Selasa, 03 Juli 2012

Ketika bulan menggenapkan keindahannya dengan sapa lembut cahaya purnama


Apapun Yang telah dan akan terjadi dalam hidup ini bukan fiktif belaka dan hanya sekedar sandiwara tanpa makna. Hanya bagi mereka yang tahu bagaimana memulai, merangkai, melangkah, dan meresapi akan sampai dipelataran nirwana; syurga, menanti senyuman kala pagi mengurai kembali.”

Asfiyya mencoba memutar balik waktu dari bangun pagi sampai ia terpejam diatas kasur empuk yang biasa ia singgahi kala malam merunut waktu untuk kembali. Ia mencoba mencungkil kepingan-kepingan kenyataan yang terserak yang telah terjadi sepanjang hari, sekedar untuk introspeksi diri, atau mungkin ia sedang menyesali apa yang pernah terjadi dalam hidupnya semenjak ia bangkit dari tempat tidur, dipagi hari. Tapi entah bagaimana, malam ini cukilan peristiwa yang pernah terjadi menemui jalan buntu yang teramat sulit untuk dirangkul dalam retret kehidupan indah yang ia impikan selama ini.

Malam ini, Asfiyya mencoba menutup mata rapat-rapat antara terjaga dan lelapnya tidur yang sulit ia gapai, seakan-akan ia sedang mendapati tangannya menggenggam erat sesuatu entah itu apa, yang pasti genggamannya semakin erat dan terlihat mata yang mencoba untuk terpejam menyambut lelap. Pikirannya melayang-layang menggapai tiang-tiang angkasa, mencungkil kawanan bintang-gemintang yang bersinar terang, mencoba merajut kembali kenangan yang ia lalui sejak bangun tidur, pagi tadi. Heem, sepertinya Asfiyya tidak mampu memejamkan mata, memasuki alam mimpi. Ia hanya berbaring diatas kasur empuk, bermesraan dengan bantal dikepalanya, namun ternyata pikirannya tidak dapat menikmati kemesraan yang seyogyanya menjadikan ia mampu terlelap, mengusir penat yang sudah membuatnya lunglai tak berdaya.

aaarrrrgh, mengapa aku seperti ini.” Asfiyya terbangun dari tempat tidurnya, lantaran ia merasakan sesuatu yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Betapa tidak, ternyata pikirannya melayang entah kemana perginya. Ia singsingkan selimut yang masih menempel ditubuhnya lantas ia beranjak pergi mendekati meja belajar yang jaraknya tiga kaki dari tempat tidurnya. Asfiyya mengambil buku hariannya, menulis satu bait puisi tentang apa yang sedang dirasakan oleh deru bisik batinnya didalam sana.

Malam itu, bulan sedang bertengger diatas puncak semesta, memancarkan cahaya terang saat purnama menggenapi keindahan malam. Gadis remaja bertubuh jangkung, berkulit putih khas aktris korea itu dengan sengaja membuka daun jendela kamarnya lebar-lebar, dan cahaya terang sang lentera malam masuk dengan leluasa tanpa ada yang mampu menghadangnya, menerangi setiap sudut kamarnya. Pun juga membiarkan terpaan angin malam ikut masuk menemani sang purnama, menyuguhkan kedamaian tak terkira bagi jiwa yang mampu merasakan sentuhan lembutnya.

Asfiyya membaca kembali puisi yang telah ditulisnya dilembaran buku harian berwarna biru muda yang biasa menemani segala keluh kesah dan juga kegembirannya yang datang mengoyak jiwanya atau terkadang datang dengan wajah mesra, merona. Asfiyya terdiam, sorot matanya tertuju pada helai kertas yang tergeletak diatas meja belajarnya. Bibirnya yang tipis seakan-akan sedang berbicara, ingin menyuarakan sesuatu, ternyata suara lirihnya sedang membaca bait puisi yang ditulisnya.

Kelopak bunga mawar yang menguncup malu
Melantunkan syair indahnya dibawah trik sinar purnama
Begitupula dengan kawanan bintang gemintang yang tersenyum manja
Seakan-akan ia sedang mengusik tidurku malam ini
Membisikkan sesuatu yang tak kumengerti
Menyanyikan bait-bait kerinduan dengan bahasa kelembutan
Mengajakku bernyanyi, merasakan seluruh tarikan nafas dari detak jantungku
Rinduku padamu membuatku tak berdaya, memberontak ataupun lari darinya
Namun apa yang harus kukatakan kepada mereka agar tak lagi mengoyak jiwa
Biarlah rajutan hidup ini bercerita apa adanya
Bertutur sederhana dalam bahasa lembut dari palung jiwa
Ketika bulan menggenapkan keindahannya dengan sapa lembut cahaya purnama
Adakah engkau merasakan apa yang sebenarnya sedang kurasa?
Geletar bahasa rindu dalam sukma; dialah cinta, Iya, CINTA...

Gadis cantik yang termenung diambang daun jendela itu menutup buku hariannya. Kini, bola matanya menerawang jauh menatap purnama, berharap bintang kejora menemui malamnya.

Asfiyya bertanya pada batinnya yang merindu. Bertanya pada dirinya, apakah seseorang yang selama ini di-impikannya merasakan getaran rindu yang sama? Adakah yang dirasakannya adalah kesalahan yang tak mampu teruraikan kata-kata seperti apa yang orang katakan selama ini kepadanya? Apakah kerinduannya malam ini hanya sekedar bualan yang membuatnya terkulai lemas melihat getaran bathin yang terus terfokus pada busur cinta yang telah tertancap, tepat mengenai jiwanya? Lagi-lagi Asfiyya termenung dalam lamunannya, bola matanya menatap lepas entah kemana, yang pasti ia sedang melihat sesuatu yang sedang terjadi dalam pikirannya.

Mereka mencaciku! mengatakan bahwa aku tak lebih dari mahluk bodoh yang terpukau dengan bualannya sendiri, tak pantas memiliki laki-laki yang aku cintai.”

Asfiyya tersenyum kecut, raut wajahnya menampak putih langsat setelah terpapar vibrasi sinar rembulan malam ini, atau jangan-jangan wajahnya menampak pucat meratapi apa yang sedang ia alami. Sudahlah, tidak ada yang bisa terucap selain menyaksikan apa yang sedang dan benar-benar terjadi. “Biarkan aku menjalani hidupku sendiri. Mungkin aku sedang terpukau tapi aku tak sebodoh yang kalian kira. Aku menghargai diriku untuk bisa meraih cinta. Mereka saja tak pernah menyadari diri mereka sendiri, mereka cukup bodoh karena mereka selalu mengganggapku lemah dan tak pantas mendapatkan hati seorang yang aku cintai. Bukankah mereka terlihat menginginkan apa yang aku inginkan?” suara bathin Asfiyya gegap gempita dialam raya dalam pergulatan yang terus berdegub dalam jiwanya, seakan-akan suara tersebut mengoyak bathinnya, meramaikan senandung musik alam malam ini.

Ya sudahlah. Apapun yang terjadi pastilah terjadi. Jika apa yang mereka katakan itu memang sebenarnya, semoga saja esok Tuhan akan merubahnya. Namun jiwa apa yang kurasa dalam rindu ini benar adanya, biarkanlah jiwaku bersujud atas karuia yang ditanamkan tuhan dalam jiwa.” Ucap Asfiyya, lirih menasihati hatinya agar tak lagi gamang dan berlari kemana-mana.

Asfiyya menutup kembali daun jendela kamarnya, menghalau sinar sang rembulan yang lagi purnama dan ia-pun tak membiarkan angin malam mengoyak kulitnya dengan sentuhan aroma dingin yang mampu membuat tulang belulang membeku. Ia terlihat beranjak pergi dari meja belajarnya, Menemui ranjangnya, berharap saat tidur lelap, segala yang dirasakannya menjadi nyata dan tak ada seorangpun yang mencoba mencaci dan atau membuat kerinduannya terhalang tembok yang dibangun oleh kesombongan lidah-lidah manusia. Sebelum terpejam, Asfiyya ucapkan sepatah atau dua patah kata untuk menutup malamnya; “Semoga apa yang kurasa bukanlah sesuatu yang membuatku terjerumus dalam luka. Aku yakin, tuhan menyimpan rahasia dibalik semua ini.”

Asfiyya tertidur lelap saat bola matanya terpejam. Mimpi-mimpi yang sedang digenggamnya membawanya pergi melintasi alam raya. Kepada sang angin ia berharap agar kerinduannya kali ini sampai kepada seorang yang dicintai dan sang angin akan ikhlas menghapus segala deru ceritra bahasa lidah dari mereka yang tak pernah bisa mengerti bahasa jiwa yang sebenarnya. Dan ketika pagi telah datang kembali, Asfiyya terbangun dari mimpi dan mendapati wajahnya tersenyum kembali, bak mentari pagi yang datang mengisahkan kemesraan bagi semesta, sepanjang hari. Keep spirit for our life better...

Salam Satu Jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar