Senja nan Muram tertutup kegelapan berbingkai kesedihan. Diantara
semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus halus menyapa kulit, beradu
suara indah dengan deru ombak yang sedang asyik menari-nari mencium
bibir pantai, berlarian, dan berkejaran memecah suara keheningan kala
petang menancapkkan akar-akarnya diatas tapal cakrawala berhias warna
jingga keemasan dipelupuk langit. Dibingkai dalam kanvas keindahan oleh
tarian burung camar yang sedang beranjak balik keperaduan mereka untuk
menikmati keindahan kebersamaan bersama keluarga kerabat mereka.
Lain-lagi tampilan pesona keindahan dari warna langit dan sapaan lembut
pohon kelapa yang berjejer rapi menjaga eksotisme pantau labuhan hajji,
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Namun keindahan pesona senja tak mampu
mengejawantahkan kesedihan hati Nurul, senja itu. Wanita malang yang
ditinggalkan oleh kekasih hatinya beberapa jam yang lalu ditaman kota
selong. Pun juga sebagai akhir kisah cinta mereka yang sudah 1 tahun
lamanya mereka jalin bersama dalam warna canda tawa serta kesedihan
dalam setiap deraan coba yang datang silih berganti menghempaskan cinta
diantara mereka. Dan kini sudah tidak ada lagi keindahan itu selain
tangis kesedihan melanda jiwa dalam kebisuan ketersakitan hati.
Berbisik bahasa halus kebohongan yang telah memisahkan dua jiwa,
menampakkan kesombongan sang pecinta kepatamorganaan terhadap kekasih
hatinya.
Nurul tidak mampu lagi menahan isak tangisnya,
tetapi dia juga tak mampu membendung hari lahirnya kebebasan dalam
jiwanya untuk tidak lagi dikoyak tubuhnya oleh laki-laki yang
seringkali mengatas namakan cinta hanya untuk mengambil madu dari
se-onggok tubuh lentik seorang wanita dalam rangkulan kebisuan. Senja
itu Adalah akhir kisah cinta selalu menyisakan tangis duka, lebih lagi
bagi seorang wanita. Nurul hanya bisa duduk terpaku dipinggir pantai
menutup wajah yang terpaku dalam renungan masa silam, mengatupkan
wajahnya dalam himpitan perasaan, lantaran itu ia tak mampu melihat
suasana indah pemandangan pantai. Seonggok hati dibalik ruas tulang
dada menyuarakan kesedihan, melantunkan kepahitan, meremuk-remuk
harapan dan janji yang pernah mereka utarakan saat memulai hubungan
suci satu tahun silam.
Pantai Labuhan Hajji, dimana
tempat keindahan ombak melantunkan syair tasbih kepada Tuhan, ditempat
itu pula Nurul merasakan kesedihan sebagai akhir kisa cinta diantara
hatinya dan juga Mas dino. Laki-laki yang pernah memeluk dirinya
dipantai, dimana ia menangisi segalanya dalam kekinian yang bergelayut
tarian kesedihan. Betapa tidak, tubuh halusnya telah direngkul oleh
laki-laki yang sebenarnya mengharapkan kehangatan rangkulan semata,
bukan mengharapkan cinta. Walau hanya sekedar ungkapan cinta dipinggir
pantai itu dengan rangkulan pelukan satu tahun lalu, membuat sakit pilu
memecah kesucian seorang wanita.
Ditempat itu Nurul
memuntahkan segala kenangan yang pernah ada. Pantai yang dahulunya
dikenal sebagai tempat perpisahan antara insan-insan yang akan
bersegera menuju panggilan sang pencita menuju tembok suci yang pernah
dibangun oleh seorang Ibrahim AS ditimur tengah sana, kini telah
berubah menjadi arena asmara bagi para muda-mudi yang sedang dimabuk
cinta atau mungkin bukan cinta, sekedar rasa suka bermadah wajah cinta.
Memang banyak perubahan yang terjadi, dahulunya orang melihat pantai
itu sebagai panggilan suci, namun kini banyak orang menampihnya sebagai
panorama muda-mudi dalam menjipratkan cinta kepatamorganaan dalam
pelukan-pelukan jari jemari yang mereka anggap sebagai cinta. Namun
setelah hubungan itu sirna, kebencian telah membumi hanguskan keindahan
yang pernah terjalin bersama, bukan itu yang disebut cinta menampakkan
wajah sejatinya, karena cinta tidak pernah memuntahkan kemelekatan
kesedihan dan kebencian diantara dua manusia yang sudah terbingkai
dalam jalinan asmara.
Sungguh kenangan pilu yang telah
dihempaskan oleh angin masa lalu. Nurul duduk terdiam meratapi kenangan
masa lalu. Merasa muak dengan apa yang pernah tergoreskan, seusia
deawasa awal seperti dirinya yang seharusnya ia manfaatkan untuk
menimba ilmu, tubuh mungilnya yang hanya diperuntukkan demi pengabdian
kepada kedua Pecinta sejati yang pernah tuhan titipkan dimuka bumi;
Orang tua, kini telah dihasut oleh seorang laki-laki yang hanya
mengandalkan kekayaannya untuk mempersanding semua wanita. Menabur
benih keindahan dari deru sepeda motor yang begitu mewah terlihat
Nampak oleh mata dan kepala. Walau tidak semua laki-laki yang bersikap
seperti itu, masih banyak diantaranya yang masih menjaga kekayaan itu,
begitupula menjaga kekayaan hatinya demi merengkul makna tertinggi
dalam mencari oase arti air kehidupan ini. masih banyak tercecer
laki-laki baik hati yang menengadahkan tangannya berharap cinta kepada
sang Pencipta dalam kesederhanaan yang Nampak dalam keseharian. Karena
sesungguhnya baiknya seorang akan mendapatkan kebaikan dalam kehidupan
sebagai kado terindah persembahan Tuhan atas kehidupannya.
Tubuh
Nurul tidak bergeming sedikitpun, hanya sesekali menampak helaan
nafasnya tersendat-sendat seperti memanggul beban yang begitu berat
dikedua sisi pundaknya. Suara isak tangisnya-pun menyeruak membumbung
tinggi mengimbangi deru sapa ombak dilautan lepas, pedih dalam sayatan
bisu kekalutan bathin menatap apa yang sedang terjadi didepan jiwa
Nurul “Sudahlah sobat… Tidak ada gunanya lagi menangisi apa yang sudah
terjadi, tooh juga Mas Dino sudah tidak lagi menaruh hati kepadamu. Dia
lebih memilih Midha menjadi pacarnya sekarang.” Tutur Naila Safiya
Anastasya Saviera. Wanita yang akrab disapa Fiyya oleh teman-teman
dekatnya. Fiyya mencoba memasuki dunia kesedihan yang memborgol jiwa
nurul dalam tangisan pilu, mengobati luka hati Nurul, teman dekatnya
sejak duduk dikelas satu bangku sekolah, SMA Negeri 13 Selong, dan kini
sedang menginjakkan kaki dikampus Universitas duduk bersila,
dipancor-selong Lombok Nusa tenggara Barat.
“Nurul
seharusnya bahagia sudah bisa terlepas dari segala kebohongan Mas Dino
yang selama ini seringkali mempermainkan hati cewek. Tooh juga mas Dino
hanya menganggap Nurul tidak lebih sebagai pacar gelapnya.” Lanjut
Fiyya, menguraikan benang kusut kekalutan hati yang mendera Nurul.
Wajah iba menampak dari bahasa tubuh dan kelenturan tutur bahasa yang
ia sampaikan kepada sahabatnya. Pengalaman pahit yang pernah menimpa
Fiyya menjadikannya lebih dewasa melihat apa arti cinta yang selama ini
diartikan kesedihan bagi sebagian mereka yang jatuh dalam kebohongan
manusia yang menjual cinta sebagai barang dagangan paling laku dan
banyak diminati remaja, namun ujung-ujungnya meninggalkan luka dan
kesedihan mendalam dalam jiwa. Padahal cinta tidak pernah menuntut
manusia untuk menyakiti siapapun, kehadiran cinta tidak lain mengajak
jalan setapak kehidupan menjadi lebih dewasa dan bijaksana.
Kesabaran
diuji oleh sang pencipta, bukan karena kebencian sesudah insan
mencelupkan diri dalam warna gelap diatas pentas kehidupan, sejatinya
semua ujian itu datang untuk memanggil jiwa-jiwa dalam kelembutannya
yang sudah lama tertanggalkan didalam peti usang kehidupan. Kali ini
mencoba mengetuk pintu bathin kesabaran yang telah lama menggelayuti
diri dalam gelimang dosa. Apakah insan menyadari diri untuk berbalik
arah pada jalan yang telah diwasiatkan tuhan dalam tuntunan nilai
kehidupan ataukah menghempaskannya jauh-jauh entah kemana arahnya.
Sebagaimana tuhan berpesan indah dalam ukiran kalam suci dikitab
kebijaksanaan; Al-qur’an:
“Dan sungguh akan
Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun
(Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali
kepada-Nya).’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna
dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157)
Pengalaman
pahit masa lalu setelah ditingalkan Oni Ahmad Jarlo, laki-laki yang
akrab disapa Oni, telah membuat jiwa Fiyya semakin tegar, membuat dia
sebagai dokter cinta bagi teman-temannya yang sedang dilanda sesak
kesedihan setelah terinveksi virus cinta. “Sebenarnya Apa yang membuat
Nurul lebih Memilih mas dino? Bukankah selama ini Mas dino sudah
terlalu banyak membohongi dan menyakiti Nurul. Syukur saja Nurul tidak
diperlakukan kasar. Bukankah Nurul melihat betapa kejinya sikap mas
dino tadi siang itu! berani-beraninya membawa cewek baru lantas tak
mengakui Nurul sebagai kekasihnya? Apalagi yang Nurul tangisi.
Sudaahlah… sobaat.” Penuturan halus menyisipkan teguran mendalam
mencoba menguak kesadaran hati Nurul. Barangkali ia akan membuka mulut
dan menceritakan kisah yang sebenarnya. Fiyya duduk disamping sebelah
kanan Sahabatnya yang sedang bersanding dalam tangis pilu. Fiyya
mencoba meyakinkan dengan penuh perasaan, direngkuhnya tangan Nurul
untuk menyergap segala rintihan batin, memoar hasrat hati untuk
berteriak lantang mencibir segala sikap sombong laki-laki yang
menjadikan wajah tampannya sebagai barang langka yang banyak diminati
wanita.
“Sudahlaaah, Jangan menangis lagi yach…!” Lanjut
Fiyya mengasihani tetesan air mata yang melaju membasahi pipi Nurul.
Seketika itu suara diam dalam keheningan bercengkerama diantara mereka
berdua yang duduk ditepian pantai, hanya terdengar suara deru ombak dan
deru angin menyapa kulit putih wanita berbalut busana anggun menutupi
kemolekan cita rasa tubuhnya yang sedang duduk dibibir pantai, kala
senja menyeruak diatas peraduan semesta diufuk barat sana. Tiba-tiba
saja suara lunglai tak berdaya mengisi sepi saat senja makin
menampakkan petangnya disaat suasana keheningan Malam makin menampak
nyata adanya. “Fiyya… Maafkan Nurul yach, Fiyya maaafkaan Nurul Yach!”
Pinta Nurul dengan suara terbata-bata menyeruakkan diri dibalik sendu
tangisnya yang mulai mereda secara perlahan, terbawa arus ombak
kedalaman sana. Seakan-akan nasihat Fiyya sudah menggelayuti alam
pikirnya agar tak lagi menangisi apa yang sudah berlalu. Sebenarnya
Nurul berharap maaf agar sahabatnya mengasihani kehilafan yang pernah
ada, kehilafan saat dirangkul seorang laki-laki yang bukan bagian dalam
hidupnya, namun entah mengapa kenaifan itu ia sembunyikan agar tidak
menaunginya dibawah payung keterpurukan aib yang mendera.
“Sudahlah,
Jangan menangis lagi. Nurul gak ada salah apa-apa kok. Sekarang Fiyya
nggak kepengen lagi dengar isak tangis. Fiya gak kepengan melihat Nurul
bersedih lagi. Naaah, Fiyya seka dulu air mata Nurul okkey.” Jawaban
fiyya penuh rasa empati, tidak hanya itu sikap simpati tampak dari
gerakan tangannya yang menyodorkan secarik kain warna biru dihadapan
wajah Nurul, rupanya tissue kecil warna biru telah menghadirkan damai
tersendiri bagi Nurul Zafiratul Amnany Almira Putri. Wanita Naif itu
yang sedang dibuai lemah jiwa tergeletak lemas tak berdaya dalam
siksaan cinta fatamorgana.
Hari terus berlalu
memutar segala kisah kenangan yang pernah tertorehkan. Tanpa harus
dipaksakan untuk berlalu. Ia pasti akan berlalu. Tanpa dipinta untuk
menyuguhkan petang, suatu waktu petang akan mengisi kehidupan kala
malam. Semua menempati kisah diposisi masing-masing dalam proposrsi
yang sudah digoreskan sunnatullah kehidupan ini. semua kisahpun berlalu
apa adanya, berputar dalam putaran sempurna. Sedih senang ikut
menyertai perjalanan waktu kali ini, dan sampai kapapun itu.
sederhananya kehidupan sedang berpesan demikian kepada seorang Nurul,
Pun juga kepada kita semua, entah itu saya, anda dan juga mereka. Iya
kepada kita semua.
Siang menengadahkan wajah
terangnya dihari rabu. Suasana Kampus mulai ramai oleh hiruk pikuk
Mahasiswa yang sudah sejak jam tujuh pagi memulai jam belajar, dan kini
menanggalkan semua angka dan sederetan bacaan yang terkadang
membosankan mata jika tidak menerima semua itu dengan lapang dada.
Suasana keramaian sepulang sekolah dijalan Cut Nyak Dien nomor 30 mulai
terlihat. Kampus besar dengan bangunan mewah ala Kampus perkotaan yang
letaknya dipinggir sungai bermi menyemarakkan suasana siang. Tiga orang
wanita berseragam rapi dengan balutan jilbab indah mempesona menutupi
segala keindahan seperti mutiara yang begitu berharga terlihat berjalan
berdampingan menuju area parkir Kampus, Universitas Duduk Bersila,
semakin mendekati area parkir, wajah Lina, Fiyya, dan Nurul semakin
menampak jelas saja. Canda tawa terlihat dari bahasa keseharian seorang
sahabat. Rupanya-rupanya Nurul sudah sepenuhnya mampu memuntahkan
segala kemelut kesedihannya yang telah menggerogoti hatinya kala senja
dua minggu kemarin. Iya, dua minggu kemarin dipinggir pantai Labuhan
hajji yang dikenal eksotisme keindahan alam yang layak dinobatkan
sebagai last paradise sebagaimana disenggigi dan sekitaran pemandangan
pantai lainnya digaris keindahan Bibir pantai Lombok, Nusa tenggara
Barat.
“SohibMe (Sahabatku), nanti sore bakal
datang diacara perayaan hultah kakak saya apa nggak?” Tanya Lina,
kepada sahabat karibnya; Nurul dan fiyya. “InsyaAllah saya bakal datang
kok, tenaang aja brow... Kayaknya nanti berbarengan sama Fiyya. Iya
khan tante Fiyya Yach?” jawab Nurul sambil menatap wajah Fiyya yang
sudah ditutupi oleh masker warna biru khas ala perawat Rumah sakit yang
sedang melakukan inspeksi keruang pasien, ditambah lagi balutan helm
warna Putih menjadikannya seperti seorang pembalap layaknya rossi atau
mungkin ROSSIWATI yang siap akan melakukan starter diarena balap,
menampak kecantikan Wajah Fiyya walau sedang bersembunyi dibalik Masker
yang dikenakannya itu. “Iya dech tante. Dengan senang hati tante
manisku yang jarang mandii. hehehe.” Celetuk fiyya, sambil menutup kaca
helm yang dikenakannya. “Oyya, ntar dech Send me messages kalau mau
berangkat. Okkey!” lanjut Fiyya. Sementara itu Khalila Maulina Zaira
Azzalia tersenyum merekah dari pipi manisnya menyaksikan keakraban dua
temannya yang terkadang memperlihatkan, cewek berwajah ovale dengan
keindahan alis tipis yang mekat diwajahnya, wanita yang akrab disapa
Lina oleh Fiyya, Nurul dan juga teman dekatnya yang lain dikelas ipa,
SMA Negeri 13 Selong, waktu dulu.
“Okey dech kalau
begitu. Lina Cabuuut duluuan yach.” sapa lina kepada kedua sahabat
karibnya itu yang sudah siap diatas sepeda motor masing-masing.”Okey
dech ibu periiii.” Celetuk Fiyya. Seketika itu Deru suara sepeda motor
menghangatkan suasana siang yang sudah terlalu hangat oleh sinar
matahari yang menyengat kulit.
Suasana sore terlihat
cerah, tak satupun awan yang terlihat menutupi atap semesta. Tentu
suasana alam yang menampak keceriaan walau sebenarnya tanah bumi
menangis kesedihan. Akhir-akhir ini hujan tak jua kunjung turun
menyemaikan tandusnya bumi kehidupan. Padahal pertengahan bulan kali
ini sebenarnya jatuh dimusim hujan. Namun karena anomaly cuaca telah
mengubah segalanya, betapa tidak, asap kendaraan, jumlah hutan yang
sudah mulai menipis menambah daftar perubahan cuaca bumi. Kini sore
benar-benar terasa memancarkan udara panas, walau bayangan benda sudah
menampak dua kali lipat dari bentuk aslinya.
Terlihat dua
wanita sedang mengendarai sepeda motor dengan nomor polisi DR 3007 KK
melaju dengan kecepatan perlahan; 50 km/ jam sedang menyusuri jalanan
kota Peraya. Sudah lima belas menit menyusuri jalan, namun Nurul dan
Fiyya belum juga sampai tujuan. Rupanya Nurul dan Fiyya tidak ingin
kehilangan kesempatan untuk menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun
kakaknya lina, Lina sahabat dekat mereka sejak duduk dibangku kelas
satu SMA. Lokasi rumah Lina memang agak jauh, butuh waktu tempuh 25
menit dari kota selong menuju Peraya, kota yang saat ini menjadi icon
ekonomi bagi masyarakat Lombok pada khususnya dan sebagai asset
termahal bagi masyarakat Nusa Tenggara Barat pada umumnya, ditempat
itulah BIL (Bandara Internasinal Lombok) Berdiri dengan megahnya,
seakan-akan menampakkan eksistensi masyarakat Lombok yang siap untuk
bersaing dengan masyarakat belahan nusantara lainnya sebagimana yang
tertuang dalam visi misi pemerintah yang siap untuk bersaing ditengah
kancah budaya bangsa yang sangat kompleks ini. Terlihat dibandara sana
Tiang-tiang tinggi dengan hamparan luas tanah serta bangunannya tidak
kalah dengan suasana bandara lainnya yang begitu dikenal masyarakat
nusantara seperti misalnya bandara Juanda yang ada diSurabaya, bandara
Ngurah Rai yang ada didenpasar bali, begitupula dengan bandara-bandara
lainnya.
Tidak terasa, Sepeda motor dengan nomor polisi
DR 3007 KK sudah menampak diantara sepeda motor lainnya disebuah
perumahan besar dikota peraya. Perumahan Peraya Permai, ditempat itulah
Lina bersama keluarga menghabiskan sisa hidupnya karena memang ia sudah
lama tinggal dengan orang tua dan kedua kakaknya, Fauzi dan Akmal.
Kakak petama lina sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Kebetulan
tidak terlihat dilokasi acara karena memilih bermukim di Araya Mataram
bersama istri dan kedua putra putrinya serta serangkaian aktifitas
kantor yang telah merogoh waktu senggangnya untuk bisa bergabung
bersama keluarga besar, hanya saja Akmal yang sedang merayakan ULTAH
ke-23 terlihat memberikan senyuman langka kepada semua tamun yang
datang ditempat acara.
“Assalamu’alaikum Wr wb… Met sore
tante…” Sapa Fiyya menghampiri Lina yang sedang asyik memberikan
senyuman ramah kepada tamu yang datang diacara tersebut. Walau acaranya
sederhana dan diisi oleh kerabat dekat dan juga teman Akmal, pun juga
teman Lina, suasana sore itu begitu meriah dalam kesederhanaan.
Terlihat keakraban dan rasa kekeluargaan seperti yang sering terlihat
dimasyarakat Lombok pada umumnya yang terkenal dengan budaya “begutu”
sambil ngerumpi ngalor ngidul membahas isu yang tercecer dilingkungan
sekitarnya. (kumpul bareng dengan keluarga saat bersama-sama saling
membersihkan kepala satu sama lain layaknya disalon-salon kecantikan)
“Wa’alaikumussalam
wr wb Periii ala mak lampirr. Hehe. Ayooo masuk. Nurul bawa apa tuch?”
Tanya Lina mencoba membuntuti jinjingan tangan khas kado ulang tahun
yang dibawa Nurul. “Mmmm, Cuma kado kecil buat kakaknya Lina. Nggak
enak donk kalau Cuma tangan kosong doank. Iya khan?” Jawab Nurul
simple. “Eiiit, Nurul tahu gak, kakaknya Lina? Lumayan cakep lho.”
Celetuk Fiyya sambil mencubit pipi nurul. “Eeeeeh, main cubit ajja.
Awas yaaa.” Nurul menimpali canda fiyya yang terkadang membuat pipi
merah merona ketika dikerjain didepan orang dengan bahasa ceplas
ceplosnya.
Lina menghampiri Fiyya dan Nurul yang sedang
asyik bercengkerama dengan bahasa canda setelah menaruh bawaan teman
dekatnya ketempat tumpukan kado yang diperuntukkan kepada Akmal. Kakak
lina yang saat itu lagi merayakan ulang tahun ke-23. “Fiyya, Nurul…
kakak Akmal mencari kalian lho. Katanya sich pengen mengucapkan rasa
terima kasihnya. Ayyo, kita kesana… eeeh, minumnya ada disebelah sana
juga. Ayoo doonk, kayaknya Fiyya haus bangeet tuch.”
“Iyya
nich… sudah haus banget nich.. coba dari tadi bilang gittu. Hehehe.”
Selalu saja terhias dari mimic wajah dan bahasa Fiyya, seakan-akan
masalah tak pernah menggantungkan diri diwajah cantik itu. “Ayooo
donk…” lanjut Lina sembari mengulurkan tangannya kepada kedua
sahabatnya yang sudah rela datang dari Selong hanya untuk menghadiri
hari Ultah kak Akmal. Nurul hanya terlihat menampak senyum, bahasa diam
dalam kelembutan menggambarkan keperibadiannya yang seperti itu,
berbeda dengan Fiyya yang selalu menampak bahasa candanya kepada
siapapun. Nurul terlihat tertutup atau Introphet. Istilah yang biasa
disebut-sebut oleh para ahli keperibadian; psikolog.
“Selamat
Ulang Tahun kak. Semoga Panjang Umur yach. Eeiiit, satu lagi, Semoga
tambah keren ajja dech.” Celetuk Fiyya saat berhadapan langsung dengan
Akmal. “Terima Kasih dek atas ucapannya. Semoga adek tambah cantik ajja
dech.” Jawab Akmal, ucapan terima kasih tak luput dari bahasa tubuhnya
sebagai alunan rasa bahagianya atas kehadiran orang-orang terdekat yang
merayakan hari Ulang tahunnya, moment special dalam hidupnya itu.
“Selamat Ulang Tahun kak. Semoga Panjang Umur.” Ungkapan halus muncul
dari mulut mungilnya Nurul kepada sosok Akmal yang saat itu membuntuti
dirinya dengan tatapan bola mata sejak datang ditempat acara itu.
Barangkali ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan bahasa lisan atas
pandangan mata kak Akmal diperayaan itu. tentu saja Nurul merasa malu
dengan tatapan kak Akmal terhadap dirinya. Seakan-akan Akmal tak ingin
lepas dari wajah Nurul yang membuat Nurul tersipu malu, mencoba menjaga
sikap diantara kerumunan orang yang hadir ditempat itu. ada sekita 32
orang yang hadir diruang tengah rumah besar itu.
“Terima
kasih dek atas Ucapannya. Ayooo, diminum dulu airnya.” Jawab Akmal
sambil mempersilahkan Nurul dan Fiyya mencicipi suguhan yang tersedia
dimeja panjang yang diatasnya berjejer rapi minuman dan makanan yang
begitu menggiurkan air liur seorang musafir yang berharap minuman untuk
menghilangkan dahaga setelah lelah dari perjalanan jauh yang sangat
melelahkan.
Bola mata Akmal selalu saja membuntuti kemana
Arah langkah kaki Nurul. Seakan-akan ada sesuatu yang ingin ia
sampaikan kepada wanita yang tengah berpendar pilu sejak dua minggu
lalu setelah dibubuhi racun pilu deraan cinta. Hari itu adalah
Pertemuan kali pertama Akmal dan Nurul, sebelumnya mereka tidak pernah
dipertemukan waktu. Akmal hanya mendengar tutur indah ceritra adeknya;
Lina. Tentang sahabat-sahabatnya dikampus yang saat ini sedang duduk
dibangku tingkat satu, Jurusan Pemurnian Agama Islam, Universitas Duduk
Bersila. Akmal hanya pernah bertemu dengan Fiyya, sahabat adeknya
dikenal memiliki sikap terbuka sama siapapun, karena pembawaan
keperibadian seperti itu membuat Fiyya akrab dengan siapapun yang
pernah bertemu dengannya, termasuk keakrabannya dengan Akmal.
Wajah
seorang dewasa awal yang sebentar lagi menempuh usia matang sebagai
seorang wanita yang siap dipersunting pangeran, seakan-akan sedang
mencitrakan keindahan dari keseluruhan raut wajah Nurul, pun juga
keperibadiannya yang lembut dalam diam menyimpan beribu tanda tanya,
hingga membuat Akmal terkesima takjub saat bertemu dengan Nurul;
sahabat dekat adeknya itu. Sesekali Akmal mencuri pandang, menyaksikan
tampilan kelembutan dari wajah Nurul, sungguh Indah dan menawan.
“Eiiitz,
Kak Akmal memperhatikan Nurul dari tadi. Mmmmm, kayaknya kak Akmal suka
banget dech sama Nurul… Mumpung lagi jomblo tuch. Lumayan dapat durian
jatuh. Hehehe” celetuk Fiyya yang dari tadi melihat arah tatapan kak
Akmal. “Iiiihhh, Fiyya ada-ada saja dech.” Jawab nurul dengan manja.
Wajahnya menampak merah pertanda malu sedang menggerogoti hatinya. Ia
hanya bisa mencoba bersikap tenang atas lentikan mata yang terus
membuntutinya.
Terus terang saja, dalam bathin
kecil Nurul terbersit harapan untuk menumpahkan segala kepedihan
hatinya setelah dirampok oleh penyamun cinta. Namun ia tak mau lagi
tersakiti untuk kesekian kalinya. Dalam bathin berebut andil segala
harap akan inginnya, mencokor setiap derap perdebatan yang saling
menyambut satu sama lain. Antara hasrat hati untuk mengalihkan
pandangan hati untuk tidak terinveksi cinta untuk kesekian kali atau
entah mencairkan kekalutannya ini kepada seorang pangeran baru yang
layak untuk mengisi hati. Sebenarnya sudah lama Nurul mendengar tutur
ceritra tentang kak Akmal yang sedang sibuk menyelesaikan Kuliahnya
disalah satu Kampus ternama dikota Mataram. Ragam prestasi yang sudah
diraihnya tidak luput dari ceritra yang disampaikan lina, teman baiknya
itu. Semua itu menghadirkan pengharapan baru untuk bisa berbagi dengan
seorang cerdas sperti Akmal, pun juga dari seorang laki-laki kaya yang
tidak menampak kesombongannya sebagaimana lina yang hidup dalam
kesederhanaan, seperti mengalir dalam hidup ini ala apa adanya.
Nurul
terus dibayangi impian dan deraan hasutan pilihan yang membingungkan
pikiran dan perasaannya. Lebih lagi celetuk Fiyya yang membuat dirinya
merangkul rasa malu. Namun kini ia sepenuhnya pasrah dalam goresan
bisikan yang terus menderanya berulangkali dalam bathinnya. Ia hanya
bisa meneguk segelas air putih yang ada digenggaman tangannya untuk
bisa melepas dahaga dalam diri atau entah untuk menenangkankan hatinya
dalam bisikan kegalauan. Barangkali dengan begitu ia mampu melihat
satir cahaya dan melihat benang merah atas apa yang dialaminya sore
itu. Dalam bathin ia berharap bisa menemukan cinta yang menuntunnya
untuk bisa mengenali diri dan menerimanya seperti apa adanya
sebagaimana harapan para pecinta lainnya diatas pentas kehidupan ini.
Keep spirit For Our Life Better. Okey!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar