Senin, 26 Maret 2012

Jangan cuma melihat "AMPAS"-nya doank


Setiap kali melihat orang berbaju rapi, lengkap dengan dasi dan atribut mewah lainnya, kita seringkali menilai kalau orang tersebut sudah sangat berbahagia dalam hidupnya. Tentu saja karena daftar kekayaan yang dimilikinya begitu banyak sehingga dia bisa menikmati hidup dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Suatu ketika melihat orang yang berbaju biasa-biasa saja, secara tidak sadar kita langsung saja memberikan penilaian kalau orang tersebut hidupnya pas-pasaan saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Lebih dari itu, setiap kali bertemu mereka yang berbaju lusuh, kita langsung saja mencapnya sebagai golongan tidak mampu dan hidupnya tidak bahagia. Padahal kebahagiaan itu tidak karena baju yang dipakainya ataupun atribut kemewahan lainnya. Toh juga banyak orang kaya yang berkonsultasi ke tempat peraktik psikolog, psikiater dan atau dokter jiwa untuk meminta pil tidur atau sedikit tidaknya mengurangi stress dan depresi yang sedang menghinggapi hidup mereka, tujuannya tidak lain agar ia bisa menikmati malam dengan istirahat yang cukup. Lebih dari itu, bisa menikmati hidup ini disetiap harinya.
Percayakah anda, bahwasanya susah senang, miskin kaya, sedih bahagia, dan sehat ataupun sakit tidak lebih daripada bagaimana seseorang “menilai hidupnya” disetiap harinya. Jadi inti pokok permasalahannya adalah bagaimana kita menilai hidup kita sendiri. Seringkali kita menilai hidup orang lain lebih baik lantas membanding-bandingkannya dengan kehidupan diri kita sendiri suatu ketika melihat orang lain mendapatkan kelebihan harta ataupun lain sebagainya. Seringkali kita menilai hidup orang lain lebih baik daripada kehidupan kita, menilai orang lain lebih bahagia hidupnya, menilai orang lain lebih pantas mencicipi kemanisan hidup didunia hingga membuat kita lupa dengan kehidupan diri kita sendiri.
Kita cenderung menilai orang lain bisa melakukan ini dan itu atau apapun itu, sedangkan kita tidak bisa apa-apa, lantas mencap diri menjadi seorang yang bodoh. Bagaimana mungkin kita akan bisa lebih baik dari orang lain jikalau terus saja melihat sisi kekurangan yang memang melekat dalam diri kita tanpa adanya orientasi presfektif jangka panjang untuk mengubah hidup menjadi lebih baik.
Jangan-jangan pada kenyataannya orang yang kita anggap lebih baik dari diri kita justru melihat kehidupannya sendiri amat sempit sekali dan justru menilai kita lebih layak atau jauh lebih baik daripadanya. Sampai Kapan lingkaran setan tuduh-menuduh ini akan berakhir? Tentu saja tidak akan berujung sampai kiamat sekalipun jika pemahaman yang demikian itu telah membumi didalam diri kita setiap kali melihat realitas yang ada.
Kendati demikian, kita tetap saja bersikukuh dalam pemikiran yang demikian itu, padahal kita tahu kalau hal itu tidak baik untuk dijadikan pedoman dalam hidup. Itu namanya memperbodoh diri sendiri yang selalu saja menganggap diri bodoh. Kalau dilihat dalam kamus istilah matematika; bodoh ditambah bodoh maka hasilnya sangat bodoh. Bodoh kuadrat donk. Please dech?!!!
Sahabat pembaca Yang budiman. Jika saja kita terus menanamkan pola sikap yang demikian itu, sampai kapan kita bisa terbebas dari kungkungan tuduhan yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Merasa iri dengan kehidupan orang lain seringkali menambah beban bagi diri kita sendiri tanpa kita sadari telah memperbudak kehidupan kita disetiap harinya. Cobalah sejenak meluangkan waktu anda lantas merenung dalam-dalam. Dan cobalah mengingat-ingat kembali dan hitunglah berapa banyak orang yang sudah membuat anda begitu iri kepadanya. Satu orang yang anda simpan rasa iri kepadanya merupakan beban tambahan dalam hidup anda sendiri. Artinya semakin banyak orang tempat anda menaruh rasa iri hati, maka semakin banyak pula beban dalam hidup anda dan akumulasi beban tersebut membuat anda terpenjara ditengah kehidupan anda tanpa menyadari kalau hal tersebut memang terjadi.
Sesungguhnya penilaian-penilaian itu berawal dari bagaimana kita melihat orang lain yang sedang berdiri dihadapan kita atau berada dilingkungan dimana kita berada. Melihat gaya berpakaiannya atau entah itu melihat aksesoris-aksesoris mewah lainnya membuat kita terpesona lantas menilai kalau orang tersebut “bahagia”. Padahal tidak demikian adanya, sumber segala kebahagiaan berawal dari bagaimana kita melihat diri kita seperti adanya dan menerima kehidupan ini serta mampu mengalir bersama kehidupan. Jika kita masih menilai orang dari “ampas” atau luarnya saja, berarti sepenuhnya kita belum menerima diri kita seperti apa adanya. Jika kita menilai diri kita lebih buruk dari orang lain dalam hal-hal yang relative mengarah ke duniawiaan, sepenuhnya kita belum memiliki jiwa yang sehat. Mengapa demikian?
Orang yang jiwanya sehat selalu menerima diri mereka seperti apa adanya. Menanamkan jiwa sehat dan selalu bisa merasakan kebahagiaan dalam hidup, menghadapi tantangan, dapat menerima orang lain seperti apa adanya tanpa harus menilai lebih dari aksesoris yang dimilikinya, mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri serta memberikan apresiasi positif terhadap hal apapun yang dilakukannya selama itu baik demi menunjang kehidupannya lebih baik dimasa mendatang.
Inilah wujud keperibadian yang sejatinya menuntun jiwa pada kedamaian, kebahagiaan dan ketenteraman dalam hidup. Tanpa harus menilai diri lebih bodoh dari orang lain ataupun menilai diri sendiri begitu banyak kekurangan suatu ketika melihat orang lain memiliki kelebihan didalam hal-hal keduniawiaan. Orang lain bisa bahagia, mengapa kita tidak!?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar