Jumat, 28 September 2012

Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam bathin

Malam yang sunyi senyap bertabur keindahan bintang gemintang dilangit kota Aikmel, seakan-akan sedang menggoda mata yang telah jenuh memandang dunia yang tak lagi bersahabatkan cinta manusia, yang kini tersisa disusut-sudut kota adalah manusia-manusia yang telah tersihir ego, jabatan dan sekeranjang emas permata. Semburat mega merah jingga masih bertengger diatas semesta mewarnai hamparan langit biru sehingga tampak simfoni keindahan bercengkerama mengigaukan bait-bait kemesraan yang membuat hati menelusuk masuk dalam rengkuh kedamaian sempurna. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan namun mampu membuat hati orang-orang yang sedang duduk diruang tunggu pasien, PUSKESMAS Aikmel terusik dalam belai dan dekapan syahdu sang dingin yang mencungkil dan menggerogoti kulit, hingga terasa meremukkan tulang belulang yang tersimpan rapi dibalik raga.

Suasana yang mempesona ini nampaknya tidak sedang dinikmati oleh Zainuddin, Laki-laki berperawakan tinggi sedang dengan wajah oval dan kulit putih serta senyuman yang sangat menawan, pak Udin, begitulah sapaan akrab yang biasa dipanggil oleh para tetangganya. Walau usianya pak Udin sudah tidak lagi muda, nyatanya laki-laki paruh baya itu masih mampu menghibur kekalutan jiwanya yang tak lagi bersahabat oleh senyuman cinta dari manusia disekelilingnya. Namun malam itu, senyumnya seolah-olah telah lenyap terbawa garis-garis waktu. Hanya tampak guratan wajah kekecewaan dibalik kerut-keriput wajahnya yang datang menghampirinya saat menunggu janji-janji yang belum juga ditepati oleh sanak keluarganya, lebih lagi oleh nelangsah jiwa saat rasa sakit menyeruak menyesakkan dada.

Rambutnya yang dulunya rapi mengkilap warna hitam, kini semerawut dalam gores warna putih beruban karena tak pernah terurus lagi. Pak Zainuddin sudah satu jam terbaring lemas diatas ranjang pasien yang tersedia didalam ruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Satu-satunya tempat tidur pasien yang tersedia dipojok selatan, dibawah jendela berukuran 2x1 meter yang terpasang permanen didinding tembok untuk menyambut angin sepoi-sepoi yang terkadang datang menghibur menemani sinar temaran cahaya rembulan saat ingin menyelinap masuk menyapa para perawat yang sedang bertugas melayani pasien-pasiennya, termasuk pula menyapa pak Zainuddin yang kini terbaring dalam kondisi lemas tak berdaya, seakan-akan malaikat enggan melihat kondisinya yang telah rapuh diusik waktu. Melihat laki-laki paruh baya yang tergeletak diruang perawatan itu hanya akan menyisakan torehan bathin berbahasakan iba mendalam. Sesekali terdengar nafasnya yang tersengal-sengal tak bertenaga, kedengarannya Zainuddin benar-benar mengidap penyakit asma kronis, sebagaimana penuturan tim dokter RSU kota Selong saat pertama kali mendiagnosis penyakitnya beberapa tahun sebelumnya.

Sesekali tangannya terlihat menggaruk-garuk kepala, sedang mata sipitnya menatap lepas melihat pojok langit yang tak bertepi dari jendela yang masih terbuka korden-nya. Kelihatannya Dia sedang menyesali betapa naifnya dirinya setelah tergerus janji dan sikap keluarganya yang berceloteh tentang peralatan medis yang akan dibelikan yang nantinya bisa dipergunakan ketika serangan asmanya datang menggerus tubuhnya, lebih lagi oleh sikap seronoh yang tak menggambarkan cinta kasih berbahasakan kelembutan dari mereka-mereka yang menganggap dirinya hidup dalam segudang kemewahan. Padahal, sejatinya pak Zainuddin memiliki sanak keluarga yang tergolong mampu untuk membelikannya peralatan medis sederhana suatu ketika penyakitnya itu kambuh kembali, namun entah mengapa, beberapa diantara anak-anaknya memperlihatkan sikap kesombongan mereka, dan bahkan menorehkan sikap acuh tak acuh terhadap kondisi Zainuddin yang tergeletak dalam sakit yang dideritanya.

Zainuddin menggenggam tangannya keras-keras. Dia membuang nafas lepas, sembari. Wajahnya sumringah, namun tak mampu menghapuskan kerutan wajahnya yang sederhana.

"Astagfirullah-Astagfirullah, Ya Rahman Ya Rahiim!" kata Zainuddin lirih. Berkali-kali ia menyuarakan kata-kata itu, seakan-akan lantunan nyanyian kekecewaan dari dalam batinnya yang sedang mengadu. Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam bathinnya, namun apa mau dikata, semuanya sedang duduk menemani dirinya, ingin mengingatkan agar tak lagi perduli kehidupan dunia yang sudah dipenuhi oleh harapan semu manusia yang telah terkikis ego, lantas menggelincirkan cinta mereka yang tulus dari dalam jiwa.

Sakit asma kronis dan CAD telah menghancurkan Zainuddin dan kehidupannya. Gara-garanya, saat masih muda, Zainuddin acap kali bersahabat dengan Rokok. Wajar jika ia kini harus bertemu berkali-kali diruang yang sama dan dirawat intensif oleh dokter Zakiah, dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas PUSKESMAS Tersebut. Lebih lagi, kondisi Zainuddin diperparah oleh sanak keluarganya yang tak lagi harmonis seperti dahulunya. Semua itu berawal dari sikap Emi yang tergolong keras kepala, anaknya pak Zainuddin yang ke empat. Betapa tidak, sejak emi menikah dan kini memiliki 3 orang anak, kehidupannya sudah berbeda dari sebelum-sebelumnya. Emi yang dahulu hidupnya biasa-biasa saja, kini terlihat lebih “waaah” atau bahkan bisa dibilang megah. Barangkali uang sudang menghipnotisnya atau mungkin ada suatu hal lain hingga menjadikannya anak yang tak lagi perduli terhadap kondisi orang tuanya yang kerap kali dibawa ke PUSKESMAS, bahkan beberapakali harus menginap di Rumah Sakit Umum kota Selong, begitu seterusnya. Bisa dibilang, Seakan-akan RSU dan PUSKESMAS adalah rumah kedua bagi Zainuddin. Begitulah pembicaraan para tetangganya didesa.

Belum lagi oleh Ulah Zakir, Anaknya yang kelima yang kerapkali membuat sesuatu yang aneh-aneh yang memperparah kondisi pak Udin. Delapan bulan yang lalu, Zakir mencalonkan diri sebagai kandidat calon Kepala Desa yang dianggapnya pembaharu dari kalangan generasi muda, walaupun harus meraup uang saku yang bisa dibilang banyak, maklum ongkos kampanye dan administrasi. Sayangnya, ia gagal total. Lain lagi konflik berkepanjangan antar sanak keluarga yang tak pernah menuai ujung setelah parade pemilu berakhir. Tekanan-demi tekanan terus saja mendera. Sakit fisik ditambah lagi tekanan bathin menjadikan Zainuddin harus merelakan separuh hidupnya tergeletak diruang perawatan dokter.

Bayangkan saja, betapa menderitanya Pak Udin. Acapkali datang dirumah sakit ataupun dipuskesmas, Ia hanya berteman istri dan terkadang ditemani oleh cucu-cucunya saat libur panjang, maklum semua cucunya Pak Udin sudah menginjakkan kaki dibangku perkuliahan, Dunia yang betul-betul menyibukan dengan serangkaian aktifitas akademisi yang menyita waktu lebih. Tidak heran jika pak Udin ditemani cucu-cucunya diwaktu lengang saat libur panjang saja.

Kesedihan beranak pinak dan seperti suara beduk bertalu-talu memecah genderang telinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Tapi, entah siapa yang salah dan yang harus dipersalahkan tentang semua yang telah terjadi ini? Entahlah, barangkali “Kesalahanlah” yang memang harus dipersalahkan agar tak lagi ada yang dikambing hitamkan, atau barangkali semua yang terjadi sedang Mengingatkan pak Zainuddin untuk benar-benar mengingat kembali usianya yang sudah tidak lagi muda agar tak lagi terkecoh oleh ulah dan peringai sanak keluarganya yang notabenenya telah menggerus arus kehidupan yang sesungguhnya, semua itu telah terjadi yang kerapkali membuatnya terbaring sakit diruang perawatan akibat perasaan stress yang mendera.

Semua kejadian itu tumpang tindih, dan terus saja terjadi. Dan kini, dimalam ini, Pak Udin sudah ke empat belas kalinya harus menerima perawatan medis di PUSKESMAS Aikmel sejak beberapa tahun sebelumnya dibawa keruang perawatan dokter, belum lagi perawatan yang diterimanya di Rumah Sakit Umum kota selong, jumlahnya satu, dua, tiga, empat, lima… aaah, jumlahnya sudah hampir dua puluh kali, mungkin tidak perlu lagi untuk dihitung jumlahnya, hanya akan menyesakkan dada melihat apa yang sedang terjadi menimpa pak Zainuddin.

Selang infus menancap ditangan kanannya, terkadang pula harus dialihkan ditangan kirinya. Belum lagi alat medis yang mengeluarkan asap tebal yang menyesakkan, berisi cairan aquades yang ditambahkan salbutamol didalamnya, padahal, larutan salbutamol yang diterima saat menjalani terapi membuatnya berdebar-debar tak berdaya, bahkan membuatnya tidak bisa menikmati tidur lelap dimalam hari, memang begitulah adanya, asap yang membumbung berisikan salbutamol akan sangat menyakitkan bagi mereka yang sedang mengidap gangguan kardiovaskuler, namun apa mau dikata, semuanya serba salah. Terapi ini dan itu sudah dicoba, apalah yang harus dicoba lagi, hanya bisa menerima perlakuan dari dokter yang merawatnya, dan pasrah jualah sebagai jalan satu-satunya agar bisa menerima segala yang terjadi, segala kenaifan yang menimpa.

Bayangkan saja betapa sengsaranya pak Udin harus menerima Penderitaan seperti ini diakhir usianya. Raut wajahnya yang menampak keriput dan rambut putih beruban, sesekali diusapnya oleh handuk kecil berwana putih yang dibawanya saat berkunjung keruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Perasaannya tak menentu, sesekali telinganya menyimak deru motor yang sedang parkir didepan UGD, berharap isterinya datang untuk menemani malamnya di PUSKESMAS.

Astagfirullah-Astagfirullah.” Pak Zainuddin terus saja mengucapkan lantunan istigfar (islam; permohonan maaf) untuk menenangkan kerisauan hatinya, terus dan terus diucapkannya.

Assalamu’alaikum…” Tiba-tiba terdengar suara salam dari seorang laki-laki jangkung berkulit putih menyapa Pak Udin. “tak-tik-tak-tik-tuk…” Suara kakinya semakin mendekat, dan lebih dekat lagi dari tempat tidur perawatan yang ditempati pak Udin.

Bagaimana kondisinya kek?” Sapa Putra, cucu Pak Udin dari anaknya yang kedua, Rosida.

Alhamdu-Lill-Laah,,, suu-daah Lumayaan membaiik.” Suara pak Udin terbata-bata, namun ia berusaha menampakkan ketegarannya, ingin sekali menyembunyikan kegalauan dalam bathinnya.

Pak zainuddin menatap atap ruang perawatan, ditarik nafasnya panjang-panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan, lalu ia memulai ceritanya tentang cukilan-cukilan kehidupan masa lalunya, mulai dari cerita yang biasa-biasa saja hingga cerita yang mampu membangkitkan perasaan iba mendalam saat mendengar penuturan polosnya. Ia bercerita banyak tentang semua yang menimpanya hingga membuatnya harus berulang kali menerima sentuhan jarum-jarum infuse yang menyakitkan, belum lagi daftar resep obat-obatan yang jumlahnya lumayan banyak, mulai dari obat asma, jantung, hipertensi, dan obat penenang dari dokter yang memberikan perawatan. Yang tidak pernah ketinggalan adalah tabung oksigen untuk membantu pernafasan ditambah oleh tusukan jarum infuse pengganti cairan dan asupan makanan. Kelihatannya Pak Zainuddin benar-benar merasakan kepedihan mendalam. Lagi-lagi ia melanjutkan cerita kehidupan masa lalunya kepada Putra, cucunya yang memang ingin menguraikan seluruh kesakitan bathin yang mendera dengan menyempatkan waktunya mendengar jeritan bathin kakeknya yang renta.

Tidak terasa, jam dinding yang terpasang didinding pintu masuk ruang perawatan telah menunjukkan jam sebelas malam, sudah dua jam lamanya Pak Zainuddin menceritakan semua kesedihan yang mendera kehidupannya. Terlihat kekusutan wajahnya mulai menghilang sedikit demi sedikit, satu atau dua garis kesedihan perlahan memudar setelah bercerita cukilan episode kehidupan masa lalu, atau mungkin semuanya perlahan-lahan menghilang bersama rasa kantuk yang sudah menyeruak ingin dihilangkan sejenak kala mata telah terpejam. Putra menatap wajah kakeknya yang terlihat semakin sayu. Kelihatannya ia masih mengenang cukilan kisah dalam episode-episode kehidupan masa lalu.

Kek,,,Kelihatannya kondisi kakek butuh istirahat banyak. Kakek istirahat saja yaaach. Nanti kami yang bakal menunggu kakek selama dirawat dipuskesmas.” Sesekali tangan Putra memijat kaki kakeknya, ia berharap kondisi kakeknya membaik.

Nanti kalau kakek butuh sesuatu, kami bakal masuk keruang perawatan kok kek. Diluar ada Wahyu, Dicky, Agung, Sama Riezwandi. Oya kek, malam ini nenek nggak bisa datang ke PUSKESMAS, maklum kondisinya juga lagi nggak enak badan, beliau juga butuh istirahat. Kakek istirahat saja, yaaach.” Lanjut Putra menasihati sambil membuka selimut warna biru tua yang dibawanya dari rumah untuk menutup tubuh kakeknya yang tergeletak lemas tak bertenaga.

Kelihatannya laki-laki paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya menengadah kearah jendela, menatap langit yang tak berujung. Sesekali Dilihat wajah cucunya yang kini berada disampinya, diujung Ranjang tempatnya terbaring, tepat diseblah kakinya yang kiri. Tak ada kata yang diucapkannya. Ia benar-benar terdiam dan terdiam.

************************************

Sehari, dua hari, tiga hari, telah berlalu begitu cepatnya. Zainuddin masih terlihat disudut ruang perawatan di PUSKESMAS Aikmel. Namun pagi itu ada yang berbeda, dan benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya, raut wajahnya yang dahulu semerawut tak terawat, kini telah mekar merona, menampak aura bahagia dari dalam jiwa. Seakan-akan wajah itu ingin bercerita tentang kebahagiaan tak terkira yang sedang dirasakannya, layaknya sinar mentari pagi yang datang dengan kehangatan, menyinari dengan keceriaan, membawakan manusia sekeranjang motifasi untuk memulai hidup baru, menepis kegelapan kesedihan, menyuguhkan cahaya baru bagi kehidupan lebih baik dimasa kini dan mendatang.

Wajah bahagia itu tidak bisa ditutu-tutupi lagi, walau dalam keadaan sakit, Pak Udin merasakan suatu keajaiban luar biasa, ia merasa benar-benar sembuh, barangkali perasaan bahagia itu datang dari pesan cucu-cucunya yang telah menemaninya selama tiga hari dipuskesmas tersebut.

Putra yang setiap saat selalu mengatakan, "Sabar kek. Pastilah kondisi kakek akan semakin membaik, tidak perlu lagi kakek memikirkan hal-hal yang membuat kakek terbeban. Serahkan semuanya kepada Tuhan." setiap kali dinasihati demikian, Zainuddin Merasa ada yang berbeda yang dirasakannya, Ia merasakan sentuhan lembut dan perhatian yang selama ini di-idam-idamkannya.

Lain lagi dengan pesan Agung, “Kakek harus sehat. Jangan lupa minum obatnya. Pasti kakek nggak bakal sakit lagi.”

Kakek nggak perlu lagi dirawat ditempat ini. Sekarang kakek harus lebih lapang dada. Kakek bisa, Pasti bisa, okey” ujar Riezwandi.

Lain lagi cara unik Wahyu dan Dicky menghibur kakeknya, canda tawa yang khas membuat pak Udin terlihat ceria, sesekali tertawa.

Akhirnya, apa yang dilakukan Dicky, Agung, Putra, Riezwandi dan Wahyu membawa hasil, mereka telah mampu mengusir segala kesedihan yang selama ini menjegal kehidupan pak Zainuddin, begitupula memenjarakan tubuhnya dari penyakit yang kerap kali muncul akibat stress yang mendera. Hal ini terungkap ketika ada inspeksi pemeriksaan dari dokter yang memeriksa perkembangan kondisi Pak Zainuddin. Menurut keterangan Dokter, kondisi Pak Zainuddin membaik dan bisa dipulangkan dari ruang perawatan PUSKESMAS, hari ini juga… END…

Salam satu jiwa. Salam sehat Jiwa untuk menggapai hidup bahagia…

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Sabtu, 22 September 2012

Bahwasanya semua orang sedang bertumbuh dalam kehidupan yang luar biasa; SAYA, ANDA dan juga MEREKA

Banyak diantara kita begitu berharap jalan mulus diatas kehidupan, sehingga lebih sering menjadikan kita menghindar dari sebuah hambatan yang menghadang. Sungguh, Bukan karena sebuah hambatan yang menghadang menjadikan langkah kaki tak karuan, bahkan tak ingin lagi melangkah kedepan untuk mencapai tujuan, namun pikiran picik-lah yang menjadikan kita lumpuh tak berdaya, tertatih-tatih tanpa arah, terseret dalam kubangan penderitaan. Sejatinya setiap hambatan yang menghadang adalah bagian kehidupan yang tak bisa dipungkiri oleh setiap insan. Cobalah menengok sejenak betapa kuatnya kita dengan apa yang dikaruniakan tuhan didalam diri kita.

Bukankah dengan bekal kemauan dan tekad yang kuat menjadikan hambatan bagian dari perosesi kehidupan yang notabenenya sebagai penghias indahnya sebuah perjalanan. Barangkali, perlu kiranya untuk kita terus belajar bagaimana menghargai kehidupan, menghargai diri bahwasanya Tuhan telah menitipkan potensi dalam diri setiap insan agar hambatan yang ada merupakan moment untuk bisa melihat kehidupan dari sisi yang lain, sisi yang membuat kita bisa berpikir lebih dewasa, sisi kehidupan dimana kita bisa membuka mata bahwasanya tidak ada kehidupan yang tak memiliki jalan setapak penuh cobaan, sisi lain dari sebuah realita hidup; tak ada kemegahan bagi mereka yang takut menatap hamparan luas kehidupan. Jika begini ceritanya, adakah diantara kita masih saja beranjak pergi dan tak mau perduli untuk menciptakan kehidupan luar biasa bagi diri sendiri dan orang lain?

Mungkin selama ini kita menutup mata, atau mungkin juga tidak pernah ingin tahu potensi apa yang sebenarnya yang ada dalam diri ini, sehingga kita lengah untuk terus berkarya. Boleh jadi hari ini kita lebih sering menikmati hasil jerih payah orang tua, atau mungkin menengadahkan tangan kepada mereka yang ada disana, namun esok hari, siapalah yang akan mengulurkan tangan terkecuali diri kita yang siap untuk berdiri tegak diatas kehdiupan dengan segala konsekuensi yang menunggu didepan. Adalah diri kita yang lengah dan tak mau membuka mata, menyibak tabir jiwa dan melangkah maju menghadapi episode kehidupan yang akan datang didepan mata.

Bagaimana mungkin kita bisa menempuh sesuatu yang luar biasa tanpa iringan tekad dan doa teruntuk yang maha Kuasa. Inilah hari dimana kita harus belajar untuk memulai dan memandang kehidupan sebagai suatu karunia. Bukankah hari ini adalah kesempatan emas untuk kita bangkitkan jiwa dan raga agar tak lagi ada penyesalan sebelum akhir perjalanan datang menyapa?????

Kita mungkin seringkali tidak menyadari tentang satu hal; bahwasanya semua orang sedang bertumbuh dalam kehidupan yang luar biasa; menjadi sosok pribadi yang terampil secara profesional dan menjadi seorang yang layak dinobatkan sebagai seorang pemenang diatas pentas kehidupan. Namun karena kita tidak pernah menyadarinya, inilah membuat kita lupa untuk bisa bangkit dan bertumbuh maju teruntuk kehidupan lebih baik dihari esok hari. Barangkali pandangan sempit terhadap diri sendiri ini yang telah menjadikan kita seringkali larut dibawa arus keterhinaan. Kita lupa bahwa semua manusia bertumbuh dalam prestasi yang gemilang ketika menumbuhkan kebajikan disetiap langkah kehidupannya, Mereka yang siap maju tidak mencitrakan diri dalam kungkungan pencitraan negatif, namun sejatinya mereka yang siap maju adalah berani untuk melangkah dengan penuh keberanian. Beranikah Kita melangkah merelalisasikan mimpi agar hidup selalu bahagia??? Tidak ada seorangpun yang menghalangi langkah kaki hari ini, selain dari diri kita sendiri. Jika begini ceritanya, singsingkan lengan baju dan raihlah segalanya...!!! Keep spirit For Our Life Better

Salam Satu Jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

HarapKu, Engkaulah CINTA

-->
Kegelapan Malam bersama terpaan gerimis kesedihan langit telah Menguak segala isak tangis yang membuat jiwa iba melihat ratapanku kali ini. Aku telah tertunduk malu dibawah ratapan kesedihanku yang terus saja menderu layaknya angin yang melaju lepas menyibak dedaunan ditaman bunga. Berharap seorang yang kucintai masih mendengar segala impianku untuk bisa terus bersamanya dalam suka dan duka, hidup berdampingan bersamanya disetiap waktu. Malam itu aku benar-benar terbawa dalam lamunan, mengingatkan kisah kenangan yang pernah tertorehkan diatas goresan tapal waktu saat pertama kali mengenal wanita yang saat ini sedang berada dihadapanku. Sebut saja namanya, Kasfiyyaana Alfina Fitria Alisha Anjali Amnaniya Saputri. Wanita yang akrab aku panggil; Kasfiyya, begitupula panggilan akrab yang seringkali disuarakan oleh teman dekatnya. Kasfiyya adalah Perawat yang sudah bekerja di Puskesmas Peraya semenjak kelulusannya dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, Selong, satu tahun lalu.

Imajinasi bayangan masa lalu beranjak dari putaran waktu masa kini, berputar balik Mengingat cukilan-cukilan kenangan indah yang tak seorangpun mampu merasakan keindahan dan semerbak aroma bahagianya terkecuali hati kami yang sudah berbalut selimut cinta didalam labirin jiwa, terutama sekali saat pertemuan kami kali pertama sejak duduk dibangku SMA. Namun kini, aku benar-benar melihat pemandangan yang jauh sekali berbeda dari apa yang aku rasakan saat menemukan mutiara bahagia dari dalam jiwanya waktu lalu. Kini ia sungguh telah berubah, Dalam lemas terkulai ia tak mampu lagi berkata apa-apa selain suara nafas tersengal-sengal dari derita penyakit yang mengayomi tubuhnya. Barangkali penyakit aneh itu yang sedang bercokol ditubuhnya sebagaimana yang telah didiagnosa oleh dokter; Asma.


Betapa takutnya bathin ini menatap seluruh tubuhnya yang terkulai lemas tak berdaya, seakan-akan tak bernyawa. Selang infus masih tertancapkan diujung kedua tangannya, belum lagi alat-alat medis lainnya yang masih menghiasi pemandangan disekujur tubuh indahnya. Tak kuasa lagi bathin ini menyaksikan tontonan kesedihan berteman rasa pilu dalam bathin, hanya mampu mengucapkan sebaris doa untuk meminta kesembuhannya kepada Sang Maha Pencipta. Tubuhnya yang tak berdaya menyeruakkan tangis bathin ini lebih keras dari tiupan hembusan angin muson, atau mungkin terpaan ombak dilautan yang menyapa tepian pantai. Tidak mampu lagi diri ini menyaksikan tubuhnya terbuai dalam detik-detik penantian, “akankah kematian akan datang menjemputnya.” Begitu bathin ini berucap dalam tangisan yang tak sempat terusap oleh kain kering dari jiwa dikedalaman sana. Begitulah suara lantang ketakutan semakin menyisakan tangisan dan ketidak percayaan akan kenyataan yang sedang ditampakkan oleh kehidupan ini dengan ragam cobaan didalamnya.

Sungguh, Batin ini merasa kecut dan benar-benar telah digerogoti seluruh tubuh ini dengan irama music rasa ketakutan yang tak berkesudahan. Tak mampu lagi pikiran sadar melihat benang merah yang tuhan berikan diatas pentas kehidupan, yang ada hanyalah bahasa ketakutan dan ketakutan demi ketakutan, membusungkan diri didalam jiwa ini. Seakan-akan semua harapan yang telah terukirkan indah dalam bingkai impian telah pupus entah kemana perginya, meninggalkan diri ini sendiri ditengah goncangan deru derita, rasa-rasanya impian yang pernah ada telah sirna terbawa hembusan angin penderitaan kali ini. Dalam isak tangis dibimbing geletar pengharapan, terucap doa untuk meminta kasih Sang Pencipta, berbisik pesan sederhana untuknya, sang kekasih hati.


“Sayang… Jangan Pernah MeninggalkanKu sendiri dalam tangis ini. Sayang… Kita masih memiliki seribu harapan untuk menjalai kehidupan bersama. Tolong… Jangan pernah meninggalkanKu sendiri, Sayang.”


Aku semakin didera rasa putus asa, mencabut semangat yang pernah ada dalam jiwa ini. Betapa tidak, Kekasih hati yang telah lama mendampingi kehidupan ini telah membisu layaknya batu dalam belaian sakit yang dideritanya. Tubuhnya terkulai lemas bagaikan kain yang diterpa air, tak bergeming, diam membisu. Warna cerah nan indah yang pernah berceritra dalam kisah masa lalu terbuai oleh tangisan pilu. Mencakar seluruh asa dan mengaburkan mimpi-mimpi untuk bisa menggapai kehidupan penuh senyuman.

Sesekali terlihat helaan nafasnya tersendat-sendat seolah-olah ada beban yang mengapit seluruh tubuhnya. Nampak jelas dari gelembung udara dari tabung oksigen yang dipasangkan para perawat Rumah sakit disekujur tubuhnya pagi tadi. Aku mencoba mengambil Sehelai tangannya yang sudah terkulai tak berdaya. Mencoba untuk memberikan sapaan lembut kepada sang kasih agar nantinya janji suci penuh pengharapan terikrarkan diatas pelaminan. Empat bulan yang lalu kami sudah bertunangan, cincin menghiasi kebahagiaan kami didepan keluarga terpampang jelas dijari manis kami berdua, menjadikan pintu-pintu kehidupan terbuka lepas dan bebas, sebagai bukti abdi kasih teruntuk kesucian diantara dua insan yang menasihati diri untuk berjanji setia sehidup se-mati. Tapi, saat ini hati benar-benar kecut menatap dirinya yang sudah tak berdaya, akankah jalinan cinta ini akan bertabur mutiara bahagia didalam ikatan suci cinta? Ataukah berujung cerita sedih adanya?


“Kasfiyyaa, Bangun-lah dek…!”
“Berjanjilah untuk tidak meninggalkanKu sendiri”
“Kaulah satu-satunya penguat bathinKu ini. Jangan Diam Seperti Ini Sayang...!

Apapun yang kucoba sampaikan kepadanya sia-sia belaka. Sekonyong-konyong mencoba untuk membuka kedua kelopak matanya dengan ungkapan rasa mebisikkan bahasa sukma, tak juga membuahkan hasil apa-apa selain diam membisu layaknya batu. Hanya diri ini yang begitu naïf mencoba bicara kepada seorang yang kritis, tak sadarkan diri. Namun kusadari sepenuhnya akan kekuatan dibalik rasa ini, sungguh akan bermakna walau saat ini ia tidak mendengar apapun yang kusampaikan kepadanya. Walau begitu, aku tak putus asa untuk mencoba dan terus mencoba menyapanya, lagi kucoba berbisik disamping tempat tidurnya agar ia dengarkan bahasa cinta yang menjelmakan diri dalam derita, dan kini begitu ketakutan kehilangan sang kekasih Jiwa.

“Bangunlah sayang, Kakak ada disampingMu. Kakak berjanji untuk selalu ada disisiMu, Yank..!”
Setiap kata yang aku ungkapkan mewarnai kepedihan dan ketakutan akan kehilangan dia, sang kekasih yang sangat aku cintai sepenuh hati. Wanita yang kini menjadi Tunanganku, calon dan akan menjadi bagian kehidupanku dalam kehidupan rumah tanggaku, calon ibu dari anak-anakku yang terlahir dari kelembutan kasih. Sungguh Kasfiyyaa, Tunanganku benar-benar lumpuh dalam derita yang mendera fisiknya.

*****

Sudah dua hari Kasfiyyaa terkulai lemas tak berdaya diatas ranjang warna putih itu, berbau khas aroma anyir rumah sakit, menusuk masuk kedalam hidung, membuat sinus merasa terusik. Betapa tidak, Kasfiyyaa, tunanganku itu sedang dirawat dirumah sakit dengan ragam selang-selang infuse dikiri dan kanan, belum lagi oksigen yang menancap dihidungnya semenjak sesak nafas yang dideritanya mendera seluruh tubuhnya dalam penderitaan luar biasa, hingga ia belum juga sadarkan diri setelah dua hari bercokol dengan oksigen yang masih menancap dihidungnya, ditambah lagi oleh selang infuse yang terus menetes mengisi pembuluh Vena.

Aku benar-benar tidak mengerti semua ini terjadi. Padahal resepsi perkawinan kami akan digelar tiga minggu lagi. Tidak akan mungkin pernikahan itu kami langsungkan dihadapan semua kerabat dan keluarga jika Kondisi Kasfiyyaa belum juga sadarkan diri seperti ini. Dalam kebingungan itu, kucoba yakinkan diri diatas persujudan. Malam itu, kuharap Kasfiyyaa sadarkan diri. “Ya Allah, Berikanlah kesembuhan atasnya. Ya Robbi, sembuhkanlah ia.”


Doa itu terus saja mengalir dari mulut yang berselimut rasa takut. Selang beberapa saat, terdengar suara lirih dari atas ranjang. Keajaiban terjadi seketika. Barangkali malaikat sedang berbaik hati sebagaimana yang diperintahkan tuhan atasnya, Ternyata suara itu tidak lain dari tubuh lemas tak berdaya yang sedang berbaring dalam kungkungan selang infuse dan alat kesehatan lainnya. “Kasfiyya… Adek sudah siuman!?” Tanyaku, mencoba menyambut kehidupan baru layaknya tunas yang telah dipangkas oleh tuannya, dan kini tunas itu tumbuh kembali mengisi kehidupan. Memberikan kabar gembira bagi orang yang telah menyiraminya dengan kelemah lembutan.


“Akuuu diii,,maa,maanaaa!?” Tanya Kasfiyya. Kata-kata yang diucapkan terbata-bata, bersemaikan geletar sendu dalam lemas tak bertenaga, namun aku masih bisa mendengarnya.
“Sayang… Adek lagi dirawat dirumah sakit.” Jawabku lembut sambil menatap wajahnya yang telah sepenuhnya berwarna pucat tak berdaya akibat sakit yang mendera seluruh tubuhnya, mencoba menenagkan penderitaan yang sedang mencabik-cabik sekujur tubuhnya. Barangkali dengan cara itu ia mampu menerima kondisinya kali ini.

“Kaak, mi-min-nnumm..”
“Sebantar sayang… Nanti kakak yang ambilkan. Dek, Jangan terlalu banyak bergerak… Kondisi adek masih belum sepenuhnya baikan.”

Kucoba ulurkan sebotol air putih kepada Kasfiyyaa yang masih lemas dalam derita sakitnya setelah tiga hari tak sadarkan diri. Perlahan-lahan kuangkat kepalanya dengan tangan kiriku, lantas kucoba membantunya untuk meneguk beberapa tetes dari air yang ada ditanganku. Perlahan-lahan air itu masuk kedalam kerongkongannya. Menyejukkan rasa haus yang telah mendera sekujur tubuh lemasnya itu.

“Kaaak, Ma-Maaf-kan adek yaa.” Pintanya dalam suara lemas tak bertenaga.
“Adek tidak ada salah-apa-apa kok. Sekarang adek tenangkan pikiran adek. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Adek istirahat, yaaa..!”
“Ma-Maafkan Adeeekk” lagi-lagi suara lemas terkulai tak berdaya itu terdengar dari Mulut tipisnya yang berwana pucat itu.

“Adeekk, Adek nggak ada salah apa-apa kok. Kakak gak Kepingin adek berpikir yang tidak-tidak. Yaaach, Sekarang adek istirahat, jangan terlalu banyak bergerak, biar adek lekas sembuh. Yaaa….” Jawabku, mencoba menenangkan kegalauannya, lantas kuselimuti tubuhnya agar sapaan lembut sang angin malam dalam hembusan dinginnya tidak merengkuh tubuh kekasihku yang sudah tergeletak lemas tak bertenaga.

Sunguh bathin ini semakin mengadu dalam pilu. Sungguh, yang aku herankan dan masih terpingkal-pingkal dalam pikiran, Entah mengapa terlontar permintaan maaf dari mulut tipisnya itu. Hatiku semakin tak menentu, namun begitu, kucoba tetap tegar dihadapannya, memberikan senyum sapa agar ia bisa terlepas bebas dari derita yang dialaminya.Sungguh benar apa yang dikatakan orang, dalam derita sakit, siapapun orang akan mengingat keberadaan dirinya. Begitulah yang kini aku saksikan didepan mata kepalaku, dan telah membuat aku benar-benar melihat rasa kecut dalam hati mendengar permintaan maaf kekasih hati yang saat ini terkulai lemas, tatapan matanya hanya menerawang tak menentu entah kemana, hanya terlihat menatap langit-langit kamar rumah sakit, diruang penyakit dalam, nomor 19, Rumah Sakit Islam, Kota Mamben.


Aku mencoba mengelak dari semua pikiran negative yang orang-orang penah katakan kepadaku. Entah benar atau tidaknya, aku masih berdebat dengan ragam pikiran naïf itu. sekonyong-konyong mencoba menepisnya, namun pikiran akan kepergian sang kekasih membuat aku semakin takut. Sungguh apa yang mereka katakan membuatku benar-benar didera ketakutan luar biasa, mereka pernah bercerita demikian dengan lugasnya, “Jika seorang yang sedang sakit meminta maaf kepada orang-orang disekelilingnya saat itu, suatu pertanda tidak lama lagi ia memang harus pergi. Jika demikian, tuntun saja ia mengucapkan kalimat tauhid dan pengagungan kepada Tuhan.”


Mengingat pesan itu, gemetar rasanya seluruh persendianku. Antara yakin dan tidak apa yang pernah mereka ucapkan itu. Aku sungguh benar-benar tak berdaya, mengingat apa yang pernah mereka sampaikan beberapa waktu lalu. Benar atau tidaknya, entah mereka membaca dari sumber dan refrensi terpercaya atau sekedar bualan belaka yang tidak jelas benar salahnya, namun demikian sungguh tetap saja bathin ini bertengger dalam perdebatan yang tak kunjung usai.


Kucoba keluar dari ruang perawatan, menghirup udara segar yang telah dibentangkan Tuhan, menenangkan kemelut pertentangan dan perdebatan yang terus melaju dan bermunculan silih berganti. Seakan-akan menginginkan dirinya didengarkan, dan sepenuhnya menjelmakan ketakutan. Kubuka pintu ruang perawatan pasien dimana Kasfiyyaa dirawat didalamnya, beranjak keluar dalam langkah kaki terkulai lemas tak berdaya layaknya musafir yang sedang didera kehausan dalam perjalanan kaki yang telah menguras tenaga dan membuat langkah kaki tertatih tak mampu bangkit, lantas tubuhku tergeletak diatas kursi diruang tunggu pasien yang berjejer rapi dibawah jendela, layaknya tentara yang sudah siap mati. Kucoba hembuskan nafas, mencari ketenangan bathin yang sedang didera ragam kemelekatan.


Hembusan angin malam berbahasakan sapaan kelembutan sedikit mampu merontokkan pikiran yang tidak menentu didalam benak dan pikiranku. Pikiran itu benar-benar Berlarian layaknya anak kecil yang tidak tahu bahaya dari apa yang mereka lakukan. Pandangan mata tertuju keatas langit, namun mata bathin menembus jendela yang telah tertutup tirani. Semua itu telah mengaburkan pesona bintang diatas langit cakrawala, yang ada hanyalah wajah cantik Kasfiyyaa dalam warna pucat bau anyir obat-obatan. Dalam bathin menyemburkan seribu harap atas kesembuhan Kasfiyyaa, kekasih hati yang begitu lembut perangainya semenjak menjalin hubungan dengannya. Berharap bisa hidup berdua dalam ikrar janji suci ikatan keluarga.


Pikiran tersentak, mendengar lantunan music sendu dari ponsel salah seorang keluaga pasien yang keberadaannya entah dimana, didalam ruangnkah atau dimana? Sungguh alunan itu Terdengar jelas, berbisik nyanyian kepahitan yang menyeruakkan pikiran galau kali ini.
Jauh kau pergi meninggalkan diriku…
Disini aku, merindukan dirimu. Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi yang seperti dirimu oooh kekasih…


Entah siapa yang memutar music itu. Bathin ini rasanya diingatkan kembali akan ketakutan yang sempat mendera jiwa beberapa saat yang lalu. Sungguh, bathin ini benar-benar mengelak lantas bertanya-tanya, “siapa yang memutar music itu?” ingin rasanya menghentikan senandung lagu itu dan menggantikannya dengan music lain, namun sudahlah tak ada gunanya memarahi ataupu mengomeli orang lain, barangkali lagi itu adalah lagu Kesukaannya.

Tersigap tubuhku untuk segera membuka pintu, menatap kekasih hati yang sedang berbaring diatas ranjang perawatan rumah sakit. Benar-benar tatapan mataku tertuju kepadanya. Kucoba mendekat dan memastikan keadaannya. Kupegang pergelangan tangannya layaknya perawat Profesional (Palpasi), mencoba memastikan kondisinya saat itu. ternyata Kasfiyyaa baik-baik saja. Ia bahkan tertidur nyenyak dalam keanggunan raut wajahnya walau terlihat pucat. Ia tetap menampak cantik. “Engkau Cantik sekali sayang, semoga engkau lekas sembuh.” Begitu hati bergumam sambil terkesima melihat raut wajahnya. Rasanya tenang bathin ini. hingga benar-benar tersibak kedamaian saat ada disampingnya, penuh harap akan kesembuhan sang belahan jiwa.


Kemana lagi aku berpaling terkecuali untukMu, Cinta

Bumi telah larut dan tenggelam dalam kubangan air hujan
Menggenang tangis air mata duka dan derita bertahtakan nestapa
Diatas tanah kerontang, memekik suara lantang berpendar luka panas yang kerap kali menerpa
Kini semuanya telah sirna berganti seruan lembut bahasa kebahagiaan dari dalam jiwa
Berterima kasihlah kepada sang langit yang telah mendatangkan seribu karunia
Menumbuhkan tunas-tunas baru diatas sayatan luka
Kini semuanya menampak baru dengan raut wajah keindahannya
Panorama alam yang dahulunya terlihat duka lara, berganti keceriaan berselimutkan bahagia
Berubah wujud menjadi taman-taman surga, layaknya firdaus didataran dunia
Bersujudlah kepada sang langit yang telah meminjamkan mentarinya dipagi hari
Mengikhlaskan keindahan lentera malam dari setiap sudut pancaran bintang dan rembulan
Mengirimkan awan-awan putih berisikan kado kebahagiaan
Menungkan kesejukan diatas tandusnya bumi kehidupan
Bukankah demikian itu suatu karunia luar biasa yang setiap harinya Engkau pinta
Wahai sang Bumi, sungguhpun tanpa pernah engkau mengelus-elus dalam sanjungan puji
Meminta kepada sang langit dengan seribu janji
Atau terkadang memberontak dan memaki-maki saat kegersangan itu tertancapkan disana sini
Walau demikian, Tetaplah ia memberi dan mengasihi sepenuh hati
Ikhlas disetiap tetesan, menjadi penerang dengan penuh ketulusan

Dan… Wahai Engkau sang langit, lantunkanlah sembah sucimu kepada sang Pencipta
Yang telah memberikanmu sejuta karunia tanpa pernah ia meminta balik dari apa yang Ia beri
Sudah sejak awal ia menitipkan ragam keindahan karunia kebahagiaan bagimu
Wahai sang langit, saatnya engkau malu dan menatap luas dirimu yang sesungguhnya
Dialah sang kasih dalam ke-maha Luasan-Nya
Begitupula engkau, wahai sang bumi
Dalam rela maupun terpaksa, datanglah menghadap-Nya atas segala karunia
Kesedihan itu berlalu karena Tangan Kasih-Nya
Berganti senyuman bahagia, bersimfoni disetiap waktu dalam pengayoman kelembutan
Sentuhan lembut keindahan Cinta-Nya kepada makhluk, teruntuk semesta
Bukankah lentera malam itu adalah salah satu dari sekian banyak wujud cintanya
Tidakkah terpikirkan dalam benak dan pikiran dikedalaman sana
Betapa indahnya panorama semesta saat hijaunya bumi bersemi menyemaikan keanggunannya
Layakkah diri sang langit, bumi, maupun sang Jiwa merogoh kesombongan
Mengabaikan segala pemberian-Nya yang begitu banyak itu
Kemana lagi kita ingin berpaling, tidak lain teruntuk Sang Pencipta
Begitulah keindahan mengejawantahkan diri saat persimpuhan bersiul bahasa kemesraan
Menyanyikan lagu dan syair-syair kesyukuran disetiap waktu
Keep spirit For Our Life Better…

Mengapa engkau terlihat layu nan sayu menatap mentari pagi ini, jiwaku?

Mengapa engkau terlihat layu nan sayu menatap mentari pagi ini, jiwaku?
Kaudapatikah segala kelemahan yang melekat didalam dirimu ditengah perjalanan waktu?
Atau mungkin engkau tlah mendengar caci dan makian mereka tentang dirimu?
Aku melihat tetesan air mata yang menetes diantara luka yang menghiasi sekujur tubuhmu
Aku pun mendengar isak tangis yang engkau nyanyikan saat kepedihan menyapa kehidupan
Akankah engkau kini sudah tidak lagi terlihat tegar menapaki garis waktu diatas hidup ini?
Sampai kapan engkau meratapi diri dan kesedihan ini dalam isak tangis dan pilu?
Tidakkah engkau mencoba menikmati betapa indahnya senyumanmu waktu dulu
Memoar kisah kenangan yang pernah tertorehkan disetiap perjalanan dan persinggahan waktu
Wahai jiwaku. Engkau dahulunya raja yang mampu menundukkan segala ratapan kesedihan
Menundukkan hadirnya wajah sayu dan layu dengan kemegahan kesadaranmu
Tetapi mengapa engkau kini meringkuk membeku didalam penjara duka yang tak berkesudahan
Engkau layaknya budak dan hamba sahaya yang hanya hidup dibawah perintah tuannya

Mengapa engkau tertatih dan terlunta-lunta penuh derita, Jiwaku?
Akankah semua kesedihan itu hadir karena tuntutan demi tuntutan yang memperbudakmu?
Ataukah engkau terlalu banyak mencibir kekurangan yang telah menempel disekujur tubuhmu?
Mengapa engkau selalu berkata “Mengapa waktu tidak pernah berpihak kepadaku?”
Bahkan terkadang engkau hanya memimpikan kehidupan didepan sana?
Mungkinkah engkau ingin meninggalkan wujud asli dirimu dan mengais-ngais kesengsaraanmu?

Mengapa jiwaku tidak lagi seperti dulu, berlaku bijak dalam melihat artian kehidupan ini?
Cobalah untuk berlaku adil kepada dirimu yang kini menangis dalam sesal dan pilu
Cobalah mengingat pisau maut yang suatu saat datang menghampirimu dipenghujung waktu
Engkau tidak pernah tahu kapan akhir kedipan waktu, Jiwaku.
Akhiri saja penderitaan ini dan jangan pernah tangisi ia lagi
Dan maafkanlah aku wahai jiwaku. Maafkanlah daku yang selalu memojokkanmu
Kau sepenuhnya telah mencicipi betapa getirnya kesedihan duka dalam wujud aslinya
Engkaupun telah merengkuh kehidupan indah saat kesadaran menjadi temanmu disetiap waktu

Maafkanlah masa lalu… Maafkanlah apa yang telah berlalu, jiwaku.
Telah kau liputi segenap waktu dengan kerelaanmu yang tulus itu
Hapuslah segala kesalahan yang mencabik-cabik seluruh tubuhmu
Sembuhkanlah semua luka yang masih membekas itu dengan balutan Maafmu

Bangkitlah dari keterpurukanmu… Bangkitlah dan lekas berdiri menundukkan kelumpuhanmu
Telah kau singkirkan segala penderitaan yang telah mematahkan semangat juangmu
Buanglah segala beban yang membebani punggungmu dalam wajah tuntutan tak berkesudahan
Singsingkanlah segala ke-naifan yang selama ini menundukkan keberanianmu

Tataplah warna terindah kehidupan ini, jiwaku
Rasakan segala kerinduan yang dikaruniakan Sang kasih ditengah pergolakan kehidupan
Hapuslah tetesan air mata yang mengalir agar engkau mampu menatap keindahan panorama
Sudahi saja rintihan pilu yang memerahkan ranumnya bola mata

Berlarilah engkau wahai jiwaku. Berlarilah melintasi gurun waktu
Langkahi saja gunung yang menjulang tinggi dihadapanmu
Tinggalkan segala kesengsaraan yang tergeletak lemas tak berdaya didasar jurang
Kali ini engkau akan sampai dipucuk kehidupan, menatap lepas artian indah yang membentang
Tetaplah berlari dan Tumpahkanlah saja rasa sakit yang menusuk relung hati yang paling dalam
Cabut saja perih yang menempel dikaki dan sudahi rasa perih yang telah sepenuhnya melukai

Wahai jiwaku. Bergegaslah engkau pergi meninggalkan kehidupan yang fatamorgana ini
Bentangkan saja sayap kesadaran yang sepenuhnya mengilhami pemahaman terdalam
Dan ayunkan saja untaian tasbihmu kepada Sang Kasih yang telah mencelupkan Ilmu dan Iman
Bergegaslah engkau terbang menuju Tarian semesta yang menyuguhkan kebahagiaan
Sudahi saja segala tangis kesedihan diatas pijakan bumi manusia
Dan berikanlah senyuman terindahmu sebagai wujud kasih dan kesyukuran
Keep Spirit For Our Life Better.

Dan biarkanlah pijakan langkah baru mengayuhku berlalu menyudahi Pilu

Jalan begitu terasa rapuh tak berdaya, terkulai lemas diatas kursi nestapa
Usang ditemani debu jalanan kesedihan yang mengaburkan pandangan mata
Terseret…Terhentak… terhanyut dan terombang-ambingkan arus entah kemana
Bagaimana Aku bisa berontak mengakhiri semua ini?
Bagaimana aku berteriak meminta belas kasih penghuni bumi ini?
Bagaimana aku bisa melangkah dan berlari meninggalkan semua penderitaan ini?


Sungguh kusadari Langkah kaki semakin terkoyak, tertatah dan tertatih
Tenaga telah terkuras tangis yang menyesakkan dada
Nafas seakan-akan mau tercabut Pilu
Duka ini semakin melumpuhkan harapan menatapi indahnya dunia
Jiwa tak lagi bersuara nyaring, hanya diam dalam kesendirian ditengah kemelut lara
Aku gemetar melihat tubuhku terseret arus entah kemana
Oleng…roboh…hilang acuan dan kini tergeletak diatas ranjang tangis kehidupan
Tertatih dibawah teriakan dan ratapan
Desis angina berbisik syahdu menyuarakan segala beban derita yang menimpa
Langit biru tertutup awan kelabu
Apakah ini pilu dalam deritaku yang datang menjemput seluruh hidupku?
Bagaimana Aku bisa bangkit lagi menatap keberanianku?
Bagaimana aku bisa melepas tali penderitaan yang mengekang seluruh tubuhku?
Bagaimana aku bisa melihat pelangi penuh warna yang selalu datang menjelma?
Bagaimana aku bisa???


Kebebasanku tergeletak lemas tak berdaya
Terkulai diatas tanah penderitaan bercampur lumpur keterhinaan
Ketakutan membuatku terbelenggu dibawah kaki kemelaratan
Kebisuan menjadikanku tak berkutik seakan-akan tubuh tak lagi bernyawa
Pendengaranku kini tertutup debu penderitaan yang berjejal rapi didalam sukma
Matakupun tak lagi menatap bumi keindahan yang tercipta Sang Kasih Kehidupan


Wahai engkau yang mengasihi jiwaku disetiap waktu dengan karunia kasihMu
Ragukah aku dengan jalan yang dikelilingi kebimbangan tak berkesudahan ini?
Izinkanlah harapku menjemput seluruh KaruniaMu itu
Dan biarkanlah pijakan langkah baru mengayuhku berlalu menyudahi Pilu


Cahaya pagi kali ini menyeretku merangkak melewati semua keterpurukan
Memaksa wajah dina menengadah menatap kuasaMu yang Agung itu
Wahai engkau Sang Kasih…hanya Lambaian tangan kasih-Mu yang kuharapkan
Datanglah Engkau mengangkat tubuh lemasku ini keatas cenayang cintaMu
Biarkanlah aku menjadi budak-Mu dalam asmara cinta-MU
Tundukkanlah seluruh nafasku ini dibawah kaki KuasaMu
Dan biarkanlah aku menjadi pelayan setia KasihMu disetiap Waktu
Inilah yakinku yang datang membisikkan nama IndahMu
Biarkanlah Aku Bersimpuh malu berharap setetes embun menyirami jiwa ini
Lantas kedamaian datang meng-enyahkan duka dan lara yang telah lama menjelma
Membisikkan artian bahagia disaat tubuh lumpuh tak berdaya terkoyak derita
Keep spirit for our life better...

Jumat, 21 September 2012

Jika Tidak Ingin dikendalikan, Maka Jadilah DIRI SENDIRI. gemana caranya???? Pliiiis

Jika tidak seorangpun yang mengizinkan dirinya dikendalikan oleh orang lain atau entah itu oleh siapapun juga, maka tiada lain yang bisa dilakukan terkecuali berusaha untuk menjadi diri sendiri seutuhnya. Mungkin teramat sombong sekali kedengarannya jika ada orang yang merasa dirinya lahir dan tercipta tanpa kehadiran orang lain, namun sesungguhnya bukan karena suatu alasan kesombongan untuk menjadi diri sendiri suatu hal yang terlihat naïf dan salah, bukan pula menjadi diri sendiri itu menjadi aib dan dipandang sebelah mata, semata-mata bukan itu tujuan akhir dari kesemuanya itu, sesungguhnya melihat diri seutuhnya akan menjadikan seorang bertumbuh dalam sikap yang dewasa dan menuntunnya menemukan kehidupan yang luar biasa.

Sekali-kali bukan bermaksud untuk menapikan kehadiran orang lain untuk menuntun jalan hidup pada suatu pencapaian yang luar biasa dan menabjubkan ditengah pentas kehidupan ini, semata-mata untuk menempatkan diri pada orientasi dan focus akan hal-hal positif terhadap diri tanpa harus melihatnya sebelah mata, dengan kehadiran orang lain kita bisa mencipta hidup yang luar biasa, inilah khasanah yang sangat menabjubkan saat membuka mata dan disaat kita terbiasa diluar agar kehidupan menjadi luar biasa.

Dengan kehadiran orang lain kita bisa mengakses beragam pengalaman hidup yang belum pernah kita alami sebelumnya, semua itu merupakan asset yang mahal yang harus kita bayar dengan kemauan diri untuk terus belajar bagi pertumbuhan diri dihari esok. Orang lain disini sebagai warna bagi kehidupan kita, dan kita jualah yang memilih warnanya. Kombinasi corak warna yang beragam akan sangat indah jika kita benar-benar mampu merangkainya, lantaran itu corak warna indah itu milik kita, milik diri sendiri saat menjadi diri seutuhnya.

Kita sepenuhnya sadar, keperibadian yang kita miliki tidak akan pernah sama dengan semua orang. Kita mungkin menjalin sebuah hubungan dan interaksi sosial dengan beberapa orang didalam hidup. Inilah kesempatan kita dimana setiap orang akan bisa melengkapi dirinya dengan beragam pengalaman hidup yang dimiliki orang lain, termasuk saya, anda, dan juga mereka, kita semua memiliki kesempatan yang sama untuk mengukir makna agar kehidupan menabjubkan. Dari orang lain kita bisa belajar menjadi diri sendiri. Dari keperibadian yang berbeda kita bisa melihat kehidupan dari kaca mata yang berbeda. Yang terpenting untuk kita sadari, apakah kita siap untuk bertumbuh menjadi diri sendiri demi kebahagiaan yang sesungguhnya yaitu kebahagiaan teruntuk diri dan orang lain tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain yang sesungguhnya tidak mengenakkan bagi diri kita sampai saat ini?

Ada hal lain yang harus kita tanamkan sejak dini agar tidak salah dalam memahami, Selama ini kita begitu bingung dalam menempatkan diri dimata orang lain, kita mengira menjadi orang lain akan membuat orang bahagia, mungkin kita merasakan hidup demikian. Sesungguhnya bukan. Menjadi orang lain tidak lain suatu kamuflase atau topeng yang kita kenakan diwaktu-waktu tertentu saat berhadapan dengan orang yang berbeda-beda. Tentu saja kebingungan terhadap diri sendiri semakin menampak nyata, ini mengingatkan kita satu pesan sederhana; Jadilah diri sendiri seutuhnya, seorang diri yang dipenuhi kasih sayang karena sesungguhnya semua orang hidup dan tidak pernah lepas dari belaian kasih sayang. Inilah kedamaian yang menghadirkan kebahagiaan saat menjadi diri sendiri.

Kita sepenuhnya sadar bahwa tidak semua orang akan menginginkan kita jika kita menjadi diri sendiri, namun bukan itu alasan yang tepat untuk menjadikan kita dipenuhi kebingungan dan kebimbangan serta penolakan diri tanpa suatu alasan yang pasti, sejatinya menjadi diri yang dipenuhi kasih dalam keseharian ditengah pentas kehidupan menjadikan hidup dipenuhi kedamaian yang menyejukkan. Cacian dan makian akan manis rasanya dan menjadi pelajaran berharga jika kita maknai dengan suatu prestise bagi jiwa untuk terus memacu diri menjadi orang yang pantas menghadirkan pelangi indah dihari esok. Tiadalah yang sempurna, namun kesempatan bagi kita untuk bertumbuh dalam focus menuju sempurna sebagaimana yang dituntun oleh tuhan dalam kitab sucinya.

Dicaci, dimaki, dan atau tidak diterima oleh sebagian kecil orang adalah suatu hal yang berlaku sejak dahulunya, para utusan Tuhanpun menerima kehidupan yang demikian saat menebarkan ajaran suci tuhan, namun bukan karena hal itu menjadikan ragam alasan untuk mereka menjadi sebagaimana apa yang diceritrakan oleh orang yang dipenuhi kebencian dalam hidupnya. Ini adalah suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri akan keberadaannya. Benar adanya jika tidak semua orang menginginkan kita, namun menjadi diri sendiri adalah suatu pilihan yang membahagiakan. Mengingatkan kita pada focus tujuan yang mendamaikan bahwa kita memang pantas mendapatkannya.

Jangan hanya karena satu orang yang memusuhi membuat kita sakit hati dan mengharap diri yang berbeda sebagaimana yang diminta, cukuplah untuk tidak membohongi diri, cukuplah untuk tidak berpaling dari apa yang memang seharusnya ingin kita hadirkan bagi kehidupan diri yang dipenuhi kasih. Tidakkah kita menyadari, boleh saja salah satu diantara sepuluh orang sahabat memusuhi. Dengan menjadi diri sendiri akan menghadirkan seribu orang sahabat yang selalu datang menyapa dengan kehangatannya. Jangan sekali-kali membuat diri kita terfokus pada satu kesakitan yang sesungguhnya kita bisa melewatinya dengan cita rasa bahagia dan penerimaan diri apa adanya.

Kasih untuk memberi, kasih untuk menerima, kasih dalam keseluruhan wajah kehidupan untuk memupuk diri menjadi seorang yang tangguh saat memperoklamirkan bahwa kita terlahir untuk menjadi diri sendiri. Jalanilah dengan indah. Biarkanlah semuanya mengalir dengan apa adanya. Indah untuk kita renungkan saat jiwa kembali kedalam rumahnya sendiri yaitu kasih sayang bagi semua sebagaimana Tuhan memberikan kasih kepada alam. Inilah sejatinya diri kita yang siap menjadi diri sendiri sepenuh hati. Keep spirit for Our Life Better…

kehidupan ini berbicara bukan mengenai berapa lama kita hidup, tetapi bagaimana kita menjalani hidup

Sebuah ungkapan sederhana bertutur bijak kepada kita, “kehidupan ini berbicara bukan mengenai berapa lama kita hidup, tetapi bagaimana kita menjalani hidup yang telah tuhan karuniakan dalam keberlimpahan ditengah pentas kehdiupan.” Ini artinya kehidupan sedang berbicara kepada kita tentang kualitas hidup seseorang, bukan seberapa lama seorang hidup diatas muka bumi ini. Boleh saja kita mendambakan usia yang panjang, namun tiadalah artinya usia yang panjang sampai membuat kita berbaring dalam renta ketika menua jika didalam usia tersebut tidak pernah ada kebaikan yang kita torehkan bagi kehidupan kita sendiri, pun juga kepada orang lain. Artinya kualitas kehidupan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa lama ia bercokol dibumi ini, namun seberapa banyak kualitas kehidupan yang ia persembahkan bagi kehidupan. Benih-benih kebaikan yang ditanamkan menjadikan awal sebuah pembebasan.

Tentu saja kualitas hidup seseorang ditentukan oleh ragam kebaikan dan kebajikan yang ia persembahkan dalam keseharian. Dalam kitab suci manapun, tuhan selalu menekankan arti kehidupan luar biasa, kehidupan menakjubkan, kehidupan yang didalamnya diwarnai oleh ragam kebaikan. Ini menyadarkan kita tentang satu pelajaran berharga bertutur bijaksana; tidak semua orang memiliki umur panjang, namun setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menciptakan kehidupan yang berkualitas melalui upayanya untuk menjadi diri pribadi terbaik yang pernah terlahir dimuka bumi ini. Bagi mereka yang memanfaatkan usianya untuk menebar kebajikan, kebermaknaan hidup tidak akan pernah lepas mengikuti jalan setapak yang sudah, sedang dan akan dilaluinya, walau usianya hanya sebatas saja, akan tetapi karunia hidup bertumbuh berlimpah disetiap harinya. Inilah dambaan setiap manusia, dambaan saya, anda, dan juga mereka.

Hanya mereka yang terus memacu diri dalam pencarian diri guna menemukan kualitas kehidupan yang luar bisa yang nantinya tercerahkan hidupnya. Oleh karena itu, tentu saja kita harus mengetahui hal-hal apa yang memang harus dilakukan oleh seseorang agar kehidupannya terbebaskan sebagai bekal untuk menggapai kehidupan yang diurapi berkah Tuhan.

Sahabat pembaca yang budiman. Salah satu key word untuk mengakses kebaikan itu adalah ketika kehidupan seseorang dipenuhi oleh kelenturan hati untuk berbelas kasih. Ketika seseorang mulai memberikan yang terbaik bagi dirinya dan orang lain, hidupnya akan terbebaskan. Ini artinya kebahagiaan yang dimimpikan sebagai cara untuk pembebasan diri dari ragam kemelekatan sejalan dengan “HASRAT UNTUK MEMBERI”.

Sejatinya memberi tidak terbatas pada pemahaman yang sempit pada suatu objek tertentu, misalnya saja dalam benak kebanyakan orang; memberi identik dengan berbagi harta benda, sedangkan mereka yang miskin hanya bisa menerima, tidak lebih dari itu. Sungguh tidak demikian, cukupkanlah pemikiran yang demikian tidak lagi bercokol didalam diri kita saat ini, sebenarnya apapun yang menjadi karunia tuhan dalam diri kita saat ini sangat potensial untuk bisa disebar luaskan kepada siapapun orang. Senyumanpun akan sangat luar biasa artinya ketika kita tulus untuk memberikannya kepada siapapun, begitupula dalam ragam kebaikan kecil lainnya, sederhana, namun sungguh sangat luar biasa.

Sesederhana embun yang datang dipagi hari, sedikit adanya namun bermakna disetiap harinya. Begitu juga dalam permisalan lain dalam bahasa sederhana alam. Ini menyadarkan kita satu hal; Berbagi yang sesungguhnya adalah ketika kita mulai menyadari peran dan fungsi kita lantas menebar kasih sepenuh hati. Inilah memberi yang tidak terikat kemelekatan sebagaimana pikiran yang terbersit didalam benak setiap orang.

Kita seringkali berfikir bahwa kita akan bisa menikmati kebahagiaan luar biasa ketika kita menerima ragam pemberian dari kehidupan ini, menerima dan menerima yang kita yakini sebagai kebebasan luar biasa, sesungguhnya tidak demikian dan tidak demikian adanya, kebahagiaan ternyata ada saat orang mau untuk memberi dengan setulus hati kepada orang lain. Sekali lagi, Memberi tidak harus dengan berbagi harta benda, namun memberikan kebaikan apa yang kita miliki kepada orang lain dengan setulus hati, itulah memberi yang sesunggunya. Tiadalah artinya pemberian yang banyak tanpa diikuti oleh ketulusan hati untuk berbagi.

Kualitas memberi dalam kehidupan seseorang akan sangat menentukan kualitas kebermaknaan dalam hidupnya. Inilah yang sering disebut orang “BERKAH HIDUP” yang berlimpah ruah;kehidupan yang menakjubkan. Sebagaimana yang diuraikan didalam Al-Kitab, “sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Oleh karena itu, jadilah diri seorang pemberi, seorang yang rela untuk memberi dengan hati yang ikhlas penuh suka cita. Tidak harus menantikan umur panjang untuk bisa berbuat baik atau sekedar mengidam-idamkannya, namun berbuat baiklah untuk menuai umur yang panjang dalam berkah yang mengagumkan, inilah kesempatan kita untuk menemukan berkah kehidupan yang luar biasa sebagaimana yang dijanjikan tuhan, karena sungguhnya kehidupan akan menawan disetiap harinya, tersenyum dan datang menyapa kepada kita semua jika kita menyambutnya dengan penuh suka cita. Keep spirit for our life better…