Setiap kali melihat orang berbaju rapi, lengkap dengan dasi dan
atribut mewah lainnya, kita seringkali menilai kalau orang tersebut
sudah sangat berbahagia dalam hidupnya. Tentu saja karena daftar
kekayaan yang dimilikinya begitu banyak sehingga dia bisa menikmati
hidup dan mendapatkan apa yang diinginkannya. Suatu ketika melihat
orang yang berbaju biasa-biasa saja, secara tidak sadar kita langsung
saja memberikan penilaian kalau orang tersebut hidupnya pas-pasaan
saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Lebih dari itu, setiap kali bertemu mereka yang berbaju lusuh, kita
langsung saja mencapnya sebagai golongan tidak mampu dan hidupnya
tidak bahagia. Padahal kebahagiaan itu tidak karena baju yang
dipakainya ataupun atribut kemewahan lainnya. Toh juga banyak orang
kaya yang berkonsultasi ke tempat peraktik psikolog, psikiater dan
atau dokter jiwa untuk meminta pil tidur atau sedikit tidaknya
mengurangi stress dan depresi yang sedang menghinggapi hidup mereka,
tujuannya tidak lain agar ia bisa menikmati malam dengan istirahat
yang cukup. Lebih dari itu, bisa menikmati hidup ini disetiap
harinya.
Percayakah anda, bahwasanya susah senang, miskin kaya, sedih bahagia,
dan sehat ataupun sakit tidak lebih daripada bagaimana seseorang
“menilai hidupnya” disetiap harinya. Jadi inti pokok
permasalahannya adalah bagaimana kita menilai hidup kita sendiri.
Seringkali kita menilai hidup orang lain lebih baik lantas
membanding-bandingkannya dengan kehidupan diri kita sendiri suatu
ketika melihat orang lain mendapatkan kelebihan harta ataupun lain
sebagainya. Seringkali kita menilai hidup orang lain lebih baik
daripada kehidupan kita, menilai orang lain lebih bahagia hidupnya,
menilai orang lain lebih pantas mencicipi kemanisan hidup didunia
hingga membuat kita lupa dengan kehidupan diri kita sendiri.
Kita cenderung menilai orang lain bisa melakukan ini dan itu atau
apapun itu, sedangkan kita tidak bisa apa-apa, lantas mencap diri
menjadi seorang yang bodoh. Bagaimana mungkin kita akan bisa lebih
baik dari orang lain jikalau terus saja melihat sisi kekurangan yang
memang melekat dalam diri kita tanpa adanya orientasi presfektif
jangka panjang untuk mengubah hidup menjadi lebih baik.
Jangan-jangan pada kenyataannya orang yang kita anggap lebih baik
dari diri kita justru melihat kehidupannya sendiri amat sempit sekali
dan justru menilai kita lebih layak atau jauh lebih baik daripadanya.
Sampai Kapan lingkaran setan tuduh-menuduh ini akan berakhir? Tentu
saja tidak akan berujung sampai kiamat sekalipun jika pemahaman yang
demikian itu telah membumi didalam diri kita setiap kali melihat
realitas yang ada.
Kendati demikian, kita tetap saja bersikukuh dalam pemikiran yang
demikian itu, padahal kita tahu kalau hal itu tidak baik untuk
dijadikan pedoman dalam hidup. Itu namanya memperbodoh diri sendiri
yang selalu saja menganggap diri bodoh. Kalau dilihat dalam kamus
istilah matematika; bodoh ditambah bodoh maka hasilnya sangat bodoh.
Bodoh kuadrat donk. Please dech?!!!
Sahabat pembaca Yang budiman. Jika saja kita terus menanamkan pola
sikap yang demikian itu, sampai kapan kita bisa terbebas dari
kungkungan tuduhan yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan.
Merasa iri dengan kehidupan orang lain seringkali menambah beban bagi
diri kita sendiri tanpa kita sadari telah memperbudak kehidupan kita
disetiap harinya. Cobalah sejenak meluangkan waktu anda lantas
merenung dalam-dalam. Dan cobalah mengingat-ingat kembali dan
hitunglah berapa banyak orang yang sudah membuat anda begitu iri
kepadanya. Satu orang yang anda simpan rasa iri kepadanya merupakan
beban tambahan dalam hidup anda sendiri. Artinya semakin banyak orang
tempat anda menaruh rasa iri hati, maka semakin banyak pula beban
dalam hidup anda dan akumulasi beban tersebut membuat anda terpenjara
ditengah kehidupan anda tanpa menyadari kalau hal tersebut memang
terjadi.
Sesungguhnya penilaian-penilaian itu berawal dari bagaimana kita
melihat orang lain yang sedang berdiri dihadapan kita atau berada
dilingkungan dimana kita berada. Melihat gaya berpakaiannya atau
entah itu melihat aksesoris-aksesoris mewah lainnya membuat kita
terpesona lantas menilai kalau orang tersebut “bahagia”. Padahal
tidak demikian adanya, sumber segala kebahagiaan berawal dari
bagaimana kita melihat diri kita seperti adanya dan menerima
kehidupan ini serta mampu mengalir bersama kehidupan. Jika kita masih
menilai orang dari “ampas” atau luarnya saja, berarti sepenuhnya
kita belum menerima diri kita seperti apa adanya. Jika kita menilai
diri kita lebih buruk dari orang lain dalam hal-hal yang relative
mengarah ke duniawiaan, sepenuhnya kita belum memiliki jiwa yang
sehat. Mengapa demikian?
Orang yang jiwanya sehat selalu menerima diri mereka seperti apa
adanya. Menanamkan jiwa sehat dan selalu bisa merasakan kebahagiaan
dalam hidup, menghadapi tantangan, dapat menerima orang lain seperti
apa adanya tanpa harus menilai lebih dari aksesoris yang dimilikinya,
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri serta memberikan
apresiasi positif terhadap hal apapun yang dilakukannya selama itu
baik demi menunjang kehidupannya lebih baik dimasa mendatang.
Inilah wujud keperibadian yang sejatinya menuntun jiwa pada
kedamaian, kebahagiaan dan ketenteraman dalam hidup. Tanpa harus
menilai diri lebih bodoh dari orang lain ataupun menilai diri sendiri
begitu banyak kekurangan suatu ketika melihat orang lain memiliki
kelebihan didalam hal-hal keduniawiaan. Orang lain bisa bahagia,
mengapa kita tidak!?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar