dengan mereka yang mengharapkan sesuatu namun
mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah mereka terima.
Layakkah kita menuturkan keberhasilan bagi kehidupan orang lain agar
bisa termotifasi dalam hidupnya untuk mencapai tangga kehidupan yang
lebih tinggi dibandingkan kehidupan kita sekarang. Tentu saja semua
itu butuh peroses pencapaian, peroses berlangsung dalam hitungan
waktu, adalah ketulusan penerimaan dan pemahaman akan mengantarkan
kita memahami secara keseluruhan. Tulus dan Ikhlas disini tidaklah
terbatas dalam rangkuman pengertian didalam kamus yang tertulis dalam
bentuk sederhana, lebih dari itu, lebih layak kamus kehidupan inilah
yang akan mengartikan betapa luas makna yang dikandungnya.
Ketulusan pemahaman juga
akan mampu membentuk citra diri yang lemah lembut serta mampu
meresapi kebenaran dari segenap penjuru kehidupan tanpa harus melihat
dari siapa yang mengajarkannya. Mereka mampu merengkuhkan diri diatas
tahta tertinggi kehidupan dalam pemahaman yang luas menjadikan
kesuksesn mereka sangat berarti. Namun kita manusia kebanyakan belum
sepenuhnya meniti diri untuk terus belajar menjadi manusia Tulus dan
ikhlas, tulus dalam pemahaman. Betapa banyak kita mengukuhkan diri
menjadi manusia yang memiliki keterbelakangan, namun kita tidak
menyadarinya. Misalnya saja dalam bentuk realitas kehidupan setiap
harinya, Buktinya, banyak guru yang acuh tak acuh atas kebenaran yang
disampikan oleh peserta didik mereka yang usianya relative lebih muda
dari mereka. Mereka menganggap apa yang disampaikan hanya sebatas
semilir angin yang tak berarti apa-apa, bahkan terkadang kebenaran
itu membuat kuping terasa panas adanya. Begitu juga dengan contoh
lain dipojokan kehidupan lainnya.
Semua itu terjadi karena mereka
masih menggunakan baju keguruan atau baju apapun jua yang berlabelkan
ego. Berbeda halnya dengan guru kehidupan yang selalu dibungkus sikap
“ketulusan pembelajaran”. Dari siapapun mereka menerima kebaikan,
akan mereka terima seperti apa adanya tanpa penghakiman ego dalam
diri, layak jika kesuksesan akan terus bertumbuh dan menjadikan
mereka semakin berarti dimasa mendatang.
Tangga ketiga menuju
kehidupan bermakna tertata dalam tangga ketulusan jalan takdir. Semua
kita telah terlahir tanpa adanya campur tangan diri kita sendiri,
tanpa harus menginginkan diri kita seperti apa, bahkan orang tua kita
tidak pernah merancang kehidupan kita dimasa mendatang seperti apa
nantinya. Bukankah kita telah terlahir dari tangan kreatif takdir
tuhan, tentu saja semua kita adalah orang-orang sukses dalam hidup
ini, semua kita duduk dalam bagian masing-asing, jika memandang
kehidupan dalam kebermaknaan seperti ini, kita terlahir dalam
ketulusan untuk mengalir ditengah aliran air kehidupan tanpa
penghakiman yang berlebihan. Hanya saja kita berjalan dalam fitrah
kemanusiaan yang melekat dalam diri; bekerja, berdoa, berusaha, dan
beragam bentuk cara untuk tetap eksis ditengah hiruk-pikuk kehidupan
ini.
Ketulusan takdir inilah
yang telah membuat kita mampu memupuk kesuksesan lebih dari sekedar
kesuksesan tanpa makna. Kita terlahir untuk memupuk kesyukuran dalam
diri, menerima takdir tuhan tanpa penghakiman, tersenyum atas segenap
perolehan. Inilah ketulusan dan keikhlasan yang menopang kesadaran
untuk terus bertumbuh menjadi pencitraan diri yang agung disetiap
harinya.
Senin, 18 Juni 2012
Andai saja Tuhan gak berbuat baik kepada kita, apa jadinya hidup ini yach???
Betapa baiknya
Tuhan kepada kita, bukankah tuhan memberikan lebih banyak nikmat dari
apa yang sebenarnya kita butuhkan. Namun kenapa kita masih
saja merasa kurang cukup. Jangan-jangan kita sudah di jejali syndrome
kekurangan chronic. Kalau bergini terus, kapan kita akan merasa
berkecukupan dan membuka diri agar mau mensyukuri nikmat yang telah
tuhan berikan ini?.
Memang banyak
kekurangan yang kita miliki, namun bukan berarti kita tidak memiliki
kelebihan sama sekali dalam hidup ini. Mungkin hanya sekedar
perasaan kita saja yang merasa diri kurang. Padahal begitu
melimpahnya nikmat yang telah tuhan anugrahkan kepada kita semua tapi
tetap saja kita merasa ada yang kurang dalam diri ini. Entah
sampai kapan kita akan terus bersembunyi di balik label “kekurangan”
ini tanpa merasa cukup untuk terdorong hasrat dari dalam hati
mensyukuri segala karunia yang telah Tuhan berikan secara Cuma-Cuma.
Di zaman ini, siapa sich
yang bakal menolak jika di berikan sesuatu secara Cuma-Cuma alias
gratis.. wah, kalau hidup gratisan terus, enak banget tuch!!!. Tapi
apakah iya kita akan terus menadahkan tangan ke atas, mengharapkan
uluran tangan dari orang lain padahal kita sendiri memiliki
kemampuan, kekuatan dan potensi luar biasa untuk membuat hidup kita
jauh lebih baik. Mungkin saat ini kita kurang percaya diri
kepada kemampuan yang kita miliki hingga kita lebih sering melihat
ketidak mampuan kita di bandingkan potensi-potensi luar biasa yang
sebenarnya ada dan barangkali saat ini potensi luar biasa
tersebut sedang tidur lelap di dalam jiwa kita masing-masing.
Andai saja tuhan
mengambil kembali, atau dengan bahasa kasarnya mencabut salah
satu nikmat yang telah di berikannya kepada kita, mungkin kita akan
merasakan ada sesuatu yang kurang atau tidak beres dengan hidup kita
sendiri. Kebanyakan manusia akan lebih mengerti arti sesuatu
atas apa-apa yang dimiliki saat setelah kepemilikan itu tidak lagi
ada di genggaman tangan kehidupannya. Entah mengapa kita selalu
begitu, padahal tuhan telah memberikan segala sesuatu yang terbaik
kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya yang selalu di kasihinya.
Hanya saja kita
jarang sekali mencintai diri kita sendiri sehingga kita melupakan
naluri alamiah kita untuk mensyukuri apa yang kita miliki.
Jangan-jangan merasa diri kurang telah menjadi suatu yang membuat
kita terlena atau barangkali sifat demikian sudah menjadi habituatif
(menjadi suatu; kebiasaan) kita sehari-harinya? Cukup di jawab dalam
hati saja dech! Upppps, ntar ketahuan sama orang lain. Khan gak enak
banget tuch kalau ada yang tahu. Heeemmm…
Kita seringkali tidak
menyadari ketika mengatakan pada diri sendiri, saya kurang mumpuni
melakukan hal seperti itu, jadi mana bisa saya melakukannya
sebagaimana yang anda inginkan? Atau mungkin juga mengatakan
demikian; saya memiliki banyak sekali kekurangan di
bandingkan orang lain hingga saya sendiri tidak tahu hidup saya akan
menjadi seperti apa?.
Jika masih ada ungkapan
seperti itu menggaung keras dan selalu saja menghantui jiwa, kapan
lagi kita akan berani menampilkan diri dengan gagah berani dan
berucap demikian; “bahwa tuhan telah memberikan karunia
lebih atas hidup saya saat sekarang ini dan sampai kapanpun itu dan
akan selalu mensyukuri karunia tuhan ini.” Tuhan tidak
pernah mempersempit kehidupan kita, namun justru kita sendirilah yang
telah mempersempit ruang hidup kita sendiri.
Kita telah membuat
jeruji besi bagi kehidupan kita sendiri, dan kitalah jualah yang
bakal menikmati keterasingan ini. Saya teringat dengan kisah
beberapa tahun yang lalu, mengingatkan kembali cerita seorang sahabat
yang sedang menjalani masa tahanan di salah satu Rumah Tahanan Negeri
(RUTAN) di Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Salah seorang
klien yang saya anggap sudah menjadi sahabat, dia telah mau berbagi
banyak dengan saya tentang kehidupannya, mengapa dia harus terkukung
di balik jeruji besi.
Sahabat tersebut bercerita
banyak tentang mengapa ia sampai menikmati sisa hidupnya di balik
jeruji besi yang sangat tidak mengenakkan itu, ternyata semua itu
tidak lain karena factor kesalahan diri yang sebenarnya ia sadari
sepenuhnya bahwasanya perbuatan tersebut melanggar hukum (kasusnya
gak boleh di pampang, rahasia lho, yang jelas pelanggaran hokum,
cukup yach!). Namun apa mau di kata, ia kini harus menjalani sisa
masa tahanannya sebagai akibat dari apa yang ia lakukan. Ia
sadari sepenuhnya akan arti sebuah kebebasan hidup di saat ia telah
mendekam di ruangan yangat sempit, di balik jeruji besi itulah ia
kini harus berjuang untuk bisa menikmati kebebasan itu lagi.
Saatnyalah mengubah cara
pandang kita akan arti hidup dan kehidupan sendiri, jangan sampai
kita seperti sahabat tadi yang baru menyadari arti penting kebebasan
hidupnya setelah mendekam di balik sel tahanan. Jangan-jangan
kita seperti itu, terkurung dalam kehidupan sendiri karena ketidak
bahagiaan akan karunia tuhan yang melimpah ini. merasa diri kurang di
saat karunia nikmat itu ada di depan mata dan kita
menyaksikannya sendiri secara langsung dengat mata telanjang (sorry
dech kalau pakai bahasa yang sedikit kurang enak di dengar,
peace ^_^).
Andai saja kita
meyakinkan diri dengan sepenuh hati bahwasanya kita benar-benar
berani untuk melawati aral kehidupan ini, barangkali kita sudah sejak
dahulu menjadi seorang mahapatih yang sangat di banggakan oleh
kehidupan ini, tidak ada salahnya memulai saat sekarang ini
sebelum semuanya terlambat, syukurilah apa yang kita miliki ini
sebagai suatu persembahan terindah yang pernah di berikan oleh sang
pencipta, dan yakinlah bahwa pemeberian itu adalah limited
edition yang tidak di berikan kepada orang lain karena
kita adalah manusia terpilih, percayalah pada diri sendiri bahwa kita
mampu untuk mengurai atmosfir kehidupan ini menjadi indah.
Kita memiliki dua tangan
untuk dapat menggenggam erat kehidupan ini supaya tidak pegi
meninggalkan kita sendiri di sini, di tempat inilah banyak orang
terlihat bebas namun pada hakikatnya hidup di belakang sel tahanan
kehidupan, apakah kita menginginkah kehidupan yang demikian?. (sorry
dech kalau bertanya terus, nggak enak kalau di bilang cerewet. hihi)
Tidak ada gunanya bertutur
pada oang lain dan lebih-lebih kepada kehidupan akan segala macam
kekurangan yang kita miliki, sungguh kita tidak akan pernah
percaya diri sendiri jikalau hanya berlutut pada label “kekurangan”
yang barangkali masih tertempel di wajah hati kita masing-masing.
Saatnya membuka
label “kekurangan” tersebut dan menggantikannya dengan label
“kelebihan dan kesyukuran” sehingga kita tidak lagi di
stigmakan sebagai seorang pecundang kehidupan. Kapan lagi kita akan
berani mencabutnya jika tidak memberanikan diri saat ini juga.
Sungguh kendali kehidupan ini berada di tangan kita. Bukankah tuhan
telah menunjuk makhluk yang luar biasa untuk menggantikannya di muka
bumi ini sebagai seorang khalifah. Tahukah anda siapa makhluk
yang luar biasa tersebut yang telah di tunjuk tuhan? Dialah manusia,
dan manusia yang telah di tunjuk itu adalah tidak lain diri anda
sendiri. Maka berbahagialah atas karunia ini. tuhan tidak
salah orang dalam memberikan amanat yang sangat luar biasa ini.
Berkeyakinan
bahwasanya kita pantas untuk menjadikan hidup kita lebih baik adalah
perlambang kesyukuran yang tinggi. Mau untuk mengakui
potensi luar biasa di dalam diri serta memupuk rasa syukur atas
anugrah Sang Pencipta akan dapat menghadirkan rasa rendah hati dan
akan mampu membebaskan kehidupan kita masing-masing dari segala macam
bentuk kemelaratan yang suatu saat akan menggerogoti hidup kita
secara perlahan namun pasti hingga pada akhirnya kita menjadi sosok
seorang manusia yang sangat rapuh.
Bukankah dengan
sikap kerendahan hati pula kita telah menjadi seorang manusia yang
mau bertutur sejujurnya bahwa tuhan telah memberikan segala macam
karunia tak terbatas atas kehidupan kita. Kehormatan kita
akan semakin tinggi jika kita mengakui kekurangan yang ada di dalam
diri ini dan mensyukuri kelebihan yang kita miliki. Suatu
kearifan di dalam hidup ini karena kita telah saling melengkapi akan
kurang kita pada kelabihan yang di miliki oleh orang lain, karena
sejujurnya kita telah di ciptakan untuk saling melengkapi satu sama
lain. Inilah makna kesyukuran akan kekurangan dan kesyukuran atas
karunia kelebihan yang tuhan berikan.
Rabu, 13 Juni 2012
Menjadi Orang yang selalu mendapat keberuntungan. Why Not!!!
Menjadi orang beruntung
adalah cita-cita setiap orang yang mengisi planet biru ini; Bumi.
keberuntungan adalah impian setiap orang agar hidupnya bisa tenang,
nyaman dan tenteram, penuh dengan kedamaian untuk menerima kenyataan
ditengah kehidupan ini. Namun ternyata dalam kenyataannya berbicara
lain, seolah-olah tidak semua orang diciptakan memiliki keberuntungan
dalam hidupnya, seolah-olah tuhan tidak adil dalam persepsi sebagian
besar orang yang telah salah menilai makna sebuah keberuntungan.
Mengapa demikian? Terus terang saja, keberuntungan manusia zaman
sekarang lebih identik dengan kepemilikan sesuatu yang terlihat
tampak oleh panca indera. Jika memiliki mobil mewah maka orang
tersebut telah menilai hidupnya dalam keberuntungan. Memiliki rumah
mewah dan megah juga demikian. Seakan-akan kita membenarkan bahwa
mobil mewah ditambah rumah megah adalah suatu keberuntungan yang
layak disyukuri. Dan ironinya, mereka yang memiliki rumah sederhana
apa adanya dinilai tidak memiliki keberuntungan dalam hidupnya.
Benarkah demikian?
SALAH. Jika saja menilai
demikian, Saya, Anda dan juga mereka telah salah menilai. Jika anda
membeberkan sedikit fakta tentang mereka yang hidupnya beruntung.
Keberuntungan hidup seseorang tidaklah terletak pada sejumlah
kepemilikiannya terhadap sesuatu yang terlihat tampak kasat mata
saja, entah itu mobil mewah, rumah megah, tabungan melimpah. Dalam
kenyataannya, banyak sekali mereka yang memiliki kekayaan melimpah
namun mereka merasa hidupnya jauh dari keberuntungan. Dan tidak
sedikit orang yang hidupnya sederhana ala apa adanya merasakan
keberuntungan yang luar biasa dalam hidupnya dan semua itu layak
untuk disyukuri. Persoalannya adalah tidak pada kepemilikan materi
saja, sesungguhnya essensi dari sebuah keberuntungan adalah bagaimana
kita bisa menerima segala sesuatu yang telah tuhan anugrahkan dalam
kehidupan. Jika boleh membeberkan satu rumus kehidupan, Keberuntungan
itu sama dengan Penerimaan +
Kesyukuran. Hasilnya adalah kebahagiaan.
Tidak ada gunanya memiliki
Rumah megah, mobil mewah dan harta melimpah namun dalam kenyataannya
kita tidak pernah bisa merasakan ketenteraman, kenyamanan sekaligus
kedamaian, lebih-lebih kebahagiaan. Jika saja tidur membutuhkan
konsumsi sejumlah pil tidur setiap harinya, perasaan curiga terhadap
setiap orang baru yang datang ingin berjumpa, ketidak harmonisan
dalam ikatan rumah tangga, apalah artinya sebuah kekayaan yang
melimpah. Keberuntungan tidak menawarkan hidup demikian. Menerima
karunia kehidupan adalah anugrah, mensyukurinya adalah jalan untuk
bisa membentuk pencitraan diri agar bisa merasakan hidup bahagia.
Itulah sejatinya keberuntungan yang tidak tampak dalam tumpukan
materi yang melimpah. Pada intinya, keberuntungan itu terletak pada
penerimaan hati dengan tulus apa yang telah menjadi milik kita lantas
memupuk pikiran dan perasaan dalam zona kesyukuran agar tidak
melangkah dalam jurang kegamangan.
Bagi sebagian orang yang
hidupnya sudah tercerahkan, apapun yang mereka terima adalah sebuah
anugrah, pertanda hidup mereka dipenuhi keberuntungan. Sakit pun juga
demikian, mereka tidak serta merta menyanyikan lagu kekisruhan saat
tuhan memberikan mereka cobaan dalam hidup; sakit misalnya. Coba saja
kita bercermin dari orang tua yang telah menuntun hidupnya dalam
kebijaksanaan. Sakit, bagi mereka adalah keberuntungan. Karena bagi
mereka sakit adalah kesempatan untuk menghapus segala dosa yang
pernah ada, pun juga untuk menambah kedekatan kepada Sang Pencipta.
Jadi layak untuk disyukuri, bahwasanya hidup ini penuh keberuntungan.
Berbeda halnya dengan
mereka yang lebih sering menyanyikan lagi kekisruhan dalam kehidupan
mereka setiap harinya. Dapat gaji berlimpah dirasakan tidak cukup
untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka setiap harinya. Memiliki istri
cantik tidak cukup untuk menemani kehidupan mereka, lantas apalagi
yang mereka inginkan. Perdebatan dalam diri untuk terus menumpuk
segala sesuatu yang diinginkan adalah sifat dasar setiap manusia,
namun memenuhi segala keinginannya adalah kehendak ego yang layak
untuk dikenali lantas dipahami agar hidup tidak terjerumus dalam
keterhinaan. Boleh saja memiliki harta karena dengan harta itulah
kita bisa menunjang keperluan hidup sehari-hari, memiliki istri
cantik layak untuk disyukuri karena itu ada yang bisa menemani
kehidupan kita setiap hari. Inilah keberuntungan yang patut dan layak
untuk disyukuri.
Dengan cara pandang
seperti inilah kita bisa menikmati hidup dalam keberuntungan yang
tidak akan pernah lapuk ataupun usang. Tidak ada lagi penghakiman
kepada Tuhan bahwasanya tidak semua orang mengalami keberuntungan
dalam hidupnya. Jika pikiran dan perasaan kita telah memupuk diri
dalam kecukupan, pola hidup sederhana ala apa adanya, maka sepenuhnya
kita telah menjadi orang-orang yang beruntung dalam hidup. Jika saja
memiliki rumah mewah sekaligus megah maka semua itu layak untuk kita
syukuri karena dengan cara itulah tuhan telah memberikan lebih atas
hidup ini.
Makna tertinggi sebuah keberuntungan terletak dalam
penerimaan terhadap sesuatu yang tuhan anugrahkan bahwa ada satu
keyakinan dalam diri, apapun yang menjadi milik kita adalah sesuatu
yang teramat tinggi nilainya karena sesungguhnya tuhan telah
memberikan sesuatu yang orang lain tidak miliki, tuhan memberikan
yang layak untuk hidup ini, pun juga tuhan telah memberikan yang
terbaik, namun sepenuhnya belum kita mengerti arti kehidupan dibalik
rahasia kehidupan ini. Hanya dengan pemahaman mendalam kita akan bisa
memaknai segala rahasia kehidupan yang telah tuhan titipkan diatas
bentangan kehidupan yang sangat luas ini.
Selasa, 12 Juni 2012
WooOoooIiiiiii, Jangan Minder donk...!!!
Betapa seringnya kita merasa
tidak mampu melakukan sesuatu padahal kita mampu melakukannya, betapa seringnya
kita merasa diri tidak pantas untuk mendapatkan sesuatu yang seyogyanya pantas
untuk kita miliki. Kita beranggapan bahwa diri kita hanyalah seorang pecundang
yang hanya bisa menikmati hidup dalam keterpurukan. Jika perasaan dan pikiran
seperti itu muncul suatu ketika orang lain mengomentari kekurangan kita lantas
kita menilai diri kita buruk, maka semestinya musuh yang sebenarnya bukanlah
orang yang sedang mengkritik atau mencoba menjatuhkan reputasi kita dimata
orang lain, musuh terdekat itu tidak lain adalah diri kita sendiri.
Seberapa
pun kuatnya suatu keritikan pedas dari orang lain yang memang sengaja
dilontarkan untuk diri kita, tidak akan ada pengaruhnya terhadap jatuhnya
mental dalam diri jika kita benar-benar menyadari diri kita sepenuhnya seperti
apa adanya tanpa suatu penyangkalan dan penghakiman terhadap diri sendiri
berupa buruk sangka ataupun pikiran negative lainnya. Inilah bedanya mentalitas
seorang pemenang dengan mentalitas seorang pecundang. Orang yang berjiwa
pemenang akan mengharagai dirinya terlebih dahulu, sehingga apapun yang orang
lain katakan akan mampu membentuk pencitraan dirinya lebih kuat dari hari ke
hari tanpa harus membuatnya jatuh lumpuh tak berdaya.
Berbeda halnya dengan mentalitas
seorang pecundang, baru saja mendapat kritikan dari orang lain, jiwanya mulai
rapuh. Beragam penyangkalan bermunculan dalam benaknya hingga membuatnya tak
mampu lagi berdiri; menilai dirinya hina dan tak akan pernah mampu lagi berdiri
untuk menumbangkan segala aral yang melintang didepan sana. Beribu-ribu alasan
bahkan berjuta-juta alasan yang muncul mengapa ia tidak pantas lagi berdiri
karena kritikan orang lain. Sepenuhnya semua itu muncul dari perasangka buruk
terhadap diri kita sendiri. Bukankah perasangka buruk berdampak besar terhadap
bagaimana Saya, Anda, dan juga mereka menjalani hidup ini? semua orang tahu
itu, namun tidak semua orang memahami dengan sepenuh hati mengapa mereka hidup
dalam pola seperti itu.
Barangkali tepat untuk kita
renungkan, kita memiliki keterbatsan. Namun bukan berarti keterbatasan itu
melumpukan hidup kita dimasa mendatang. Dengan keterbatasan itulah kita bisa
memahami diri kita yang sesungguhnya. Jika saja ada orang yang mengkritik
kekurangan kita. Why not, kita terima apa adanya lantas tidak menghakimi diri
sendiri dalam keterpurukan dan keterhinaan. Tuhan memang sengaja menitipkan
kekurangan dalam diri kita agar kita bisa belajar kesempurnaan ditengah
kehidupan ini. disamping itu pula, bukankah tuhan telah menanamkan potensi luar
biasa didalam diri kita masing-masing sebagai suatu kelebihan yang layak untuk
disyukuri? Benar sahabat. Kita tidak semestinya jatuh dalam kesedihan jika suatu
waktu ada orang yang mengkritik secara pedas didepan mata kepala. Yang perlu
dibangun adalah keyakinan dalam diri serta menanggalkan prasangka buruk
terhadap orang lain, lebih-lebih berperasangka buruk terhadap diri sendiri.
Intinya adalah bagaimana cara kita
mengendalikan diri disaat kritikan pedas disampaikan orang lain terhadap diri
kita. Seberapapun kuat musuh dari luar sana untuk menumbangkan diri kita, tidak
akan pernah ada artinya jika kekuatan besar telah terbangun dalam diri. Semua
itu akan mampu kita raih dengan cara menggali diri kita terlebih dahulu,
menanggalkan ke-egoan dan melihat potensi yang kita miliki yang telah tuhan
karuniakan. Dengan demikian kita telah mampu membentuk pencitraan diri dengan
lebih baik. Wajar saja jika banyak tetua bijaksana berpesan demikian; “Cara
terbaik untuk dihargai oleh orang lain adalah menghargai diri sendiri.”
Jangan pernah menghakimi diri
anda sebagai seorang pecundang. Mungkin saja kali ini pernah terlintas pikiran
seperti itu ataupun pernah terjadi dalam kehidupan masa lalu kita. Namun untuk
hari esok jangan pernah terulang kembali untuk kesekian kalinya. Karena
penghakiman seperti itu tidak pernah memberikan sesuatu yang berarti dalam
hidup, kecuali perasaan bersalah yang tak pernah berujung atau penggerusan
mentalitas dalam diri hingga menyisakan kelumpuhan berbalutkan keterhinaan. Ada
baiknya untuk terus menumbuhkan pikiran dan perasaan positif terhadap diri
serta mencoba menanggalkan perasangka buruk yang selama ini begitu suburnya
didalam hidup kita setiap harinya. Memang sulit untuk kita lakukan, tapi bukan
berarti tidak mungkin bisa terjadi.
Inilah seni menjalani hidup, semuanya butuh
usaha, semua terjadi dalam serangkaian peroses. Dan suatu saat nanti semua itu
akan menjadi sahabat kehidupan yang selalu menyatu dalam genggaman kepemilikan
ditangan kehidupan, cukupkanlah diri kita saat ini dengan suatu keyakinan bahwa
tuhan akan benar-benar memudahkan jalan pada setiap pencapaian atas segala
impian yang tertorehkan dalam lembaran jiwa.
Senin, 11 Juni 2012
Petuh Bijak Sang Guru-Membuka kemelut topeng-topeng kehidupan
Mentari pagi baru saja
menengadah ke atas tiang angkasa di ufuk timur sana, mega kuning
masih terlihat menghiasi warna langit-langit bumi, sinar mentari
belum sepenuhnya terpancarkan sempurna, namun suasana gelap sudah
menyingsing ke tempat peraduannya. Suasana pagi terasa dingin,
apalagi embun yang masih bersemai bersama dedaunan masih menguncupkan
diri di setiap pucuk dedaunan hijau, lebih-lebih di atas padang
rumput yang terhampar luas, masih terlihat anggun bersama selimut
beningnya embun, begitulah sejatinya suasana yang Nampak di setiap
paginya, seolah-olah alam tidak bosan-bosannya mengajarkan kita makna
kesetiaan di balik kebersamaan dan jalinan kasih sayang.
Suasana layar kehidupan
masih terlihat sepi, tidak banyak aktifitas manusia yang terlihat
kontras. Hanya saja sebagian masyarakat di pedesaan sudah terlihat
meninggalkan rumah-rumah mereka untuk beraktifitas di tengah sawah
dan ladang mereka masing-masing untuk bercocok tanam. Begitulah
suasana yang Nampak jelas di tengah masyarakat pedesaan, berbeda
halnya dengan masyarakat yang hidup dan tinggal di daerah perkotaan
yang umumnya mereka bekerja di kantoran, menempatkan diri pada
skat-skat yang mereka buat sendiri, seolah-olah gambaran kehidupan
mereka lebih mengutamakan otoritas diri dan menomor duakan rasa
persaudaraan dan kebersamaan. Sangat
terlihat begitu kontras pola kehidupan itu, dalam perbedaannya itu
akan memunculkan pola yang berbeda pula dalam mensintesakan kehidupan
pada proporsi cara berfikir dan bertindak di dalam kehidupan mereka
masing-masing.
Di pagi itu pula, di
tengah padepokan yang jaraknya tidak jauh dari pemukiman penduduk, di
sana terlihat seorang guru mengajarkan murid-muridnya tentang
dasar-dasar kasih sayang tanpa harus menggunakan topeng-topeng
kehidupan. Dengan seksama, murid-murid mendengarkan segala uraian
yang di sampaikan oleh guru mereka.
Guru tersebut menguraikan
beberapa hal yang harus di pahami oleh setiap orang yang mendambakan
kehidupan yang lebih baik, dalam urainnya Sang Guru yang terkenal
dengan ke arifan dan kebijaksanaan itu menjelaskan arti cinta kasih
terhadap kehidupan tanpa harus mencintai dengan menggunakan wajah
bertopeng. "sungguh kehidupan kita tidak akan pernah menuai
kebijaksanaan dan kedamaian sebagaimana mestinya-di mana pencapaian
itu sesuai dengan apa yang kita inginkan yaitu menemukan sejatinya
kehidupan ini." Tiga orang muridnya tertegun mendengarkan
uraian-uraian hikmah yang di tuturkan oleh Sang Guru Bijak.
Setelah beberapa saat
kemudian, salah satu di antara murid yang paling muda, sebut saja
namanya Amna mencoba bertanya tentang pri-hal kehidupan bertopeng,
dengan suara lantang penuh semangat ia bertanya. "Guru, Apakah
selama ini kehidupan kami yang tetap bertahan dalam wajah
keterpurukan adalah merupakan manifestasi dari topeng-topeng yang
kami buat sendiri untuk menutupi wajah kehidupan yang sebenarnya?".
Dengan wajah berseri-seri
Sang Guru bijak Pun tersenyum mendengarkan pertanyaan yang di ajukan
untuknya, dengan wajah mantap Sang guru bijak menjawab. "Iya,
Sungguh benar demikian adanya wahai murid-muridKu. Selama ini kita
seringkali tidak menyadari bahwasanya kita selalu menutup diri dari
jalan kebahagiaan. Sungguh kita tidak pernah akan bisa melihat
wajah-wajah kita sendiri secara nyata di depan cermin kehidupan ini
jika kita sendiri masih mengenakan topeng.
Kita tidak akan mungkin
bisa mengenal kekurangan dan kelebihan kita sendiri. Pada hakikatnya
tidak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia ini, mereka adalah
makhluk yang lemah dan tak berdaya, mengenali dan mengakui kekurangan
diri sendiri bukanlah suatu kebodohan, namun pengakuan itu adalah
cara tuhan untuk membimbing kita pada sikap keterbukaan. Jika sudah
sikap keterbukaan itu menjadi bagian dalam hidup kita, tidak mungkin
tidak kebahagiaan akan menjadi milik Kita."
Mendengar uraian-uraian
bijak dari sang guru, semua murid tertegun seraya merenungkan setiap
kata-kata yang terucap. Tidak beberapa saat kemudian, murid yang
paling muda di antara murid-murid lainnya mencoba bertanya, walaupun
masih terlihat muda, ia begitu bersemangat dalam menimba
pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak dimilikinya, sebut saja
namanya Umary, Dengan sikap antusias ia bertanya kepada sang guru.
"Guru, jika memang topeng-topeng kehidupan ini masih melekat
dalam diri setiap manusia, termasuk dalam diri kami, adakah cara atau
metode yang bisa di gunakan untuk membuka topeng tersebut? Bukankah
semua kita mendambakan kehidupan yang penuh dengan aroma
kebahagiaan?."
"Wahai murid-muridKu!
Tuhan tidak akan melepaskan kita begitu saja, Dialah Yang Maha
bijaksana selalu menuntun kita pada jalan kebenaran, melalui
pengetahuan yang luas dari akal yang cerdas akan dapat membuka segala
rantai-rantai kehidupan yang selama ini mengekang jalan kita dalam
upaya menemuka sejatinya kehidupan. Meresapi setiap pristiwa dan atau
kejadian di alam semesta, membuka diri pada pelajaran hikmah yang
telah di bentangkan di segenap layar semesta ini akan mampu membuka
wawasan dan menambah pengetahuan.
Oleh karena itu, sikap
keterbukaan, berani mengakui kesalahan, memiliki kemauan yang kuat
untuk selalu belajar dari kehidupan, menghargai kehidupan ini dengan
sikap welas asih, dan bertanggung jawab atas segala perilaku yang
telah kita munculkan di tengah kehidupan akan dapat membuka
topeng-topeng yang menutupi wajah kehidupan ini. Jika sudah demikian,
kebahagiaan layaknya pendamping hidup yang tidak akan pernah lekang
oleh waktu atau apapun itu, termasuk kemelakan diri yang tak pernah
berakhir."
"Wahai murid-MuridKu,
Jauhkanlah oleh kalian sikap-sikap kesombongan yang masih menempel di
dalam hati. Sungguh kesombongan itu adalah pangkal kemelekatan pada
kehinaan dan kesengsaraan, ketidak jujuran pada rangkaian peroses
yang terjadi di setiap jengkal dalam kehidupan adalah ujung dari
kesombongan itu sendiri yang masih bersemayam di dalam diri.
Kesombongan itu tidak hanya menjauhkan jiwa dari jalan kebahagiaan,
namun juga kesombongan akan membuat hati berkarat. Ibaratnya besi
yang tidak menginginkan di tempali oleh api (Ujian-Ujian Hidup),
merasa diri sudah memiliki kelayakan-kelayakan dalam hidup, sungguh
mereka yang demikian itu tidak akan pernah mampu membuka
topeng-topeng kesengsaraan yang dapat menjadikan hidup mereka
terkekang untuk selama-lamanya. Hindarilah olehMu sifat yang demikian
itu wahai murid-muridku jika kalian mengharapkan kasih tuhan di
segenap kehidupan." Begitulah uraisan Nasihat sang guru saat
sebelum mengakhiri pertemuan mereka pada pagi itu.
"Terima kasih atas
segala budi baik Guru, Kami akan selalu mengingat dan mencoba
mengaplikasikan/ mengamalkan segala petuah dan nasihat guru yang
sungguh-sungguh sangat berharga bagi kehidupan kami di masa kini dan
mendatang. Mudah-mudahan kami kelak dapat membuka diri pada sejatinya
kehidupan serta mencoba untuk mengikis habis sifat-sifat kesombongan
yang masih bersemayam di dalam hati kami.
Doakanlah kami guru,
semoga tuhan menuntun jalan kami pada jalan kebijaksanaan sebagaimana
kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup yang melekat pada guru yang semua
itu tidak lain adalah anugrah dari Allah. Terima kasih banyak Guru
sekali lagi terima kasih." Ucap sang murid sambil undur diri dan
memberi hormat di hadapan Gurunya yang Arif dan bijaksana.
Sang guru memandang
murid-muridnya pergi meninggalkan tempat persemaian ilmu sampai
mereka tak tampak lagi bayangannya. Ia tersenyum puas melihat
kemajuan yang Nampak di wajah kehidupan murid-muridnya untuk
menemukan jalan kebijaksanaan. Kini Tidak terasa mentari sudah
menaiki tangga cakrawala, pagi sudah terasa hangat, embun-embun di
atas pucuk dedaunan sudah mulai mencair dan mengilhami kehidupan pada
makna keteduhan. Tunas-tunas baru kehidupan ini sudah mulai bertumbuh
mengisi tanah kebijaksanaan, kehadirannya sangat din nanti-nantikan
di masa mendatang untuk menggantikan pohon induknya. Begitulah siklus
kehidupan terjadi, mereka selalu mengajarkan kita keseimbangan hidup
untuk dapat menemukan kebahagiaan sebagai anugrah Kasih Tuhan.
Berbekal potensi luar biasa menjadikan kita sebagai manusia profesional dalam menghargai hidup. ^_^
Kadang kita
bertanya-tanya, apa sebenarnya kelebihan yang kita miliki? Adalah
tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut di atas. Namun jika di
tanyakan demikian; “apa saja kekurangan yang engkau
miliki?” kita akan menjawabnya langsung tanpa perlu menguras
pikiran terlebih dahulu, sungguh amat gampang, bukan?. Gue
punya kekurangan ini dan itu, entah itu kurang pintar, kurang
ganteng, kurang seksi, kurang putih, kurang ng-trend, dan masih
banyak lagi kekurangan lainnya yang belum terlampirkan sebagai
jawaban atas sejumlah kekurangan yang kita rasakan benar-benar ada
dalam hidup kita, syukur-lah kita tidak termasuk dalam kategori
kurang ajar.
Konotasinya negatif banget
tuch, jadi gak ada yang kepengen di bilang kurang ajar, bukan?
Barangkali menjawab pertanyaan pertama terlihat lebih sulit di
bandingkan menjawab pertanyaan yang kedua. Padahal jika kita
merenungkannya lebih mendalam, Tuhan telah menciptakan diri kita
beserta atribut potensi diri yang ada di dalam diri kita
masing-masing.
Walau demikian, pertanyaan
pertama menjadi teka-teki dalam kehidupan kita, jujur saja, terasa
sulit untuk menjawabnya secara tegas dan lugas dengan suara yang
lantang. Seiring pertumbuhan usia yang semakin hari semakin
bertambah, kita merasa lebih mudah mengatakan kekurangan kita
pada orang lain atau entah itu kepada diri kita sendiri.
Terlebih lagi kekurangan
itu terlihat sangat kontras sekali jika kita membandingkan diri
dengan orang lain yang lebih mumpuni kehidupannya di bandingkan diri
kita yang kita rasakan pas-pasan atau bahkan merasa banyak kurangnya,
sehingga tidak jarang hal tersebut membuat kita semakin frustasi
melihat realitas kehidupan ini. Padahal kalau kita sadari, bahwasanya
tuhan telah menanamkan potensi yang sangat luar biasa di dalam diri
kita, namun kita tidak pernah menyadarinya karena terlalu sering
melihat diri dari cermin kekurangan yang membuat hidup terpojokkan,
termarjinalkan menjadi sosok individu yang selalu ketakutan melihat
hidup dan kehidupan diri sendiri yang terpuruk.
Coba tanyakan dan tegaskan
pertanyaan sekaligus penyataan beriku; Bukankah Tuhan selalu
memberikan kita kelebihan masing-masing yang berbeda satu sama
lainnya?
Tidak jarang diantara kita
membandingkan diri dengan orang lain tanpa terlebih dahulu melihat
kedalam diri masing-masing. Artinya melihat diri sendiri seutuhnya,
bercermin dari potensi yang ada akan membuat kita lebih percaya diri
akan potensi alamiah yang kita miliki. Kita tidak pernah tahu
kelebihan apa yang sebenarnya ada di dalam diri kita masing-masing
tanpa mencoba mengasahnya di dalam kehidupan ini, sayangnya
talenta luar biasa yang ada terabaikan begitu saja.
Boleh saja kita melihat
sisi kurangnya dalam hidup yang melekat bersama kehidupan pribadi
kita masing-masing, namun jangan sampai membuat hal demikian itu
menghambat pertumbuhan jiwa. seharusnya bertambahnya hari menjadikan
kita lebih tahu diri arti kehidupan kita di muka bumi ini, menyelami
samudra kehidupan di kedalam yang jauh di sana tentulah menghadirkan
kesadaran yang luar biasa.
Tidak ada yang sempurna,
namun dengan cara merefleksikan kesadaran diri akan
kesempurnaan Yang Maha Sempurna akan menganugrahkan kepercayaan diri
yang amat luar biasa untuk mengasah talenta-talenta luar biasa
yang selama ini tertidur lelap di atas pembaringan kehidupan yang
sangat empuk ini. Waah, kalau empuk, tidur lagi ahhhh.... jadi
teringat lagunya embah surip dech.... hehehe nyanyi bareng yuuks
“bangun tidur, tidur lagi, banguuuun, tidur lagi.... hahahaha.”
Cocok juga lagunya yach.
Berbicara banyak mengenai
topik “kekurangan”, saya tahu persis about my self, Saya
sangat tahu betul kekurangan saya di bidang matematis, sehingga
seringkali nilai ujian saya di bidang matematika atau hal-hal yang
berbau matematis seringkali pas-pasan saja. Syukur banget yach gak di
bidang mistis, pastinya serem banget tuch. Tapi kalau menghitung
uang, insyaallah saya masih bisa ngatasi, Hehehe.
Terus terang saja,
kemampuan menghitung saya sangat rendah sekali di bandingkan dengan
teman-teman lainnya yang kebanyakan lebih ahli dalam bidang
matematis, namun kekurangan itu tidak sampai membuat saya harus
menutup jurnal kehidupan saya saat sekarang ini, karena tidak wajar
kalau harus mati gantung diri karena tidak bisa menghitung. Iiihh
serem banget yach, mati gantung diri, bisa gentayangan donk. Nggak
banget dech. Mari kita teriakkan selogan; “NO GANTUNG DIRI, NO
BUNUH DIRI.” Kita semestinya sadar akan kelebihan kita di
bidang lainnya, dan kita akan memahami betul potensi yang ada di
dalam diri ini jika kita terus menerus mengasahnya dengan suatu usaha
yang maksimal dan sikap rill/ realistis yang bisa di
pertanggung jawabkan.
Apakah kelebihan itu
memang ada pada diri kita? Iya, memang ada! Sungguh kita memang
mempunyai potensi luar biasa yang tidak di miliki oleh orang lain,
boleh saja identik satu sama lain namun padadasarnya memiliki
karaktristik yang berbeda-beda. Kita pada dasarnya individu
yang unik dan tercipta memiliki kelebihan luar biasa. Tidak
salah kalau misalnya ada orang yang mengatakan kita terlihat unik,
karena pada dasarnya kita benar-benar individu yang unik.
Berbekal potensi
luar biasa di dalam diri yang berbeda satu sama lain, menjadikan kita
sebagai manusia profesional dalam menghargai hidup. Kalau
boleh meminjam istilah prekonomian ala nenek moyang, barangkali tepat
jika kita meminjam istilah barter, mengadakan barter atas potensi
diri orang lain yang tidak kita miliki untuk kita saling mengisi satu
sama lain.
Kita percaya bahwa
setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun sangat
di sayangkan jika hanya terfokus pada kekurangan yang kita miliki
saja. Tidak ada gunanya menutup diri dengan beragam alasan yang
sebenarnya tidak perlu di kemukakan, yaitu alasan akan segala macam
dan bentuk kekurangan yang kita miliki, toh juga orang lain tidak
akan menaruh rasa belas kasihan jika kita menyertakan beragam alasan
kekurangan yang kita miliki secara berlebihan.
Apakah
terus-terusan kita akan bertopeng “kekurangan”? Sampai
kapan kita akan melepaskan topeng tersebut dari wajah kehidupan ini
yang sangat mengharapkan kehadiran sosok seorang pemberani? Hanyalah
kesia-siaan yang akan kita dapatkan bagi kehidupan diri sendiri jika
tetap bertahan pada kemanisan topeng kekurangan.
Sungguh berbeda
dengan mereka yang meyakini diri sepenuh hati, percaya terhadap
potensi yang mereka miliki karena memang mereka di lahirkan
di muka bumi ini menjadi seorang yang mampu mengasah anugrah sang
pencipta berupa pemeberian potensi ataupun suatu kelebihan yang tidak
di miliki oleh orang lain, dalam keyakinan mereka; bahwasanya mereka
di ciptakan untuk menjadi seorang yang tangguh sekaligus pemberani
untuk menaklukkan segala aral dan rintangan di tengah kehidupan ini,
percaya diri bukan berarti kesombongan akan kelebihan yang
ada, justru percaya terhadap kelebihan yang ada merupakan suatu
bentuk kesyukuran yang tinggi akan karunia Tuhan yang di
tempatkan di dalam diri kita masing-masing.
Apakah untuk
menjadi diri sendiri di butuhkan postur tubuh yang tinggi? Atau juga
mungkin suatu keharusan untuk memiliki tubuh yang langsing?
Sesungguhnya kita di nilai oleh orang lain dari kacamata kebaikan
yang pernah kita torehkan, bukan hanya sekedar bentuk belaka, orang
lain lebih menghargai kebaikan yang kita miliki, menghargai rasa
percaya diri kita untuk melakukan sesuatu atas potensi yang pada
dasarnya melekat di dalam diri kita masing-masing untuk kita
maksimalkan bagi kemajuan personal dan juga untuk kebaikan bagi orang
lain.
Rabu, 06 Juni 2012
Ikhlas Memaafkan Donk...!!!
Seorang remaja, sebut saja namanya Afid, datang ke rumah seorang Ustadz yang begitu tersohor namanya dimasyarakat desa Cucook. Kedatangan Afid sore itu tidak lain untuk menanyakan sesuatu yang sedang mengganjal didalam benaknya.
Afid: Pak ustadz, Saya ingin bertanya sesuatu. Boleh gak!?
Ustadz Preketek: Oooo.. Boleh-Boleh. Apa yang ingin Engkau tanyakan, nak?
Afid: Pak Ustadz... Saya telah mencuri seekor kambing. Apakah tuhan akan memaafkan dosa saya atas apa yang telah saya perbuat sebelumnya?
Ustadz Preketek: Oooh, Pasti. Bukankah Tuhan Maha Memaafkan atas segala dosa yang pernah diperbuat hamba-hamba-Nya. Jadi percayalah pengampuinan Tuhan. Syaratnya, kamu harus bertemu pemiliknya terlebih dahulu dan meminta maaf agar Tuhan mengampuni dosamu, nak..
Afid: Saya Takut Pak Ustadz.
Ustadz Preketek: Kenapa harus Takut?
Afid: Saya Takut dimarah sama pemiliknya.
Ustadz Preketek: Mmmm, begitu tooh. Tidak usah takut. Tooh juga niatmu baik.
Afid: Begini masalahnya pak ustadz, Kambing itu sudah saya masak dan saya makan bersama teman-teman.
Ustadz Preketek: Oooh, Begitu tooh. JUJUR saja.. Pemilik kambing itu pasti mengikhlaskannya kok.
Afid: Syukurlah kalau begitu pak Ustadz.
Ustadz: By The Way... Kambing siapa yang kamu curi?????
Afid: Kambingnya Bapak.....
Ustadz Preketek: Haah
Mendengar Jawaban Afid, Wajah Ustadz Preketek langsung memerah. Seakan-akan ia sedang ditimpa oleh petir disiang bolong. Tanpa pikir panjang, Ustadz Preketek langsung berdiri dan bergegas menghampiri Afid lantas memegang telinga kanan Afid.
Ustadz Preketek: Ooohhh, Jadi kamu biang keladinya Haah....
Afid: Aduuuuhhhh... Sakit Pak ustad,,,... sakit... Sakiit. Perasaan Tadi pak ustadz Bilang kalau pemilik kambingnya bakal mengikhlaskannya... Iyya kaan???
Ustadz Preketek: ?!?!?!?^_^****?!@@@
ATTENTION!!! Cerita diatas hanyalah FIKTIF belaka. Jika ada kesamaan tokoh, tempat dan peritiwa, kesemuanya itu hanyalah sebuah kebetulan belaka karena memang sengaja direkayasa. Sueeer Tie Keweeer-Keweeer dech.
WARNING!!! Dilarang Memperbanyak TAWA apalagi sampai membuat anda GILA karena akan dapat menjadikan ANDA sebagai salah satu PASIEN Rumah Sakit Jiwa). ===> Sebagian atau seluruh isi diluar tanggung jawab penulis jika membuat anda tersinggung dan atau tertawa sampai GILA.
Sahabat Pembaca yang budiman. Bagi anda yang suka cerita Canda dan tawa, bolehlah anda tertawa sewajarnya selama tertawa itu belum termasuk dalam daftar LARANGAN yang dilarang oleh Undang-Undang Negara maupun kode etik adat serta norma agama. Bagi anda yang lebih terfokus pada pembelajaran makna, maka inilah kesempatan untuk kita bisa bersama-sama membuka mata, membuka diri lantas melihat dunia apa adanya.
Sahabat Pembaca yang budiman. Dalam hidup ini, betapa seringnya kita melakukan sesuatu yang merugikan diri kita sendiri-mencidrai reputasi diri, termasuk juga merugikan orang lain padahal kita sendiri telah berulangkali mengucapkannya didepan publik, yakni mengingatkan orang lain agar saling memaafkan dan mengikhlaskan segala keburukan yang telah diperbuat dimasa lalu. Tidak sedikit orang yang mengucapkan kata maaf dengan embel-embel “Ikhlas”, namun dalam realitasnya tidak sepenuhnya memaafkan. Jika demikian ceritanya, siapa lagi tempat kita meminta maaf yang sebenarnya yang memberikan kita titik terang?
Mmmmm... Siapapun anda, bebas memberikan jawaban! Terpenting dari semua itu, Maafkanlah orang-orang yang telah mencidrai hati, ikhlaskanlah pengampunan sebagaimana Tuhan mencitrakan kuasa-Nya dalam pengampunan sempurna. TO BE CONTINUED...
Afid: Pak ustadz, Saya ingin bertanya sesuatu. Boleh gak!?
Ustadz Preketek: Oooo.. Boleh-Boleh. Apa yang ingin Engkau tanyakan, nak?
Afid: Pak Ustadz... Saya telah mencuri seekor kambing. Apakah tuhan akan memaafkan dosa saya atas apa yang telah saya perbuat sebelumnya?
Ustadz Preketek: Oooh, Pasti. Bukankah Tuhan Maha Memaafkan atas segala dosa yang pernah diperbuat hamba-hamba-Nya. Jadi percayalah pengampuinan Tuhan. Syaratnya, kamu harus bertemu pemiliknya terlebih dahulu dan meminta maaf agar Tuhan mengampuni dosamu, nak..
Afid: Saya Takut Pak Ustadz.
Ustadz Preketek: Kenapa harus Takut?
Afid: Saya Takut dimarah sama pemiliknya.
Ustadz Preketek: Mmmm, begitu tooh. Tidak usah takut. Tooh juga niatmu baik.
Afid: Begini masalahnya pak ustadz, Kambing itu sudah saya masak dan saya makan bersama teman-teman.
Ustadz Preketek: Oooh, Begitu tooh. JUJUR saja.. Pemilik kambing itu pasti mengikhlaskannya kok.
Afid: Syukurlah kalau begitu pak Ustadz.
Ustadz: By The Way... Kambing siapa yang kamu curi?????
Afid: Kambingnya Bapak.....
Ustadz Preketek: Haah
Mendengar Jawaban Afid, Wajah Ustadz Preketek langsung memerah. Seakan-akan ia sedang ditimpa oleh petir disiang bolong. Tanpa pikir panjang, Ustadz Preketek langsung berdiri dan bergegas menghampiri Afid lantas memegang telinga kanan Afid.
Ustadz Preketek: Ooohhh, Jadi kamu biang keladinya Haah....
Afid: Aduuuuhhhh... Sakit Pak ustad,,,... sakit... Sakiit. Perasaan Tadi pak ustadz Bilang kalau pemilik kambingnya bakal mengikhlaskannya... Iyya kaan???
Ustadz Preketek: ?!?!?!?^_^****?!@@@
ATTENTION!!! Cerita diatas hanyalah FIKTIF belaka. Jika ada kesamaan tokoh, tempat dan peritiwa, kesemuanya itu hanyalah sebuah kebetulan belaka karena memang sengaja direkayasa. Sueeer Tie Keweeer-Keweeer dech.
WARNING!!! Dilarang Memperbanyak TAWA apalagi sampai membuat anda GILA karena akan dapat menjadikan ANDA sebagai salah satu PASIEN Rumah Sakit Jiwa). ===> Sebagian atau seluruh isi diluar tanggung jawab penulis jika membuat anda tersinggung dan atau tertawa sampai GILA.
Sahabat Pembaca yang budiman. Bagi anda yang suka cerita Canda dan tawa, bolehlah anda tertawa sewajarnya selama tertawa itu belum termasuk dalam daftar LARANGAN yang dilarang oleh Undang-Undang Negara maupun kode etik adat serta norma agama. Bagi anda yang lebih terfokus pada pembelajaran makna, maka inilah kesempatan untuk kita bisa bersama-sama membuka mata, membuka diri lantas melihat dunia apa adanya.
Sahabat Pembaca yang budiman. Dalam hidup ini, betapa seringnya kita melakukan sesuatu yang merugikan diri kita sendiri-mencidrai reputasi diri, termasuk juga merugikan orang lain padahal kita sendiri telah berulangkali mengucapkannya didepan publik, yakni mengingatkan orang lain agar saling memaafkan dan mengikhlaskan segala keburukan yang telah diperbuat dimasa lalu. Tidak sedikit orang yang mengucapkan kata maaf dengan embel-embel “Ikhlas”, namun dalam realitasnya tidak sepenuhnya memaafkan. Jika demikian ceritanya, siapa lagi tempat kita meminta maaf yang sebenarnya yang memberikan kita titik terang?
Mmmmm... Siapapun anda, bebas memberikan jawaban! Terpenting dari semua itu, Maafkanlah orang-orang yang telah mencidrai hati, ikhlaskanlah pengampunan sebagaimana Tuhan mencitrakan kuasa-Nya dalam pengampunan sempurna. TO BE CONTINUED...
SOMBONG dikit... Boleeh dooonk...!!!
Dua pemuda sedang asyik bercakap-cakap dipinggir jalan didesa Mamben.
Oni: “Fauzi, Kamu tahu tidak. Didesa ini, Cuma saya yang punya sepada motor keren kayak gini nich. Mana ada orang yang punya motor racing. Tampilannya aduhai banget nich. Tahu gak, kecepatannya kagak bisa yang menandinginya. Pokoknya, Cuma gue doank yang punya, yang lain lewaaat donk…”
Fauzi: “Jangan sombong doonk mas brow. Ntar lhoo kualat, baru tahu rasa dech.”
Oni: “Hariii gini masih percaya KUALAT, Aaaah, mana mungkin. please dech aaah. Gue nggak percaya sama hal begituan. Sumpah dech”
Fauzi: “Mmmmm,,, Orang sombong pasti kena azab. Suer tie kewer-keweer dech. Lihat saja nanti mas brow…
Oni: “Sudahlaaah, kagak perlu percaya sama istilah aneh KUALAT kayak orang tua dulu, Hari gini masih mikir ala nenek moyang, cape deeech… Ini lihat motor baru gua, pasti kenceng banget dech…”
Breeeem-breeemmm… Tiba-tiba suara sepeda motor Oni melesat melaju dengan sangat kencang memecah kesunyian. Tidak lama kemudian, Tiba-tiba saja Oni terperosok kedalam parit diujung jalan.
Fauzi: “Tu kaan… Apa gue bilang. Itu namanya kualat. Makanya jangan sombong jadi orang”
Oni: “Beruntung Cuma gue yang terperosok kedalam parit. Syukur-syukur bukan sepeda motor gue yang keren ikut terperosok.”
Fauzi: “Haaaah?!?!?!?!?”
Cerita diatas hanyalah FIKTIF belaka dan benar-benar REKAYASA. Jika ada kesamaan tokoh, nama, tempat dan peritiwa dalam cerita, kesemuanya itu hanyalah sebuah kebetulan belaka karena memang sengaja direkayasa untuk suatu kepentingan lelucon belaka
WARNING!!! Bagi anda yang mengalami stres dan depresi serta penyakit sedih lainnya, DIHARAPKAN untuk tertawa sampai GILA...
Salam satu jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia...
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Oni: “Fauzi, Kamu tahu tidak. Didesa ini, Cuma saya yang punya sepada motor keren kayak gini nich. Mana ada orang yang punya motor racing. Tampilannya aduhai banget nich. Tahu gak, kecepatannya kagak bisa yang menandinginya. Pokoknya, Cuma gue doank yang punya, yang lain lewaaat donk…”
Fauzi: “Jangan sombong doonk mas brow. Ntar lhoo kualat, baru tahu rasa dech.”
Oni: “Hariii gini masih percaya KUALAT, Aaaah, mana mungkin. please dech aaah. Gue nggak percaya sama hal begituan. Sumpah dech”
Fauzi: “Mmmmm,,, Orang sombong pasti kena azab. Suer tie kewer-keweer dech. Lihat saja nanti mas brow…
Oni: “Sudahlaaah, kagak perlu percaya sama istilah aneh KUALAT kayak orang tua dulu, Hari gini masih mikir ala nenek moyang, cape deeech… Ini lihat motor baru gua, pasti kenceng banget dech…”
Breeeem-breeemmm… Tiba-tiba suara sepeda motor Oni melesat melaju dengan sangat kencang memecah kesunyian. Tidak lama kemudian, Tiba-tiba saja Oni terperosok kedalam parit diujung jalan.
Fauzi: “Tu kaan… Apa gue bilang. Itu namanya kualat. Makanya jangan sombong jadi orang”
Oni: “Beruntung Cuma gue yang terperosok kedalam parit. Syukur-syukur bukan sepeda motor gue yang keren ikut terperosok.”
Fauzi: “Haaaah?!?!?!?!?”
Cerita diatas hanyalah FIKTIF belaka dan benar-benar REKAYASA. Jika ada kesamaan tokoh, nama, tempat dan peritiwa dalam cerita, kesemuanya itu hanyalah sebuah kebetulan belaka karena memang sengaja direkayasa untuk suatu kepentingan lelucon belaka
WARNING!!! Bagi anda yang mengalami stres dan depresi serta penyakit sedih lainnya, DIHARAPKAN untuk tertawa sampai GILA...
Salam satu jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia...
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Senin, 04 Juni 2012
Jangan TAKUT bersaing donk...!!! Saya, Anda, dan juga mereka punya kesempatan yang sama Lhooo...!!!
Begitu banyak diantara
kita yang seringkali terkecoh dengan apa yang nampak dipermukaan
ketika melihat apa yang ada didalam diri orang lain. Banyak orang
menyangka bahwasanya mereka sedang dihadapkan dengan musuh
yang sesungguhnya karena melihat orang lain memiliki suatu
kelebihan, sedangkan mereka tidak memiliki apa-apa selain perasaan
kerdil tak berdaya. Inilah anggapan yang terlihat sepele namun besar
dampaknya dalam diri setiap orang untuk meraih kehdiupan yang
menabjubkan.
Begitu
banyak orang merasa bahwa manusia yang lain adalah saingan hidup yang
layak untuk dikalahkan karena hidup adalah kompetisi untuk
melumpuhkan yang lainnya. Tidak
heran jika prinsip demikian dijadikan sebagai alat untuk
bersaing dan mengalahkan yang lainnya dengan ragam cara yang diyakini
mampu meningkatkan kualitas daya saingnya dihadapan orang lain.
Dalam konsep ini, orang lain bukan lagi sebagai
mitra kehidupan untuk bisa tumbuh bersama
dan saling melengkapi satu sama lain, justru yang terjadi adalah rasa
permusuhan, ketidak puasan. Begitulah pemahaman lazim dalam
benak kebanyakan orang yang sangat besar pengaruhnya terhadap
kemajuan hidup dimasa mendatang. Dalam pemahaman sempit demikian,
prestasi orang lain menjadikan mereka semakin
kerdil, seakan-akan mereka sudah tidak pantas lagi untuk
bersaing dengan manusia lain ketika melihat orang
lain memiliki prestasi yang tidak dimiliki.
Inilah
kenyataan dalam hidup yang seringkali menjadikan penyakit mental
bersarang dalam diri seseorang sehingga
individu bersangkutan lunglai lemah tak
berdaya melihat apa yang sedang terbentangkan didepan mata kepala.
Melihat kenyataan demikian, banyak orang telah
dihinggapi penyakit infriority
conflict illness, suatu penyakit baru yang
menghinggapi alam pikir manusia yang melihat persaingan sebagai cara
mereka untuk menduduki tempat terendah yaitu kekalahan yang tidak
dapat lagi terelakkan karena pandangan sempit bahwa mereka bukan
apa-apa ketika bersanding dengan orang lain. Penyakit inilah menjadi
penyebab utama mengapa manusia tidak lagi menikmati perasaan bahagia
ketika melihat apa yang dimiliki orang lain, justru terlahir perasaan
bersalah dan tak berdaya ketika melangkahkan kaki dalam kehidupan
selanjutnya.
Sebagai manusia, tentu
saja kita menyadari bahwa orang lain memiliki suatu kelebihan yang
terkadang sulit untuk kita jangkau, disatu sisi yang lain mereka pula
memiliki kekurangan yang tak dapat dipungkiri, bahkan terkadang
diantara mereka berdecak kagum melihat potensi yang ada dalam diri
kita, walau terkadang kita tidak menyadarinya. Ini mengingatkan kita
satu hal bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Namun dalam
kenyataannya, melihat kelebihan pada diri orang lain menjadikan
sebagian diri manusia menjadi pribadi yang lemah yang menganggap diri
mereka telah kalah dalam bersaing. Perasaan minder dan tak berharga
tidak luput mengisi alam pikir sehingga menjadikan mereka tidak lagi
produktif untuk berkarya dan melakukan hal-hal terbaik demi kemajuan
hidup mereka dimasa mendatang.
Melihat kelebihan orang
lain dari presfektif yang lebih dewasa tentu saja mengajarkan manusia
bertumbuh dalam kebijaksanaan hidup yang menjadikannya tersadar bahwa
memang semua sedang berjalan menuju cahaya terang penuh makna. Namun
kita tidak bisa bungkiri, ada sebagian orang yang melihat kelebihan
orang lain sebagai cambuk yang menjadikan mereka takut menatap dunia
dengan apa adanya. Perasaan tak berguna dan tak memiliki apa-apa
menggelayuti alam pikir hingga membuat hidup terasa hampa.
Apakah
kita sedang berpikir demikian sehingga menjadikan kita menutup mata?
Jika memang demikian, adalah diri kita memiliki kesempatan emas hari
ini untuk mengubah semua itu sebelum terlambat. Karena bagaimanapun
juga, semua orang pantas menjadi pemenang untuk bisa meraih kehidupan
yang menabjubkan dikemudian harinya.
Sejatinya orang yang
telah kalah dalam hidupnya adalah orang yang memandang orang lain
sebagai musuh. Melihat kelebihan orang membuat jiwa semakin gaduh,
melihat keberlimpahan dalam kehidupan orang lain menjadikan
kebahagiaan semakin jauh rasanya. Perasaan tak berdaya inilah yang
menggerus kemajuan diri untuk melihat dunia luas adanya. Mentalitas
negatif yang seperti inilah yang menjadikan manusia tidak bisa
bergerak melaju dalam potensi maha karya yang mengagumkan.
Berbeda halnya dengan
orang-orang yang siap menjadi seorang pemenang yang dipenuhi oleh
keyakinan dan sikap percaya diri. Dalam keyakinan mereka tersirat
satu pesan penuh makna; semua orang berkesempatan untuk menumbuhkan
potensi yang dikaruniakan Tuhan dalam dirinya. Kelebihan orang lain
tidak lagi menjadi boomerang, justru dengan adanya kelebihan dalam
diri orang lain menjadikan mereka melihat dunia penuh warna, dan
berkesempatan untuk bisa melatih diri untuk menggali potensi yang
ada, ini semua akan menjadi realita jika mensyukuri apa yang ada
lantas ikhlas untuk bersikap menjadi individu yang layak menduduki
pentas terbaik hidup ini.
Melihat kelebihan orang
lain sebagai pemacu keberhasilan tentu saja langkah awal untuk bisa
meraih kesuksesan. Model pemikiran inilah yang menyadarkan kita bahwa
sejatinya hidup penuh warna. Dengan memacu diri untuk bertumbuh
menjadi individu yang sadar fungsinya dalam kancah kehidupan
bermasyarakat menjadikan harapan untuk maju semakin subur dan
menjadikan semangat baru bertumbuh setiap harinya. Harapan untuk
maju, tentu saja menjadi dambaan setiap orang yang memiliki harapan
menjadi manusia yang menabjubkan sekaligus mengagumkan.
Kemajuan
dalam hidup akan sangat bergantung dari kepercayaan diri yang kuat
bahwa semua sedang bertumbuh menjadi manusia pilihan. Namun dalam
realitasnya, hanya sedikit orang yang menjadi pemenang diatas pentas
kehidupan. Tentu saja sangat ironis sekali apa yang sedang menimpa
setiap diri manusia yang berharap kualitas hidupnya bertumbuh maju
disetiap waktu, namun sedang didera ketidak percayaan diri melihat
kelebihan yang ada dalam diri orang lain. Mentalitas seorang pemenang
bukan karena ia mengalahkan orang lain, sejatinya seorang pemenang
adalah mereka yang menyadari apa yang dikaruniakan tuhan dalam
dirinya lantas mengembangkan apa yang ada sebagai cara untuk memuji
dan mempersembahkan syukur kepada Illahi. Lestari jiwa saat menerima
diri dan terus berusaha menjadi diri yang terbaik. Itulah cara untuk
bisa menjadi seorang pemenang yang layak dibanggakan.
Salam
satu jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia.
Mustafid
Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Langganan:
Postingan (Atom)