Selasa, 08 Januari 2013

WASPADALAH...!!! HIV AIDS melanda negeri ini.

 Saat sekarang ini, bangsa indonesia dihadapkan oleh setumpuk problema kebangsaan yang begitu kompleks, sampai-sampai membuat bingung untuk menentukan mana ujung dan mana pangkalnya. Mulai dari kasus korupsi para pejabat tinggi, anarkisme mahasiswa diberbagai perguruan tinggi, perkelahian antar etnis, penggerusan aset-aset bangsa, minimnya pendidikan, pengangguran yang semakin hari semakin meningkat pesat, dan masih banyak lagi masalah lainnya yang tentu saja kesemuanya itu mengharapkan titik terang dan jalan keluar agar cita-cita bangsa ini tak lagi sekedar mimpi, yakni mencerdaskan bangsa dan memakmurkan seluruh rakyatnya. Namun, melihat kenyataan yang sedang terjadi, miris sekali hati ini untuk menatap betapa sakitnya bangsa ini. Belum selesai satu persoalan, muncul persoalan baru lagi. Tidak hanya itu, bahkan bangsa ini dikategorikan sedang menderita akumulasi penyakit yang sangat beragam, yang dalam bahasa medis diistilahkan konflikasi penyakit.

            Sebenarnya, bangsa ini adalah bangsa memiliki sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah, bangsa ini juga memiliki idealisme dan cita-cita kebangsaan yang sangat agung dan luhur yang pernah diturunkan oleh para nenek moyang kita. Namun karena generasi manusia indonesia sekarang sedang mengalami dekadensi moral baik itu dari kalangan elit pemerintah, pejabat tinggi dan masyarakatnya yang sedang menderita penyakit HIV AIDS, maka tidak mengherankan jika bangsa ini sulit tersembuhkan.

Tentu saja HIV AIDS yang saya maksud bukanlah penyakit HIV AIDS yang oleh kalangan ahli medis dikategorikan sebagai penyakit sangat mengerikan sekaligus mematikan itu. Akan tetapi HIV AIDS ini berbeda dari istilah medis yang dikenal oleh banyak orang. Perlu diketahui, penyakit ini juga bisa mematikan, dan bahkan lebih mematikan dari penyakit yang pertama tadi. Penyakit yang saya maksudkan merupakan akronim dari 7 penyakit jiwa; Hedonis, Intimidasi, Vocal doank, Angkuh, Iri, Dengki, dan Serakah.

            Sebenarnya penyakit ini sudah ada sejak zaman purba, dimana manusia pertama diciptakan. Namun, Sampai saat ini penyakit tersebut belum juga ada obatnya, atau jangan-jangan manusia memang sengaja melupakan obatnya? Sungguh Ironis memang. Mmmm, anda boleh setuju atau tidak, yang pasti hal ini merupakan indikasi bahwa betapa dahsyatnya penyakit tersebut bagi kehidupan ummat manusia, khususnya manusia Indonesia.

            Sekarang, marilah kita mencoba menganalisa satu persatu penyakit tersebut. Penyakit Pertama yakni “Hedonis”. Ini adalah penyakit iblis yang sangat dikutuk oleh Tuhan. Penyakit ini pada mulanya bukan bagian dari diri manusia, namun karena penyakit yang satu ini selalu dibisikkan oleh iblis kepada ummat manusia, maka penyakit inipun menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tak terpisahkan, dan bahkan diturunkan dari generasi pertama ummat manusia ke generasi berikutnya. Mengapa demikian? Coba kita renungkan kembali ceritra nenek moyang kita, yakni manusia pertama, Adam. Betapa tuhan telah memberikan seluruh isi syurga lengkap dengan segala kenikmatan yang ada didalamnya, hanya saja ada satu syarat dimana Adam tidak boleh mendekati satu pohon yang dilarang tuhan, yakni pohon Khuldi; Pohon keabadian. Namun nyatanya, Adam melanggar aturan tersebut karena di-iming-imingi kenikmatan yang lebih besar lagi agar mendekati pohon tersebut, lebih dari itu, ia bahkan memakan buahnya.

            Penyakit yang satu ini adalah bentuk dari dorongan nafsu yang menjadikan manusia tak pernah terpuaskan untuk mencari kepuasan demi kepuasan. Mereka melakukan itu semua bukan semata-mata karena tidak beralasan, sungguh dorongan nafsu yang kuat untuk bisa menikmati hidup menjadikan pikiran tak lagi jernih. Yang ada dalam benak pikiran orang yang berperinsip hodonis ini adalah bagaimana menikmati hidup didunia ini. Bagaimanapun caranya, cukuplah pemuasan kenikmatan sebagai tujuan utama dari serangkaian sikap dan tingkah laku yang tampak ditengah kehidupan.

Bahkan terkadang dorongan nafsu untuk mendapatkan pleasure/ kepuasan telah menapikan sisi kemanusiaan kita yang sesungguhnya; yakni manusia berpikir dan makhluk sprituil. Jika demikian ceritanya, pola hidup hedonisme meniscayakan manusia budak yang siap menjadi pesuruh, bukan lagi sebagai seorang pengendali dan tuan atas kehidupannya sendiri. Sikap ini benar-benar telah menggerogoti elit pemerintahan dan pejabat tinggi negara ini. Mereka tidak lagi bertindak untuk rakyat, yang ada adalah bagaimana kesempatan yang saat ini dipegang dikursi jabatan sebagai kendaraan memuaskan segala keinginan. Bukan lagi berbicara kebutuhan hidup dan kepentingan orang banyak sebagai suatu acuan dalam prosesi kehidupan. Yang ada adalah diri sendiri dan kepuasan.

Jujur saja, tentu semua orang ingin agar kebutuhan hidupnya tercukupkan. Siapapun orang, baik itu saya, anda dan juga mereka, tentu saja membutuhkan sandang, pangan dan papan untuk mencukupi kebutuhan jasmaninya. Bahkan terkadang dalam mencukupi kebutuhan jasmani, kita begitu banyak terlena dan seringkali membuat diri tidak terkontrol. Padahal, kebutuhan jasmani adalah sebatas kendaraan yang bisa kita tumpangi untuk mencapai kebahagiaaan yang sesungguhnya; yakni kehidupan yang tercerahkan dan pencapaian kedekatan dengan tuhan. Namun sayangnya, kita manusia seringkali menganggap kebutuhan jasmani sebagai goal; tujuan utama dari perjalanan ditengah kehidupan. Bukan lagi menggunakannya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan, justru yang ada adalah menjadikan kendaraan sebagai tujuan itu sendiri; untuk pemuasan diri.

Ada satu hal perlu kita renungkan lantaran itu mendatangkan kesadaran dari dalam, semakin sering kita memanjakan kebutuhan-kebutuhan jasmani, semakin membuat kita terjebak pada rutinitas yang membosankan dan selalu menuntut kepuasan semu yang tak pernah terpuaskan, sama seperti ceritra seorang yang haus ditengah lautan. Karena hausnya, ia meminum air lautan tersebut. Semakin diminum semakin bertambah rasa hausnya. Ini mengingatkan kita betapa bahayanya dorongan nafsu yang hanya ingin terpuaskan. Bahkan lebih dari itu, hidup menjadi makin terkekang pada batasan kebutuhan ragawi saja. Padahal Allah memberikan kita semua karunia ini, bukan semata-mata untuk pemuasan ragawi belaka, namun sebenarnya bertujuan untuk mengantarkan kita pada pencapaian yang lebih tinggi yakni kedekatan dengan sumber segala karunia yang ada ini secara tepat guna, proporsional dan relevan dengan tuntunan dan ajaran yang diperintahakan Tuhan.

            Namun apa mau dikata. Jika boleh jujur, kehidupan manusia kebanyakan adalah mereka yang menjadikan kebutuhan ragawi sebagai suatu prioritas utama. Tidak mengherankan jika banyak manusia yang berkejar-kejaran guna mendapatkan kebutuhan ragawi, semata-mata bukan untuk mencukupi kebutuhan hari ini, namun yang ada sifat dan sikap kerakusan yang kerap kali muncul mendominasi.

            Lagi-lagi kita harus melirik keatas sana. Coba saja kita tengok kehidupan para elit birokrasi dan kalangan pejabat tinggi. Semuanya berlomba-lomba mencetak rekor tertinggi dalam merampas, mencuri, dan pencucian uang negara. Walaupun ada sebagian diantara mereka yang masih menjadikan hati nurani sebagai kompas untuk menciptakan ketenteraman dan kebahagiaan sebagai milik semua, namun itu hanya golongan kecil saja. Mungkinkah indonesia akan menjadi lebih baik oleh demokrasi yang banyak di isi oleh para pencari kepuasan diri mengingat Betapa banyaknya para kalangan elit berlomba-lomba melakukan tindak korupsi. Sungguh, mereka semua melakukan itu Bukan semata-mata karena mereka tidak memiliki uang atau harta dalam mencukupi diri dan keluarga. Semua itu mereka lakukan karena dasar jiwa yang rapuh dan kehilangan orientasi dalam memandang kendaraan hidup ini (harta dan kekayaan; kebutuhan ragawi).

            Penyakit Kedua; Intimidasi. Untuk menciptakan kehidupan berbangsa yang adil dan makmur, tentu saja dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki jiwa merakyat, ini artinya panggilan jiwa seorang pemimpin selalu bergaung atas nama rakyat dan untuk rakyat, bukan lagi mengatas namakan kelompok, lebih lagi kepentingan individu semata, bahkan seorang pemimpin hadir untuk membawa rakyatnya yang rapuh lantas mengayominya dan menempatkan serta memberikan kesejahteraan yang memang menjadi hak mereka. Rasanya akan sulit kita bisa menemukan seorang pemimpin yang berjuang atas nama rakyat kecil, yang kebanyakan adalah pemimpin atas nama kelompok, dan melakukan arogansi terhadap kalangan kecil yang tak berdaya. Initmidasi semacam ini adalah bentuk awal dari kehancuran suatu bangsa, termasuk juga Indonesia.

Melihat kondisi demikian. Terkadang dalam hati kecil bertanya, Akankah indonesia mampu menjadi negara makmur jika hanya bangsa ini dimiliki oleh segelintir orang dan dipimpin oleh mereka yang suka menyelewengkan peran dan fungsinya untuk mengayomi rakyatnya? Kemana lagi kita akan menaruh harapan, terkecuali kepada mereka yang siap membawa amanah untuk kesejahteraan, bukan tekanan lantas mendatangkan kemerosotan.

            Penyakit yang ketiga adalah Vocal doank. Siapa sich yang tidak bisa berbicara dan menyampaikan aspirasinya? Tentu semua orang bisa karena oleh Yang Maha Kuasa, kita dibekali mulut untuk berbicara, terkecuali mereka yang bisu. Namun sesungguhnya, seorang bisu sekalipun, sedang berbicara dengan caranya sendiri agar orang lain memahami apa yang ingin disampaikan dengan bahasa tulisan atau bahasa isyarat sekalipun. Bahkan ada yang mengatakan demikian, “manusia mendapatkan jati dirinya melalui serangkaian peroses interaksi dan komunikasinya dengan orang lain.”

Namun yang dimaksudkan disini bukanlah apa yang saya uraikan sebelumnya terkait komunikasi, yang menjadi perhatian adalah bagaimana manusia kebanyakan yang hanya bisa berkomentar tanpa memberikan suatu solusi ataupun cara untuk bertumbuh bersama membangun Indonesia yang lebih maju di era mendatang. Sejatinya penyakit “Vocal alias ngomong doank” sedang menjangkiti para elit pemerintahan dan elit politik negeri ini.

Bagaimana tidak, coba saja lihat bagaimana mereka terus saling menjejal dengan ragam komentar yang menghujat satu sama lain atau sejenisnya, bahkan apa yang sering mereka lontarkan hanya sebagai tameng untuk pembelaan diri dan perkataan yang tidak mencerminkan kualitas pendidikan mereka, padahal mereka sendiri adalah kalangan akademisi yang sudah lama duduk dibangku sekolah yang harapannya untuk melahirkan generasi cerdas yang bermoralitas tinggi. Namun kenyataannya mereka tidak mencerminkan karakter seorang pengemban amanah rakyat dan seorang akademisi. Kenyataannya mereka hanya melakukan pembelaan demi pembelaaan, melontarkan perkataan yang tidak mencerminkan seorang yang memiliki integritas kebangsaan. Anehnya, ketika mereka diamanahkan memimpin negeri ini tak mampu berbuat banyak untuk negeri ini. Hanya menambah daftar kesengsaraan rakyat. Pantaskan kita berkiblat kepada mereka yang hanya bisa berkomentar tanpa bukti nyata untuk kemajuan negeri ini?

Penyakit selanjutnya adalah Angkuh. Ini adalah penyakit yang menjangkiti Iblis dan para pengikutnya. Penyakit inilah yang menjadi sebab musabbab dimana iblis menolak untuk bersujud dihadapan Adam sebagaimana yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Dengan gampangnya ia menjawab; “Aku diciptakan dari api, sedangkan adam diciptakan dari tanah. Bukankah aku memiliki kedudukan yang lebih mulia ketimbang adam. Lantas mengapa aku harus sujud menghormatinya?”

Pembaca yang budiman. Cobalah sejenak kita menengok betapa bangsa ini telah telah dicemari oleh sikap elit pemerintah dan politik yang hidup dalam keangkuhan. Semua merasa diri besar lantaran itu memojokkan yang kecil. Bukannya duduk berdampingan merumuskan langkah startegis untuk memajukan peradaban bangsa, justru sikap angkuh membuat mereka semakin semena-mena menjatuhkan yang tak berdaya. Perekonomian bangsa juga demikian, Yang kaya hanya memperhatikan diri mereka, yang mampu tak pernah memperdulikan rakyat yang tak berdaya, bahkan tidak salah jika ada orang yang berkata demikian; “kita telah menjadi budak dirumah sendiri”. Begitu banyaknya rakyat kecil menjadi korbannya. Padahal tujuan kemakmuran itu adalah memberikan penghidupan yang layak dan merata kepada seluruh rakyatnya. Namun karena keangkuhan para elit pemerintah jualah yang menjadikan idealisme bangsa pupus untuk menjadi bangsa yang kokoh dan sejahtera.

Penyakit berikutnya adalah Iri dan Dengki. Penyakit ini seringkali disamakan oleh semua orang. Padahal dalam subtansinya penyakit ini berbeda satu sama lain. Iri merupakan sikap dimana ketidak senangan melihat kebahagiaan pada orang lain dan dengki adalah tindak lanjut dari sifat pertama yang lebih menekankah pada aksinya.

Coba kita bercermin sejenak dari sejarah kehidupan ummat manusia pertama. Tentu Anda masih ingat cerita habil dan qabil, bukan? Cerita tersebut menggambarkan bagaimana sifat Iri dan Dengki telah mengawali tindakan keji terhadap saudara sendiri. Sifat inilah yang mengawali pertupahan darah pertama dalam sejarah kehidupan manusia. Sifat ini pula yang secara turun temurun menjadikan suatu bangsa hilang dipermukaan lantas hanya meninggalkan puing-puing peradaban yang hancur berantakan. Sifat-sifat ini merupakan salah satu sebab pangkal kejahatan, karena dari sifat ini kita bisa menyebabkan berbuat buruk kepada orang lain.

Ingatlah bahwa Iri dan dengki akan merusak kehidupan seseorang, begitu juga terhadap kehidupan bermasyarakat. Sifat inilah yang menyebabkan iblis harus menerima ketetapan tuhannya untuk keluar dari syurga hanya karena sifat iri dan kedengkian yang bercokol didalam dirinya. Iri hati atau dengki adalah suatu sifat yang tidak senang nikmat yang didapat oleh orang lain dan cenderung berusaha untuk menyainginya. Sifat ini sangat berbahaya jika menghinggapi bathin para elit pemerintahan republik ini. Sifat iri hati dan dengki kepada orang lain merupakan sifat yang merugikan diri kita sendiri, orang lain dan bahkan seringkali menciptakan hubungan yang tidak baik secara turun temurun. Akankah bangsa ini harus hancur karena kedigjayaan mentalitas elit yang tak bermoral?

Penyakit yang terakhir adalah Serakah. Orang yang selalu merasa kekurangan padahal nyatanya sudah memiliki limpahan materi dalam kehidupannya, biasa disebut dengan istilah serakah atau tamak. Orang serakah biasanya menginginkan agar dirinya memiliki sesuatu paling banyak dari orang lain, tidak puas dengan kepemilikian ini dan itu, jiwa orang-orang yang memiliki sifat serakah hampa tak bermakna karena ujung-ujungnya menuntut dirinya untuk merampas apa yang dimiliki orang lain. Keinginannya itu tidak pernah berhenti ataupun terpuaskan. Apa yang sudah dimiliki, sekalipun sudah terlalu banyak, masih selalu dirasa kurang, dan karena itu masih ingin berusaha menambahnya dan menambahnya.

Gambaran seperti itu menunjukkan bahwa keinginan memang tidak ada batasnya. Lagi lagi ibarat seorang yang meminum air laut, semakin diminum, semakin bertambahlah rasa hausnya itu. Jika nafsu itu tidak bisa dikendalikan, maka berapapun harta yang ada, tidak akan mencukupi. Sifat itu tidak saja menjadikan seseorang menderita penyakit kekurangan ini dan itu, tetapi juga berakibat buruk terhadap orang lain, bahkan lebih dari itu, akan sangat berdampak bagi kemerosotan suatu bangsa secara keseluruhan. Buktinya, indonesia yang memiliki limpahan Sumber daya alam disana sini, memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah, bahkan jumlah rakyat miskin semakin bertambah dari hari ke hari. Adakah yang salah dengan Sumber Daya Alam? Atau jangan-jangan mereka yang duduk dikursi pemerintahan sedang dilanda penyakit yang sangat mematikan ini: Serakah!!! Sehingga kesejahteraan menjadi barang langka, bahkan menjadi sebatas mimpi yang tak mungkin tercapai oleh mereka yang tak berdaya.

Orang serakah atau tamak sangat membahayakan kehidupan dirinya sendiri, pun juga terhadap kehidupan orang lain. Negeri yang kaya sumber alam sekalipun, seperti negeri kita ini, ternyata rakyatnya masih banyak yang miskin, hanya karena disebabkan oleh banyaknya orang serakah atau tamak itu. Mereka terlalu mencintai harta, dan selalu berusaha memenuhi keinginannya, tanpa peduli dengan rakyatnya yang miskin.

Jelas sudah, Indonesia sedang menderita penyakit yang sangat mematikan; HIV AIDS. Jika saja ini dibiarkan berlarut-larut, Indonesia tidak akan pernah mampu bersaing dengan bangsa lain dibelahan dunia manapun. Jangankan bersaing, memajukan kualitas peradaban diri sendiri akan terasa sulit jika roda pemerintahan ini ditunggangi oleh mereka yang sedang menderita penyakit HIV AIDS. Akankah Indonesia mampu melewati penderitaan ini? Semoga Tuhan Melimpahkan Kasihnya sehingga terlahir generasi-generasi yang Sehat lahir dan bathin untuk memajukan idealisme kebangsaan menuju masa depan yang cerah. Wallahu a'lam. Keep spirit For Our Life Better.

AHA.... Semarakkan hidup anda, Sekarang juga!!!

Dalam hidup ini, terkadang datang suatu masa dimana kita benar-benar dihadapkan pada kondisi bathin yang membuat kita benar-benar merasakan suatu penderitaan sehingga kita merasakan kegelisahan luar biasa yang membuat segala sesuatunya terlihat tak bermakna. Dalam kondisi yang demikian itu, tidak mengherankan jika begitu banyak orang berlomba-lomba mencari solusinya dengan cara mengejar kesuksesan demi kesuksesan ini dan itu seperti halnya mencari harta, pangkat dan lain sebagainya. Semua itu dijalani agar terhindar dari kondisi mental yang membuat segalanya tak berati yaitu “kegelisahan” atau dalam bahasa anak muda sekarang disebut dengan istilah; “GALAU”. Istilah yang cukup keren sekaligus beken, namun menjadi momok yang sangat menyeramkan, bukan?

Inilah mengapa semua orang berusaha terlepas dari penderitaan hidup yang demikian, dengan cara apapun itu. Pada dasarnya semua orang sedang bergerak maju untuk mencapai kesuksesan masing-masing dengan cara mengumpulkan segala keperluan yang dipersepsikan mampu membawa kehidupannya menjadi lebih menawan sekaligus menabjubkan, seperti misalnya mencari harta kekayaan dan kekayaan, dan lagi lagi kekayaan. Dalam yakin mereka, kekayaan jualah yang nantinya mampu membeli kebahagiaan yang selama ini mereka cari-cari dalam hidup ini. Namun dibalik kesibukannya mencari harta kekayaan, terkadang mereka lupa satu hal; menikmati kehidupan saat ini dan detik ini juga dengan suka cita.

Sebenarnya hidup ini tidak menuntut banyak untuk bisa merasakan kehidupan luar biasa penuh kebahagiaan. Kita akan bisa merasakan kebahagiaan dalam segala kondisi tanpa berbekal apapun selain kebahagiaan itu sendiri. Bagaimana caranya menikmati hidup tanpa bekal sepersenpun???

Untuk berbahagia, banyak orang yang berorientasi pada sesuatu diluar dirinya; seperti halnya mengharapkan kekayaan yang banyak. Padahal banyak sekali orang yang memiliki seuatu ini dan itu tetapi tidak dapat menikmati kehidupannya sendiri. Itu karena mereka terus dituntut untuk memikirkan yang lain lagi. Ini bukti, bahwa kepemilikan menuntut untuk memiliki sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Selalu saja berkejaran dan berkejaran tanpa pernah berhenti, menuntut untuk dipenuhi, bahkan terkadang sangat membosankan sekaligus mengkhawatirkan. Jika ceritanya demikian, tidak akan pernah ada kepuasaan terhadap apa yang dikaruniakan tuhan kepadanya. Ini artinya, kekayaan yang berlimpah, belum tentu memiliki keberlimpahan berkah didalamnya.

Jika boleh berterus terang, sesungguhnya didalam pikiran kita ini seringkali diisi oleh sesuatu yang belum kita miliki, berharap untuk dimiliki. Padahal, untuk bisa menikmati hidup ini, kita harus merasa cukup dengan apa yang ada saat ini, yaitu mengisi pikiraan kita dengan apa yang tuhan karuniakan saat ini.

Sebenarnya yang membuat kita galau adalah merasa tak berdaya dengan apa yang ada dalam diri, pun juga ditambah dengan ragam tuntutan-tuntutan yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Inilah mengapa, kebahagiaan hanya milik mereka yang mampu bersyukur atas apa yang dikaruniakan tuhan dalam kehidupannya, sekecil apapun itu, jika rasa syukur selalu ada dan selalu berperasangka baik bahwa betapa kasihnya tuhan dalam kehidupan, maka kehidupan ini mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya.

Ini mengingatkan kita satu hal, tak perlu kaya dahulu untuk bisa menikmati kehidupan ini, karena setiap orang berhak untuk bahagia. Baik itu, saya, anda dan juga mereka. Kita semua berhak untuk merasakan kebahagiaan, karena dalam kebahagiaan itulah tersimpan kehidupan yang menabjubkan dimana kita bisa merasakan makna hidup disetiap harinya, lebih-lebih merasakan kehadiran tuhan yang telah melimpahkan karunia kehidupan kepada manusia.

Hanya saja, tidak semua orang tahu caranya. Yang ada justru mereka yang berharap memiliki ini dan itu, lantaran itu mereka bahagia. Ketahuilah, bukan karena kepemilikan yang membuat kita bahagia, namun bagaimana kita menikmati hidup dengan apa yang ada sebagai suatu karunia yang luar biasa, itulah sumber kebahagiaan yang membuat kita merasakan bahwa hidup ini benar-benar luar biasa.

Ketahuilah, sejatinya kebahagiaan tidak dinanti hari esok ataupun tahun depan, namun kita bisa merasakannya saat ini juga. Kita bisa merasakan kehadiran kebahagiaan yang sesungguhnya. Dalam hidup ini, kita merasa suatu hal yang luar biasa sedang terjadi, sehingga segala sesuatu terasa indah untuk kita jalani, semua terlihat berlimpah dalam kebahagiaan, semua itu muncul dari diri yang benar-benar membuka diri terhadap nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Bukankah Yang Maha Kasih pernah berpesan demikian, “Jika kalian bersyukur, maka akan aku tambahkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan jika kalian menginggkarinya, maka sungguh azab-Ku sangat pedih”. Masih ingatkah anda dengan pesan suci tersebut? Atau jangan-jangan kita memang sengaja melupakannya. Keep spirit for our life better...

Jumat, 28 September 2012

Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam bathin

Malam yang sunyi senyap bertabur keindahan bintang gemintang dilangit kota Aikmel, seakan-akan sedang menggoda mata yang telah jenuh memandang dunia yang tak lagi bersahabatkan cinta manusia, yang kini tersisa disusut-sudut kota adalah manusia-manusia yang telah tersihir ego, jabatan dan sekeranjang emas permata. Semburat mega merah jingga masih bertengger diatas semesta mewarnai hamparan langit biru sehingga tampak simfoni keindahan bercengkerama mengigaukan bait-bait kemesraan yang membuat hati menelusuk masuk dalam rengkuh kedamaian sempurna. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan namun mampu membuat hati orang-orang yang sedang duduk diruang tunggu pasien, PUSKESMAS Aikmel terusik dalam belai dan dekapan syahdu sang dingin yang mencungkil dan menggerogoti kulit, hingga terasa meremukkan tulang belulang yang tersimpan rapi dibalik raga.

Suasana yang mempesona ini nampaknya tidak sedang dinikmati oleh Zainuddin, Laki-laki berperawakan tinggi sedang dengan wajah oval dan kulit putih serta senyuman yang sangat menawan, pak Udin, begitulah sapaan akrab yang biasa dipanggil oleh para tetangganya. Walau usianya pak Udin sudah tidak lagi muda, nyatanya laki-laki paruh baya itu masih mampu menghibur kekalutan jiwanya yang tak lagi bersahabat oleh senyuman cinta dari manusia disekelilingnya. Namun malam itu, senyumnya seolah-olah telah lenyap terbawa garis-garis waktu. Hanya tampak guratan wajah kekecewaan dibalik kerut-keriput wajahnya yang datang menghampirinya saat menunggu janji-janji yang belum juga ditepati oleh sanak keluarganya, lebih lagi oleh nelangsah jiwa saat rasa sakit menyeruak menyesakkan dada.

Rambutnya yang dulunya rapi mengkilap warna hitam, kini semerawut dalam gores warna putih beruban karena tak pernah terurus lagi. Pak Zainuddin sudah satu jam terbaring lemas diatas ranjang pasien yang tersedia didalam ruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Satu-satunya tempat tidur pasien yang tersedia dipojok selatan, dibawah jendela berukuran 2x1 meter yang terpasang permanen didinding tembok untuk menyambut angin sepoi-sepoi yang terkadang datang menghibur menemani sinar temaran cahaya rembulan saat ingin menyelinap masuk menyapa para perawat yang sedang bertugas melayani pasien-pasiennya, termasuk pula menyapa pak Zainuddin yang kini terbaring dalam kondisi lemas tak berdaya, seakan-akan malaikat enggan melihat kondisinya yang telah rapuh diusik waktu. Melihat laki-laki paruh baya yang tergeletak diruang perawatan itu hanya akan menyisakan torehan bathin berbahasakan iba mendalam. Sesekali terdengar nafasnya yang tersengal-sengal tak bertenaga, kedengarannya Zainuddin benar-benar mengidap penyakit asma kronis, sebagaimana penuturan tim dokter RSU kota Selong saat pertama kali mendiagnosis penyakitnya beberapa tahun sebelumnya.

Sesekali tangannya terlihat menggaruk-garuk kepala, sedang mata sipitnya menatap lepas melihat pojok langit yang tak bertepi dari jendela yang masih terbuka korden-nya. Kelihatannya Dia sedang menyesali betapa naifnya dirinya setelah tergerus janji dan sikap keluarganya yang berceloteh tentang peralatan medis yang akan dibelikan yang nantinya bisa dipergunakan ketika serangan asmanya datang menggerus tubuhnya, lebih lagi oleh sikap seronoh yang tak menggambarkan cinta kasih berbahasakan kelembutan dari mereka-mereka yang menganggap dirinya hidup dalam segudang kemewahan. Padahal, sejatinya pak Zainuddin memiliki sanak keluarga yang tergolong mampu untuk membelikannya peralatan medis sederhana suatu ketika penyakitnya itu kambuh kembali, namun entah mengapa, beberapa diantara anak-anaknya memperlihatkan sikap kesombongan mereka, dan bahkan menorehkan sikap acuh tak acuh terhadap kondisi Zainuddin yang tergeletak dalam sakit yang dideritanya.

Zainuddin menggenggam tangannya keras-keras. Dia membuang nafas lepas, sembari. Wajahnya sumringah, namun tak mampu menghapuskan kerutan wajahnya yang sederhana.

"Astagfirullah-Astagfirullah, Ya Rahman Ya Rahiim!" kata Zainuddin lirih. Berkali-kali ia menyuarakan kata-kata itu, seakan-akan lantunan nyanyian kekecewaan dari dalam batinnya yang sedang mengadu. Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam bathinnya, namun apa mau dikata, semuanya sedang duduk menemani dirinya, ingin mengingatkan agar tak lagi perduli kehidupan dunia yang sudah dipenuhi oleh harapan semu manusia yang telah terkikis ego, lantas menggelincirkan cinta mereka yang tulus dari dalam jiwa.

Sakit asma kronis dan CAD telah menghancurkan Zainuddin dan kehidupannya. Gara-garanya, saat masih muda, Zainuddin acap kali bersahabat dengan Rokok. Wajar jika ia kini harus bertemu berkali-kali diruang yang sama dan dirawat intensif oleh dokter Zakiah, dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas PUSKESMAS Tersebut. Lebih lagi, kondisi Zainuddin diperparah oleh sanak keluarganya yang tak lagi harmonis seperti dahulunya. Semua itu berawal dari sikap Emi yang tergolong keras kepala, anaknya pak Zainuddin yang ke empat. Betapa tidak, sejak emi menikah dan kini memiliki 3 orang anak, kehidupannya sudah berbeda dari sebelum-sebelumnya. Emi yang dahulu hidupnya biasa-biasa saja, kini terlihat lebih “waaah” atau bahkan bisa dibilang megah. Barangkali uang sudang menghipnotisnya atau mungkin ada suatu hal lain hingga menjadikannya anak yang tak lagi perduli terhadap kondisi orang tuanya yang kerap kali dibawa ke PUSKESMAS, bahkan beberapakali harus menginap di Rumah Sakit Umum kota Selong, begitu seterusnya. Bisa dibilang, Seakan-akan RSU dan PUSKESMAS adalah rumah kedua bagi Zainuddin. Begitulah pembicaraan para tetangganya didesa.

Belum lagi oleh Ulah Zakir, Anaknya yang kelima yang kerapkali membuat sesuatu yang aneh-aneh yang memperparah kondisi pak Udin. Delapan bulan yang lalu, Zakir mencalonkan diri sebagai kandidat calon Kepala Desa yang dianggapnya pembaharu dari kalangan generasi muda, walaupun harus meraup uang saku yang bisa dibilang banyak, maklum ongkos kampanye dan administrasi. Sayangnya, ia gagal total. Lain lagi konflik berkepanjangan antar sanak keluarga yang tak pernah menuai ujung setelah parade pemilu berakhir. Tekanan-demi tekanan terus saja mendera. Sakit fisik ditambah lagi tekanan bathin menjadikan Zainuddin harus merelakan separuh hidupnya tergeletak diruang perawatan dokter.

Bayangkan saja, betapa menderitanya Pak Udin. Acapkali datang dirumah sakit ataupun dipuskesmas, Ia hanya berteman istri dan terkadang ditemani oleh cucu-cucunya saat libur panjang, maklum semua cucunya Pak Udin sudah menginjakkan kaki dibangku perkuliahan, Dunia yang betul-betul menyibukan dengan serangkaian aktifitas akademisi yang menyita waktu lebih. Tidak heran jika pak Udin ditemani cucu-cucunya diwaktu lengang saat libur panjang saja.

Kesedihan beranak pinak dan seperti suara beduk bertalu-talu memecah genderang telinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Tapi, entah siapa yang salah dan yang harus dipersalahkan tentang semua yang telah terjadi ini? Entahlah, barangkali “Kesalahanlah” yang memang harus dipersalahkan agar tak lagi ada yang dikambing hitamkan, atau barangkali semua yang terjadi sedang Mengingatkan pak Zainuddin untuk benar-benar mengingat kembali usianya yang sudah tidak lagi muda agar tak lagi terkecoh oleh ulah dan peringai sanak keluarganya yang notabenenya telah menggerus arus kehidupan yang sesungguhnya, semua itu telah terjadi yang kerapkali membuatnya terbaring sakit diruang perawatan akibat perasaan stress yang mendera.

Semua kejadian itu tumpang tindih, dan terus saja terjadi. Dan kini, dimalam ini, Pak Udin sudah ke empat belas kalinya harus menerima perawatan medis di PUSKESMAS Aikmel sejak beberapa tahun sebelumnya dibawa keruang perawatan dokter, belum lagi perawatan yang diterimanya di Rumah Sakit Umum kota selong, jumlahnya satu, dua, tiga, empat, lima… aaah, jumlahnya sudah hampir dua puluh kali, mungkin tidak perlu lagi untuk dihitung jumlahnya, hanya akan menyesakkan dada melihat apa yang sedang terjadi menimpa pak Zainuddin.

Selang infus menancap ditangan kanannya, terkadang pula harus dialihkan ditangan kirinya. Belum lagi alat medis yang mengeluarkan asap tebal yang menyesakkan, berisi cairan aquades yang ditambahkan salbutamol didalamnya, padahal, larutan salbutamol yang diterima saat menjalani terapi membuatnya berdebar-debar tak berdaya, bahkan membuatnya tidak bisa menikmati tidur lelap dimalam hari, memang begitulah adanya, asap yang membumbung berisikan salbutamol akan sangat menyakitkan bagi mereka yang sedang mengidap gangguan kardiovaskuler, namun apa mau dikata, semuanya serba salah. Terapi ini dan itu sudah dicoba, apalah yang harus dicoba lagi, hanya bisa menerima perlakuan dari dokter yang merawatnya, dan pasrah jualah sebagai jalan satu-satunya agar bisa menerima segala yang terjadi, segala kenaifan yang menimpa.

Bayangkan saja betapa sengsaranya pak Udin harus menerima Penderitaan seperti ini diakhir usianya. Raut wajahnya yang menampak keriput dan rambut putih beruban, sesekali diusapnya oleh handuk kecil berwana putih yang dibawanya saat berkunjung keruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Perasaannya tak menentu, sesekali telinganya menyimak deru motor yang sedang parkir didepan UGD, berharap isterinya datang untuk menemani malamnya di PUSKESMAS.

Astagfirullah-Astagfirullah.” Pak Zainuddin terus saja mengucapkan lantunan istigfar (islam; permohonan maaf) untuk menenangkan kerisauan hatinya, terus dan terus diucapkannya.

Assalamu’alaikum…” Tiba-tiba terdengar suara salam dari seorang laki-laki jangkung berkulit putih menyapa Pak Udin. “tak-tik-tak-tik-tuk…” Suara kakinya semakin mendekat, dan lebih dekat lagi dari tempat tidur perawatan yang ditempati pak Udin.

Bagaimana kondisinya kek?” Sapa Putra, cucu Pak Udin dari anaknya yang kedua, Rosida.

Alhamdu-Lill-Laah,,, suu-daah Lumayaan membaiik.” Suara pak Udin terbata-bata, namun ia berusaha menampakkan ketegarannya, ingin sekali menyembunyikan kegalauan dalam bathinnya.

Pak zainuddin menatap atap ruang perawatan, ditarik nafasnya panjang-panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan, lalu ia memulai ceritanya tentang cukilan-cukilan kehidupan masa lalunya, mulai dari cerita yang biasa-biasa saja hingga cerita yang mampu membangkitkan perasaan iba mendalam saat mendengar penuturan polosnya. Ia bercerita banyak tentang semua yang menimpanya hingga membuatnya harus berulang kali menerima sentuhan jarum-jarum infuse yang menyakitkan, belum lagi daftar resep obat-obatan yang jumlahnya lumayan banyak, mulai dari obat asma, jantung, hipertensi, dan obat penenang dari dokter yang memberikan perawatan. Yang tidak pernah ketinggalan adalah tabung oksigen untuk membantu pernafasan ditambah oleh tusukan jarum infuse pengganti cairan dan asupan makanan. Kelihatannya Pak Zainuddin benar-benar merasakan kepedihan mendalam. Lagi-lagi ia melanjutkan cerita kehidupan masa lalunya kepada Putra, cucunya yang memang ingin menguraikan seluruh kesakitan bathin yang mendera dengan menyempatkan waktunya mendengar jeritan bathin kakeknya yang renta.

Tidak terasa, jam dinding yang terpasang didinding pintu masuk ruang perawatan telah menunjukkan jam sebelas malam, sudah dua jam lamanya Pak Zainuddin menceritakan semua kesedihan yang mendera kehidupannya. Terlihat kekusutan wajahnya mulai menghilang sedikit demi sedikit, satu atau dua garis kesedihan perlahan memudar setelah bercerita cukilan episode kehidupan masa lalu, atau mungkin semuanya perlahan-lahan menghilang bersama rasa kantuk yang sudah menyeruak ingin dihilangkan sejenak kala mata telah terpejam. Putra menatap wajah kakeknya yang terlihat semakin sayu. Kelihatannya ia masih mengenang cukilan kisah dalam episode-episode kehidupan masa lalu.

Kek,,,Kelihatannya kondisi kakek butuh istirahat banyak. Kakek istirahat saja yaaach. Nanti kami yang bakal menunggu kakek selama dirawat dipuskesmas.” Sesekali tangan Putra memijat kaki kakeknya, ia berharap kondisi kakeknya membaik.

Nanti kalau kakek butuh sesuatu, kami bakal masuk keruang perawatan kok kek. Diluar ada Wahyu, Dicky, Agung, Sama Riezwandi. Oya kek, malam ini nenek nggak bisa datang ke PUSKESMAS, maklum kondisinya juga lagi nggak enak badan, beliau juga butuh istirahat. Kakek istirahat saja, yaaach.” Lanjut Putra menasihati sambil membuka selimut warna biru tua yang dibawanya dari rumah untuk menutup tubuh kakeknya yang tergeletak lemas tak bertenaga.

Kelihatannya laki-laki paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya menengadah kearah jendela, menatap langit yang tak berujung. Sesekali Dilihat wajah cucunya yang kini berada disampinya, diujung Ranjang tempatnya terbaring, tepat diseblah kakinya yang kiri. Tak ada kata yang diucapkannya. Ia benar-benar terdiam dan terdiam.

************************************

Sehari, dua hari, tiga hari, telah berlalu begitu cepatnya. Zainuddin masih terlihat disudut ruang perawatan di PUSKESMAS Aikmel. Namun pagi itu ada yang berbeda, dan benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya, raut wajahnya yang dahulu semerawut tak terawat, kini telah mekar merona, menampak aura bahagia dari dalam jiwa. Seakan-akan wajah itu ingin bercerita tentang kebahagiaan tak terkira yang sedang dirasakannya, layaknya sinar mentari pagi yang datang dengan kehangatan, menyinari dengan keceriaan, membawakan manusia sekeranjang motifasi untuk memulai hidup baru, menepis kegelapan kesedihan, menyuguhkan cahaya baru bagi kehidupan lebih baik dimasa kini dan mendatang.

Wajah bahagia itu tidak bisa ditutu-tutupi lagi, walau dalam keadaan sakit, Pak Udin merasakan suatu keajaiban luar biasa, ia merasa benar-benar sembuh, barangkali perasaan bahagia itu datang dari pesan cucu-cucunya yang telah menemaninya selama tiga hari dipuskesmas tersebut.

Putra yang setiap saat selalu mengatakan, "Sabar kek. Pastilah kondisi kakek akan semakin membaik, tidak perlu lagi kakek memikirkan hal-hal yang membuat kakek terbeban. Serahkan semuanya kepada Tuhan." setiap kali dinasihati demikian, Zainuddin Merasa ada yang berbeda yang dirasakannya, Ia merasakan sentuhan lembut dan perhatian yang selama ini di-idam-idamkannya.

Lain lagi dengan pesan Agung, “Kakek harus sehat. Jangan lupa minum obatnya. Pasti kakek nggak bakal sakit lagi.”

Kakek nggak perlu lagi dirawat ditempat ini. Sekarang kakek harus lebih lapang dada. Kakek bisa, Pasti bisa, okey” ujar Riezwandi.

Lain lagi cara unik Wahyu dan Dicky menghibur kakeknya, canda tawa yang khas membuat pak Udin terlihat ceria, sesekali tertawa.

Akhirnya, apa yang dilakukan Dicky, Agung, Putra, Riezwandi dan Wahyu membawa hasil, mereka telah mampu mengusir segala kesedihan yang selama ini menjegal kehidupan pak Zainuddin, begitupula memenjarakan tubuhnya dari penyakit yang kerap kali muncul akibat stress yang mendera. Hal ini terungkap ketika ada inspeksi pemeriksaan dari dokter yang memeriksa perkembangan kondisi Pak Zainuddin. Menurut keterangan Dokter, kondisi Pak Zainuddin membaik dan bisa dipulangkan dari ruang perawatan PUSKESMAS, hari ini juga… END…

Salam satu jiwa. Salam sehat Jiwa untuk menggapai hidup bahagia…

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Sabtu, 22 September 2012

Bahwasanya semua orang sedang bertumbuh dalam kehidupan yang luar biasa; SAYA, ANDA dan juga MEREKA

Banyak diantara kita begitu berharap jalan mulus diatas kehidupan, sehingga lebih sering menjadikan kita menghindar dari sebuah hambatan yang menghadang. Sungguh, Bukan karena sebuah hambatan yang menghadang menjadikan langkah kaki tak karuan, bahkan tak ingin lagi melangkah kedepan untuk mencapai tujuan, namun pikiran picik-lah yang menjadikan kita lumpuh tak berdaya, tertatih-tatih tanpa arah, terseret dalam kubangan penderitaan. Sejatinya setiap hambatan yang menghadang adalah bagian kehidupan yang tak bisa dipungkiri oleh setiap insan. Cobalah menengok sejenak betapa kuatnya kita dengan apa yang dikaruniakan tuhan didalam diri kita.

Bukankah dengan bekal kemauan dan tekad yang kuat menjadikan hambatan bagian dari perosesi kehidupan yang notabenenya sebagai penghias indahnya sebuah perjalanan. Barangkali, perlu kiranya untuk kita terus belajar bagaimana menghargai kehidupan, menghargai diri bahwasanya Tuhan telah menitipkan potensi dalam diri setiap insan agar hambatan yang ada merupakan moment untuk bisa melihat kehidupan dari sisi yang lain, sisi yang membuat kita bisa berpikir lebih dewasa, sisi kehidupan dimana kita bisa membuka mata bahwasanya tidak ada kehidupan yang tak memiliki jalan setapak penuh cobaan, sisi lain dari sebuah realita hidup; tak ada kemegahan bagi mereka yang takut menatap hamparan luas kehidupan. Jika begini ceritanya, adakah diantara kita masih saja beranjak pergi dan tak mau perduli untuk menciptakan kehidupan luar biasa bagi diri sendiri dan orang lain?

Mungkin selama ini kita menutup mata, atau mungkin juga tidak pernah ingin tahu potensi apa yang sebenarnya yang ada dalam diri ini, sehingga kita lengah untuk terus berkarya. Boleh jadi hari ini kita lebih sering menikmati hasil jerih payah orang tua, atau mungkin menengadahkan tangan kepada mereka yang ada disana, namun esok hari, siapalah yang akan mengulurkan tangan terkecuali diri kita yang siap untuk berdiri tegak diatas kehdiupan dengan segala konsekuensi yang menunggu didepan. Adalah diri kita yang lengah dan tak mau membuka mata, menyibak tabir jiwa dan melangkah maju menghadapi episode kehidupan yang akan datang didepan mata.

Bagaimana mungkin kita bisa menempuh sesuatu yang luar biasa tanpa iringan tekad dan doa teruntuk yang maha Kuasa. Inilah hari dimana kita harus belajar untuk memulai dan memandang kehidupan sebagai suatu karunia. Bukankah hari ini adalah kesempatan emas untuk kita bangkitkan jiwa dan raga agar tak lagi ada penyesalan sebelum akhir perjalanan datang menyapa?????

Kita mungkin seringkali tidak menyadari tentang satu hal; bahwasanya semua orang sedang bertumbuh dalam kehidupan yang luar biasa; menjadi sosok pribadi yang terampil secara profesional dan menjadi seorang yang layak dinobatkan sebagai seorang pemenang diatas pentas kehidupan. Namun karena kita tidak pernah menyadarinya, inilah membuat kita lupa untuk bisa bangkit dan bertumbuh maju teruntuk kehidupan lebih baik dihari esok hari. Barangkali pandangan sempit terhadap diri sendiri ini yang telah menjadikan kita seringkali larut dibawa arus keterhinaan. Kita lupa bahwa semua manusia bertumbuh dalam prestasi yang gemilang ketika menumbuhkan kebajikan disetiap langkah kehidupannya, Mereka yang siap maju tidak mencitrakan diri dalam kungkungan pencitraan negatif, namun sejatinya mereka yang siap maju adalah berani untuk melangkah dengan penuh keberanian. Beranikah Kita melangkah merelalisasikan mimpi agar hidup selalu bahagia??? Tidak ada seorangpun yang menghalangi langkah kaki hari ini, selain dari diri kita sendiri. Jika begini ceritanya, singsingkan lengan baju dan raihlah segalanya...!!! Keep spirit For Our Life Better

Salam Satu Jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

HarapKu, Engkaulah CINTA

-->
Kegelapan Malam bersama terpaan gerimis kesedihan langit telah Menguak segala isak tangis yang membuat jiwa iba melihat ratapanku kali ini. Aku telah tertunduk malu dibawah ratapan kesedihanku yang terus saja menderu layaknya angin yang melaju lepas menyibak dedaunan ditaman bunga. Berharap seorang yang kucintai masih mendengar segala impianku untuk bisa terus bersamanya dalam suka dan duka, hidup berdampingan bersamanya disetiap waktu. Malam itu aku benar-benar terbawa dalam lamunan, mengingatkan kisah kenangan yang pernah tertorehkan diatas goresan tapal waktu saat pertama kali mengenal wanita yang saat ini sedang berada dihadapanku. Sebut saja namanya, Kasfiyyaana Alfina Fitria Alisha Anjali Amnaniya Saputri. Wanita yang akrab aku panggil; Kasfiyya, begitupula panggilan akrab yang seringkali disuarakan oleh teman dekatnya. Kasfiyya adalah Perawat yang sudah bekerja di Puskesmas Peraya semenjak kelulusannya dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, Selong, satu tahun lalu.

Imajinasi bayangan masa lalu beranjak dari putaran waktu masa kini, berputar balik Mengingat cukilan-cukilan kenangan indah yang tak seorangpun mampu merasakan keindahan dan semerbak aroma bahagianya terkecuali hati kami yang sudah berbalut selimut cinta didalam labirin jiwa, terutama sekali saat pertemuan kami kali pertama sejak duduk dibangku SMA. Namun kini, aku benar-benar melihat pemandangan yang jauh sekali berbeda dari apa yang aku rasakan saat menemukan mutiara bahagia dari dalam jiwanya waktu lalu. Kini ia sungguh telah berubah, Dalam lemas terkulai ia tak mampu lagi berkata apa-apa selain suara nafas tersengal-sengal dari derita penyakit yang mengayomi tubuhnya. Barangkali penyakit aneh itu yang sedang bercokol ditubuhnya sebagaimana yang telah didiagnosa oleh dokter; Asma.


Betapa takutnya bathin ini menatap seluruh tubuhnya yang terkulai lemas tak berdaya, seakan-akan tak bernyawa. Selang infus masih tertancapkan diujung kedua tangannya, belum lagi alat-alat medis lainnya yang masih menghiasi pemandangan disekujur tubuh indahnya. Tak kuasa lagi bathin ini menyaksikan tontonan kesedihan berteman rasa pilu dalam bathin, hanya mampu mengucapkan sebaris doa untuk meminta kesembuhannya kepada Sang Maha Pencipta. Tubuhnya yang tak berdaya menyeruakkan tangis bathin ini lebih keras dari tiupan hembusan angin muson, atau mungkin terpaan ombak dilautan yang menyapa tepian pantai. Tidak mampu lagi diri ini menyaksikan tubuhnya terbuai dalam detik-detik penantian, “akankah kematian akan datang menjemputnya.” Begitu bathin ini berucap dalam tangisan yang tak sempat terusap oleh kain kering dari jiwa dikedalaman sana. Begitulah suara lantang ketakutan semakin menyisakan tangisan dan ketidak percayaan akan kenyataan yang sedang ditampakkan oleh kehidupan ini dengan ragam cobaan didalamnya.

Sungguh, Batin ini merasa kecut dan benar-benar telah digerogoti seluruh tubuh ini dengan irama music rasa ketakutan yang tak berkesudahan. Tak mampu lagi pikiran sadar melihat benang merah yang tuhan berikan diatas pentas kehidupan, yang ada hanyalah bahasa ketakutan dan ketakutan demi ketakutan, membusungkan diri didalam jiwa ini. Seakan-akan semua harapan yang telah terukirkan indah dalam bingkai impian telah pupus entah kemana perginya, meninggalkan diri ini sendiri ditengah goncangan deru derita, rasa-rasanya impian yang pernah ada telah sirna terbawa hembusan angin penderitaan kali ini. Dalam isak tangis dibimbing geletar pengharapan, terucap doa untuk meminta kasih Sang Pencipta, berbisik pesan sederhana untuknya, sang kekasih hati.


“Sayang… Jangan Pernah MeninggalkanKu sendiri dalam tangis ini. Sayang… Kita masih memiliki seribu harapan untuk menjalai kehidupan bersama. Tolong… Jangan pernah meninggalkanKu sendiri, Sayang.”


Aku semakin didera rasa putus asa, mencabut semangat yang pernah ada dalam jiwa ini. Betapa tidak, Kekasih hati yang telah lama mendampingi kehidupan ini telah membisu layaknya batu dalam belaian sakit yang dideritanya. Tubuhnya terkulai lemas bagaikan kain yang diterpa air, tak bergeming, diam membisu. Warna cerah nan indah yang pernah berceritra dalam kisah masa lalu terbuai oleh tangisan pilu. Mencakar seluruh asa dan mengaburkan mimpi-mimpi untuk bisa menggapai kehidupan penuh senyuman.

Sesekali terlihat helaan nafasnya tersendat-sendat seolah-olah ada beban yang mengapit seluruh tubuhnya. Nampak jelas dari gelembung udara dari tabung oksigen yang dipasangkan para perawat Rumah sakit disekujur tubuhnya pagi tadi. Aku mencoba mengambil Sehelai tangannya yang sudah terkulai tak berdaya. Mencoba untuk memberikan sapaan lembut kepada sang kasih agar nantinya janji suci penuh pengharapan terikrarkan diatas pelaminan. Empat bulan yang lalu kami sudah bertunangan, cincin menghiasi kebahagiaan kami didepan keluarga terpampang jelas dijari manis kami berdua, menjadikan pintu-pintu kehidupan terbuka lepas dan bebas, sebagai bukti abdi kasih teruntuk kesucian diantara dua insan yang menasihati diri untuk berjanji setia sehidup se-mati. Tapi, saat ini hati benar-benar kecut menatap dirinya yang sudah tak berdaya, akankah jalinan cinta ini akan bertabur mutiara bahagia didalam ikatan suci cinta? Ataukah berujung cerita sedih adanya?


“Kasfiyyaa, Bangun-lah dek…!”
“Berjanjilah untuk tidak meninggalkanKu sendiri”
“Kaulah satu-satunya penguat bathinKu ini. Jangan Diam Seperti Ini Sayang...!

Apapun yang kucoba sampaikan kepadanya sia-sia belaka. Sekonyong-konyong mencoba untuk membuka kedua kelopak matanya dengan ungkapan rasa mebisikkan bahasa sukma, tak juga membuahkan hasil apa-apa selain diam membisu layaknya batu. Hanya diri ini yang begitu naïf mencoba bicara kepada seorang yang kritis, tak sadarkan diri. Namun kusadari sepenuhnya akan kekuatan dibalik rasa ini, sungguh akan bermakna walau saat ini ia tidak mendengar apapun yang kusampaikan kepadanya. Walau begitu, aku tak putus asa untuk mencoba dan terus mencoba menyapanya, lagi kucoba berbisik disamping tempat tidurnya agar ia dengarkan bahasa cinta yang menjelmakan diri dalam derita, dan kini begitu ketakutan kehilangan sang kekasih Jiwa.

“Bangunlah sayang, Kakak ada disampingMu. Kakak berjanji untuk selalu ada disisiMu, Yank..!”
Setiap kata yang aku ungkapkan mewarnai kepedihan dan ketakutan akan kehilangan dia, sang kekasih yang sangat aku cintai sepenuh hati. Wanita yang kini menjadi Tunanganku, calon dan akan menjadi bagian kehidupanku dalam kehidupan rumah tanggaku, calon ibu dari anak-anakku yang terlahir dari kelembutan kasih. Sungguh Kasfiyyaa, Tunanganku benar-benar lumpuh dalam derita yang mendera fisiknya.

*****

Sudah dua hari Kasfiyyaa terkulai lemas tak berdaya diatas ranjang warna putih itu, berbau khas aroma anyir rumah sakit, menusuk masuk kedalam hidung, membuat sinus merasa terusik. Betapa tidak, Kasfiyyaa, tunanganku itu sedang dirawat dirumah sakit dengan ragam selang-selang infuse dikiri dan kanan, belum lagi oksigen yang menancap dihidungnya semenjak sesak nafas yang dideritanya mendera seluruh tubuhnya dalam penderitaan luar biasa, hingga ia belum juga sadarkan diri setelah dua hari bercokol dengan oksigen yang masih menancap dihidungnya, ditambah lagi oleh selang infuse yang terus menetes mengisi pembuluh Vena.

Aku benar-benar tidak mengerti semua ini terjadi. Padahal resepsi perkawinan kami akan digelar tiga minggu lagi. Tidak akan mungkin pernikahan itu kami langsungkan dihadapan semua kerabat dan keluarga jika Kondisi Kasfiyyaa belum juga sadarkan diri seperti ini. Dalam kebingungan itu, kucoba yakinkan diri diatas persujudan. Malam itu, kuharap Kasfiyyaa sadarkan diri. “Ya Allah, Berikanlah kesembuhan atasnya. Ya Robbi, sembuhkanlah ia.”


Doa itu terus saja mengalir dari mulut yang berselimut rasa takut. Selang beberapa saat, terdengar suara lirih dari atas ranjang. Keajaiban terjadi seketika. Barangkali malaikat sedang berbaik hati sebagaimana yang diperintahkan tuhan atasnya, Ternyata suara itu tidak lain dari tubuh lemas tak berdaya yang sedang berbaring dalam kungkungan selang infuse dan alat kesehatan lainnya. “Kasfiyya… Adek sudah siuman!?” Tanyaku, mencoba menyambut kehidupan baru layaknya tunas yang telah dipangkas oleh tuannya, dan kini tunas itu tumbuh kembali mengisi kehidupan. Memberikan kabar gembira bagi orang yang telah menyiraminya dengan kelemah lembutan.


“Akuuu diii,,maa,maanaaa!?” Tanya Kasfiyya. Kata-kata yang diucapkan terbata-bata, bersemaikan geletar sendu dalam lemas tak bertenaga, namun aku masih bisa mendengarnya.
“Sayang… Adek lagi dirawat dirumah sakit.” Jawabku lembut sambil menatap wajahnya yang telah sepenuhnya berwarna pucat tak berdaya akibat sakit yang mendera seluruh tubuhnya, mencoba menenagkan penderitaan yang sedang mencabik-cabik sekujur tubuhnya. Barangkali dengan cara itu ia mampu menerima kondisinya kali ini.

“Kaak, mi-min-nnumm..”
“Sebantar sayang… Nanti kakak yang ambilkan. Dek, Jangan terlalu banyak bergerak… Kondisi adek masih belum sepenuhnya baikan.”

Kucoba ulurkan sebotol air putih kepada Kasfiyyaa yang masih lemas dalam derita sakitnya setelah tiga hari tak sadarkan diri. Perlahan-lahan kuangkat kepalanya dengan tangan kiriku, lantas kucoba membantunya untuk meneguk beberapa tetes dari air yang ada ditanganku. Perlahan-lahan air itu masuk kedalam kerongkongannya. Menyejukkan rasa haus yang telah mendera sekujur tubuh lemasnya itu.

“Kaaak, Ma-Maaf-kan adek yaa.” Pintanya dalam suara lemas tak bertenaga.
“Adek tidak ada salah-apa-apa kok. Sekarang adek tenangkan pikiran adek. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Adek istirahat, yaaa..!”
“Ma-Maafkan Adeeekk” lagi-lagi suara lemas terkulai tak berdaya itu terdengar dari Mulut tipisnya yang berwana pucat itu.

“Adeekk, Adek nggak ada salah apa-apa kok. Kakak gak Kepingin adek berpikir yang tidak-tidak. Yaaach, Sekarang adek istirahat, jangan terlalu banyak bergerak, biar adek lekas sembuh. Yaaa….” Jawabku, mencoba menenangkan kegalauannya, lantas kuselimuti tubuhnya agar sapaan lembut sang angin malam dalam hembusan dinginnya tidak merengkuh tubuh kekasihku yang sudah tergeletak lemas tak bertenaga.

Sunguh bathin ini semakin mengadu dalam pilu. Sungguh, yang aku herankan dan masih terpingkal-pingkal dalam pikiran, Entah mengapa terlontar permintaan maaf dari mulut tipisnya itu. Hatiku semakin tak menentu, namun begitu, kucoba tetap tegar dihadapannya, memberikan senyum sapa agar ia bisa terlepas bebas dari derita yang dialaminya.Sungguh benar apa yang dikatakan orang, dalam derita sakit, siapapun orang akan mengingat keberadaan dirinya. Begitulah yang kini aku saksikan didepan mata kepalaku, dan telah membuat aku benar-benar melihat rasa kecut dalam hati mendengar permintaan maaf kekasih hati yang saat ini terkulai lemas, tatapan matanya hanya menerawang tak menentu entah kemana, hanya terlihat menatap langit-langit kamar rumah sakit, diruang penyakit dalam, nomor 19, Rumah Sakit Islam, Kota Mamben.


Aku mencoba mengelak dari semua pikiran negative yang orang-orang penah katakan kepadaku. Entah benar atau tidaknya, aku masih berdebat dengan ragam pikiran naïf itu. sekonyong-konyong mencoba menepisnya, namun pikiran akan kepergian sang kekasih membuat aku semakin takut. Sungguh apa yang mereka katakan membuatku benar-benar didera ketakutan luar biasa, mereka pernah bercerita demikian dengan lugasnya, “Jika seorang yang sedang sakit meminta maaf kepada orang-orang disekelilingnya saat itu, suatu pertanda tidak lama lagi ia memang harus pergi. Jika demikian, tuntun saja ia mengucapkan kalimat tauhid dan pengagungan kepada Tuhan.”


Mengingat pesan itu, gemetar rasanya seluruh persendianku. Antara yakin dan tidak apa yang pernah mereka ucapkan itu. Aku sungguh benar-benar tak berdaya, mengingat apa yang pernah mereka sampaikan beberapa waktu lalu. Benar atau tidaknya, entah mereka membaca dari sumber dan refrensi terpercaya atau sekedar bualan belaka yang tidak jelas benar salahnya, namun demikian sungguh tetap saja bathin ini bertengger dalam perdebatan yang tak kunjung usai.


Kucoba keluar dari ruang perawatan, menghirup udara segar yang telah dibentangkan Tuhan, menenangkan kemelut pertentangan dan perdebatan yang terus melaju dan bermunculan silih berganti. Seakan-akan menginginkan dirinya didengarkan, dan sepenuhnya menjelmakan ketakutan. Kubuka pintu ruang perawatan pasien dimana Kasfiyyaa dirawat didalamnya, beranjak keluar dalam langkah kaki terkulai lemas tak berdaya layaknya musafir yang sedang didera kehausan dalam perjalanan kaki yang telah menguras tenaga dan membuat langkah kaki tertatih tak mampu bangkit, lantas tubuhku tergeletak diatas kursi diruang tunggu pasien yang berjejer rapi dibawah jendela, layaknya tentara yang sudah siap mati. Kucoba hembuskan nafas, mencari ketenangan bathin yang sedang didera ragam kemelekatan.


Hembusan angin malam berbahasakan sapaan kelembutan sedikit mampu merontokkan pikiran yang tidak menentu didalam benak dan pikiranku. Pikiran itu benar-benar Berlarian layaknya anak kecil yang tidak tahu bahaya dari apa yang mereka lakukan. Pandangan mata tertuju keatas langit, namun mata bathin menembus jendela yang telah tertutup tirani. Semua itu telah mengaburkan pesona bintang diatas langit cakrawala, yang ada hanyalah wajah cantik Kasfiyyaa dalam warna pucat bau anyir obat-obatan. Dalam bathin menyemburkan seribu harap atas kesembuhan Kasfiyyaa, kekasih hati yang begitu lembut perangainya semenjak menjalin hubungan dengannya. Berharap bisa hidup berdua dalam ikrar janji suci ikatan keluarga.


Pikiran tersentak, mendengar lantunan music sendu dari ponsel salah seorang keluaga pasien yang keberadaannya entah dimana, didalam ruangnkah atau dimana? Sungguh alunan itu Terdengar jelas, berbisik nyanyian kepahitan yang menyeruakkan pikiran galau kali ini.
Jauh kau pergi meninggalkan diriku…
Disini aku, merindukan dirimu. Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi yang seperti dirimu oooh kekasih…


Entah siapa yang memutar music itu. Bathin ini rasanya diingatkan kembali akan ketakutan yang sempat mendera jiwa beberapa saat yang lalu. Sungguh, bathin ini benar-benar mengelak lantas bertanya-tanya, “siapa yang memutar music itu?” ingin rasanya menghentikan senandung lagu itu dan menggantikannya dengan music lain, namun sudahlah tak ada gunanya memarahi ataupu mengomeli orang lain, barangkali lagi itu adalah lagu Kesukaannya.

Tersigap tubuhku untuk segera membuka pintu, menatap kekasih hati yang sedang berbaring diatas ranjang perawatan rumah sakit. Benar-benar tatapan mataku tertuju kepadanya. Kucoba mendekat dan memastikan keadaannya. Kupegang pergelangan tangannya layaknya perawat Profesional (Palpasi), mencoba memastikan kondisinya saat itu. ternyata Kasfiyyaa baik-baik saja. Ia bahkan tertidur nyenyak dalam keanggunan raut wajahnya walau terlihat pucat. Ia tetap menampak cantik. “Engkau Cantik sekali sayang, semoga engkau lekas sembuh.” Begitu hati bergumam sambil terkesima melihat raut wajahnya. Rasanya tenang bathin ini. hingga benar-benar tersibak kedamaian saat ada disampingnya, penuh harap akan kesembuhan sang belahan jiwa.


Kemana lagi aku berpaling terkecuali untukMu, Cinta

Bumi telah larut dan tenggelam dalam kubangan air hujan
Menggenang tangis air mata duka dan derita bertahtakan nestapa
Diatas tanah kerontang, memekik suara lantang berpendar luka panas yang kerap kali menerpa
Kini semuanya telah sirna berganti seruan lembut bahasa kebahagiaan dari dalam jiwa
Berterima kasihlah kepada sang langit yang telah mendatangkan seribu karunia
Menumbuhkan tunas-tunas baru diatas sayatan luka
Kini semuanya menampak baru dengan raut wajah keindahannya
Panorama alam yang dahulunya terlihat duka lara, berganti keceriaan berselimutkan bahagia
Berubah wujud menjadi taman-taman surga, layaknya firdaus didataran dunia
Bersujudlah kepada sang langit yang telah meminjamkan mentarinya dipagi hari
Mengikhlaskan keindahan lentera malam dari setiap sudut pancaran bintang dan rembulan
Mengirimkan awan-awan putih berisikan kado kebahagiaan
Menungkan kesejukan diatas tandusnya bumi kehidupan
Bukankah demikian itu suatu karunia luar biasa yang setiap harinya Engkau pinta
Wahai sang Bumi, sungguhpun tanpa pernah engkau mengelus-elus dalam sanjungan puji
Meminta kepada sang langit dengan seribu janji
Atau terkadang memberontak dan memaki-maki saat kegersangan itu tertancapkan disana sini
Walau demikian, Tetaplah ia memberi dan mengasihi sepenuh hati
Ikhlas disetiap tetesan, menjadi penerang dengan penuh ketulusan

Dan… Wahai Engkau sang langit, lantunkanlah sembah sucimu kepada sang Pencipta
Yang telah memberikanmu sejuta karunia tanpa pernah ia meminta balik dari apa yang Ia beri
Sudah sejak awal ia menitipkan ragam keindahan karunia kebahagiaan bagimu
Wahai sang langit, saatnya engkau malu dan menatap luas dirimu yang sesungguhnya
Dialah sang kasih dalam ke-maha Luasan-Nya
Begitupula engkau, wahai sang bumi
Dalam rela maupun terpaksa, datanglah menghadap-Nya atas segala karunia
Kesedihan itu berlalu karena Tangan Kasih-Nya
Berganti senyuman bahagia, bersimfoni disetiap waktu dalam pengayoman kelembutan
Sentuhan lembut keindahan Cinta-Nya kepada makhluk, teruntuk semesta
Bukankah lentera malam itu adalah salah satu dari sekian banyak wujud cintanya
Tidakkah terpikirkan dalam benak dan pikiran dikedalaman sana
Betapa indahnya panorama semesta saat hijaunya bumi bersemi menyemaikan keanggunannya
Layakkah diri sang langit, bumi, maupun sang Jiwa merogoh kesombongan
Mengabaikan segala pemberian-Nya yang begitu banyak itu
Kemana lagi kita ingin berpaling, tidak lain teruntuk Sang Pencipta
Begitulah keindahan mengejawantahkan diri saat persimpuhan bersiul bahasa kemesraan
Menyanyikan lagu dan syair-syair kesyukuran disetiap waktu
Keep spirit For Our Life Better…

Mengapa engkau terlihat layu nan sayu menatap mentari pagi ini, jiwaku?

Mengapa engkau terlihat layu nan sayu menatap mentari pagi ini, jiwaku?
Kaudapatikah segala kelemahan yang melekat didalam dirimu ditengah perjalanan waktu?
Atau mungkin engkau tlah mendengar caci dan makian mereka tentang dirimu?
Aku melihat tetesan air mata yang menetes diantara luka yang menghiasi sekujur tubuhmu
Aku pun mendengar isak tangis yang engkau nyanyikan saat kepedihan menyapa kehidupan
Akankah engkau kini sudah tidak lagi terlihat tegar menapaki garis waktu diatas hidup ini?
Sampai kapan engkau meratapi diri dan kesedihan ini dalam isak tangis dan pilu?
Tidakkah engkau mencoba menikmati betapa indahnya senyumanmu waktu dulu
Memoar kisah kenangan yang pernah tertorehkan disetiap perjalanan dan persinggahan waktu
Wahai jiwaku. Engkau dahulunya raja yang mampu menundukkan segala ratapan kesedihan
Menundukkan hadirnya wajah sayu dan layu dengan kemegahan kesadaranmu
Tetapi mengapa engkau kini meringkuk membeku didalam penjara duka yang tak berkesudahan
Engkau layaknya budak dan hamba sahaya yang hanya hidup dibawah perintah tuannya

Mengapa engkau tertatih dan terlunta-lunta penuh derita, Jiwaku?
Akankah semua kesedihan itu hadir karena tuntutan demi tuntutan yang memperbudakmu?
Ataukah engkau terlalu banyak mencibir kekurangan yang telah menempel disekujur tubuhmu?
Mengapa engkau selalu berkata “Mengapa waktu tidak pernah berpihak kepadaku?”
Bahkan terkadang engkau hanya memimpikan kehidupan didepan sana?
Mungkinkah engkau ingin meninggalkan wujud asli dirimu dan mengais-ngais kesengsaraanmu?

Mengapa jiwaku tidak lagi seperti dulu, berlaku bijak dalam melihat artian kehidupan ini?
Cobalah untuk berlaku adil kepada dirimu yang kini menangis dalam sesal dan pilu
Cobalah mengingat pisau maut yang suatu saat datang menghampirimu dipenghujung waktu
Engkau tidak pernah tahu kapan akhir kedipan waktu, Jiwaku.
Akhiri saja penderitaan ini dan jangan pernah tangisi ia lagi
Dan maafkanlah aku wahai jiwaku. Maafkanlah daku yang selalu memojokkanmu
Kau sepenuhnya telah mencicipi betapa getirnya kesedihan duka dalam wujud aslinya
Engkaupun telah merengkuh kehidupan indah saat kesadaran menjadi temanmu disetiap waktu

Maafkanlah masa lalu… Maafkanlah apa yang telah berlalu, jiwaku.
Telah kau liputi segenap waktu dengan kerelaanmu yang tulus itu
Hapuslah segala kesalahan yang mencabik-cabik seluruh tubuhmu
Sembuhkanlah semua luka yang masih membekas itu dengan balutan Maafmu

Bangkitlah dari keterpurukanmu… Bangkitlah dan lekas berdiri menundukkan kelumpuhanmu
Telah kau singkirkan segala penderitaan yang telah mematahkan semangat juangmu
Buanglah segala beban yang membebani punggungmu dalam wajah tuntutan tak berkesudahan
Singsingkanlah segala ke-naifan yang selama ini menundukkan keberanianmu

Tataplah warna terindah kehidupan ini, jiwaku
Rasakan segala kerinduan yang dikaruniakan Sang kasih ditengah pergolakan kehidupan
Hapuslah tetesan air mata yang mengalir agar engkau mampu menatap keindahan panorama
Sudahi saja rintihan pilu yang memerahkan ranumnya bola mata

Berlarilah engkau wahai jiwaku. Berlarilah melintasi gurun waktu
Langkahi saja gunung yang menjulang tinggi dihadapanmu
Tinggalkan segala kesengsaraan yang tergeletak lemas tak berdaya didasar jurang
Kali ini engkau akan sampai dipucuk kehidupan, menatap lepas artian indah yang membentang
Tetaplah berlari dan Tumpahkanlah saja rasa sakit yang menusuk relung hati yang paling dalam
Cabut saja perih yang menempel dikaki dan sudahi rasa perih yang telah sepenuhnya melukai

Wahai jiwaku. Bergegaslah engkau pergi meninggalkan kehidupan yang fatamorgana ini
Bentangkan saja sayap kesadaran yang sepenuhnya mengilhami pemahaman terdalam
Dan ayunkan saja untaian tasbihmu kepada Sang Kasih yang telah mencelupkan Ilmu dan Iman
Bergegaslah engkau terbang menuju Tarian semesta yang menyuguhkan kebahagiaan
Sudahi saja segala tangis kesedihan diatas pijakan bumi manusia
Dan berikanlah senyuman terindahmu sebagai wujud kasih dan kesyukuran
Keep Spirit For Our Life Better.