“Apapun
Yang telah dan akan terjadi dalam hidup ini bukan fiktif
belaka dan hanya sekedar sandiwara tanpa makna. Hanya bagi mereka
yang tahu bagaimana memulai, merangkai, melangkah, dan meresapi akan
sampai dipelataran nirwana; syurga, menanti senyuman kala pagi
mengurai kembali.”
Asfiyya
mencoba memutar balik waktu dari bangun pagi sampai ia terpejam
diatas kasur empuk yang biasa ia singgahi kala malam merunut waktu
untuk kembali. Ia mencoba mencungkil kepingan-kepingan kenyataan yang
terserak yang telah terjadi sepanjang hari, sekedar untuk introspeksi
diri, atau mungkin ia sedang menyesali apa yang pernah terjadi dalam
hidupnya semenjak ia bangkit dari tempat tidur, dipagi hari. Tapi
entah bagaimana, malam ini cukilan peristiwa yang pernah terjadi
menemui jalan buntu yang teramat sulit untuk dirangkul dalam retret
kehidupan indah yang ia impikan selama ini.
Malam
ini, Asfiyya mencoba menutup mata rapat-rapat antara terjaga dan
lelapnya tidur yang sulit ia gapai, seakan-akan ia sedang mendapati
tangannya menggenggam erat sesuatu entah itu apa, yang pasti
genggamannya semakin erat dan terlihat mata yang mencoba untuk
terpejam menyambut lelap. Pikirannya melayang-layang menggapai
tiang-tiang angkasa, mencungkil kawanan bintang-gemintang yang
bersinar terang, mencoba merajut kembali kenangan yang ia lalui sejak
bangun tidur, pagi tadi. Heem, sepertinya Asfiyya tidak mampu
memejamkan mata, memasuki alam mimpi. Ia hanya berbaring diatas kasur
empuk, bermesraan dengan bantal dikepalanya, namun ternyata
pikirannya tidak dapat menikmati kemesraan yang seyogyanya menjadikan
ia mampu terlelap, mengusir penat yang sudah membuatnya lunglai tak
berdaya.
“aaarrrrgh,
mengapa aku seperti ini.” Asfiyya
terbangun dari tempat tidurnya, lantaran ia merasakan sesuatu yang
berbeda dari malam-malam sebelumnya. Betapa tidak, ternyata
pikirannya melayang entah kemana perginya. Ia singsingkan selimut
yang masih menempel ditubuhnya lantas ia beranjak pergi mendekati
meja belajar yang jaraknya tiga kaki dari tempat tidurnya. Asfiyya
mengambil buku hariannya, menulis satu bait puisi tentang apa yang
sedang dirasakan oleh deru bisik batinnya didalam sana.
Malam
itu, bulan sedang bertengger diatas puncak semesta, memancarkan
cahaya terang saat purnama menggenapi keindahan malam. Gadis remaja
bertubuh jangkung, berkulit putih khas aktris korea itu dengan
sengaja membuka daun jendela kamarnya lebar-lebar, dan cahaya terang
sang lentera malam masuk dengan leluasa tanpa ada yang mampu
menghadangnya, menerangi setiap sudut kamarnya. Pun juga membiarkan
terpaan angin malam ikut masuk menemani sang purnama, menyuguhkan
kedamaian tak terkira bagi jiwa yang mampu merasakan sentuhan
lembutnya.
Asfiyya
membaca kembali puisi yang telah ditulisnya dilembaran buku harian
berwarna biru muda yang biasa menemani segala keluh kesah dan juga
kegembirannya yang datang mengoyak jiwanya atau terkadang datang
dengan wajah mesra, merona. Asfiyya terdiam, sorot matanya tertuju
pada helai kertas yang tergeletak diatas meja belajarnya. Bibirnya
yang tipis seakan-akan sedang berbicara, ingin menyuarakan sesuatu,
ternyata suara lirihnya sedang membaca bait puisi yang ditulisnya.
Kelopak
bunga mawar yang menguncup
malu
Melantunkan
syair indahnya dibawah trik
sinar purnama
Begitupula
dengan kawanan bintang gemintang yang tersenyum manja
Seakan-akan
ia sedang mengusik tidurku malam ini
Membisikkan
sesuatu yang tak kumengerti
Menyanyikan
bait-bait kerinduan dengan bahasa kelembutan
Mengajakku
bernyanyi, merasakan seluruh tarikan nafas dari detak jantungku
Rinduku
padamu membuatku tak berdaya,
memberontak ataupun lari darinya
Namun
apa yang harus kukatakan kepada mereka agar tak lagi mengoyak jiwa
Biarlah
rajutan hidup ini bercerita apa adanya
Bertutur
sederhana dalam bahasa lembut dari palung jiwa
Ketika
bulan menggenapkan
keindahannya dengan sapa lembut cahaya purnama
Adakah
engkau merasakan apa yang sebenarnya sedang kurasa?
Geletar
bahasa rindu dalam sukma;
dialah cinta, Iya, CINTA...
Gadis
cantik yang termenung diambang daun jendela itu menutup buku
hariannya. Kini, bola matanya menerawang jauh menatap purnama,
berharap bintang kejora menemui malamnya.
Asfiyya
bertanya pada batinnya yang merindu. Bertanya pada dirinya, apakah
seseorang yang selama ini di-impikannya merasakan getaran rindu yang
sama? Adakah yang dirasakannya adalah kesalahan yang tak mampu
teruraikan kata-kata seperti apa yang orang katakan selama ini
kepadanya? Apakah kerinduannya malam ini hanya sekedar bualan yang
membuatnya terkulai lemas melihat getaran bathin yang terus terfokus
pada busur cinta yang telah tertancap, tepat mengenai jiwanya?
Lagi-lagi Asfiyya termenung dalam lamunannya, bola matanya menatap
lepas entah kemana, yang pasti ia sedang melihat sesuatu yang sedang
terjadi dalam pikirannya.
“Mereka
mencaciku! mengatakan bahwa aku tak lebih
dari mahluk bodoh yang terpukau dengan bualannya sendiri, tak pantas
memiliki laki-laki yang aku cintai.”
Asfiyya
tersenyum kecut, raut wajahnya menampak putih langsat setelah
terpapar vibrasi sinar rembulan malam ini, atau jangan-jangan
wajahnya menampak pucat meratapi apa yang sedang ia alami.
Sudahlah, tidak ada yang bisa terucap selain menyaksikan apa yang
sedang dan benar-benar terjadi. “Biarkan aku menjalani hidupku
sendiri. Mungkin aku sedang terpukau tapi aku tak sebodoh yang kalian
kira. Aku menghargai diriku untuk bisa meraih cinta. Mereka saja tak
pernah menyadari diri mereka sendiri, mereka cukup bodoh karena
mereka selalu mengganggapku lemah dan tak pantas mendapatkan hati
seorang yang aku cintai. Bukankah mereka terlihat menginginkan apa
yang aku inginkan?” suara bathin Asfiyya gegap gempita dialam raya
dalam pergulatan yang terus berdegub dalam jiwanya, seakan-akan suara
tersebut mengoyak bathinnya, meramaikan senandung musik alam malam
ini.
“Ya
sudahlah. Apapun yang terjadi pastilah terjadi. Jika apa yang mereka
katakan itu memang sebenarnya, semoga saja esok Tuhan akan
merubahnya. Namun jiwa apa yang kurasa dalam rindu ini benar adanya,
biarkanlah jiwaku bersujud atas karuia yang ditanamkan tuhan dalam
jiwa.” Ucap Asfiyya, lirih menasihati hatinya agar tak lagi gamang
dan berlari kemana-mana.
Asfiyya
menutup kembali daun jendela kamarnya, menghalau sinar sang rembulan
yang lagi purnama dan ia-pun tak membiarkan angin malam mengoyak
kulitnya dengan sentuhan aroma dingin yang mampu membuat tulang
belulang membeku. Ia terlihat beranjak pergi dari meja belajarnya,
Menemui ranjangnya, berharap saat tidur lelap, segala yang
dirasakannya menjadi nyata dan tak ada seorangpun yang mencoba
mencaci dan atau membuat kerinduannya terhalang tembok yang dibangun
oleh kesombongan lidah-lidah manusia. Sebelum terpejam, Asfiyya
ucapkan sepatah atau dua patah kata untuk menutup malamnya; “Semoga
apa yang kurasa bukanlah sesuatu yang membuatku terjerumus dalam
luka. Aku yakin, tuhan menyimpan rahasia dibalik semua ini.”
Asfiyya
tertidur lelap saat bola matanya terpejam. Mimpi-mimpi yang sedang
digenggamnya membawanya pergi melintasi alam raya. Kepada sang angin
ia berharap agar kerinduannya kali ini sampai kepada seorang yang
dicintai dan sang angin akan ikhlas menghapus segala deru ceritra
bahasa lidah dari mereka yang tak pernah bisa mengerti bahasa jiwa
yang sebenarnya. Dan ketika pagi telah datang kembali, Asfiyya
terbangun dari mimpi dan mendapati wajahnya tersenyum kembali, bak
mentari pagi yang datang mengisahkan kemesraan bagi semesta,
sepanjang hari. Keep spirit for our life
better...
Salam Satu
Jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia
Mustafid
Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar