Pagi buta sebelum datangnya sang fajar itu, Fiyyani; kekasihku
ungkapkan rasa terima kasih atas segalanya lewat telpon genggam yang
biasa menemani hari-hariku. Aku tak tahu untuk apa ucapan itu. Untuk
sebuah rasa didalam relung hati yang dia anggap suatu kebahagiaan besar
bertajuk rasa syukur ataukah kerinduan yang membuat jiwanya membisu
untuk berlari dari apa yang sedang menjelma dikedalaman sana!? Ah,
sudahlah, jangan pikirkan hal-hal yang telah berlalu, dan terukir indah
diatas kanvas kenangan masa lalu. Sungguhpun semuanya telah sirna
dimakan rayap-rayap waktu yang terus berdenting mengibaskan
keangkuhannya.
Bagiku, Fiyyani adalah sosok
perempuan yang sungguh menakjubkan. Ya, Dia telah menjelma sebagai
seorang Juliet, dan aku sebagai Romeonya, meski mungkin yang terjadi
adalah sebaliknya. Atau, akulah seorang Adam yang terus melangkah
menyisir garis bumi untuk menemukan sang hawa yang telah tuhan
peruntukkan bagi cinta, penggenap rasa yang terus bergejolak didalam
bathinku.
Aku terbungkam membisu dan tidak tahu
harus berkata apa kepadanya yang telah datang Meruntuhkan hatiku dari
bangunan teori-teori dan prinsip relatifitas ataupun absolutifitas dari
para pakar dan teroritikus handal. Mungkin karena aku tidak pernah
sekolah, atau terlalu bodoh untuk mendefinisikan semua itu. Apakah
semua kisah akan mengawali ceritra indah antara aku dengannya hanya
dengan sebuah sapaan lembut dimalam pekat berselimut keheningan tebal,
ketika waktu seakan tak berjarak antara jiwaku dan senyumannya yang
lembut itu dikejauhan sana, dan ruang menjadi hinggap pada dentingan
waktu yang tak lagi pasti?
“Cinta adalah sebuah
pengorbanan dan keihlasan” ujar Fiyyani satu hari saat aku berdiri
didepan wanita cantik berkulit putih dengan balutan jilbab putih yang
bertengger diatas kepalanya. Waktu itu kami menikmati suasana malam
yang indah ditaman rumah sambil berbagi cerita terkadang canda dan
tawa. Dan aku hanya tertawa mendengar ungkapan polosnya yang berceritra
arti cinta yang sesungguhnya, bak seorang filosuf handal yang merenungi
makna cinta. Aku benar-benar tak mampu lagi menahan tawa bak seorang
pendengar ceritra lelucon yang menghempaskan jiwa dengan tutur kocak
penuh canda dan tawa.
“Ah, kau seorang penyair cinta” jawabku.
“Iya
mas, kau telah membuatku mengabdikan diri pada cinta ini. Tahu nggak,
aku telah kehabisan kata-kata untuk menuturkan segala rasa?”
“Mengapa
semuanya menjadi sulit?” tanyaku kepadanya, seolah-olah ingin menelusuk
masuk kedalam rahasia bathin yang tersimpan didalam jiwanya tentang
cinta yang sulit untuk kumengerti, apalagi untuk dimaknai, dikedalaman
sana.
“Entahlah. Aku sebenarnya cemburu padamu
yang bisa memaknai cinta” ungkap Fiyyani, manja. Wajahya merunduk,
mengatup bak bunga yang sedang menyimpan aroma segar dari kelopaknya.
Sepertinya perasaan malu telah membuatnya tak berkutik untuk mengatakan
sepatah apapun yang begitu indah untuk diceritakan, seperti hendak
menyembunyikan sesuatu namun tak kuasa. Ah, mungkin juga analisaku
salah, ah, mungkin aku hanya bisa mengestimasi dari apa yang bisa aku
tangkap dari cukilan-cukilan kata.
“Ya sudah,
apapun itu, sungguh aku sangat menyayangimu. Kaulihat bintang yang
sedang melintasi garis cakrawala itu gak?” tanyaku kepada Fiyyani yang
saat itu bermandikan rasa malu bercampur harap saat mendengar ungkapan
tulus dari dalam bathinku.
Fiyyani mendongak
mencari bintang jatuh yang sedang melintasi cakrawala. Mencari-cari,
lalu ia berkata kepadaku. “Bintang yang mana mas? Aku tidak melihatnya?”
“Yang
itu tuuuch. Dinda sudah melihatnya kaan?” Jari telunjukku mencoba
menuntun bola matanya untuk melihat keindahan malam yang tak terkira,
seakan-akan akupun sedang menuntun jiwanya untuk bersimpuh pada getaran
sukma untuk berdoa disaat semesta menyuguhkan panorama yang sungguh
indah, sulit untuk dilukiskan kata-kata. Begitulah yang aku tahu,
berdoa disaat gejala alam menampakkan keindahannya, Tuhan yang Maha
Pemurah akan benar-benar membuka pintu rahmatnya bagi jiwa-jiwa yang
tergetar hatinya untuk menuturkan seuntai pengharapan kepada Yang Maha
Kuasa.
***>>***
Aku
seharusnya ingin tetap bersamanya, dan bahkan berusaha melarikan diri
dari tempat jauh yang telah memisahkanku dengan raga seorang yang
begitu aku cintai. Bukan aku tak kuat berada ditempat jauh ini, sekali
lagi bukan karena alasan itu, tapi hari-hari yang kulalui terasa
semakin berat ketika berjauhan dengannya, mungkinkah aku sedang merindu
ataukah cinta telah membuatku masuk kedalam keindahan untuk selalu
memanjakan wajah Fiyyani didalam labirin jiwaku atau mungkin
menyebutnya disetiap ungkapan tulus dalam lirik doaku, berharap Sang
Kasih memepersatukan kita dalam rajutan makna terindah mahkota cinta.
Ya, sebab rindu bukan hanya membuat seseorang terhunus geletar yang
berdesir lembut didalam rongga dada, namun juga mampu mengantarkan
imajinasi seseorang memasuki taman surga, tapi juga adalah realitas
saat jiwa telah sepenuhnya terpaut rasa. Yang menusuk-nusuk bak seorang
pasien yang sedang mengidap angina.
Terkadang
dalam malamku, merenung sejenak akan kisah yang terus berjalan antara
aku dengan Fiyyani. Mungkin dia adalah sosok orang yang muncul pada
ruang dan waktu dan tak pernah alpa dalam ungapan do’aku. Seperti
sebuah garis tebal yang menempel di lukisan monalisa. Indah, dan
menyimpan sejuta rahasia didalamnya.
Terkadang
pula batinku mengadu, “Maafkan aku kasihku, jikalau aku harus
meninggalkanmu dan berjarak oleh ruang dan waktu. Sungguh bukan niatan
hati ini untuk menjauh darimu. Barangkali ini adalah suaratan takdir
yang harus kita terima untuk bisa lebih dewasa dan berfokus dalam
mengukir cita-cita.” Aku tak kuasa membuka setiap senyumanmu yang
tersimpan didalam layar handphone-ku, sungguh tak sanggup menanggungkan
kerinduan yang sedang bergejolak dalam hatiku. Dan tahukah engkau wahai
kekasihku, jika bermalam-malam ditempat ini, seakan-akan batinku
berkata lantang dan mencoba menggedorku dengan kenangan indah akan
hari-hari saat bersamamu, hari-hari seekor kumbang yang terus mendekati
kelopak bunga dengan cinta yang membara.
***>>***
Aku
benar-benar dihinggapi rasa kebingungan dengan semua ini. Mengapakah
sosok seorang yang aku cintai begitu kokoh saat aku berada diruang dan
waktu yang terpisah dengannya. Dengan ikhlas ia merelakanku untuk bisa
meraih mimpi yang sedang bercokol dalam harapanku.
Suatu
waktu, handpone-ku bergetar, pertanda ada panggilan masuk dari seorang
yang aku kenal, bahkan sangat aku mengenalinya. Dari pembicaraan
panjang antara aku dengannya, ada sepatah kata yang begitu sulit
terlupakan oleh ingatanku dan tak pernah ada niatan batinku untuk
melupakannya, “Mas... Dinda sangat merindukanmu. Ingin rasanya
menikmati suasana seperti dulu.” Batinku tergetar mendengar isak
kerinduannya yang sedang mendorongku untuk merangkul jiwanya, bersama
lantas terbang mengitari semesta. Ingin aku menuturkan sesuatu
kepadanya namun aku malu, “ mengapa engkau tak menangis saja, biar air
mata itu meruntuhkan seluruh beban kerinduanmu?” Sungguh aku tak berani
mengatakannya. Aku tahu Fiyyani, kekasihku adalah seorang wanita yang
melekat dengan senyuman indah saat kebahagiaan maupun kesedihan sedang
mencungkil kehidupannya. Yang aku tahu, ia wanita yang sungguh tegar
dalam menjalani segala aral yang terbentang didepan mata. Keep spirit
for our life better
Tidak ada komentar:
Posting Komentar