Rabu, 04 Juli 2012

Sudahi saja Tangisan itu_Ada bahagia dalam setiap pijakan_Tersenyumlah...

Senja nan Muram tertutup kegelapan berbingkai kesedihan. Diantara semilir angin sepoi-sepoi yang berhembus halus menyapa kulit, beradu suara indah dengan deru ombak yang sedang asyik menari-nari mencium bibir pantai, berlarian, dan berkejaran memecah suara keheningan kala petang menancapkkan akar-akarnya diatas tapal cakrawala berhias warna jingga keemasan dipelupuk langit. Dibingkai dalam kanvas keindahan oleh tarian burung camar yang sedang beranjak balik keperaduan mereka untuk menikmati keindahan kebersamaan bersama keluarga kerabat mereka. Lain-lagi tampilan pesona keindahan dari warna langit dan sapaan lembut pohon kelapa yang berjejer rapi menjaga eksotisme pantau labuhan hajji, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Namun keindahan pesona senja tak mampu mengejawantahkan kesedihan hati Nurul, senja itu. Wanita malang yang ditinggalkan oleh kekasih hatinya beberapa jam yang lalu ditaman kota selong. Pun juga sebagai akhir kisah cinta mereka yang sudah 1 tahun lamanya mereka jalin bersama dalam warna canda tawa serta kesedihan dalam setiap deraan coba yang datang silih berganti menghempaskan cinta diantara mereka. Dan kini sudah tidak ada lagi keindahan itu selain tangis kesedihan melanda jiwa dalam kebisuan ketersakitan hati. Berbisik bahasa halus kebohongan yang telah memisahkan dua jiwa, menampakkan kesombongan sang pecinta kepatamorganaan terhadap kekasih hatinya.

Nurul tidak mampu lagi menahan isak tangisnya, tetapi dia juga tak mampu membendung hari lahirnya kebebasan dalam jiwanya untuk tidak lagi dikoyak tubuhnya oleh laki-laki yang seringkali mengatas namakan cinta hanya untuk mengambil madu dari se-onggok tubuh lentik seorang wanita dalam rangkulan kebisuan. Senja itu Adalah akhir kisah cinta selalu menyisakan tangis duka, lebih lagi bagi seorang wanita. Nurul hanya bisa duduk terpaku dipinggir pantai menutup wajah yang terpaku dalam renungan masa silam, mengatupkan wajahnya dalam himpitan perasaan, lantaran itu ia tak mampu melihat suasana indah pemandangan pantai. Seonggok hati dibalik ruas tulang dada menyuarakan kesedihan, melantunkan kepahitan, meremuk-remuk harapan dan janji yang pernah mereka utarakan saat memulai hubungan suci satu tahun silam.

Pantai Labuhan Hajji, dimana tempat keindahan ombak melantunkan syair tasbih kepada Tuhan, ditempat itu pula Nurul merasakan kesedihan sebagai akhir kisa cinta diantara hatinya dan juga Mas dino. Laki-laki yang pernah memeluk dirinya dipantai, dimana ia menangisi segalanya dalam kekinian yang bergelayut tarian kesedihan. Betapa tidak, tubuh halusnya telah direngkul oleh laki-laki yang sebenarnya mengharapkan kehangatan rangkulan semata, bukan mengharapkan cinta. Walau hanya sekedar ungkapan cinta dipinggir pantai itu dengan rangkulan pelukan satu tahun lalu, membuat sakit pilu memecah kesucian seorang wanita.

Ditempat itu Nurul memuntahkan segala kenangan yang pernah ada. Pantai yang dahulunya dikenal sebagai tempat perpisahan antara insan-insan yang akan bersegera menuju panggilan sang pencita menuju tembok suci yang pernah dibangun oleh seorang Ibrahim AS ditimur tengah sana, kini telah berubah menjadi arena asmara bagi para muda-mudi yang sedang dimabuk cinta atau mungkin bukan cinta, sekedar rasa suka bermadah wajah cinta. Memang banyak perubahan yang terjadi, dahulunya orang melihat pantai itu sebagai panggilan suci, namun kini banyak orang menampihnya sebagai panorama muda-mudi dalam menjipratkan cinta kepatamorganaan dalam pelukan-pelukan jari jemari yang mereka anggap sebagai cinta. Namun setelah hubungan itu sirna, kebencian telah membumi hanguskan keindahan yang pernah terjalin bersama, bukan itu yang disebut cinta menampakkan wajah sejatinya, karena cinta tidak pernah memuntahkan kemelekatan kesedihan dan kebencian diantara dua manusia yang sudah terbingkai dalam jalinan asmara.

Sungguh kenangan pilu yang telah dihempaskan oleh angin masa lalu. Nurul duduk terdiam meratapi kenangan masa lalu. Merasa muak dengan apa yang pernah tergoreskan, seusia deawasa awal seperti dirinya yang seharusnya ia manfaatkan untuk menimba ilmu, tubuh mungilnya yang hanya diperuntukkan demi pengabdian kepada kedua Pecinta sejati yang pernah tuhan titipkan dimuka bumi; Orang tua, kini telah dihasut oleh seorang laki-laki yang hanya mengandalkan kekayaannya untuk mempersanding semua wanita. Menabur benih keindahan dari deru sepeda motor yang begitu mewah terlihat Nampak oleh mata dan kepala. Walau tidak semua laki-laki yang bersikap seperti itu, masih banyak diantaranya yang masih menjaga kekayaan itu, begitupula menjaga kekayaan hatinya demi merengkul makna tertinggi dalam mencari oase arti air kehidupan ini. masih banyak tercecer laki-laki baik hati yang menengadahkan tangannya berharap cinta kepada sang Pencipta dalam kesederhanaan yang Nampak dalam keseharian. Karena sesungguhnya baiknya seorang akan mendapatkan kebaikan dalam kehidupan sebagai kado terindah persembahan Tuhan atas kehidupannya.

Tubuh Nurul tidak bergeming sedikitpun, hanya sesekali menampak helaan nafasnya tersendat-sendat seperti memanggul beban yang begitu berat dikedua sisi pundaknya. Suara isak tangisnya-pun menyeruak membumbung tinggi mengimbangi deru sapa ombak dilautan lepas, pedih dalam sayatan bisu kekalutan bathin menatap apa yang sedang terjadi didepan jiwa Nurul “Sudahlah sobat… Tidak ada gunanya lagi menangisi apa yang sudah terjadi, tooh juga Mas Dino sudah tidak lagi menaruh hati kepadamu. Dia lebih memilih Midha menjadi pacarnya sekarang.” Tutur Naila Safiya Anastasya Saviera. Wanita yang akrab disapa Fiyya oleh teman-teman dekatnya. Fiyya mencoba memasuki dunia kesedihan yang memborgol jiwa nurul dalam tangisan pilu, mengobati luka hati Nurul, teman dekatnya sejak duduk dikelas satu bangku sekolah, SMA Negeri 13 Selong, dan kini sedang menginjakkan kaki dikampus Universitas duduk bersila, dipancor-selong Lombok Nusa tenggara Barat.

“Nurul seharusnya bahagia sudah bisa terlepas dari segala kebohongan Mas Dino yang selama ini seringkali mempermainkan hati cewek. Tooh juga mas Dino hanya menganggap Nurul tidak lebih sebagai pacar gelapnya.” Lanjut Fiyya, menguraikan benang kusut kekalutan hati yang mendera Nurul. Wajah iba menampak dari bahasa tubuh dan kelenturan tutur bahasa yang ia sampaikan kepada sahabatnya. Pengalaman pahit yang pernah menimpa Fiyya menjadikannya lebih dewasa melihat apa arti cinta yang selama ini diartikan kesedihan bagi sebagian mereka yang jatuh dalam kebohongan manusia yang menjual cinta sebagai barang dagangan paling laku dan banyak diminati remaja, namun ujung-ujungnya meninggalkan luka dan kesedihan mendalam dalam jiwa. Padahal cinta tidak pernah menuntut manusia untuk menyakiti siapapun, kehadiran cinta tidak lain mengajak jalan setapak kehidupan menjadi lebih dewasa dan bijaksana.

Kesabaran diuji oleh sang pencipta, bukan karena kebencian sesudah insan mencelupkan diri dalam warna gelap diatas pentas kehidupan, sejatinya semua ujian itu datang untuk memanggil jiwa-jiwa dalam kelembutannya yang sudah lama tertanggalkan didalam peti usang kehidupan. Kali ini mencoba mengetuk pintu bathin kesabaran yang telah lama menggelayuti diri dalam gelimang dosa. Apakah insan menyadari diri untuk berbalik arah pada jalan yang telah diwasiatkan tuhan dalam tuntunan nilai kehidupan ataukah menghempaskannya jauh-jauh entah kemana arahnya. Sebagaimana tuhan berpesan indah dalam ukiran kalam suci dikitab kebijaksanaan; Al-qur’an:


Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya).’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157)

Pengalaman pahit masa lalu setelah ditingalkan Oni Ahmad Jarlo, laki-laki yang akrab disapa Oni, telah membuat jiwa Fiyya semakin tegar, membuat dia sebagai dokter cinta bagi teman-temannya yang sedang dilanda sesak kesedihan setelah terinveksi virus cinta. “Sebenarnya Apa yang membuat Nurul lebih Memilih mas dino? Bukankah selama ini Mas dino sudah terlalu banyak membohongi dan menyakiti Nurul. Syukur saja Nurul tidak diperlakukan kasar. Bukankah Nurul melihat betapa kejinya sikap mas dino tadi siang itu! berani-beraninya membawa cewek baru lantas tak mengakui Nurul sebagai kekasihnya? Apalagi yang Nurul tangisi. Sudaahlah… sobaat.” Penuturan halus menyisipkan teguran mendalam mencoba menguak kesadaran hati Nurul. Barangkali ia akan membuka mulut dan menceritakan kisah yang sebenarnya. Fiyya duduk disamping sebelah kanan Sahabatnya yang sedang bersanding dalam tangis pilu. Fiyya mencoba meyakinkan dengan penuh perasaan, direngkuhnya tangan Nurul untuk menyergap segala rintihan batin, memoar hasrat hati untuk berteriak lantang mencibir segala sikap sombong laki-laki yang menjadikan wajah tampannya sebagai barang langka yang banyak diminati wanita.

“Sudahlaaah, Jangan menangis lagi yach…!” Lanjut Fiyya mengasihani tetesan air mata yang melaju membasahi pipi Nurul. Seketika itu suara diam dalam keheningan bercengkerama diantara mereka berdua yang duduk ditepian pantai, hanya terdengar suara deru ombak dan deru angin menyapa kulit putih wanita berbalut busana anggun menutupi kemolekan cita rasa tubuhnya yang sedang duduk dibibir pantai, kala senja menyeruak diatas peraduan semesta diufuk barat sana. Tiba-tiba saja suara lunglai tak berdaya mengisi sepi saat senja makin menampakkan petangnya disaat suasana keheningan Malam makin menampak nyata adanya. “Fiyya… Maafkan Nurul yach, Fiyya maaafkaan Nurul Yach!” Pinta Nurul dengan suara terbata-bata menyeruakkan diri dibalik sendu tangisnya yang mulai mereda secara perlahan, terbawa arus ombak kedalaman sana. Seakan-akan nasihat Fiyya sudah menggelayuti alam pikirnya agar tak lagi menangisi apa yang sudah berlalu. Sebenarnya Nurul berharap maaf agar sahabatnya mengasihani kehilafan yang pernah ada, kehilafan saat dirangkul seorang laki-laki yang bukan bagian dalam hidupnya, namun entah mengapa kenaifan itu ia sembunyikan agar tidak menaunginya dibawah payung keterpurukan aib yang mendera.

“Sudahlah, Jangan menangis lagi. Nurul gak ada salah apa-apa kok. Sekarang Fiyya nggak kepengen lagi dengar isak tangis. Fiya gak kepengan melihat Nurul bersedih lagi. Naaah, Fiyya seka dulu air mata Nurul okkey.” Jawaban fiyya penuh rasa empati, tidak hanya itu sikap simpati tampak dari gerakan tangannya yang menyodorkan secarik kain warna biru dihadapan wajah Nurul, rupanya tissue kecil warna biru telah menghadirkan damai tersendiri bagi Nurul Zafiratul Amnany Almira Putri. Wanita Naif itu yang sedang dibuai lemah jiwa tergeletak lemas tak berdaya dalam siksaan cinta fatamorgana.

Hari terus berlalu memutar segala kisah kenangan yang pernah tertorehkan. Tanpa harus dipaksakan untuk berlalu. Ia pasti akan berlalu. Tanpa dipinta untuk menyuguhkan petang, suatu waktu petang akan mengisi kehidupan kala malam. Semua menempati kisah diposisi masing-masing dalam proposrsi yang sudah digoreskan sunnatullah kehidupan ini. semua kisahpun berlalu apa adanya, berputar dalam putaran sempurna. Sedih senang ikut menyertai perjalanan waktu kali ini, dan sampai kapapun itu. sederhananya kehidupan sedang berpesan demikian kepada seorang Nurul, Pun juga kepada kita semua, entah itu saya, anda dan juga mereka. Iya kepada kita semua.

Siang menengadahkan wajah terangnya dihari rabu. Suasana Kampus mulai ramai oleh hiruk pikuk Mahasiswa yang sudah sejak jam tujuh pagi memulai jam belajar, dan kini menanggalkan semua angka dan sederetan bacaan yang terkadang membosankan mata jika tidak menerima semua itu dengan lapang dada. Suasana keramaian sepulang sekolah dijalan Cut Nyak Dien nomor 30 mulai terlihat. Kampus besar dengan bangunan mewah ala Kampus perkotaan yang letaknya dipinggir sungai bermi menyemarakkan suasana siang. Tiga orang wanita berseragam rapi dengan balutan jilbab indah mempesona menutupi segala keindahan seperti mutiara yang begitu berharga terlihat berjalan berdampingan menuju area parkir Kampus, Universitas Duduk Bersila, semakin mendekati area parkir, wajah Lina, Fiyya, dan Nurul semakin menampak jelas saja. Canda tawa terlihat dari bahasa keseharian seorang sahabat. Rupanya-rupanya Nurul sudah sepenuhnya mampu memuntahkan segala kemelut kesedihannya yang telah menggerogoti hatinya kala senja dua minggu kemarin. Iya, dua minggu kemarin dipinggir pantai Labuhan hajji yang dikenal eksotisme keindahan alam yang layak dinobatkan sebagai last paradise sebagaimana disenggigi dan sekitaran pemandangan pantai lainnya digaris keindahan Bibir pantai Lombok, Nusa tenggara Barat.

“SohibMe (Sahabatku), nanti sore bakal datang diacara perayaan hultah kakak saya apa nggak?” Tanya Lina, kepada sahabat karibnya; Nurul dan fiyya. “InsyaAllah saya bakal datang kok, tenaang aja brow... Kayaknya nanti berbarengan sama Fiyya. Iya khan tante Fiyya Yach?” jawab Nurul sambil menatap wajah Fiyya yang sudah ditutupi oleh masker warna biru khas ala perawat Rumah sakit yang sedang melakukan inspeksi keruang pasien, ditambah lagi balutan helm warna Putih menjadikannya seperti seorang pembalap layaknya rossi atau mungkin ROSSIWATI yang siap akan melakukan starter diarena balap, menampak kecantikan Wajah Fiyya walau sedang bersembunyi dibalik Masker yang dikenakannya itu. “Iya dech tante. Dengan senang hati tante manisku yang jarang mandii. hehehe.” Celetuk fiyya, sambil menutup kaca helm yang dikenakannya. “Oyya, ntar dech Send me messages kalau mau berangkat. Okkey!” lanjut Fiyya. Sementara itu Khalila Maulina Zaira Azzalia tersenyum merekah dari pipi manisnya menyaksikan keakraban dua temannya yang terkadang memperlihatkan, cewek berwajah ovale dengan keindahan alis tipis yang mekat diwajahnya, wanita yang akrab disapa Lina oleh Fiyya, Nurul dan juga teman dekatnya yang lain dikelas ipa, SMA Negeri 13 Selong, waktu dulu.

“Okey dech kalau begitu. Lina Cabuuut duluuan yach.” sapa lina kepada kedua sahabat karibnya itu yang sudah siap diatas sepeda motor masing-masing.”Okey dech ibu periiii.” Celetuk Fiyya. Seketika itu Deru suara sepeda motor menghangatkan suasana siang yang sudah terlalu hangat oleh sinar matahari yang menyengat kulit.

Suasana sore terlihat cerah, tak satupun awan yang terlihat menutupi atap semesta. Tentu suasana alam yang menampak keceriaan walau sebenarnya tanah bumi menangis kesedihan. Akhir-akhir ini hujan tak jua kunjung turun menyemaikan tandusnya bumi kehidupan. Padahal pertengahan bulan kali ini sebenarnya jatuh dimusim hujan. Namun karena anomaly cuaca telah mengubah segalanya, betapa tidak, asap kendaraan, jumlah hutan yang sudah mulai menipis menambah daftar perubahan cuaca bumi. Kini sore benar-benar terasa memancarkan udara panas, walau bayangan benda sudah menampak dua kali lipat dari bentuk aslinya.

Terlihat dua wanita sedang mengendarai sepeda motor dengan nomor polisi DR 3007 KK melaju dengan kecepatan perlahan; 50 km/ jam sedang menyusuri jalanan kota Peraya. Sudah lima belas menit menyusuri jalan, namun Nurul dan Fiyya belum juga sampai tujuan. Rupanya Nurul dan Fiyya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun kakaknya lina, Lina sahabat dekat mereka sejak duduk dibangku kelas satu SMA. Lokasi rumah Lina memang agak jauh, butuh waktu tempuh 25 menit dari kota selong menuju Peraya, kota yang saat ini menjadi icon ekonomi bagi masyarakat Lombok pada khususnya dan sebagai asset termahal bagi masyarakat Nusa Tenggara Barat pada umumnya, ditempat itulah BIL (Bandara Internasinal Lombok) Berdiri dengan megahnya, seakan-akan menampakkan eksistensi masyarakat Lombok yang siap untuk bersaing dengan masyarakat belahan nusantara lainnya sebagimana yang tertuang dalam visi misi pemerintah yang siap untuk bersaing ditengah kancah budaya bangsa yang sangat kompleks ini. Terlihat dibandara sana Tiang-tiang tinggi dengan hamparan luas tanah serta bangunannya tidak kalah dengan suasana bandara lainnya yang begitu dikenal masyarakat nusantara seperti misalnya bandara Juanda yang ada diSurabaya, bandara Ngurah Rai yang ada didenpasar bali, begitupula dengan bandara-bandara lainnya.

Tidak terasa, Sepeda motor dengan nomor polisi DR 3007 KK sudah menampak diantara sepeda motor lainnya disebuah perumahan besar dikota peraya. Perumahan Peraya Permai, ditempat itulah Lina bersama keluarga menghabiskan sisa hidupnya karena memang ia sudah lama tinggal dengan orang tua dan kedua kakaknya, Fauzi dan Akmal. Kakak petama lina sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Kebetulan tidak terlihat dilokasi acara karena memilih bermukim di Araya Mataram bersama istri dan kedua putra putrinya serta serangkaian aktifitas kantor yang telah merogoh waktu senggangnya untuk bisa bergabung bersama keluarga besar, hanya saja Akmal yang sedang merayakan ULTAH ke-23 terlihat memberikan senyuman langka kepada semua tamun yang datang ditempat acara.

“Assalamu’alaikum Wr wb… Met sore tante…” Sapa Fiyya menghampiri Lina yang sedang asyik memberikan senyuman ramah kepada tamu yang datang diacara tersebut. Walau acaranya sederhana dan diisi oleh kerabat dekat dan juga teman Akmal, pun juga teman Lina, suasana sore itu begitu meriah dalam kesederhanaan. Terlihat keakraban dan rasa kekeluargaan seperti yang sering terlihat dimasyarakat Lombok pada umumnya yang terkenal dengan budaya “begutu” sambil ngerumpi ngalor ngidul membahas isu yang tercecer dilingkungan sekitarnya. (kumpul bareng dengan keluarga saat bersama-sama saling membersihkan kepala satu sama lain layaknya disalon-salon kecantikan)

“Wa’alaikumussalam wr wb Periii ala mak lampirr. Hehe. Ayooo masuk. Nurul bawa apa tuch?” Tanya Lina mencoba membuntuti jinjingan tangan khas kado ulang tahun yang dibawa Nurul. “Mmmm, Cuma kado kecil buat kakaknya Lina. Nggak enak donk kalau Cuma tangan kosong doank. Iya khan?” Jawab Nurul simple. “Eiiit, Nurul tahu gak, kakaknya Lina? Lumayan cakep lho.” Celetuk Fiyya sambil mencubit pipi nurul. “Eeeeeh, main cubit ajja. Awas yaaa.” Nurul menimpali canda fiyya yang terkadang membuat pipi merah merona ketika dikerjain didepan orang dengan bahasa ceplas ceplosnya.

Lina menghampiri Fiyya dan Nurul yang sedang asyik bercengkerama dengan bahasa canda setelah menaruh bawaan teman dekatnya ketempat tumpukan kado yang diperuntukkan kepada Akmal. Kakak lina yang saat itu lagi merayakan ulang tahun ke-23. “Fiyya, Nurul… kakak Akmal mencari kalian lho. Katanya sich pengen mengucapkan rasa terima kasihnya. Ayyo, kita kesana… eeeh, minumnya ada disebelah sana juga. Ayoo doonk, kayaknya Fiyya haus bangeet tuch.”

“Iyya nich… sudah haus banget nich.. coba dari tadi bilang gittu. Hehehe.” Selalu saja terhias dari mimic wajah dan bahasa Fiyya, seakan-akan masalah tak pernah menggantungkan diri diwajah cantik itu. “Ayooo donk…” lanjut Lina sembari mengulurkan tangannya kepada kedua sahabatnya yang sudah rela datang dari Selong hanya untuk menghadiri hari Ultah kak Akmal. Nurul hanya terlihat menampak senyum, bahasa diam dalam kelembutan menggambarkan keperibadiannya yang seperti itu, berbeda dengan Fiyya yang selalu menampak bahasa candanya kepada siapapun. Nurul terlihat tertutup atau Introphet. Istilah yang biasa disebut-sebut oleh para ahli keperibadian; psikolog.

“Selamat Ulang Tahun kak. Semoga Panjang Umur yach. Eeiiit, satu lagi, Semoga tambah keren ajja dech.” Celetuk Fiyya saat berhadapan langsung dengan Akmal. “Terima Kasih dek atas ucapannya. Semoga adek tambah cantik ajja dech.” Jawab Akmal, ucapan terima kasih tak luput dari bahasa tubuhnya sebagai alunan rasa bahagianya atas kehadiran orang-orang terdekat yang merayakan hari Ulang tahunnya, moment special dalam hidupnya itu. “Selamat Ulang Tahun kak. Semoga Panjang Umur.” Ungkapan halus muncul dari mulut mungilnya Nurul kepada sosok Akmal yang saat itu membuntuti dirinya dengan tatapan bola mata sejak datang ditempat acara itu. Barangkali ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan bahasa lisan atas pandangan mata kak Akmal diperayaan itu. tentu saja Nurul merasa malu dengan tatapan kak Akmal terhadap dirinya. Seakan-akan Akmal tak ingin lepas dari wajah Nurul yang membuat Nurul tersipu malu, mencoba menjaga sikap diantara kerumunan orang yang hadir ditempat itu. ada sekita 32 orang yang hadir diruang tengah rumah besar itu.

“Terima kasih dek atas Ucapannya. Ayooo, diminum dulu airnya.” Jawab Akmal sambil mempersilahkan Nurul dan Fiyya mencicipi suguhan yang tersedia dimeja panjang yang diatasnya berjejer rapi minuman dan makanan yang begitu menggiurkan air liur seorang musafir yang berharap minuman untuk menghilangkan dahaga setelah lelah dari perjalanan jauh yang sangat melelahkan.

Bola mata Akmal selalu saja membuntuti kemana Arah langkah kaki Nurul. Seakan-akan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan kepada wanita yang tengah berpendar pilu sejak dua minggu lalu setelah dibubuhi racun pilu deraan cinta. Hari itu adalah Pertemuan kali pertama Akmal dan Nurul, sebelumnya mereka tidak pernah dipertemukan waktu. Akmal hanya mendengar tutur indah ceritra adeknya; Lina. Tentang sahabat-sahabatnya dikampus yang saat ini sedang duduk dibangku tingkat satu, Jurusan Pemurnian Agama Islam, Universitas Duduk Bersila. Akmal hanya pernah bertemu dengan Fiyya, sahabat adeknya dikenal memiliki sikap terbuka sama siapapun, karena pembawaan keperibadian seperti itu membuat Fiyya akrab dengan siapapun yang pernah bertemu dengannya, termasuk keakrabannya dengan Akmal.

Wajah seorang dewasa awal yang sebentar lagi menempuh usia matang sebagai seorang wanita yang siap dipersunting pangeran, seakan-akan sedang mencitrakan keindahan dari keseluruhan raut wajah Nurul, pun juga keperibadiannya yang lembut dalam diam menyimpan beribu tanda tanya, hingga membuat Akmal terkesima takjub saat bertemu dengan Nurul; sahabat dekat adeknya itu. Sesekali Akmal mencuri pandang, menyaksikan tampilan kelembutan dari wajah Nurul, sungguh Indah dan menawan.

“Eiiitz, Kak Akmal memperhatikan Nurul dari tadi. Mmmmm, kayaknya kak Akmal suka banget dech sama Nurul… Mumpung lagi jomblo tuch. Lumayan dapat durian jatuh. Hehehe” celetuk Fiyya yang dari tadi melihat arah tatapan kak Akmal. “Iiiihhh, Fiyya ada-ada saja dech.” Jawab nurul dengan manja. Wajahnya menampak merah pertanda malu sedang menggerogoti hatinya. Ia hanya bisa mencoba bersikap tenang atas lentikan mata yang terus membuntutinya.

Terus terang saja, dalam bathin kecil Nurul terbersit harapan untuk menumpahkan segala kepedihan hatinya setelah dirampok oleh penyamun cinta. Namun ia tak mau lagi tersakiti untuk kesekian kalinya. Dalam bathin berebut andil segala harap akan inginnya, mencokor setiap derap perdebatan yang saling menyambut satu sama lain. Antara hasrat hati untuk mengalihkan pandangan hati untuk tidak terinveksi cinta untuk kesekian kali atau entah mencairkan kekalutannya ini kepada seorang pangeran baru yang layak untuk mengisi hati. Sebenarnya sudah lama Nurul mendengar tutur ceritra tentang kak Akmal yang sedang sibuk menyelesaikan Kuliahnya disalah satu Kampus ternama dikota Mataram. Ragam prestasi yang sudah diraihnya tidak luput dari ceritra yang disampaikan lina, teman baiknya itu. Semua itu menghadirkan pengharapan baru untuk bisa berbagi dengan seorang cerdas sperti Akmal, pun juga dari seorang laki-laki kaya yang tidak menampak kesombongannya sebagaimana lina yang hidup dalam kesederhanaan, seperti mengalir dalam hidup ini ala apa adanya.

Nurul terus dibayangi impian dan deraan hasutan pilihan yang membingungkan pikiran dan perasaannya. Lebih lagi celetuk Fiyya yang membuat dirinya merangkul rasa malu. Namun kini ia sepenuhnya pasrah dalam goresan bisikan yang terus menderanya berulangkali dalam bathinnya. Ia hanya bisa meneguk segelas air putih yang ada digenggaman tangannya untuk bisa melepas dahaga dalam diri atau entah untuk menenangkankan hatinya dalam bisikan kegalauan. Barangkali dengan begitu ia mampu melihat satir cahaya dan melihat benang merah atas apa yang dialaminya sore itu. Dalam bathin ia berharap bisa menemukan cinta yang menuntunnya untuk bisa mengenali diri dan menerimanya seperti apa adanya sebagaimana harapan para pecinta lainnya diatas pentas kehidupan ini. Keep spirit For Our Life Better. Okey!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar