Sabtu, 30 Juni 2012

Ajarkanlah aku cinta yang tulus dari dalam jiwa

Pagi buta sebelum datangnya sang fajar itu, Fiyyani; kekasihku ungkapkan rasa terima kasih atas segalanya lewat telpon genggam yang biasa menemani hari-hariku. Aku tak tahu untuk apa ucapan itu. Untuk sebuah rasa didalam relung hati yang dia anggap suatu kebahagiaan besar bertajuk rasa syukur ataukah kerinduan yang membuat jiwanya membisu untuk berlari dari apa yang sedang menjelma dikedalaman sana!? Ah, sudahlah, jangan pikirkan hal-hal yang telah berlalu, dan terukir indah diatas kanvas kenangan masa lalu. Sungguhpun semuanya telah sirna dimakan rayap-rayap waktu yang terus berdenting mengibaskan keangkuhannya.

Bagiku, Fiyyani adalah sosok perempuan yang sungguh menakjubkan. Ya, Dia telah menjelma sebagai seorang Juliet, dan aku sebagai Romeonya, meski mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Atau, akulah seorang Adam yang terus melangkah menyisir garis bumi untuk menemukan sang hawa yang telah tuhan peruntukkan bagi cinta, penggenap rasa yang terus bergejolak didalam bathinku.

Aku terbungkam membisu dan tidak tahu harus berkata apa kepadanya yang telah datang Meruntuhkan hatiku dari bangunan teori-teori dan prinsip relatifitas ataupun absolutifitas dari para pakar dan teroritikus handal. Mungkin karena aku tidak pernah sekolah, atau terlalu bodoh untuk mendefinisikan semua itu. Apakah semua kisah akan mengawali ceritra indah antara aku dengannya hanya dengan sebuah sapaan lembut dimalam pekat berselimut keheningan tebal, ketika waktu seakan tak berjarak antara jiwaku dan senyumannya yang lembut itu dikejauhan sana, dan ruang menjadi hinggap pada dentingan waktu yang tak lagi pasti?

“Cinta adalah sebuah pengorbanan dan keihlasan” ujar Fiyyani satu hari saat aku berdiri didepan wanita cantik berkulit putih dengan balutan jilbab putih yang bertengger diatas kepalanya. Waktu itu kami menikmati suasana malam yang indah ditaman rumah sambil berbagi cerita terkadang canda dan tawa. Dan aku hanya tertawa mendengar ungkapan polosnya yang berceritra arti cinta yang sesungguhnya, bak seorang filosuf handal yang merenungi makna cinta. Aku benar-benar tak mampu lagi menahan tawa bak seorang pendengar ceritra lelucon yang menghempaskan jiwa dengan tutur kocak penuh canda dan tawa.

“Ah, kau seorang penyair cinta” jawabku.

“Iya mas, kau telah membuatku mengabdikan diri pada cinta ini. Tahu nggak, aku telah kehabisan kata-kata untuk menuturkan segala rasa?”

“Mengapa semuanya menjadi sulit?” tanyaku kepadanya, seolah-olah ingin menelusuk masuk kedalam rahasia bathin yang tersimpan didalam jiwanya tentang cinta yang sulit untuk kumengerti, apalagi untuk dimaknai, dikedalaman sana.

“Entahlah. Aku sebenarnya cemburu padamu yang bisa memaknai cinta” ungkap Fiyyani, manja. Wajahya merunduk, mengatup bak bunga yang sedang menyimpan aroma segar dari kelopaknya. Sepertinya perasaan malu telah membuatnya tak berkutik untuk mengatakan sepatah apapun yang begitu indah untuk diceritakan, seperti hendak menyembunyikan sesuatu namun tak kuasa. Ah, mungkin juga analisaku salah, ah, mungkin aku hanya bisa mengestimasi dari apa yang bisa aku tangkap dari cukilan-cukilan kata.

“Ya sudah, apapun itu, sungguh aku sangat menyayangimu. Kaulihat bintang yang sedang melintasi garis cakrawala itu gak?” tanyaku kepada Fiyyani yang saat itu bermandikan rasa malu bercampur harap saat mendengar ungkapan tulus dari dalam bathinku.

Fiyyani mendongak mencari bintang jatuh yang sedang melintasi cakrawala. Mencari-cari, lalu ia berkata kepadaku. “Bintang yang mana mas? Aku tidak melihatnya?”

“Yang itu tuuuch. Dinda sudah melihatnya kaan?” Jari telunjukku mencoba menuntun bola matanya untuk melihat keindahan malam yang tak terkira, seakan-akan akupun sedang menuntun jiwanya untuk bersimpuh pada getaran sukma untuk berdoa disaat semesta menyuguhkan panorama yang sungguh indah, sulit untuk dilukiskan kata-kata. Begitulah yang aku tahu, berdoa disaat gejala alam menampakkan keindahannya, Tuhan yang Maha Pemurah akan benar-benar membuka pintu rahmatnya bagi jiwa-jiwa yang tergetar hatinya untuk menuturkan seuntai pengharapan kepada Yang Maha Kuasa.

***>>***

Aku seharusnya ingin tetap bersamanya, dan bahkan berusaha melarikan diri dari tempat jauh yang telah memisahkanku dengan raga seorang yang begitu aku cintai. Bukan aku tak kuat berada ditempat jauh ini, sekali lagi bukan karena alasan itu, tapi hari-hari yang kulalui terasa semakin berat ketika berjauhan dengannya, mungkinkah aku sedang merindu ataukah cinta telah membuatku masuk kedalam keindahan untuk selalu memanjakan wajah Fiyyani didalam labirin jiwaku atau mungkin menyebutnya disetiap ungkapan tulus dalam lirik doaku, berharap Sang Kasih memepersatukan kita dalam rajutan makna terindah mahkota cinta. Ya, sebab rindu bukan hanya membuat seseorang terhunus geletar yang berdesir lembut didalam rongga dada, namun juga mampu mengantarkan imajinasi seseorang memasuki taman surga, tapi juga adalah realitas saat jiwa telah sepenuhnya terpaut rasa. Yang menusuk-nusuk bak seorang pasien yang sedang mengidap angina.

Terkadang dalam malamku, merenung sejenak akan kisah yang terus berjalan antara aku dengan Fiyyani. Mungkin dia adalah sosok orang yang muncul pada ruang dan waktu dan tak pernah alpa dalam ungapan do’aku. Seperti sebuah garis tebal yang menempel di lukisan monalisa. Indah, dan menyimpan sejuta rahasia didalamnya.

Terkadang pula batinku mengadu, “Maafkan aku kasihku, jikalau aku harus meninggalkanmu dan berjarak oleh ruang dan waktu. Sungguh bukan niatan hati ini untuk menjauh darimu. Barangkali ini adalah suaratan takdir yang harus kita terima untuk bisa lebih dewasa dan berfokus dalam mengukir cita-cita.” Aku tak kuasa membuka setiap senyumanmu yang tersimpan didalam layar handphone-ku, sungguh tak sanggup menanggungkan kerinduan yang sedang bergejolak dalam hatiku. Dan tahukah engkau wahai kekasihku, jika bermalam-malam ditempat ini, seakan-akan batinku berkata lantang dan mencoba menggedorku dengan kenangan indah akan hari-hari saat bersamamu, hari-hari seekor kumbang yang terus mendekati kelopak bunga dengan cinta yang membara.

***>>***

Aku benar-benar dihinggapi rasa kebingungan dengan semua ini. Mengapakah sosok seorang yang aku cintai begitu kokoh saat aku berada diruang dan waktu yang terpisah dengannya. Dengan ikhlas ia merelakanku untuk bisa meraih mimpi yang sedang bercokol dalam harapanku.


Suatu waktu, handpone-ku bergetar, pertanda ada panggilan masuk dari seorang yang aku kenal, bahkan sangat aku mengenalinya. Dari pembicaraan panjang antara aku dengannya, ada sepatah kata yang begitu sulit terlupakan oleh ingatanku dan tak pernah ada niatan batinku untuk melupakannya, “Mas... Dinda sangat merindukanmu. Ingin rasanya menikmati suasana seperti dulu.” Batinku tergetar mendengar isak kerinduannya yang sedang mendorongku untuk merangkul jiwanya, bersama lantas terbang mengitari semesta. Ingin aku menuturkan sesuatu kepadanya namun aku malu, “ mengapa engkau tak menangis saja, biar air mata itu meruntuhkan seluruh beban kerinduanmu?” Sungguh aku tak berani mengatakannya. Aku tahu Fiyyani, kekasihku adalah seorang wanita yang melekat dengan senyuman indah saat kebahagiaan maupun kesedihan sedang mencungkil kehidupannya. Yang aku tahu, ia wanita yang sungguh tegar dalam menjalani segala aral yang terbentang didepan mata. Keep spirit for our life better

Tidak ada komentar:

Posting Komentar