Rabu, 29 Februari 2012

Tuhan ada disana... Sudahlah,,, Jangan Takut Sayang!!!

Seorang anak berusia tujuh tahun sedang asyik bermain sepak bola bersama ayahnya dibelakang rumah, kebetulan rumah yang mereka huni letaknya masih relatif sepi dibandingkan perumahan lain dikota tempat mereka tinggal, pun juga lokasi rumah mereka terletak dipojokan perumahan, posisi paling ujung yang bersebelahan dengan kebun yang kelihatannya belum terlalu sering disentuh oleh tangan rakus ummat manusia. Suasana sore menjelang petang memperlihatkan keanggunan mega kuning menyelimuti langit kota tempat mereka tinggal, namun Allan dan Ayahnya masih larut dalam permainan bola. Tiba-tiba saja saat giliran Pak Hum menendang bola kearah gawang yang dijaga, Allan, Anaknya, tidak terasa jari-jemari kakinya menyentuh bola dengan keras, hingga akhirnya bola masuk kedalam semak-semak pohon yang kelihatannya angker dan menyeramkan, ditambah lagi suasana yang terlihat menampak gelap saat petang telah mengejawantahkan diri dari balik cakrawala semesta.

    “Nak, Ayo diambil bolanya!” Pinta pak Hum kepada anaknya yang masih berusia belia itu, Harapannya tidak lain untuk melatih kemandirian sang buah hati agar kelak menjadi pribadi yang handal menghadapi tantangan hidup masa depan, sebagaimana harapan kebanyakan orang tua terhadap anaknya, kelak saat bertumbuh dewasa. “Paaa… Allan takutt..!”Jawab Allan kepada ayahnya. “Sayang… Tuhan ada disana. Jangan Takut. Nak, Ayo diambil Bolanya…!” Pinta Pak Hum dengan Bahasa halus dan lembut, mencoba meyakinkan anaknya dan mengenyahkan rasa takut yang menyelimuti pikiran dan perasaan anaknya.

Mendengar nasihat Ayahnya, ada sedikit keberanian dalam diri anak kecil itu yang mencoba menuntun dirinya mengambil Bola yang ada diantara semak belukar. Jadi, Dengan sedikit keberanian Allan mencoba memasukkan sebagian tubuhnya yang masih mungil itu kedalam semak dan memanggil lantas meminta tolong, “Tuhan, Kalau engkau ada disana, Tolong Ambilkan Bolanya donk!!!”

    Sahabat Pembaca yang budiman dan dirahmati Tuhan Sang Maha Kasih lagi Kuasa atas segalanya. Bagi anda yang suka ceritra canda dan tawa, bolehlah anda tertawa seadanya selama tertawa itu belum dilarang keras oleh undang-undang Negara dan tata aturan agama. Namun bagi anda yang tersinggung ataupun naik pitam dengan penuturan sederhana ceritra diatas, Izinkanlah kami untuk meminta maaf agar tuhan membukakan pintu rahmat bagi kita semua. Tidak ada niatan sedikitpun untuk menyakiti hati siapapun, seyogyanya hanya inginkan kita semua mengawali kehidupan ini dengan sedikit pencerahan agar hidup diliputi kebahagiaan dalam keseharian.

    Dalam hidup ini, kita juga seringkali berlaku demikian, layaknya Allan dalam ceritra diatas, seorang anak yang sedang bertutur wajah kehidupan manusia sekarang dalam keseharian, betapa seringnya kita meminta sesuatu kepada Tuhan, meminta agar tuhan yang Maha Kuasa menyelesaikan segala urusan dalam hidup yang diembankan kepada kita dikehidupan dunia ini, meminta dengan bahasa sederhana namun memaksa. Kita berdoa agar tuhan ikut campur dalam segala urusan ini dan itu, singkatnya Tuhan ikut campur dalam segala urusan dunia ini, dan bahkan terkadang kita menjadikan Tuhan sebagai budak untuk memikul ragam permintaan yang kita panjatkan setiap harinya, namun anehnya saat selesai berdoa kita tidak berbuat sesuatu apapun, karena meyakini tuhan akan melakukan keajaiban dan mengubah segalanya. Adakah keyakininan ini salah1? Tentu saja tidak salah, namun perlu diluruskan.

Adakah keajaiban itu terjadi tanpa tindakan dan kerja nyata? Adakah restu Tuhan akan menampak bagi manusia yang hanya berpangku tangan dalam setiap persujudannya? Tentu saja tidak demikian cara Tuhan Yang Maha Kasih memberikan limpahan karunia-Nya kepada manusia yang dicintai-Nya. Hanya mereka yang menelurkan usaha dan kerja nyata-lah yang akan menyaksikan keajaiban tuhan berlimpah dalam kehidupan. Bukankah demikian yang tertera dalam Kitab Suci yang dibawa oleh para utusan? Pun juga dikuatkan oleh para Filusuf dalam hasil sintesa pemikiran mereka secara mendalam?

    Ada lagi hal aneh yang sering menimpa kebanyakan orang. Dalam keseharian mereka tak pernah meminta kepada tuhan, tak jua melakukan suatu tindakan sebagai usaha dan kerja nyata diatas pentas kehidupan, namun mereka selalu mencaci maki Tuhan atas segala nasib buruk yang menimpa kehidupan mereka. Mereka menistakan Tuhan dengan ragam penghinaan, padahal sejatinya cemoohan itu tidak lain teruntuk diri mereka sendiri, bukan kepada Tuhan yang Maha Kasih Sayang. Sederhananya, semakin mencoba menghinakan Tuhan akan menampakkan keterhinaan kita sebagai seorang hamba. Sungguh naïf, bukan?

Memang kita seringkali menyaksikan kehidupan mereka yang selalu dekat dengan tuhan, dan mereka tidak pernah luput dari usaha dan kerja nyata sebagai tugasnya menjadi seorang manusia yang memang seharusnya berusaha, namun mereka mendapatkan kehidupan yang seperti itu-itu saja. Kita terkadang melihat mereka yang demikian itu adalah orang-orang yang merugi dan benar-benar telah ditimpakan kesempitan oleh Sang Maha Kasih. Ini tentu saja hanya sebatas penglihatan kasat mata tentang penilaian bagaimana kehidupan masing-masing orang. Perlu untuk kita renungkan, apa yang terlihat dalam dunia meteri belum tentu terpatri dalam dunia yang lebih luas ini.

Dalam penilaian kehidupan yang lebih luas akan cahaya kasih Tuhan, mereka jauh lebih bercahaya ketimbang kita yang hanya duduk menantikan keajaiban dibalik tangan yang berpangku dibawah atap kuasa orang lain. Kita juga sadari dengan sepenuh hati. Toh juga, perubahan itu tidak terjadi dengan sekejap mata atau hanya dalam kurun waktu sesingkat membolak-balikkan tangan semata, Bukan!?

Barangkali dengan kesederhanaan mereka ada cahaya kasih yang menjadikan mereka terlihat indah dalam pencerahan hidup yang mendamaikan. Sebagaimana terlihat dari mereka yang hidupnya bercahaya, baik itu dari para utusan maupun mereka yang telah memendarkan cahaya kenabian dari setiap peresapan dan diaktualisasikan dalam ragam tindakan keseharian. Kehidupan yang demikian jauh lebih bermakna dimata Sang Pencipta lagi Maha Kuasa karena keberadaan usaha dan kerja nyata serta lantunan syair doa sebagai pengakuan tulus akan keberadaan tuhan ditengan kehdiupan ini, bahkan dalam setiap denyutan nadi dalam diri. Kebermakanaan itu akan lahir ketika usaha dan kerja nyata dalam berperoses dan dibarengi oleh penyerahan diri kepada Sang Pencipta, dengan cara demikian terbukalah cahaya terang dan kedamaian dalam jiwa. Keep Spirit For Our Life Better.

    Salam satu Jiwa. Salam Sehat Jiwa untuk Menggapai Hidup Bahagia

    Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Cobalah untuk tetap membuka mata dan tersenyumlah layaknya orang gila!

  Cobalah untuk tetap membuka mata! Lihatlah bagaimana orang-orang disekeliling anda yang tak pernah memberikan wajah termanis mereka saat duduk dibalik meja kerja. Barangkali mereka sibuk dengan pekerjaan mereka dan tak sempat memberikan anda satu senyuman. Justru pemandangan yang terlihat nyata adalah mimik wajah dan ekspresi serius terkadang muram karena beban yang begitu banyak hingga tak terhitung jumlahnya (Aaah, masa sich!? Segitu banyak jumlahnya, hingga tak terhitung. Iiii Lebay banget dech). Pola yang demikian seakan-akan telah menggadaikan senyum kebahagiaan itu entah kemana perginya.
Lain lagi ceritra lain dipojokan sana. Adapula orang yang memberikan ekspresi kecurigaan atau juga mungkin sikap ketus tak bersahabat kepada orang-orang disekelilingnya, Termasuk bagi Anda yang tak memiliki salah apa-apa, kena batu hanya karena pancaran jiwa yang tak berdamai dengan kehidupan yang ada. Tentu saja semuanya itu akan dapat menghilangkan rasa bahagia dan keindahan suasana yang seharusnya dinikmati dengan lapang dada ditempat bekerja.

Biarkanlah segala sesuatu yang anda lihat saat ini berekspresi sekendak hati mereka dengan mimik wajah yang terlihat tidak mengenakkan hati, karena tidak mungkin menambah daftar kesengsaraan dengan memberikan saran gratis. Janganlah ikut masuk kedalam mimik wajah suram tak bercahaya atau sikap ketus seolah-olah tak ada orang lain disekililingnya. Cukupkanlah diri anda untuk memberikan satu sentuhan ketulusan dengan senyuman penuh pancaran aura kebahahagiaan walau tak seorangpun yang memintanya. Karena sesungguhnya satu senyuman yang anda berikan ataupun hadirkan bukan semata-mata untuk mereka, namun teruntuk diri anda yang mengharapkan warna cerah saat orang lain tak mau berbagi cerita bahagia.

Jika saja senyuman anda menginspirasi mereka untuk ikut serta dalam senyuman penuh kebahagiaan, maka bersyukurlah kepada tuhan yang telah memberikan anda sikap lapang dada untuk memberikan arti terindah bagi hidup ini walau hanya sekedar senyuman yang mungkin tidak berarti bagi mereka yang tak menginginkannya, namun kebermaknaan itu untuk diri anda dan untuk mereka yang menginginkannya.

    Cobalah sejenak bercermin dari kehidupan orang yang seringkali kita pojokkan dengan sebutan aneh; “Gila”. Bukan berarti mengajak anda menjadi orang gila yang nantinya mendekam dirumah Sakit Jiwa atau layaknya kehidupan mereka yang sudah berbelok dari batas “NORMAL”, sekali lagi bukan demikian tujuan yang sebenarnya. Bukankah mereka yang gila tidak mengerti apa dan tujuan hidup mereka, sedangkan anda sangat mengerti betul untuk apa ini dan itu serta memahami tujuan dalam hidup anda, inilah perbedaan yang nyata antara kita yang “Waras” dengan mereka yang disebut sebagai “Gila”, karena sesungguhnya semua orang yang inginkan bahagia sangat menginginkan suatu pola hidup yang teramat sulit untuk diapresiasi oleh kebanyakan orang saat bekerja ataupun melakukan aktifitas dan rutinitas harian; Senyum Ketulusan dan Kasih Sayang. Dan Bagi Saya, Anda, dan Juga Mereka, saatnya untuk memulai memberikan apresisi terindah atas kemauan diri untuk memberikan citra warna terindah bagi kehidupan diri dan orang lain dengan sentuhan senyuman penuh ketulusan dan kasih sayang.

Coba saja tengok sejenak, Mereka yang gila selalu saja memberikan senyuman terindah mereka walau tak seorangpun yang memintanya, mungkin kita mengira mereka tersenyum karena tidak ada beban hidup yang mereka pikul. Tidakkah kita sadari bahwa mereka yang gila adalah orang-orang yang memiliki segudang beban hidup yang menjadikan mereka seperti itu, bahkan kita menganggap mereka sudah tidak waras lagi melihat apa itu kehidupan, namun begitu mereka selalu memberikan senyuman yang masih mereka miliki dibalik ragam penderitaan yang menghimpit kehidupan mereka sehingga mereka sendiri butuh pertolongan dokter ataupun ahli jiwa untuk mengembalikan kehidupan mereka seperti dahulunya. Mengapa kita yang “Waras” ini begitu enggan memberikan senyuman kepada sesama? Akankah kita yang sebenarnya memang harus menyandang gelar aneh itu; “Orang Gila” karena kita tidak pernah memberikan kebahagiaan kepada sesama dengan satu senyuman yang tidak pernah dipungut biaya. (Jangan sampai dech disebut Gila. Ntar orang sekampung datang membawa perkakas untuk mengejar “Anda” karena dianggap “Gila” atau karena menganggap orang lain “Gila” Iiiii… TAKUUUT!!)

Soo, Gemana donk!? Sederhana saja. Tersenyumlah saat orang lain tak memberikan senyuman kepada Anda. Barangkali mereka lupa dan memang sengaja melupakannya. Namun bagi anda, jangan melupakan niatan baik untuk memberikan kebahagiaan bagi orang lain dengan senyuman penuh ketulusan sebagaimana dedaunan diluar sana yang melambaikan tangannya kepada Anda karena niatan baik untuk memulai senyuman kepada sesama. Teman! Seorang dokter Spesialis Jiwa Pernah berpesan dalam bahasa sederhananya; "coba saja bercermin dari orang "GILA" yang selalu tersenyum bahagia tanpa seorangpun yang memintanya. Mereka menampak bahagia bukan karena tidak ada beban, justru mereka adalah orang yang dianggap memiliki "BANYAK BEBAN" oleh kebanyakan orang, termasuk kita yang melihat kehidupan mereka yang terlihat jauh dari kewajaran layaknya kita yang "Normal", walau begitu mereka selalu tersenyum adanya. Masa kita Yang Normal pelit sekali untuk tersenyum kepada sesama?!? Akan selalu ada keindahan ketika ketulusan kita berikan kepada kehidupan ini walau sekedar sebuah senyuman. Selalu ada kesejukan yang akan menghadirkan kedamaian ketika jiwa telah sepenuhnya tersenyum dalam ketulusan disetiap belaian kasih Sayang. Dan itulah sumber kebaikan. Maka berikanlah senyuman itu, dengan demikian kita telah berbagi kebaikan kepada sesama, kepada kehidupan ini juga.

Mengawali kehidupan pagi ini dengan senyuman adalah indah untuk kita lakoni dalam keseharian dikehidupan. Dengan senyuman tidak hanya sedang menghadirkan kebahagiaan bagi orang lain, namun juga sedang menyuguhkan kemuliaan bagi mereka yang membiasakannya dalam keseharian layaknya tarikan nafas ditengah kehidupan ini. Keep spirit For Our Life Better

Salam satu Jiwa. Salam SEHAT JIWA Untuk menggapai Hidup Bahagia

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Jangan Cuma Lihat"USIA" lantas menghakimi "DEWASA". Tua BelumTentu Dewasa Lhooo... Uuuuups

Kita mungkin sering beranggapan bahwa usia menjadi tolak ukur kedewasaan seseorang; kematangan seseorang dalam menyikapi kehidupannya, usia menjadi jaminan dimana seseorang bisa menorehkan seribu asa, dan usia menjadi landasan akan kebijaksanaan dalam diri seseorang. Dalam pandangan ini, tentu saja tidaklah salah, karena adanya standarisasi usia tertentu untuk menilai dan dijadikan sebagai acuan tertentu dalam melihat perkembangan diri seseorang. Namun mengacu pada pemahaman diri yang berfokus pada kenyataan penilaian yang demikian itu tidaklah sepenuhnya dibenarkan, mengapa demikian!? Usia bukanlah suatu ukuran mutlak yang menjadikan seseorang memulai dan ataupun berhenti untuk menorehkan karya terbaik dan perjuangan dalam hidupnya. Usia bukanlah satu-satunya standar penilaian rajutan kedewasaan seseorang didalam hidupnya, dan usia bukanlah lsatu-satunxa andasan utama dimana seseorang dinilai kebijaksanaannya ditengah sendi-sendi kehidupan.

Kita seringkali beranggapan, jika seseorang sudah memasuki usia tua, maka mereka telah sepenuhnya didera oleh ragam penyakit; pikun, sosok tubuh yang sudah lemah tak berdaya, penglihatan mulai rabun, dan ragam penyakit lainnya saat usia mulai menua. Oleh karenanya, mereka yang sudah memasuki usia tua sudah tidak lagi produktif dalam menelurkan inspirasi dan karya besar sebagai persembahan teruntuk kehidupan ini, namun dalam kenyataannya banyak orang yang usianya sudah “tua” melakukan hal terbaik, melahirkan inspirasi dan menorehkan seribu asa layaknya anak muda walau tubuh mereka sudah lumpuh tak berdaya, karena dalam yakin kebanyakan, orang usia tua adalah akhir dari segala-galanya, tinggal menunggu datangnya kematian menjemput saat tertidur diatas dipan. Tidakkah kita mengacu pada kehidupan mereka ini, tua namun melahirkan semangat muda yang terus menginspirasi kehidupan. Kisan Baburao Hazare, 75 Tahun, Pembela tanah air dalam memberantas Korupsi, di India. Soekarno hatta direpublik tercinta ini. Sutan takdir alisjahbana. Dan masih banyak cerminan kehdiupan lainnya yang layak dijadikan panutan untuk memulai kehidupan menabjubkan.

Terkadang pula kita beranggapan bahwa mereka yang sudah tua adalah sosok pribadi yang sudah dewasa, matang dalam segala-galanya dan sosok pribadi yang bijaksana Tentu hal ini tidak sepenuhnya benar. Kok bisa sich!? Betapa banyak orang tua yang usianya tidak lagi muda, menampakkan sikapnya ditengah kehidupan layaknya mereka yang masih muda atau kekanak-kanakan. Kita sering terpaku pada prinsip lama, bahwa mereka yang tua, sudah banyak mengkonsumsi asam garam kehidupan (akumulasi ragam pengalaman hidup), dan mereka telah sepenuhnya menampakkan sikap kedewasaannya sebagai bentuk pengejawantahan ragam pengalaman masa lalu yang pernah mereka dapatkan dibangku kehidupan ini. Belum tentu benar adanya, lagi-lagi mengingatkan kita akan kondisi kehidupan sebagian orang yang usianya sudah tua, namun sikapnya layaknya seperti kebanyakan anak muda. Disatu sisi yang lain, kita juga seringkali terkecohkan dengan “Usia” seseorang, kita terpaku pada usia biologis yang menentukan sikap kedewasaan seseorang, jika saja seorang memiliki usia relative muda, sebut saja diusia dua-puluh-an, kita mengaggapnya belum terlalu matang dalam mensikapi realitas kehidupannya. Tidak ada niatan untuk menyakiti hati siapapun yang usia sudah  tidak lagi muda, hanya inginkan  kita bisa ceria bersama dan bertumbuh bersama merajut keindahan teruntuk diri terbaik dihari ini dan masa mendatang, dalam yakin kami anda jauh lebih dewasa dan sosok seorang pribadi yang cakap lagi bijaksana.

Lagi-lagi pemikiran yang demikian tidak menjadi patokan absolute dalam memandang artian kehidupan. Barangkali jika mengacu pada keadaan orang pada umumnya, mungkin hal itu tidaklah salah. Akan tetapi berpatokan sepenuhnya pada pola yang demikian jelas-jelas keliru adanya. Betapa tidak, begitu banyak orang yang kita anggap sudah tua dan tidak layak pakai, pada kenyataannya mereka menorehkan karya terbaik layaknya mereka yang masih muda dengan semangat hidup yang masih berkobar-kobar. Betapa banyak anak muda yang kita anggap usia mereka masih relative muda, namun ternyata berfikir dewasa, jauh lebih matang daripada mereka yang sudah memasuki usia kepala tiga. Pengalaman hidup mungkin saja terbatasi oleh usia, akan tetapi sikap yang tampak dalam memandang kehidupan ini jauh lebih matang, barangkali karena “kesadaran diri” serta kemauan untuk “belajar” yang menjadikan sesorang tersadarkan dan bertumbuh dalam kedewasaan dan kematangannya dalam menyikapi hidup ini. Lantas terbayang satu pertanyaan dalam benak dan pikiran? Standar kedewasaan seseorang itu letaknya dimana sich?

Sederhana saja, tidak lain ada didalam sikap ditengah sendi-sendi kehidupannya. Artinya, diusia berapapun saat ini kita berada, kita memiliki kesempatan untuk melakukan yang terbaik, mempersembahkan hal-hal yang menabjubkan teruntuk kehidupan, satu kesempatan untuk berkarya tanpa harus terpaku pada standar usia, memupuk diri agar terus berpacu pada kedeawaan dan kebijaksanaan. Disinilah kematangan hidup, kedewasaan dalam mengambil sikap dimana kita bisa belajar dan terus belajar untuk bisa bertumbuh dewasa, bertumbuh menjadi pribadi terbaik yang terlihat bijak dalam menyikapi kehidupannya, bertanggung jawab, cakap dan terlihat sederhana, namun mampu melahirkan sesuatu yang luar biasa, bukan lagi sikap “biasa diluar”. Inilah kedewasaan dan kematangan yang sesungguhnya yang sejatinya mengantarkan pada wujud diri seseorang yang telah layak disebut “Dewasa”. Tidakkah kita menginginkannya? Jika memang berharap menjadi “dewasa”, Tunggu apa lagi, inilah saat yang tepat untuk kita, belajar didalam hidup untuk menjadi seorang “Dewasa”. Keep Spirit For Our Life Better.

Salam satu Jiwa. Salam SEHAT JIWA untuk menggapai hidup bahagia.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

SAMPAIKAN apa adanya, TUHAN jadi SPONSORNYA. suer dech...

Jum’at siang, Seorang pengkhotbah berdiri didepan mimbar dengan membawa pletser masih terlihat menempel dibawah hidungnya. Sang Pengkhotbah terlihat antusias menyampaikan khutbahnya tanpa perduli rasa sakit yang masih dirasakannya. Sampai akhirnya selesai sholat jum’atan digelar, seorang jamaah bertanya kepada sang pengkhotbah. “Bapak kenapa? kok plesternya dibawa-bawa keatas mimbar? Dari tadi saya memperhatikannya. Kelihatannya aneh, tidak seperti biasanya. Apakah membawa plester termasuk sunnah NABI?”

Ooo, plester ini maksudnya? Bukan termasuk bagian dari Sunnah nabi, hanya saja mencukur kumis yang menjadi sunnahnya. Begini ceritanya, Tadi pagi saat sebelum berangkat jum’atan saya terluka kena pisau cukur ketika saya sedang mencukur kumis sambil memikirkan khotbah saya.” Jawab Sang Pengkhotbah kepada jamaahnya. Tiba-tiba salah seorang jamaah berkomentar, “ Lain kali harus waspada ustadz. Lebih baik mencukur khotbahnya biar nggak buat kantuk jamaah ketimbang mencukur hidungnya sendiri!!!”.

Cerita diatas hanyalah FIKTIF belaka. Jika ada kesamaan tokoh, tempat dan peritiwa, hanyalah sebuah kebetulan belaka karena memang sengaja direkayasa. KAMI memohon maaf yang sedalam-dalamnya kepada semua rekan Pembaca jika ada yang tersinggung ataupun tersakiti. Karena, tidak ada satupun niatan yang terbersit dihati kami untuk menebarkan dendam antara kita. Semoga Tuhan Sang Maha Kasih menuntun kita kepada pencarian yang sesungguhnya; Jalan Kebenaran.

Bagi anda yang suka cerita canda dan tawa, Bolehlah anda tertawa sewajarnya selama tertawa itu belum termasuk dalam daftar LARANGAN yang dilarang oleh Undang-Undang Negara maupun kode etik adat serta norma agama. Namun bagi anda yang menaruh rasa tidak nyaman didalam jiwa ataupun menyimpan rasa ke-tersinggungan karena membaca ceritra tersebut diatas, maka perkenankanlah kami menghaturkan ungkapan maaf setulus-tulusnya dari hati yang paling dalam dan izinkanlah pintu maaf terbuka selebar-lebarnya agar kita tidak menjadi bulan-bulanan busur panah setan yang teraniyaya dimata Sang Pencipta, Bukankah kebencian menjadikan kita sebagai salah satu diantara Teman dekat setan dan para konco-konconya? Sederhananya niatan kami tidak lain untuk mengingatkan diri sendiri, pun juga kepada kita semua agar jiwa kita terbuka untuk menerima pesan suci Tuhan yang Maha Kuasa atas segalanya didalam realitas kehidupan ini.

Sahabat Pembaca yang budiman dan dirahmati oleh Tuhan Sang Maha Kasih, Tuhan seru sekalian alam. Ceritra diatas tidak lain adalah cerita kehidupan kita. Layak disebut sebagai miniature dari kebanyakan hidup manusia. Dalam kehidupan ini, seringkali kita berfikir untuk bisa merubah orang lain sebagaimana apa yang kita inginkan dengan memberikan uraian yang panjang, bahkan sampai-sampai membuat kita lupa apa yang kita sampaikan saking begitu banyaknya materi yang diutarakan didepan khalayak ramai. Kita menuntut agar orang lain sebagaimana apa yang kita sampaikan kepadanya tanpa harus memperdulikan kondisi mereka. Hal-hal seperti ini seringkali terjadi didunia pendidikan kita, pun juga dalam dunia kehidupan lainnya. Keep spirit for our life better.

Salam satu Jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Selasa, 28 Februari 2012

Ada malaikat kecil di Rumah Sakit itu... Dialah CINTA

   Keheningan malam itu menyampaikan berjuta keindahannya yang tidak akan mampu dibahasakan oleh setiap jiwa, entah itu oleh seorang sastrawan ternama sekalipun sekaliber Kahlil Gibran ataupun sosok seorang HAMKA yang begitu dikenal dibumi pertiwi ini. Malaikat-malaikat malam bersinar terang mengitari pesona cahaya sang rembulan, begitupula peri-peri berhiasan pernak-pernik hiasan semesta, Subhanallah, Indahnya, semua itu tercipta tidak lain oleh tangan kreatif Tuhan yang telah memberikan karunia terindah bagi setiap insan, begitulah hati berbisik dalam-dalam. Sejenak seluruh alam semesta mencoba untuk menyapa seraya berucap untaian syair-syair doa ditengah kedamaian dan ketenteraman, menantikan senyuman setiap insan yang berharap kepada Tuhan dengan penuh ketulusan, termasuk do’a-do’a mereka yang sedang dirundung cobaan hidup oleh Sang Pencipta, baik mereka yang sedang terlentang sakit tak berdaya atau siapapun mereka. Sungguh malam itu adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan sebaris doa atau beberapa patah doa sebagai sebuah pengharapan kepada sang pencipta agar hidup ini menjadi inspirasi penuntun kebahagiaan.

Malam itu, Suasana Rumah sakit terlihat Sunyi sepi. Sesunyi semesta saat gelap telah menyelimuti seluruh ruang diatas semesta. Malam itu, Dirumah sakit tidak terlihat seperti malam-malam biasanya yang terlihat ramai disetiap pojokannya, hanya saja masih ada suara rengekan dan jeritan orang-orang yang sedang sakit yang dirawat diruang inap. Begitulah adanya, suara rengekan dan jeritan sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah terjadi, lebih lagi; Suasana malam itu semakin terasa hangat oleh suara hentakan kaki perawat dan residen calon dokter yang sedang sibuk menangani para pasiennya. Wajar saja kondisi rumah sakit terlihat sepi, malam itu adalah malam minggu, tentu saja rumah sakit tidak begitu ramai seperti malam-malam biasanya saat para petugas kesehatan begitu ramainya untuk mengisi setiap ruang rumah sakit untuk mengontrol perkembangan pasien-pasiennya. Para dokter dan perawat yang biasanya meramaikan rumah sakit sedang menghabiskan waktu liburan panjang mereka setelah satu hari sebelumnya mendapatkan cuti bersama. Namun bagi para perawat dan residen calon dokter yang bertugas tidak bisa menikmati hari libur mereka karena tuntutan tugas yang harus mereka selesaikan sebagai suatu keharusan dan tanggung jawab besar bagi mereka yang sedang membutuhkan pertolongan medis; sakit.

Suasana malam semakin larut, angin malam pun ikut mengantarkan kesunyian malam semakin terasa memuncak menggerogoti tulang belulang. Rasa-rasanya tidak begitu kuat kulit ini untuk menahan dinginnya malam yang sudah sangat memuncak. Aku pun mencoba mengambil selimut yang letaknya tidak jauh dibawah kaki tempat aku berbaring, lantas aku pun menutupi sekujur tubuh yang sudah tidak kuat lagi menahan dinginnnya malam, pun juga menahan rasa sakit selama berbaring ditempat tidur diruang inap rumah sakit. Dan ternyata aku masih bisa melakukannya, walau tubuhKu begitu lemah dan tak berdaya, aku mencoba untuk melakukan hal-hal sederhana tanpa harus dibantu oleh orang lain, semua itu aku lakukan untuk terus mencoba menasihati diri agar bisa hidup mandiri. Sudah dua minggu aku terbaring lemas ditemani selang infus ditangan kananKu, ditambah lagi oleh alat medis lainnya yang ditancapkan disekujur tubuhku membuat aku tidak berdaya untuk bergerak lepas seperti dulu lagi atau juga seperti mereka yang sehat. Namun apa mau dikata, aku hanya bisa menerima kenyataan tanpa bisa menolak sedikitpun; bergulat bersama penderitaan yang mau tidak mau harus diterima dengan ikhlas dibarengi kesabaran dan ketulusan, karena hanya itulah bekal yang mampu membuat aku masih bisa bertahan sampai detik ini.

“Mas Amna!!!” Sapa seorang perawat yang saat itu masuk kedalam ruang dimana aku dirawat.  Aku begitu mengenal suara itu, bahkan setiap hari sudah terbisa dengan sapanya saat ia menghampiri pasien-pasien lainnya yang juga dirawat dirumah sakit, disebelah ruang akau dirawat.

Panggil saja dia Mbak Andin. Dia adalah perawat yang biasanya jaga malam. Dialah perawat yang selalu menjaga pasien-pasiennya termasuk juga diriku. Diruang inap kamar 24 atau biasa orang menyebutnya ruang internis, diruang itulah ia menghabiskan usianya untuk membantu orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan medis; sakit. Sekarang mbak Andin sudah menjadi perawat tetap setelah resmi menerima pengangkatan dirinya menjadi pegawai negeri yang ditugaskan dirumah sakit kota Malang. Kota yang dikenal dengan tempat wisata serta pemandangan alamnya yang begitu memanjakan mata bagi mereka yang sudah pernah mengunjunginya.

Saat Perawat, mbak Andin masuk ruangan dimana aku dirawat, ia selalu saja memberikan senyuman, seolah-olah senyuman itu adalah sesuatu hal yang tidak pernah ia lupakan, senyuman bagi setiap orang adalah kebiasaannya. Mungkin senyuman sudah menjadi karakter mbak andin. “Mbak andin ganti inpusnya dulu yach! Ntar Mas Amna bisa istirahat. Kalau nggak diganti, bisa-bisa Mas Amna gak sembuh-sembuh lho.” Kata perawat itu padaku sembari tersenyum. Sejenak setelah ia mengganti cairan infus, andin beranjak pergi meninggalkan ruang inap dimana aku dirawat.

Jam berdenting melaju tanpa henti, berdetak seirng perjalanan garis waktu, detik demi detik berlalu berganti menit, menit pun kini berganti jam, tidak terasa jarum jam diatas tembok ruangan sudah menunjukkan pukul 01;30, ternyata sudah larut malam. Sudah setengah jam mataku ini tak jua mau terpejam, aku tidak bisa tidur lagi setelah terbangun. Hanya bisa melihat langit-langit kamar dan tembok ruangan yang dicat warna putih. Barangkali ini yang dinamakan dokter dengan istilah asing itu; insomnia. Iya, begitu ucapan dokter yang pernah aku dengar saat sang dokter telah selesai memeriksa kondisi kesehatanku minggu lalu.

Ternyata sakit itu begitu melelahkan, wajar saja banyak orang menyesal setelah ia jatuh sakit. Betapa berartinya hidup sehat, bisa melakukan segala aktfitas dengan mudah tanpa adanya beban fisik, berbeda halnya saat tubuh sudah tergulai lemah tak berdaya, namun ternyata penyesalan hanya tinggal penyesalan, semua itu tidak ada gunanya lagi. Kini hanya bisa bergulat dengan dentingan waktu yang terus berputar bersama seribu harapan yang belum nyata ditengah bentangan kehidupan. Bersyukur bagi mereka yang sedang diberikan karunia kesehatan. Andai saja mereka tahu rasanya sakit dan penderitaan yang tak juga pupus, mungkin tidak ada diantara mereka yang mengabaikan kesehatannya saat ini. kesehatan layaknya sesuatu hal yang termat berharga, mungkin kesehatan bukanlah segala-galanya, namun tanpa kesehatan hidup tak berarti apa-apa. Tinggal kehampaan berteman penyesalan hingga menyisakan tangis diakhir pejalanan saat menapaki jalan kehidupan yang begitu panjang tanpa kita tahu kapan akhirnya.

Suasana malam kini telah berganti pagi, tetesan air infus terus mengalir dalam vena, tanpa hentinya air infus ini mengisi tubuhku sejak dua minggu lalu. Rasanya begitu sangat terasa menusuk seluruh jari-jemariku sampai tangan ini membengkak dan tak berdaya, terkulai lemas, seolah-olah ada beban yang diikatkan diantara jari-jemari dan sekujur tubuhku. Walau demikian, beban bukanlah cara tuhan untuk menghadirkan keterhinaan, barangkali sakit ini akan mampu menghapus segala kesalahan yang pernah tertorehkan ditengah bentangan kehidupan.

Dipagi yang masih gelap bersama cahaya temaran, Tiba-tiba saja pintu kamar ruang dimana aku dirawat terbuka, entah siapa yang membukanya, hati ini bertanya-tanya, namun tidak beberapa saat kemudian terlihatlah sosok wanita berkulit putih bersih, pancaran wajahnya begitu menyejukkan, wajar saja wajahnya masih terlihat segar dan berseri-seri setelah menyentuh air wudhu, kayaknya dia adalah seorang wanita yang taat beribadah. Rambutnya yang panjang nan hitam memperindah penampilannya. Sosok wanita yang anggun, bisik hatiku dalam-dalam. Saat ia masuk ruangan, Ditangannya terlihat cairan infus dan peralatan medis lainnya. Barangkali ia akan mengganti cairan infusku lagi, begitu gumamku dalam hati. Ternyata wanita itu tidak lain adalah mbak andin, perawat yang begitu ramah dan baik hati yang selama ini aku begitu kenal, seolah-olah perkenalan itu membuat kehidupanku dirumah sakit terasa menyejukkan walau sepenuhnya kondisi fisik ini butuh perawatan medis. Saat sejenak ia perlahan-lahan mendekat dan menaruh peralatan medis yang dibawanya diatas meja yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat tidurku.

“Selamat Pagi Mas Amna!” sapanya, lantas tersenyum padaku. “Bagaimana kondisinya sekarang? Tadi malam istirahatnya pasti nyenyak yach?” lanjutnya. “Pagi juga Mbak, masih kurang begitu kok mbak, tapi gemana lagi, mau tidak mau harus diterima apa adanya, toh juga memberontak dari kenyataan sudah tidak ada gunanya lagi. Oya mbak, tadi malam saya tidak bisa istirahat. Setelah terbangun dari tidur, mata tidak bisa dipejamkan lagi, kira-kira penyebabnya apa yach?” tanyaku pada mbak andin, perawat ruang internis yang biasanya berjaga malam. Sosok seorang perawat yang dikenal baik dan penuh tanggung jawab, lebih lagi dengan kecantikannya yang begitu menawan, rasa-rasanya setiap mata akan begitu terpesona saat menyaksikan keindahan kecantikannya maupun keperibadiannya. Layaknya seorang malaikat kecil yang dititipkan Tuhan dirumah sakit. Sungguh, semua ini karunia tuhan yang layak untuk disyukuri.

Setelah mendengarkan keluhanku, Perawat itu tidak langsung menjawab pertanyaanKu saat itu. Seketika itu ia langsung memasang stetoschope ditelinganya. Telinga yang begitu indah terlihat dibola mataku. “Saya periksa dulu perkembangan kondisi mas amna yach.!” Katanya padaku. Tanpa pikir panjang aku pun langsung mempersilahkannya. Saat itu ia menempelkan stetoschope dibagian atas perut, tepatnya dibagian paru-paruku. Rasanya desiran darah didalam tubuhku mengalir deras dibarengi detakan jantung yang intesitasnya mulai meningkat. Entah mengapa semua itu terjadi. Sejak pertemuanku dirumah sakit itu membuat aku begitu nyaman dengan perawat yang sedang memeriksa aku saat itu. memang hubungan kami sebatas pasien dan terapis, namun entah mengapa, intensitas pertemuan yang begitu seringnya membuat aku menyimpan sesuatu yang lain didalam hati ini. namun apa mau dikata, itulah adanya. Barangkali kondisi demikian seringkali terjadi antara dokter dan pasiennya atau petugas kesehatan lainnya walau tidak semua mereka seperti itu.

Dalam hati aku bergumam, “bagaimana mungkin ia akan menaruh hati padaku, aku hanyalah sosok seorang laki-laki yang sudah tak berdaya. Mana ada cewek secantik mbak andin akan menaruh hati pada pasien yang sakit seperti diriKu. Ia hanya pantas memiliki laki-laki tegar yang mampu untuk menjaga serta mengayomi kehidupannya. Beda dengan diriKu yang saat ini hanya bisa terkulai lemas tak berdaya.” Pergulatan rasa dalam diri terus saja saling mengomentari. Tiba-tiba saja aku tersentak oleh mbak andin yang sudah selesai memeriksa kondisiKu saat itu. “Mas Amna Melamun yach?!? Waaah, jangan-jangan mas amna sakit karena ditinggal pacar. Hehe” apa yang dikatakan perawat itu membuat aku tersentak, kesadaranKu mulai kembali, aku hanya bisa terkesipu mendengar apa yang dikatakannya pada diriku. “Aaah, mbak ini ada-ada ajja kok, mana ada cewek yang mau sama laki-laki yang sakit-sakitan seperti ini.” jawabku padanya. “Siapa tahu lho mas, yang namanya cinta tidak ada yang tahu lho mas.” Jawab mbak andin mengomentari dengan lembutnya. Tentu saja ucapannya itu semakin menumbuhkan seribu harapanku. Mungkin saja dia juga menyimpan rasa cinta itu sebagaimana aku mencintainya, namun itu tidak akan mungkin terjadi. begitu bisik hati ini dalam-dalam, seolah sedang terjadi pergulatan didalam.

“Mas amna istirahat yang cukup yach, sekarang saya harus pergi, maklum tugas sudah selesai, InsyaAllah besok malam kita bertemu lagi. Oya, dokter yang akan opesai mas belum bisa datang hari ini, maklum hari ini dokter masih libur, jadi bakal bisa bertemu dokter hari senin besok. Sabar yach. Lekas sembuh mas amna.” Kata-kata perawat itu yang sangat memotifasi bagi diriku. “terima kasih mbak. Mbak andin baik banget, semoga saja hari ini adalah hari yang indah buat mbak andin! selamat menikmati hari libur yach. Have a nice day” jawabku untuk menimpalinya. Perawat itupun meninggalkan ruangan dimana aku dirawat. Kini tinggal aku sendiri tanpa seorang pun yang menemani, hanya ada selang infus dan peralatan medis lainnya ditambah bantal warna putih yang melekat dikepala.

Kini cahaya mentari sudah menampakkan diri, walau masih terlihat seberkas cahaya temaran untuk menyibak embun pagi yang masih bergeming diatas pucuk daun. Seolah-olah embun masih enggan untuk meninggalkan kemesraannya bersama dedaunan yang masih malu membuka diri menyambut hadirnya pancaran cahaya sang surya kala itu. Waktu terus bergulir tanpa pernah berhenti barang sejenak. Tidak terasa sudah, kini mentari hari senin sudah menampakkan diri diatas permadani bumi. Hari yang dinantikan sekaligus mendebarkan sudah tiba. Embun pagi sudah tidak terlihat lagi membasahi rerumputan dan dedaunan. Kini mentari sudah melangkah jauh diatas garis cakrawala. Kehangatannya pun sudah mulai terasa.

Pagi itu, suasana rumah sakit sudah kembali seperti biasanya. Banyak perawat, residen calon dokter, dokter dan petugas kesehatan lainnya meramaikan rumah sakit. Mereka terlihat sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada diantara mereka yang sibuk meresepkan obat bagi para pasien yang dirawat diruang inap, ada juga yang bertugas mengganti cairan infus bagi para pasien yang memang sudah waktunya untuk mengganti cairan. Ada pula yang sibuk mendorong kursi roda pasien yang baru datang berobat atau mungkin akan dirawat diruang Inap. Kondisi demikian sudah tidak asing lagi dimata ini, pemandangan yang sudah biasa terjadi dirumah sakit.

Seorang laki-laki separuh baya memasuki ruangan tempat aku dirawat. Balutan baju putih melengkapi busana yang dikenakannya. Stetoschope yang melekat dilehernya menambah penampilan sang dokter. ia pun langsung mendekatiku lantas memeriksa perkembangan kondisi kesehatanKu. Setelah lama melakukan inspeksi diruang dimana aku dirawat, sang dokterpun mempersiapkan segala keperluan untuk mencatat apa yang sudah didapatkannya dari hasil diagnosis lanjutan. “Mas amna, hari ini anda masuk ke ruang bedah dan akan ditindak lanjuti oleh dokter bedah. Saya sudah mengkomuniaksikannya dengan pihak yang bersangkutan. Saya sebagai dokter anda akan tetap mengevaluasi perkembangan anda, nantinya. Sebaiknya anda tidak perlu cemas ataupun takut. Yakinkah diri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja, Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-hambanya.” Setelah berucap demikian, dokter inipun melepaskan senyuman kepadaku yang membuatku terasa lebih nyaman walau ada sedikit beban yang masih tersisakan. Setelah sang dokter berkata demikian, ia pun kini meninggalkan ruangan beserta dua residen calon dokter yang ada dibelakangnya.

Entah mengapa, rasa cemas dan takut tiba-tiba mengganggu pikiran ini. Wajar saja ini terjadi, kali pertama untuk memasuki ruang bedah. Sebelum-sebelumnya tidak pernah memasuki ruang operasi. Terasa menyeramkan memang. Kekalutan pikiran membayangi, ditambah lagi oleh keluarga yang belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah itu papa, mama ataupun saudara. Sebenarnya diri ini takut jika harus menjalani operasi. Mengapa harus ada operasi, apa sudah tidak ada lagi solusi lain yang bisa menggatikannya, begitu hati berbisik.

Ditengah kekalutan pikiran, pintu ruangan terbuka. Ternyata sudah ada papa dan mama yang berdiri disamping pintu. Merekapun masuk dengan leluasa. Hanya ada kami sekeluarga yang mengisi ruangan itu. “Nak, papa sama mama minta maaf karena tidak bisa menemani, sudah dua malam papa dan mama tidak bisa menginap dirumah sakit. Oya nak, kata dokter, hari ini waktunya memasuki ruang bedah. Nak, jangan cemas, semuanya akan baik-baik saja. Dokter yang bakal melakukan operasi adalah teman papa, jadi tidak perlu cemas, beliau adalah dokter yang sangat professional dalam bidangnya.” Pesan papa membesarkan hatiku. Namun sesungguhnya ada sedikit kesedihan yang masih tersisa dalam angan-angan. Andai saja mbak andin ada ditempat ini, mungkin aku bisa mengucapkan beberapa patah kata, mungkin saja ini adalah akhir dari hidupku untuk bertemu dirinya, barangkali dengan mengucapkan rangkaian ucapan terima kasih akan membuat dia mengerti apa yang sebenarnya ada dalam hati ini, walau sepenuhnya tidak disampaikan dalam bahasa yang lugas akan harapan dan inginku. Begitu hati ini bergumam. Namun entahlah, hari itu aku tidak juga bertemu dengannya hingga detik-detik penantian sudah mendekati tanpa bisa diundur lagi.

Tidak beberapa jam kemudian, dua orang perawat memindahkan tubuhku, lantas mereka membawaku ke ruang yang tidak aku kenal. Kayaknya aku sudah memasuki ruang bedah. Tidak lama kemudian seorang dokter lengkap dengan baju kebesarannya, ditambah lagi oleh balutan masker diwajahnya, tiba-tiba saja mendekatiku dan menyuntikan cairan kedalam tubuhku. Tiba-tiba saja kesadaranku mulai menanggalkan diri lantas meninggalkanku sendiri. Hanya terasa kehampaan yang tidak mampu dibahasakan. Pikiran terasa membumbung tinggi ke atas angkasa. Entah mengapa hal itu terjadi. terlihat olehku sosok seorang laki-laki berbadan tegap dibaluti oleh baju putih bersih.

Aku tidak mengenal siapa pria itu. Suara dokter bedah dan rekannya terdengar samar-samar, lama kelamaan suara itu hanyut dibawa oleh oleh hembusan angin, entah dibawa kemana, yang kuraskan tubuhku mulai ringan tak berdaya. Aku hanya mampu melihat sosok laki-laki yang sedang mendekatiku, Aku tak dapat melihat wajahnya secara jelas, entah seperti apa wajah aslinya. Aku semakin takut, pikiran dan perasaanku semakin ringan adanya. Aku tersadar ternyata dia adalah sosok malaikat Izrail. Malaikat pencabut maut yang tuhan tugaskan untuk membawaku kembali keharibaan sang pencipta. Dia mendekatiku dan menggapai tubuhku yang sedang tergeletak tak berdaya diruang operasi. Dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap! Aku hanya bisa merasakan bahwa itulah akhir kehidupanku.

Dokter bedah yang betugas diruang itu terlihat sibuk untuk memberikan tata laksana atas tubuhku yang sudah tergelatak. Kayaknya mereka sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan operasi pada jantungku yang sudah tidak berdetak lagi. Upaya medis sudah sepenuhnya diupayakan namun ternyata tubuh itu terbujur kaku tanpa ada tanda-tanda kehidupan lagi. Aku hanya bisa menyaksikan tubuhku yang sudah tak mampu bergerak lagi. Dipojok ruang tunggu, aku sempatkan diri melihat mama yang dihiasi oleh derai tangis, begitu pula dengan papa. Raut wajahnya terlihat sendu walau ia mencoba untuk bisa tetap tegar menghadapi kenyataan.

Kini tubuhku yang kaku itu sudah dipindahkan diruang jenazah, terbalut selimut putih tanpa ada pakaian lainnya selain selimut putih itu. tiba-tiba saja seorang wanita cantik mendekati jasadku yang sudah terbujur, ternyata dia adalah perawat yang biasa menemani malam-malamku. Dia adalah mbak andin. Entah mengapa ia menghampiriku diruang jenazah. Akankah ia akan menanyakan lagi perkembangan kondisi kesehatanku lagi. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi karena aku tahu jasadku terbujur kaku tanpa suara. Tiba-tiba saja derai air mata membasahi pipinya. Andai saja tubuhku masih bisa bergerak, aku akan sempatkan diri untuk menyeka air mata dari pipi manisnya agar ia tidak lagi dirundung kesedihan. Entah mengapa ia menangisiku, yang aku tahu dia adalah perawat yang hanya mendampingi hari-hariku dirumah sakit.

Saat isak tangis dan derai air matanya mengalir, mbak andin sempat berucap beberapa patah kata disamping tubuhku yang sudah terbujur kaku. “Mas amna, mengapa engkau pergi meninggalkanku. Andai mas Amna bisa mendengarkan isi hatiku, mungkin cinta ini tidak membuat aku menagis sendiri.” Ucapan dari mulutnya tidak begitu jelas karena derai tangis yang membuat kesedihannya begitu bermakna, namun aku masih bisa mendengar apa yang diucapkannya itu. ternyata mbak andin, perawat yang baik itu menyimpan rasa sebagaimana cinta yang sudah bersemai dalam jiwa ini sejak pertemuan pertama malam itu, berawal dimana aku mulai dirujuk masuk dikamar 24, ruang internnis. Namun apa mau dikata, tubuhku hanya tergeletak kaku, tak berdaya dan tak bersuara sedikitpun. Inilah akhir dari kehidupanku beserta cintaku yang tersimpan didalam jiwa seorang malaikat kecil yang pernah tuhan titipkan dirumah sakit. Semoga saja merelakan kepergianku ini. Tuhan akan membalas budi baikmu, wahai malaikat kecilku. Keep spirit for our life better.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain.

Izinkan CINTA ini mengalir sebagaimana engkau telah membasuh samudra dari atas gunung kehidupan

Izinkan CINTA ini mengalir sebagaimana engkau telah membasuh samudra dari atas gunung kehidupan, nun jauh diatas sana

Ku tahu,,, Ku tak akan pernah bisa memberikan cinta seperti apa yang pernah engkau berikan dalam cenayang ketulusan dan keikhlasan dalam setiap perjalanan

Namun Izinkanlah Cinta ini mengalir dalam damai hingga mampu tuk sambut wajah cinta yang sesungguhnya

Andai saja diri ini mampu menyadari betapa mulianya cinta yang telah engkau beri, barangkali ku tidak akan pernah melukai ataupun menyakiti

Namun CintaMu tak pernah sirna walau harus rela bersimpuh luka disetiap sayatan

Hingga kini engkau tetap bertahan untuk selalu menjaga Cinta atas Nama Cinta sebagaimana tuhan mengkaruniakan cinta didalam jiwa sucimu itu

Ku tak Tahu, entah darimana Engkau belajar Cinta sebagaimana Tuhan telah mencipta Cinta

Sejak dahulunya engkau TumbuhkanKu dalam Cinta

MemberikanKu arti

Mengajarkaku makna disetiap apa yang tak pernah aku mengerti
Menuntunku tuk lewati setiap rintangan ditengah persimpangan jalan kehidupan yang tak pernah terlihat pasti

Mengayomiku dalam lindungan kasihMu

Menyelimuti seluruh ruang dalam Jiwaku dalam karunia Kebijaksanaan hingga akupun mampu merasakan kehangatan walau ditengah dingin yang mencekam

Hinga kini ku pun mampu tuk rasakan hidup dalam damai, karenaMu

Dalam hati berbisik, Barangkali Engkaulah Malaikat yang telah tuhan utus ditengah kehidupan Nyata hingga ku mampu melihat betapa sejuknya wajah kasihMu

Sungguh, tidak Mampu aku menyuguhkan cinta sebagaimana yang telah engkau berikan

Namun,,, Izinkanlah CINTA ini mengalir sebagaimana engkau telah membasuh samudra dari atas gunung kehidupan, nun jauh diatas sana

Berikan Aku waktu untuk bisa memberikanMU arti atas apa yang telah engkau ukir dalam diri ini

Sungguh, Kasihmu telah menerangiku dalam gelap yang tak tersiratkan lentera ataupun penerang didalamnya

Ibu... Betapa Mulianya engkau dalam hidupku

Jika Tuhan mengizinkanKu tuk bersujud padamu, ku akan bersimpuh dihadapanMu

Bagiku, engkaulah malaikat yang tuhan titipkan tuk kuatkan langkah kaki ini tuk terus berjuang menapaki setiap ringtangan ditengah perjalanan melewati kehidupan

engkaulah Guru cinta yang telah ajarkanKu kebijaksanaan dalam memaknai kehidupan

BagiKu, hadirmu adalah karunia terindah kehidupan sebagaimna tuhan pun telah mengutus Ayah untuk selalu membimbing dalam kegalauan

semoga Tuhan meberikan kado terindah kehidupan disetiap perjalanan

tak layak bagiku menyuguhkan sesuatu apapun kecuali doa persembahan agar kebahagiaan menyemaikan kehidupan

hingga sampailah dipintu gerbang keabadian yang diberikan tuhan sebagai persembahan cinta, persembahan kasih sebagaimana yang telah engku berikan

Salam satu jiwa... salam sehat jiwa untuk gapai bahagia...

Mustafid amna umary erlangga kusuma perdana saputra zain

Engkau telah sepenuhnya membebaskanKu dari derita Cinta. bolehkan Ku memanggilmu malaikat kecil dalam hatiku?

Mentari pagi sudah menampakkan senyuman manis diatas tiang langit diufuk timur nun jauh diatas sana, dibarengi cahaya terang, membangunkan semesta dari tidur lelapnya. Namun bagi Faiza, mentari kali ini bukanlah pertanda sebuah senyuman semesta, layaknya seorang yang sedang dirundung kekecewaan berbalut kesedihan. Sudah semalaman Faiza meneteskan air mata, seolah-olah air mata itu benar-benar telah menemani tidur lelapnya malam itu, membuat kedua kelopak matanya menampak warna merah, perasaannya tak menentu, begitu sakit rasanya hati yang tersimpan dibalik rongga dada membuat ia terkadang merasa diri seolah-olah sedang mengalami penyakit seperti sakit jantung. Sesekali sesak membuat ia kesulitan bernafas. Bagaimana tidak, rasa sakit dihati membuat seluruh tubuhnya pun ikut mengadu, Barangkali kondisi yang seperti ini yang pernah dikatakan dokter sebagai penyakit aneh itu; somatoform/ somatis. Entah mengapa kesedihan membuat jiwa dan raganya terkungkung dalam penjara kehidupan yang membuat semuanya terlihat suram adanya.

Pagi itu, Faiza hanya bisa menatap boneka yang menghiasi meja belajarnya, boneka teddy bear warna biru muda, boneka kesayangannya itu. Sesekali ia meneteskan air mata melihat boneka tersebut. Mengapa tidak, boneka teddy bear itu adalah kenangan satu-satunya yang dimilikinya yang pernah diberikan oleh Saputra; pacar sekaligus tunangan yang selama ini selalu menemani hari-harinya. Namun cinta itu kini tidak lagi besemi diantara dua hati, Faiza hanya bisa menyemaikan cinta yang pernah ada dan tidak akan pernah kembali lagi untuknya. Saputra, laki-laki baik hati sekaligus perhatian dimata Faiza dan teman-temannya itu telah dipanggil Tuhan Sang Pencipta.

Sejak dua hari lalu, Saputra telah disemayamkan dan dimakamkan oleh keluarganya. Sakit jantung yang telah lama dirasakan oleh saputra telah membuat nyawa dan cintanya harus rela tertanggalkan. Kini ia telah sepenuhnya menghadap sang pencipta. Meninggalkan semua jejak kehidupan yang pernah tertorehkan diatas dunia, termasuk juga meninggalkan Faiza, wanita cantik berkulit kuning langsat yang biasa dibaluti kerudung warna putih dikepalanya. Wanita cantik yang sekarang masih duduk dibangku kuliah strata satu, jurursan Keperawatan Universitas Negeri Mamben..

“Faiza…. Buka Pintunya” tiba-tiba saja ada suara yang memanggilnya dari luar kamar. Entah itu siapa, namun Faiza begitu mengenal suara itu hingga membuat ia beranjak dari tempat tidur lantas membuka pintu kamarnya. “Eeeh, Kakak, Ada apa kak?” Sapa Faiza kepada wanita yang sedang berdiri didepan pintu kamarnya sambil merapikan raut wajahnya yang masih meneteskan air mata. Sebut saja namanya Umroh, biasa dipanggil kak umroh.

“Ayo sarapan…! Sejak tadi malam dik Faiza tidak makan, nanti bisa sakit lho.” Ajak Umroh, Sambil memegang tangan Faiza, Umroh mencoba meyakinkan Faiza agar beranjak dari kamarnya dan ikut bergabung bersama keluarga diruang makan, barangkali dengan cara demikian, Faiza; adek kesayangannya itu akan mampu melepas kesedihan yang sedang menari-nari diatas tungku jiwanya. “Nggak kak, ntar aja dech, saya nggak lagi lapar kok.” Jawab faiza sambil memalingkan wajah muramnya dan kemudian masuk ke kamarnya. Faiza pun kembali merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Tubuh wanita cantik itu tergeletak lemas, membuat Umroh merasa terpanggil untuk masuk kamar Faiza. Dan Umroh pun duduk disamping Faiza untuk menghapus tetesan air mata yang masih mengalir deras dipipi adik kesayangannya itu.

“Sudahlah dik, Jangan menangis terus. Relakanlah kepergian Saputra. Jika adik menangis terus seperti ini, Saputra tidak akan pernah tenang dialam sana dan dia tidak akan pernah bisa sampai dihadapan Sang Pencipta.” Nasihat Umroh kepada Faiza, mencoba menenangkan perasaan adiknya agar bisa merelakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Kak, Saya keee… ceeewa. Saakiiitt Rasanya Haa..haati ini” Jawab Faiza. Mimik wajah berbingkai kesedihan tidak mampu terelakkan membuat suaranya terbata-bata mengucapkan beberapa patah kata. “Adik Kecewa kenapa?” Imbuh Umroh, mencoba menelusuk masuk kedalam kesedihan adiknya. “Saya keee… ceewa, aatas siikap keluarga Mas saputra. Saya tidak bisa melihat seeeperti appa kepergian Mas Saputra. Tidak bisa melihat Raut waajahnyaa. Bahkan tidak tahu keeabar tentang kepergiannya duu-da haarri yang lalu.” Jawab Faiza kepada kakaknya. “Raaasa--raaasanya bee-gitu sakit hati inii, kak.”

Sesekali ia terlihat menyeka air mata yang mengalir dipipinya. “Saya Keee..ceewa kak.” Lanjutnya. Mencoba menguraikan kesedihan yang menyelimuti dirinya. Sudah semalaman ia terbuai dalam tangis kekecewaan hingga membuat hati dan perasaan Faiza semakin pilu, entah mengapa keluarga Saputra tak jua memberikan kabar tentang kepergian Sang kekasih hati, entahlah! Semuanya sudah berlalu, apa lagi yang harus diselali. Kesedihan tetaplah menampak wajah kesedihan, adakalanya kesedihan bertahtakan dalam ruang waktu yang lama, namun ia pasti akan berlalu. Semua terus bergulir dalam perjalanan panjang diatas tapal waktu.

“Sudahlah dik, jangan menangis lagi. Barangkali keluarga Mas Saputra tidak ingin melihat adik menangis saat menyaksikan langsung kepergian Mas Saputra. Sudahlah dik, tidak ada gunanya menyalahkan orang lain. Semua pasti ada hikmahnya. Sekarang adik Cuci dulu mukanya, baru setelah itu kita sarapan bareng. Okey!” Benar adanya apa yang dipesankan Umroh kepada adik kesayangannya itu, namun ternyata kondisi tak memungkinkan untuk bisa membuat Faiza mengerti atas apa yang sesungguhnya sedang terjadi diatas perhelatan kehidupan yang sedang terbentang luas didepan mata. Keheningan pun tak bisa terelakkan lagi. Suasana kamar menjadi sunyi, diam dan membisu, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang terpajang diatas tempat tidur Faiza. Faiza hanya terdiam, sesekali terdengar suara isak tangis. Umroh tak bisa berbuat apa-apa lagi, usaha yang ia lakukan hanya sia-sia saja. Faiza tetap bertahan untuk tinggal diam dalam kesendirian.

Mentari sudah beranjak pergi meninggalkan peraduannya, kini Mentari telah betengger diatas cakrawala. Bagi Faiza, cahaya terang sang lentera alam tak berarti apa-apa selain wajah suram bertemakan kesedihan mendalam. Kepergian Saputra benar-benar telah menyayat hatinya, ditambah lagi sikap keluarga Saputra yang tidak memberikan kabar tentang kepergian Sang Kekasih hatinya, hanya saja Kemarin sore Faiza baru mendapat kabar dari Orang Tua kekasihnya itu tentang kepergian Saputra, hingga membuat ia lumpuh tak berdaya setelah mendengar kabar tersebut. Betapa tidak, Saputra; kekasih yang selama ini menemani hari-harinya sudah tidak ada lagi didunia ini. Hanya ada bisikan pusara sang kekasih ditanah kuburan sana. Diam membisu, membisikkan makna yang tak seorangpun mengerti makna, namun sungguh ada satu pesan bahwa semua kita akan berakhir dibalik onggokan tanah dan batu nisan berbalutkan busana putih tanpa teman.

Menatap bayangannya Saputra, kekasih Hati yang selama ini menemani sudah tidak akan mungkin lagi terjadi, barangkali hanya sekedar mimpi yang membuat semua itu menjadi nyata diatas perjalanan waktu. Dalam hati terus mengadu, bergulat dalam jiwa bersama sayatan luka mendalam membuat semua kehidupan terlihat kelam. Faiza mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil selembar kertas yang berada diatas meja belajarnya. Secarik kertas, tulisan puisi Saputra yang pernah dipersembahkan saat memberikan Faiza Kado ULTAH yang ke-21.

Jika hanya selepas mentari mengisahkan terik panasnya diatas muka bumi hanya karena tak menginginkan mendung menyelimuti, entah mengapa ia menampakkan diri jua diatas cakrawala. Jika hanya embun menempel diatas dedaunan hanya karena mengharap sapa sang surya diatas mahkota cakrawa, entah mengapa ia terwujud disaat pagi hari saja? Kini perguliran waktu terus berputar, membuat semuanya berubah. Begitu pula dengan diriMu; Sayang, Usia sudah tidak lagi muda, terus saja betambah disetiap harinya. Izinkanlah secarik kertas ini menemai setiap perputaran waktu. Semua harus diterima apa adanya. tak ada yang abadi, namun Izinkanlah cinta Ini bersemai diantara dua hati, dan terus menghiasi hingga berteman keabadian. Sayang, semoga Engkau Selalu berbahagia. Amin!

Oya Sayang, terimalah Kado yang sangat sederhana ini, Boneka Teddy Bear warna biru muda. Semoga bisa menemani malam-malamMu. Salam Sayang, Kangen, Rindu dan Cinta dari KekasihMu; Ahmad Arvan Saputra Ardiansyah.

Mata Faiza tak mampu lagi membendung tetesan air mata yang semakin mengucur deras, Membaca surat itu seolah-olah ia sedang menyaksikan kehadiran Saputra berada disampingnya. Membuat kenangan masa lalu semakin jelas terlihat didepan mata. Sesekali ia memeluk boneka Teddy bear yang ada disampingnya. “Sayang, mengapa engkau tega meninggalkanKu sendiri. Aku tidak begitu kuat menahan kesedihan ini.” Gumamnya sambil menatap Photo yang terpampang diatas meja belajarnya. Faiza tidak juga mendapatkan jawaban apapun, hanya bisa melihat dan menyaksikan senyuman tanpa suara dari dalam bingkai photo.

Sudah enam hari berlalu, semenjak kepergian Saputra , Faiza tidak menampak wajah cerah. Sesekali tangisan menghiasi pipinya saat melihat pasangan kekasih bermesraan didepan matanya saat bertugas dirumah sakit, diruang tunggu, ruang inap yang biasa diramaikan oleh keluarga pasien yang sedang menjenguk anggota keluarganya. “Andai saja Mas saputra masih ada, barangkali Faiza tidak sendiri menjalani hidup ini, pengen rasanya untuk bisa berkumpul bersama, canda dan tawa bersama, namun semua itu sudah tidak mungkin lagi terjadi. huuuft.” Gumamnya dalam hati. Berhari-hari, Faiza hidup dalam pengandaian yang tak kunjung usai. Ia terkungkung dalam penjara kenangan masa silam, membuat kehidupannya tidak lagi ceria seperti dulu.

“Faiza…” Sapa Alfina. Perawat sekaligus Sahabat dekat Faiza saat bertugas dirumah sakit, Ruang internis. Sudah satu bulan mereka bertugas diruang yang sama. Membuat hubungan mereka semakin dekat adanya. “Iya Mbak” jawab Faiza yang sedang duduk diruang perawat menimpali panggilan sahabatnya yang berada diruang sanitizer, ternyata Alfina sedang membersihkan tangannya dari darah yang masih berbau anyir setelah keluar dari ruang tindakan. “Coba Mbak Faiza check dulu pasien yang baru masuk diruang 29A. tadi keluarga pasien meminta untuk digantikan cairan infusnya. nanti saya susul belakangan. Pokoknya jangan tampakkan wajah muramnya lagi, barangkali mbak faiza bakal bertemu sang pangeran pengganti. Enjoy ajja. Okey!” pinta Alfina, sedikit menghibur. “Iya, Mbak. Ihhh, mbak alfina lebay dech. Mana ada pangeran pengganti. Kayak pemeran pengganti film layar lebar aja” jawab faiza.

Faiza langsung saja melangkahkan kakinya ke ruang 29A, walau terlihat berat, ia tetap saja mencoba untuk kuatkan hati dalam kesedihan yang masih menyelimuti hidupnya. Suatu kewajiban untuk membantu mereka yang sedang sakit, karena memang tugas yang harus ia selesaikan sebagai seorang petugas pelayan kesehatan, walau apapun yang sejatinya sedang bertengger diatas tungku jiwa. Semua itu harus mampu ia minimalisir demi tuntutan profesionalisme dalam bertugas memberikan pelayanan terbaik bagi para pasiennya.

“Gemana Mbak, sudah selesai ganti cairan Infusnya?” Tanya Alfina kepada sahabat dekatnya itu yang baru saja datang dari ruang petugas dan sekarang lagi berdiri tegak disamping meja yang biasa digunakan untuk meletakkan obat-obatan dan juga makanan bagi pasien. “Sudah selesai kok mbak. Oya mbak, minta tolong, coba dicheck kembali tensi pak Latief. Mungkin tensinya mengalami perubahan sejak dipindah alihkan dari ruang UGD?” pinta Faiza. “Okey, sus… siap dilaksanakan” jawab Alfina, sesekali terlihat senyuman dari raut wajahnya, barangkali ia sedang mendapat kabar bahagia, tidak seperti sahabatnya yang seringkali menampak wajah muram, wajar saja, Faiza belum sepenuhnya menerima kenyataan saat ditinggal oleh kekasihnya menghadap Sang Khalik, apalagi ditambah oleh sikap Keluarga Kekasihnya yang lebih memilih diam ketimbang memberikan Informasi kepada Faiza atas kepergian Saputra.

“Pak, Saya check dulu tensinya, gih?” Senyuman kecil menghiasi pipi Alfina sembari memasangkan alat Spyhgnomamometer ditangan kiri pak Latief, pasien baru yang mengidap stroke diruang 29A.

Faiza dan Alfina sudah terbiasa menghadapi pasien yang mengidap penyakit stroke diruang internis. Ruang Internis memang diperuntukkan bagi mereka; pasien-pasien yang mengidap stroke. Wajar saja Faiza dan Alfina begitu cekatan dalam menangani pasien-pasiennya karena Sudah menjadi kebiasaan setiap harinya.

“Terima kasih Mbak… oya, jika nanti suatu waktu butuh pertolongan perawat jaga, kira-kira gemana caranya, mungkin ada prosedur lain yang memang harus dipenuhi atau gemana?” Tanya seorang keluarga pasien. Sebut saja namanya Adi, laki-laki bertubuh kekar dengan penampilan yang cukup mengesankan yang sedang berdiri diujung ruangan, dekat White board yang terpasang dipojok ruangan. “Oya mas, tinggal pencet bel disebelah kanan, dekat pintu keluar, nanti petugas bakalan datang kok…” jawab faiza, raut wajahnya menampakkan tegur sapaan dingin. Sebenarnya dalam hati Faiza tersimpan dentuman besar saat menatap raut wajah Adi, sosok laki-laki betubuh atletis, wajah ala Jet Li, pemeran Film China yang terkenal itu. seolah-olah ia sedang melihat wajah Mas Saputra berdiri didepannya. Raut wajah yang tak jauh berbeda dengan balutan busana layaknya Saputra.

Faiza dan Alfina meninggalkan ruang perawatan pasien. Langkah kaki mereka jelas terdengar, balutan sepatu vantouple warna putih mengesankan suara “tuk…tak… tuk… tak…” saat melangkah menginjak lantai rumah sakit. Balutan baju warna putih khas perawat membuat penampilan Faiza dan Alfina terlihat sangat menarik untuk dipandang. Seolah-olah Busana putih itu telah mampu menyimpan rapat-rapat kesedihan hati Faiza, entah mengapa warna putih mampu menyelimuti hati yang sedang dirundung kesedihan. Barangkali karena tuntutan tugas yang harus membuat Faiza dan juga mereka yang berdedikasi untuk pasien mampu terlihat tegar dalam terpaan cobaan, bukan semata-mata hanya karena balutan busana warna putih itu saja. Semua warna adalah indah jika kita mampu bersenda dalam batin bahwa sesungguhnya ada warna tertentu yang membuat ketertarikan jiwa itu ada, entah itu warna putih, biru ataupun lain sebagainya. Semuanya indah, tergantung bagaimana anda menafsirkannya.

“Driniiing… Dringgg… Dringgg…” bunyi suara bel diruang tugas perawat. Rupanya ruang 29A sedang membutuhkan pertolongan medis. Dengan segera Faiza melangkahkan kakinya keruang tersebut. “Iya pak,,, barangkali ada yang bisa kami bantu?. Infusnya sudah habis yach” sapa Faiza sambil melihat cairan infuse yang bergantungan diatas tiang perawatan, diujung sebelah atas tempat tidur pasien. Kelihatannya Faiza masih belum yakin dengan apa yang dilihatnya, hentakan jantungnya berdebar keras saat menatap sosok Adi, dalam benaknya selalu terbayang wajah Saputra, tentu saja membuatnya salah tingkah. “Mbak, tadi bapak sempat mengigau, katanya tangannya terasa ngilu. Badannya terasa panas. Kira-kira bapak kenapa, mbak?” Tanya Adi, keluarga pasien pak latief, sosok pemuda berwajah Chinese dengan rambut lurus, sudah sejak lama Ia memperhatikan Faiza, wanita dengan paras wajah cantikannya itu. Ternyata Adi memang sengaja meminta pertolongan medis agar bisa bertemu kembali dengan Faiza, perawat berwajah cantik dengan hidungnya yang mancung serta kulitnya yang putih langsat. Jilbab putih yang melekat dikepalanya menambah pesona kecantikan alami Faiza. Seolah-olah ada seorang bidadari yang menampakkan diri dimuka bumi ini.

“Mas, Kondisi bapak masih butuh perawatan intensif. Tensinya juga lagi dimonitoring sama dokter yang merawat bapak. Mas tidak usah cemas. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa memberikan perawatan bagi Bapak latief.” Jawab Faiza, mencoba menjelaskan kondisi pasien yang sedang dirawatnya itu, Sesekali terlihat gerakan tangan Faiza, meyakinkan penjelasannya dengan bahasa Tubuh, lebih lagi untuk mengurangi rasa gugup yang mendera perasaannya. “Oooo begitu ya mbak. Terima kasih banyak mbak. Saya minta maaf jika telah mengganggu waktunya mbak.” “Sudah tugas kami kok Mas, jadi mas tidak usah sungkan-sungkan, jika suatu waktu membutuhkan pertolongan, petugas diruangan siap membantu..” Lanjut Faiza.

Percakapan singkat yang sangat mengesankan bagi Adi, laki-laki berwajah sipit dengan wajah ovale itu. Namun entahlah apa yang sedang tersuratkan dalam hati Faiza, jangan-jangan Faiza juga demikian, namun ia malu untuk mengatakan bahwa Adi memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dari sang kekasih; Saputra. Setelah pertemuan Mereka diruang 29A, Adi merasakan Vibrasi dalam hatinya, seolah-olah ada getaran yang mengusik labirin jiwanya hingga membuat perasaannya membumbung keatas angkasa, membuatnya mampu memetik bintang-bintang angkasa, bersemai cinta yang selalu bersinar terang dalam ruang jiwa. Seiring perputaran waktu, kedekatan mereka semakin terasa adanya setelah intensitas pertemuan mereka begitu seringnya dirumah sakit Mamben, Ruang Internis.

Siang yang cerah, dipenghujung hari, menjelang menyambut datangnya sore. Bayangan benda-benda terlihat dua kali lipat dari bentuk aslinya. Terlihat dua orang wanita meninggalkan area parkir petugas rumah sakit, ternyata kedua wanita tidak lain adalah mahasiswa salah satu Universitas Negeri Mamben, universitas terbesar dikota mamben. Kedua wanita tersebut sedang menyelesaikan Peraktik Lapangan di RS Mamben; Faiza dan Alfina. “Faiza, kita mampir dulu diwarung yuuuks” pinta Alfina, menyapa Faiza. “Lapeeer nich.” Lanjutnya. “Okey dech sus,,, Makan dimana nich?” Jawab Faiza menimpali sahabatnya, Alfina. “Ditempat biasa ajja dech. Okey.” Mereka pun beranjak dari tempat parker melintasi deretan sepeda motor yang berjejer rapi bak perajurit militer saat sedang berlatih Berbaris.

Ditengah perjalanannya itu, secara tidak sengaja mereka bertemu dengan Adi, laki-laki berwajah chines yang biasa menyapa mereka diRuang internis. Maklumlah, mereka memang dipertemukan tuhan ditempat itu. suatu kehendak takdir yang tidak disangka-sangka oleh siapapun. Banyak sekali sekenario kehidupan yang tidak pernah kita mengerti, hanya pantas diserahkan pada rahasia takdir tuhan. Seperti pertemuan antara Faiza dan Adi, layaknya pertemuan Romeo dan Juliet seperti dinovel-novel roman yang begitu banyak digemari remaja.

“Eeeh, bu suster. Mau kemana tuch?” Tanya Adi. “Mmmmm, mau ke kantin. Laper nich.” Jawab Alfina. “Bareng Yuuuks, saya juga lagi lapar, sejak tadi pagi belum sarapan. Boleh khan?” “lanjut Adi, mencoba menghangatkan komunikasi diantara mereka bertiga. Boleh-boleh-boleh.” Jawab Alfina. Faiza hanya terdiam, tanpa suara. Hanya terlihat senyuman tipis dipipinya, sesekali menatap lembut wajah Adi. Entah apa yang sedang terpikirkan, namun bisa terlihat dari pancaran cara pandangan matanya itu, rupanya Faiza mengagumi sosok Adi, membuatnya terbingkaikan rasa malu.

“Kok mbak Faiza diam aja sich, kayaknya ada masalah nich?!?” celetuk adi sambil merapikan tempat duduknya setelah mengantar menu pesanan ke pojokan kantin, tempat dimana orang-orang biasanya memesan menu yang akan mereka santap.

Tidak ada satupun jawaban yang terdengar dari mulut tipis Faiza, hanya saja terlihat senyuman kecil menghias pipinya. Entah mengapa ia hanya terdiam tanpa suara. Sikapnya yang dingin membuat beribu-ribu tanda Tanya dimata Adi. “Mas Adi, Mbak Faiza lagi bersedih hati tuch setelah ditinggal kekasih hatinya. Barangkali mas Adi bisa menghibur. Heee. Heee..” Alfina langsung saja mengomentari dengan nada candanya itu, harapannya agar bisa membuat tangisan sedih dalam hati sahabatnya sirna tanpa sisa.

Terlihat warna merah dipipi Faiza. Sesekali ia mencuri pandang kearah Adi. Dalam batin ia berkata, “Tuhan akankah aku bisa menatap keperibadian Mas Saputra didalam diri Adi, wajahnya terlihat mirip, mengingatkanku kenangan yang telah berlalu. Tuhan, tolonglah daku, sesungguhnya hati ini begitu sulit untuk menrima kenyataan. Akankah mas Saputra menjamu dirinya dalam sosok laki-laki yang sedang ada disamping ini, Tuhan, berikanlah jawaban atas kebimbangan ini.”

“Eiiitz, Mbak Faiza mengkhayalkan siapa tuch? Sapa Adi sambil menatap dalam-dalam wanita cantik yang sedang duduk didepannya itu. “Mas Adi, mbak Faiza suka menghayal akhir-akhir ini. barangkali mas Adi bisa membuat Mbak Faiza tidak lagi hidup dalam khayalan. Benar khan mbak Faiza.?!” Celetuk Alfina, menggoda. Wajah Faiza semakin terlihat memerah menampak rasa malu yang sedang hinggapi dirinya.

“Aaaah, Mbak Alfina Sook tahu nich. Nggak lagi menghayal kok. Eh, kita makan dulu dech, nanti saja kita lanjutkan ngobrolnya lagi. Khan gak boleh makan sambil ngomong. Iya khan bu sus…..” Faiza mencoba membuka mulutnya yang bisu, ternyata dalam seribu rahasia yang tersimpan, ia masih mampu mengalihkan apa yang sedang berkecamuk dalam batinnya.

Suara canda tawa menghiasi obrolan mereka sore itu. seakan-akan mereka begitu enggan untuk meninggalkan tempat duduk kantin. Kedekatan mereka semakin erat terasa membuat mereka menyingsingkan tirai batin yang selama ini menutupi jiwa dalam dada. Senyuman mekar nan menawan membingkai jelas diwajah mereka, barangkali kebahagiaan sedang bercengkerama dihati mereka, begitupula dengan Faiza, layaknya seorang yang baru saja merasa kedamaian menghiasi singgasana Jiwanya. Setelah kejadian itu, Faiza dan Alfina sudah merasa begitu dekat dengan Adi, laki-laki berwajah ala chiness itu.

Garis waktu semakin terlihat jelas, memberikan kesempatan bagi Faiza untuk bisa menatap wajah Adi. Adi pun juga demikian. Ternyata Tuhan menitipkan sayap baru bagi kehidupan saat kita sudah tidak mampu terbang lagi untuk mengitari alam semesta. semua itu tidak akan mungkin terjadi jika jiwa tertutup dari kaunia yang Tuhan telah dan akan diberikan-Nya. Semua akan terlihat indah jika Jiwa mampu membuka diri untuk menjadi wajah kebahagiaan. Sebagaimana pesan seorang sahabat kebijaksanaan “Bila dirimu sekarang sedang menunggu seseorang untuk menjalani kehidupan menuju ridhoNya, bersabarlah dengan keindahan. Demi Allah, dia tidak datang karena kecantikan dan ketampanan, kepintaran ataupun kekayaan. Tapi Allah-lah yang sebenarnya sedang menggerakkan semuanya itu. janganlah tergesa-gesa untuk mengekspresikan cinta kepadanya sebelum Allah mengizinkan atas semuanya. Belum tentu yang kaucintai adalah yang terbaik untukmu. Siapakah yang lebih mengetahui melainkan Allah. Simpanlah segala bentuk ungkapan cinta dan derap hati rapat-rapat. Allah akan menjawabnya dengan lebih indah diwaktu yang tepat. Sesungguhnya ia akan datang dalam waktu yang tepat. Bersabarlah untuk menunggu cinta dalam bingkisan kado Cinta sebagai persembahan Yang Maha Cinta.”

Dua Minggu telah berlalu. Tidak terasa waktu telah berputar dengan cepatnya. Kenangan disetiap torehan selalu saja membekas dalam kenangan, namun kenangan tidak akan pernah mampu membekukan sejuta harapan didepan sana, dikehidupan masa depan. Hanya mereka yang terbelit dalam kungkungan masa yang tak mampu berdiri melihat kenyataan ditengah kehidupan. Boleh saja cinta masa lalu membuat kesedihan menyemaikan diri, namun bukan pertanda akhir dari segala-galanya.

Kini Faiza telah mampu melewati garis-garis waktu, melewati kesedihan yang selama ini membuatnya mengurung diri dalam kesendirian. Seolah-olah hidup ini penjara baginya. Tapi bagaimanapun jua, akhir cinta bukanlah akhir dari segalanya. Faiza sudah sepenuhnya menerima kenyataan yang Tuhan berikan. Tangisan minggu-minggu sebelumnya sudah tidak lagi menghiasi pipi cantiknya. Barangkali ia sudah bisa melihat kehidupan yang indah didepan sana apalagi ruang waktu terbuka lebar untuknya setelah tuhan mengutus malaikat kecil didalam kehidupan barunya; Adi laki-laki baik hati seperti kekasih lama yang pernah singga dihati atau bahkan lebih baik lagi daripada semua yang telah berlalu. Bukankah Tuhan memberikan yang terbaik dalam hidup ini?. Keep Spirit For Our Life Better…

Salam satu Jiwa… Salam sehat Jiwa untuk menggapai bahagia…

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Tingkat keberhasilan setiap orang bergantung pada dirinya sendiri. suuuer tie keweer keeweerr

Tingkat keberhasilan setiap orang bergantung pada dirinya sendiri. Bagaimanapun cara orang lain memberikan warna dalam hidup (ide, inspirasi, ilham, motifasi, renungan, refleksi, dsb) terhadap kehidupan anda, tetaplah anda adalah pengambil keputusan untuk diri anda sendiri, entah itu anda merelakan warna (ide, inspirasi, ilham, motifasi, renungan, refleksi, dsb) itu menjadi bagian dalam hidup anda atau mengabaikannya begitu saja. Anda tidak akan pernah bisa meminjam keberhasilan orang lain lantas menjadi milik sendiri. Anda tidak akan pernah bisa mencuri ide dan kereasi dari orang lain. Anda hanya akan bisa mengagumi orang lain lantas terinspirasi darinya, namun tanpa pernah beranjak dari tempat duduk lantas melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup anda, semuanya itu hanyalah sia-sia belaka.

Inti semua itu adalah keyakinan untuk bisa bercermin dari mereka yang sudah berada diatas tangga kehidupan ini (kesuksesan, kebijaksanaan, dll), lantaran itu anda memulai melangkahkan kaki untuk berperoses dalam hidup ini. Keberanian untuk memulai itu hanya akan muncul dan bergantung pada satu orang, yaitu diri anda sendiri yang saat ini sedang mencoba melihat diri seperti apa adanya. Sekuat apapun orang lain memberikan motifasi, inspirasi, ilham kepada anda, tidak akan pernah ada gunanya dalam hidup anda jika anda mengabaikannya begitu saja, berlalu dihadapan anda tanpa ada bekas perolehan makna yang bisa didapatkan.

Jika suatu saat anda termotifasi dari kehidupan orang lain. Jika suatu waktu nanti anda terilhami dari kehidupan orang lain, anda tidak perlu menjadi seperti mereka. Cukupkanlah diri anda dengan ilham dan inspirasi yang ditransformasikan kepada diri dan kehidupan anda sebagai modal untuk melangkah maju dan mengenali potensi dalam diri. Tidak akan pernah ada gunanya melihat kemampuan orang lain, tidak akan pernah ada gunanya kekaguman terhadap apa yang dimiliki orang lain tanpa kita sendiri memulai untuk melangkah maju dari apa yang ingin kita gapai seperti kehidupan mereka yang suskses atau bahakan lebih dari itu. Kita tidak akan pernah tahu apa itu keberhasilan dalam hidup ini jika hanya berpangku tangan.

Meminjam pesan bijak kehidupan dari para tetua, “Manusia diciptakan untuk berusaha dalam hidupnya, Dan Allah jualah yang nantinya akan memberikan prestasi atas apa yang kita torehkan dalam hidup ini.” sederhananya, mereka yang berani untuk menggapai keberhasilan adalah mereka yang sudah memiliki keberanian untuk melangkah maju. Terinspirasi dari kehidupan orang lain untuk menjadi diri sendiri. Yakinilah bahwasanya setiap langkah kaki anda sebagai usaha, jadikanlah inspirasi dari kehidupan orang lain menjadi ilham untuk bisa becermin bagi kehidupan anda lebih layak dimasa depan untuk tetap menjadi diri sendiri, Be Your Self.

Tetaplah menjadi diri anda untuk mengubah cita warna kehidupan ini, melihat pola orang sukses hanya cukup menjadi cerminan diri, jangan pernah berharap sama seperti mereka dalam segala hal karena anda hidup diwaktu yang berbeda, berhadapan dengan orang-orang yang berbeda, dan beragam tuntutan kehidupan sekaligus tuntunan kehidupan yang berbeda pula. Jika hanya bercermin dari mereka dan berharap sama dengan kehidupan mereka, anda adalah reinkarnasi kehidupan masa lalu yang hanya terkotak oleh cerminan diri orang lain yang bukan diri anda sendiri seutuhnya. Yakinilah dalam diri anda, bahwa untuk mengubah dunia ini setiap orang memiliki cara tersendiri dan pola masing-masing yang dimanifestasikan dari serangkaian pengetahuan yang ia dapatkan dilingkungan sekitar.

Cerminkanlah diri anda sebagai cerminan yang sejatinya menampilkan kehidupan anda sendiri. Jadikanlah kehidupan orang lain sebagai mitra untuk menumbuhkan pribadi yang lebih kokoh dalam kehidupan anda sendiri dihari ini dan dihari esok. Semua yang anda dapatkan dari kehidupan orang lain adalah modal anda untuk bisa mengakses/ menelusuk masuk kedalam diri anda yang sudah diciptakan tuhan memiliki potensi luar biasa. Tinggal anda sendiri yang memilih untuk melangkah maju dan atau hanya berdiam diri tanpa adanya sikap apapun yang anda munculkan. Jadi inti keberhasilan anda adalah bagaimana anda bertindak sebagai suatu upaya anda untuk memberikan warna atas ilham, inspirasi, motifasi, ide kreatif yang pernah anda dapatkan ditengah bentangan kehidupan yang sangat luas ini. Semua itu akan terangkum dalam kemauan diri yang kuat. Tanpa kemauan yang kuat, semua itu terlihat sia-sia belaka. So, memulailah untuk betindak dari diri sendiri. Keep spirit For Our Life Better!

Salam satu Jiwa. Salam Sehat Jiwa untuk Menggapai Hidup Bahagia.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain.

Bagaimana Mungkin CINTA itu membuatnya jatuh dalam kebingungan ASMARA

Suasana malam saat itu terlihat lengang, berbeda dari malam-malam sebelumnya. Laju Mobil warna Pink bernomor polisi DR 3804 KQ melaju dengan kecepatan 90 km/ jam. Tentu saja hal biasa terjadi ketika jumlah kendaraan dijalan raya terlihat lengang, relative lebih aman menjalankan kendaraan roda empat dengan laju kecepatan diatas 70 km/ jam (Warning! Diharapkan tidak mengikuti adegan dalam cerita jika kondisi jalan relative ramai oleh pengguna jalan <peraturan polisi="" lalu="" lintas="" republik="" indonesia=""> dan ataupun mengemudi dengan kecepatan diatas rata-rata karena akan dapat mencelakai diri anda dan orang lain. Sueer tie keweeer-keweeer dech***). Hanya ada satu dua kendaraan yang melintasi jalan Provinsi Mataram-Labuhan Lombok. Suara musik sendu terdengar sayup-sayup dari dalam mobil tersebut, meramaikan kesendirian seorang wanita cantik yang sedang menyanyikan lagu kebahagiaan dari dalam hatinya saat cinta telah membisikkan syair kerinduan, teriring oleh merdunya detakan jantung yang seolah-olah menjadi suara pengiring disaat seorang penyanyi handal mempersembahkan lagu terindahnya dalam bahasa cinta, sekaliber penyanyi handal Justin Beiber, Celine Dion, ataupun Pasha Ungu yang begitu banyak digemari generasi muda. (Attention! Diharapkan untuk tidak mengemudi dengan memakai alat-alat pengeras suara karena dapat mengurangi fokus konsentrasi saat berkendara. BERBAHAYA!!! Jangan coba-coba, ntar tabrak orang, baru tahu akibatnya. Jangan dicoba Yach. Okey!!! hehe).</peraturan>

Terlihat didalam mobil tersebut sosok seorang wanita berwajah oval dengan keindahan bola matanya yang mirip seperti artis china sedang menatap jauh kedepan, menembus kaca mobil, menelusuri jalanan yang dilaluinya. Raut senyuman menampak manis penuh arti masih membekas disetiap rona pancaran raut wajah wanita cantik ini. Sebut saja namanya Hannania Serellia Za’farani Meilania Latifa. Wanita yang akrab dipanggil Nia oleh teman dekatnya di Apotek MUMAT, Maklumi saja, wanita cantik ala artis china ini sudah lama bekerja di Apotek MUMAT setelah lulus dari bangku kuliah sarjana strata satu di Universitas Negeri Mamben, jurusan Farmasi.

Rupa-rupanya pertemuan singkat dengan dokter Alawi telah mengubah raut wajahnya kali ini. Wajar saja begitu, pertemuannya di Apotek MUMAT di jalan TGKH Zainuddin Abdul Majid no 70 Pancor dua minggu lalu telah mengubah segalanya. Rupanya aroma cinta membekas menelusuk masuk dalam diri Nia saat dikunjungi apoteknya oleh dokter Alawi setelah lama berteman akrab disalah satu situs social yang banyak dikunjungi kaum lajang, pun juga kaum generasi lanjutan/ orang tua. Perkenalan singkatnya dua minggu lalu masih terkesan hangat hingga saat ini atau sampai kapan pun itu ketika cinta telah menyemaikan diri didalam ruang jiwanya kali ini. Ternyata diam-diam semerbak aroma cinta telah menelusuk masuk hingga membuatnya terengah sekaligus terjengah ketika tahu keharuman cinta sampai diubun-ubunnya, bahkan lebih jauh menelusuri labirin jiwanya yang paling dalam.

Pertemuan kali kedua telah membuat aroma keharuman masih terasa didalam mobil yang sedang melaju kencang tersebut. Betapa tidak, bingkisan kecil berupa bunga mawar dari dokter Alawi telah menjadikan kehidupan luar biasa dalam diri Nia, perkenalan singkatnya itu semakin berlanjut didunia maya ataupun dimedia teknologi komunikasi lainnya; Handphone, seperti kebanyakan anak muda zaman sekarang yang telah banyak menemukan cinta diantara tampilan sosok photo wanita cantik hingga menjadikan ketertarikan terus membumi nyata didalam kehidupan yang nyata. Berawal dari pertautan dunia maya membuat mereka semakin dekat adanya. Meniadikan ruang dan bahkan menyatukan mereka disetiap saat walau badan tak sempat bersua selama dua minggu lebih lamanya. (Trendy kehidupan psikologis percintaan masa sekarang yang lebih dititik beratkan pada pertemuan singkat lantas berlanjut didunia maya ataupun sebaliknya, berawal dari dunia nyata lantas berlanjut didunia maya)

Nafas lega bersimpuh pada perasaan bahagia menjadikan detakan jantung Nia berdetak dalam suara yang seolah-olah menunjukkan ritme yang sulit sekali dimengerti ataupun didiagnosa oleh spesialis cinta sekalipun. Tidak terasa, jarak tempuh Pancor, tempat dimana ia bekerja singkat rasanya dengan rumahnya di jalan Karang Anyar nomor 33. Perumahan Megah, yang hanya dihuni oleh orang berkelas ekonomi menengah keatas. Selain cantik, Nia ternyata memiliki kekayaan yang begitu memudarkan pandangan mata sekaligus menggiurkan untuk bisa menghitung keseluruhan kepemilikan harta kekayaan orang tuanya, walau begitu, sifat kelembutan dan rendah hati menjadikannya begitu dekat dengan teman-temannya, baik dari golongan berada maupun mereka yang jauh dari tarap kehidupan berkecukupan. Sifat kesombongan seolah-olah enyah dalam dirinya, karena bagi Nia, harta bukanlah sebagai ukuran segala-galanya jika kedamaian tidak menjadi teman disetiap perjalanan menapaki prosesi kehidupan ini.

Malam itu, sesekali senyuman menampak merona dari pipi manisnya yang tak bernoda, bak rembulan purnama yang memancarkan satir cahaya keindahan yang hanya diperuntukkan bagi semesta. Seakan-akan pertemuan kali kedua dengan dokter Alawi telah menghadirkan sejuta makna yang sulit sekali didefinisikan oleh seorang akdemisi, ataupun seorang guru besar cinta. Saat itu, nia menatap keindahan panorama malam sambil menikmati air putih yang tersedia disampingnya (Dianjurkan bagi siapa saja, entah itu saya, anda dan juga mereka yang sedang mengalami kondisi kesehatan prima ataupun dalam kondisi perbaikan setelah sakit untuk mengkonsumsi air putih yang cukup setiap harinya agar terjadi hemoestatis dalam kinerja organ tubuh secara keseluruhan; 8-12 gelas/ hari), sesekali terlihat kegamangan mata menatap layar handphone yang biasa menemani kesehariannya saat mengakses pesan singkat dari seorang dokter Alawi ataupun informasi lain dari sahabat-sahabat karibnya.

Tiba-tiba saja Hanphone warna biru muda itu bergetar seketika. Rupanya ada pesan singkat yang sedang masuk di Inbox-nya; “Nia sudah sampai Rumah Apa belum, sekarang lagi apa tuch?!?!” bunyi pesan singkat itu membuat senyuman nia semakin terlihat indah merona, tentu saja pesan singkat tersebut membuatnya terketuk untuk tersenyum merekah seindah bunga mawar yang sedang menampakkan keindahan puncaknya ketika bulir-bulir setiap bunganya sudah sepenuhnya menyapa kehidupan penuh keindahan, rupanya pesan singkat itu dari dokter Alawi, teman Facebooknya itu, atau mungkin lebih dari sekedar teman. Laki-laki bertubuh kekar ala atletis dengan rambut lurus warna hitam, berkulit putih, seorang Dokter lulusan Fakultas kedokteran Universitas Negeri Mamben,. Satu almamater dengan Nia. Ia telah dikenal memiliki kepribadian yang lembut dan bertanggung jawab oleh para pasiennya sejak membuka peraktik bersama dengan teman-teman seangkatan yang dahulunya disatu naungan Fakultas Kedokteran, Universitas Negeri Mamben. Diklinik Mu’allimat, dokter Alawi memulai kariernya untuk berdedikasi secara tepat guna dan profesinalisme seorang klinikus untuk kepentingan masyarakat yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan medis, dibantu oleh teman dokter yang memiliki spesialisasi yang berbeda satu sama lain, seperti dokter Arrofah, Qadafie dan juga Dokter Hamdi.

Malam Semakin larut, Nia semakin asyik saja mengutak-atik handphonenya, menjawab pesan singkat dokter Alawi. Suasana malam terus saja menebarkan suasana dingin disetai buliran embun yang terus tertuang secara lembut dalam belaian yang lembut nan halus, tak terlihat kasat mata namun embun itu terus saja menyemaikan diri dalam malam bertahtakan keheningan, seakan akan ia sedang menyampaikan pesan bertemakan kebijaksanaan bahwa cinta juga berbahasa dalam cara lembut seperti itu; Cinta terus saja hadir disetiap waktu tanpa seorangpun yang menyadari kehadirannya ditengah pentas kehidupan. Jarum Jam dinding yang terpasang diatas Televisi berukuran 14 inci dikamar Nia telah menunjukkan tepat pukul 09:00 WITA, namun Nia seakan-akan telah tersihir oleh benda tak bernyawa itu, tetapi mampu mengeluarkan suara, lebih-lebih mampu bergetar layaknya manusia yang sedang diglitiki oleh teman sejawat.

Sapaan lembut angin malam membelai kulit putih wanita cantik ala artis china itu, hingga membuatnya tak kuat lagi untuk duduk didepan kamarnya menahan sengatan angin malam yang menelusuk masuk kedalam lapisan epidermis kulit, menikmati sisa keindahan panorama alam disaat manusia asyik didalam kungkungan tembok tebal, berlapiskan selimut empuk. Akhirnya Nia pun mengalah, lantas tumitnya Bardu bersua dan mengadu pada lantai untuk bersegera meninggalkan keharmonisan komunikasi bersama semesta diruang terbuka. Malam semakin menghunuskan dinginnya disetiap kulit tak berbalut lapis yang menutupinya, menyingkap tirani untuk mengantarkan manusia kedalam tidur lelapnya dalam belaian selimut tebal berteman mimpi indah saat mata tak kuasa lagi memendarkan ranumnya bola mata.

Kini pagi telah membuka diri menyambut kehidupan dengan wajah barunya diatas cakrawala, seperti biasa menyapa manusia tanpa jemu-jemunya, mentari sudah terlihat diatas ruas-ruas ufuk timur dikejauhan sana, terlihat malu menampak diri, namun perlahan-lahan ia menampakkan dirinya demi menerangi setiap jiwa manusia. Terlihat sosok wanita, didalam ruangan yang berukuran 4x6 yang sedang asyik bersimpuh dihadapan tuhannya, mengadahkan tangannya meminta pengharapan kepada Sang Khalik. Sudah tiga puluh menit berlalu, wanita cantik ini masih saja asyik bercengkerama dengan tuhannya setelah selesai menunaikan sholat shubuh. Rupanya Benar, Nia tidak hanya cantik dan kaya, kelembutan budinya ditambah lagi ketaatannya kepada Sang pencipta membuktikan akan keperibadiannya yang anggun, layaknya seorang malaikat kecil yang diutus tuhan mengisi muka bumi ini.

Setelah selesai bercengkerama dengan Sang Pencipta dipagi-pagi buta, barulah Nia beranjak dari tempat persembahyangannya itu untuk bersegera sesigap mungkin mengganti busana yang dikenakannya dengan seragam kerja warna putih yang biasa dikenakan oleh seorang klinikus, sudah tiba waktunya mencoba beradu dengan waktu karena waktu sudah menegurnya untuk kembali beraktifitas ditempat kerja di Apotek MUMAT, dipancor. Lumayan jarak tempuh yang relative menghabiskan waktu ditengah perjalanan, jarak tempuh 30 menit dengan kecepatan 60-70 km/ jam. Walau demikian, jarak tidaklah menyurutkan hati Nia untuk memberikan pelayanan terbaik bagi mereka yang sedang membutuhkan perhatian tenaga Medis, karena dengan memberikan pelayanan kemanusiaan atas setiap orang, maka jiwa seorang terbebaskan dari kemelekatan yang sejatinya menjerumuskan dalam jurang keterhinaan.

Selama seharian Nia bercengkerama dengan resep dokter yang tulisannya tidak begitu jelas bagi mereka yang awam untuk membacanya, namun karena pengalaman kerja serta pengetahuannya yang cukup dalam bidang ke-farmasi-an telah membuatnya mudah melakukan peracikan dan pendokumentasian resep yang sudah diserahkan keluarga pasien kepada dirinya diruang khusus apoteker, baginya hal tersebut semudah membolak balikkan tangan. Tentu saja profesionalisme dalam bidang ini ditekankan kehati-hatian dan ketelitian yang sangat agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan bagi pasien. Tidak terasa perguliran waktu terasa cepat. Bagi mereka yang menikmati perkerjaannya, waktu berlalu begitu saja, hatipun terlihat merekah menerima kado kehidupan setiap harinya. Bebeda halnya dengan jeritan jiwa para pekerja yang tidak menikmati perkerjaannya, hingga jiwanya menjerit entah kemana mengadu penderitaan yang ada dan mengoyak keindahan kebahagiaan mereka.

Ketika itu sore hari, terlihat dikejauhan diufuk barat sana matahari yang akan tenggelam meninggalkan cakrawala memancarkan kilau mega kuning ke-emasan pada pucuk dedaunan yang rindang. Dibawah pohon kelapa, disamping sebuah gundukan taman yang memancarkan keindahan didepan apotek MUMAT, berjejer Sepeda Motor karyawan, pun juga Mobil-mobil karyawan yang sudah siap untuk menunggu kedatangan para tuannya untuk merelakan diri dikendarai menyusuri jalanan yang acap kali terhias debu berterbangan dari deru kendaraan yang lalu lalang. Mobil warna pink sudah siap menyusuri ruas jalan raya. Nia membelokkan setang setirnya kearah kanan saat keluar dari pintu depan apotek, rupanya dia tidak langsung balik kerumahnya, petang itu. Mobil Warna Pink melaju perlahan meninggalkan apotek MUMAT menuju sebuah Pertamina Yang cukup luas sekaligus megah, 2 kilo meter dari tempat ia bekerja. Didalamnya tersedia area parker yang luas sekali, pun juga tersedia kafe dan tempat perbelanjaan yang relative ramai dikunjungi oleh pengendara motor maupun mobil, tidak jarang sebagian diantaranya menyempatkan diri untuk break sejenak dicafe Pertamina Selong guna melepas lelah setelah seharian berhadapan dengan rutinitas kantor yang menyita pikiran dan tenaga.

Mobil warna pink yang biasa dikendari Nia terlihat memasuki area parker café Pertamina Selong. Tidak beberapa lama terlihat tubuh wanita cantik dengan busana rapi, khas seorang petugas kesehatan. Kerudung warna putih menutupi rambut lurus berwarna hitam. Wajah ovalenya itu menampak keceriaan, dari balik kaca mata warna putih yang dikenakannya terlihat sorot mata bening yang sangat indah bagi setiap pria yang memandang keindahan tatapannya. Tanpa ba-bi-buu, Nia langsung saja menutup pintu depan mobilnya lantas membunyikan alarm pengaman untuk menjaga hal yang tidak dinginkan. Terlihat olehnya Mobil warna Putih dengan nomor polisi DR 3007 KQ disebelah kanan tempat ia parker, urutan ketiga dari tempat ia parkir. Rupanya ia sudah kenal betul siapa yang memiliki mobil tersebut.”Waaah, kayaknya dokter Alawi sudah datang lebih dahulu.” Bisiknya dalam hati. Langkahnya pelan namun pasti meninggalkan tempat parker, dua puluh langkah atau mungin lebih dari itu dari pintu masuk kafe, Nia menemukan tiga orang laki-laki dengan tampilan mengesankan. Senyuman tampak merona menyambut kedatangan Nia di petang itu.

Assalamu’alaikum Wr Wb. Selamat malam dok, saya minta maaf jika kedatangan saya terlambat.” Sapa Nia ramah kepada tiga laki-laki yang sedang menikmati suasana petang dikafe pertamina selong, jalan TGKH. Humaidi nomor 07, dekat dengan Selong Town Squer, Mall yang sangat familier oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat. “Tidak mengapa kok, Nia nggak terlambat kok, kami baru saja datang, lima menit sebelum kedatangan mbak Nia.” Jawab Hamdi mencoba mengomentari Sapa lembut Nia yang saat itu masih berdiri diantara deretan kursi kayu yang berjejer rapi mengelilingi meja bundar yang terhias bunga-bunga segar, khas kafe elit dikota besar.

Silahkan mbak, duduk disebelah sini saja…” lanjut Arofah sambil mempersilahkan kursi kosong untuk ditempati Nia. Ternyata ketiga dokter tersebut memang sengaja datang ke Kafe Pertamina Selong, barangkali ada janji diantara mereka untuk suatu keperluan tertentu. Sambil memperbaiki tas berukuran kecil yang ditentengnya itu, Nia duduk diantara dua kursi kosong yang mengapitnya disebelah kiri dan kanan, dan didepannya terdapat meja bundar terukir corak khas budaya Lombok (ukiran berugak elen). Tepat didepannya wajah lembut dokter Alawi yang masih terdiam, terhias senyuman lembut kepada sosok wanita yang saat itu hadir diantara perjamuan. Alawi sudah merencanakan sebelumnya pertemuan petang itu, sengaja mengajak teman dekatnya yang rupanya menyukai Nia, Apoteker cantik, lulusan Universitas Negeri Mamben. Karena dia tidak menginginkan peselisihan hanya karena cinta. Alawi dalam diam menyembunyikan kedekatannya dengan Nia agar tidak terjadi konflik internal dalam ikatan persahabatan mereka, wajar jika bahasa komunikasi yang disampaikannya saat petang itu terlihat dingin-dingin saja.

Namun berbeda halnya dengan apa yang terjadi pada diri Nia, wanita cantik itu seakan-akan terpojokkan kenyataan, antara kebimbangan untuk menentukan sikap terbaik dalam menghadapi ketiga sahabat dekatnya itu, yang sama-sama mengharapkan dirinya sebagai teman kehidupan dalam jalinan ikatan yang secara sah menyatukan insan dalam naungan kasih keluarga; pernikahan, mereka bertiga tidak lain adalah sahabat dunia maya sekaligus sahabat dunia nyata yang terkadang mereka bertemu di Rumah Sakit Umum kota Selong dihari-hari tertentu saat gantian mereka untuk piket tugas sesuai surat putusan yang mereka terima dari menejemen rumah sakit. Tentu saja jadwal yang berbeda dan ditempat yang berbeda, namun tidak menutup kemungkinan terkadang mereka bertemu ditempat yang tidak disangka-sangka, entah itu dilorong rumah sakit ataupun ditempat lainnya.

Nia salah tingkah menghadapi suasana yang mana semua pandangan mata terfokus padanya, ia terperanjat dalam situasi yang tidak dinginkannya terjadi, namun bagaimanapun semua sudah terjadi seperti apa adanya dan tak bisa berteriak lari ataupun memungkirinya. Antara menatap wajah alawi yang begitu dikaguminya ataupun menatap wajah Hamdi dan Arofah yang begitu berkeinginan menjadi pacar dirinya, namun Nia hanya mengaggap mereka sebatas sahabat saja. Selama ini Nia menanggapi biasa-biasa saja pesan masuk Hamdi dan Arofah, ketika perhatian mengalir kepadanya karena memang bahasa halus hatinya tidak memberikan intraksi vibari energy cinta. “Waah, sudah waktunya sholat Magrib nich, gemana kalau kita sholat dulu!?” celetuk Alawi mencoba memecah keheningan yang saat itu mengejawantahkan rasa tak terhingga dalam dirinya, antara mengertikan hatinya untuk bisa berjalan beriringan dalam jalinan dan ikatan yang sah bersama Nia atau mencoba merelakan keutuhan tali persahabatan yang sudah mereka jalani bersama dengan kedua sahabatnya tersebut.

Alawi berdiri, mencoba memperbaiki kursi tempat duduknya sembari mencairkan suasana saat itu yang terlihat canggung adanya, tidak seperti kehangatan biasanya yang diwarnai canda dan tawa saat mereka bersama dalam nuansa yang berbeda. Nia pun mencoba bangkit dari tempat duduknya, mencoba untuk menghilangkan jejak kecuriagaan dan rasa sakit hati diantara ikatan persahabatan. “Kita sholat dulu Yuuuks, jangan bengong begitu donk.” Kata Nia sambil melepas senyum kaku kepada semua sahabatnya, mencoba menutupi kebimbangan yang tersimpan rapi didalam dirinya, antara menghargai persahabatan ataupun memilih alawi sebagai seorang pilihan hati yang sudah lama mereka jalani dalam komunikasi jarak jauh karena terhalangi rutinitas yang selama ini menyibukkan waktu mereka untuk bertemu dan bertatap mata. “Ayo kita sholat dulu, keburu waktu sholat magribnya habis nich!” lanjut Alawi sambil meniggalkan tempat. Saat itu, Hamdi dan Arofah terkesipu malu melihat diri mereka yang terlalu menampakkan hasrat dalam diri mereka untuk memiliki seorang Nia, Wanita cantik yang memiliki pancaran inner beauty bagi siapa saja laki-laki yang menatap keindahan paras rupanya.

Tanpa menyimpan rasa kecurigaan diantara mereka berdua, Arofah dan Hamdi segera bergegas dari tempat duduknya untuk menjalankan Ibadah sholat magrib, mengikuti langkah Alawi yang sudah sepuluh langkah mendahului didepan sana, dekat sebuah ruang berukuran sedang bertuliskan “Tempat Wudhu”, disampingnya.

Mereka secara bergiliran mengambil air wudhu, sedangkan Nia menunggu disamping Musholla karena sejak tadi siang Nia mendapatkan diskon Tuhan untuk tidak melakukan aktifitas persembahyangan seperti biasanya; Sholat. Suatu hal yang lazimnya terjadi pada wanita setiap bulannya. Saat itu Nia hanya terpaku dengan kejadian yang baru saja menimpanya, kejadian yang tidak disangka-sangka harus bertemu dengan kedua teman dekatnya yang juga begitu mengharapkannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, Nia tidak menyangka jika janji pertemuannya kali ini harus berhadapan dengan ketiga orang laki-laki yang sama-sama mengharapkannya untuk menjadi pendamping dalam hidup.

Nia terdiam, menatap ketiga sahabatnya itu, namun focus pandangannya saat itu tertuju pada alawi, dokter yang telah lama mengisi mimpi indahnya saat bercengkerama dialam mimpi disaat lelap mengisi peristirahatan dalam kesunyian. Sungguh, Nia, Tak kuasa menahan gejolak dalam hatinya, yang semakin lama semakin menjadi, menguras seluruh inginnya tuk sampaikan rasa cinta yang sangat mendalam, namun ia tak mampu ungkapkan semua itu karena tahu posisi dirinya sebagai seorang wanita yang harus menjaga impian cinta yang menaungi akan angannya. Sudah sekian lama ia berteman dalam impian untuk bersanding dengan dokter Alawi, laki-laki yang sudah sejak lama memberikan perhatian cinta kepadanya, memberikan nasihat maupun saran dalam hidupnya, seolah-olah Alawi adalah teman keseharian yang tidak mampu ia tolak kehadirannya. Akan tetapi rasa itu harus terbentur persaingan hasrat dalam ikatan persahabatan, antara memilih atau mengabaikan perasaan yang sedang bercengkerama dikedalaman sana. Gejolak rasa terus mengadu. Bayangkan saja bagaimana kebingungan itu terus memuncakkan diri disaat menghadapi situasi yang tidak dinginkannya terjadi, namun benar-benar terjadi adanya.

Dalam lamunannya itu, Nia terseret segudang impian dan segudang perselisihan internal antara dirinya sendiri. Mencoba untuk melihat benang merah dan memadamkan perdebatan yang ada, dalam hati ia berpesan menasihati diri, “Tuhan, berikanlah hamba kekuatan untuk menghadapi Situasi seperti ini, tak ada niatan sedikitpun untuk memisahkan jalinan persahabatan, namun tak kuat diri ini menyimpan rasa cinta yang semakin hari menguak seluruh angan untuk memiliki hambamu itu seorang diri (sambil membuka matanya menatap alawi yang sedang mengadahkan tangannya saat berdoa kepada Sang Pencipta). Berikanlah hambaMu yang lemah ini titik terang atas permasalahan agar kuat jiwa ini menghadapinya. Tuhan janganlah engkau timpakan ujian yang tidak kuat kami memikulnya. Amin” Jalinan mesra hatinya mengalir saat menuturkan sebaris doa pada tuhannya, membuatnya lapang melihat kenyataan saat tuhan menimpakan ujian. Barangkali Tuhan ingin membuktikan kesetian hambanya yang ingin mencoba jalinan kedekatan dengan Sang Pencipta. To Be Continued… Keep Spirit For Our Life Better…

Salam Satu Jiwa. Salam sehat Jiwa untuk Menggapai Hidup Bahagia.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain.