Pagi itu Perdana kelihatan begitu bersemangat, senyuman kecil menghiasi pipinya saat ia telah selesai membersihkan Tubuhnya; Mandi, dikamar mandi yang berukuran kecil, letaknya tidak begitu jauh dari kamar yang biasa tempat ia melepas lelah, maklumlah kamar tersebut berdampingan langsung dengan kamar mandinya. Sesekali wajah Perdana terlihat tersenyum, menampakkan aroma kebahagiaan yang sedang tersembulkan dari dalam jiwanya, laksana oase mata air yang tersembulkan untuk menghapus dahaga bagi para musafir kehidupan yang sudah tak kuat lagi menahan rasa haus dalam jiwa. Barangkali ada kabar bahagia yang akan dia terima hari itu. Mengawali hari dengan sebuah senyuman adalah kebiasaan yang tidak pernah Perdana lupakan semenjak kepergian orang tuanya satu tahun lalu. Pada awal kepergian ayahnya, tangisan selalu saja tidak pernah lepas dari pipinya, pun juga ditambah wajah muram tak bersuara, hanya terlihat garis-garis kesedihan yang masih membekas diwajahnya, beberapa minggu setelah kepergian ayahnya, kesedihan tidak pernah lepas membayangi kehidupannya.
Wajar saja hal demikian itu terjadi, sosok seorang Ayah yang begitu ia cintai telah pergi meninggalkannya dan tidak akan pernah kembali lagi. Bagaimana dengan anda, apakah anda akan tersenyum bahagia begitu saja suatu ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang begitu anda cintai; sosok seorang ayah atau ibu, misalnya? Adakalanya kesedihan itu indah untuk direnungi, namun dengan hidup berteman kesedihan disetiap hari adalah beban yang memang harus diakhiri. Setelah dua minggu berlalu, perdana mampu membebaskan diri dari wajah muram yang setiap hari menemaninya, karena ia telah sepenuhnya mampu meresapi makna dibalik nasihat yang pernah dipesankan orang tuanya, sehingga kini ia telah benar-benar berubah, Perdana tidak lagi memasang wajah kesedihan, yang terlihat adalah wajah keceriaan dan senyuman yang sangat menawan. Itulah akhir dari sebuah pesan ataupun nasihat, tidak ada artinya tanpa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu semuanya butuh waktu untuk berperoses, bagaimanapun semuanya akan bermakna jika sudah menjadi bagian dari hidup dan mampu memulainya disetiap hari.
Wajar saja kebiasaan yang positif itu; tersenyum, selalu menghiasi pipinya disetiap harinya, orang tuanya pernah berpesan kepada Perdana agar tetap bisa tersenyum disetiap menghadapi kenyataan hidup, entah itu kenyataan pahit ataupun manis, lebih-lebih saat menyambut datangnya pagi, karena baginya pagi adalah anugrah tuhan untuk memulai kehidupan, pagi adalah waktu yang tepat untuk memulai menggores impian dan harapan menjadi kenyataan ditengah kehidupan ini, pagi adalah kesempatan untuk bisa melihat keindahan alam dengan segala pernak pernik semesta diatas cakrawala sana. Diatas sana, anda akan bisa melihat keindahan penciptaan yang telah Tuhan Karuniakan, cobalah sejenak untuk menengadahkan kepala dan melihat betapa anggunya pesona semesta. panorama yang sangat mengagumkan, bukan?.
Bukankah dengan sebuah senyuman, seakan-akan Sayap kehidupan terbentangkan diatas cakrawala, terbang bebas bersama sejuknya hembusan angin harapan dan merotasi disetiap goresan impian. Kini pagi hari senin telah mencoba mengusung terbitnya mentari lantas membuka sayap kepak lembayun surya merekah diatas semesta untuk menyambut kemanisan disetiap senyum indah dan manis untuk hadirkan kehidupan baru yang selalu menari bersama keanggunan tarian kebahagiaan.
Langkah kaki Perdana terlihat begitu tegar. Sepasang sepatu vantople berwarna hitam melekat dikakinya ditambah lagi dengan kaos kaki berwarna hitam, kombinasi yang sangat serasi. Kelihatannya Perdana sudah tampil dengan dandanan yang terlihat stylish. Baju putih dan bawahan warna hitam menambah penampilannya sehingga Perdana terlihat seperti kalangan kelas atas menengah, ditambah lagi jas berwarna hitam layaknya seorang direktur sebuah perusahaan terkemuka. Hari senin itu adalah panggilan yang kedua kalinyanya untuk mengikuti wawancara, seleksi masuk penerimaan pegawai baru. Dengan keyakinan yang kuat, langkah kaki pertama Perdana melangkah dengan semangat yang begitu tegar, seolah-olah hentakan kaki kanannya itu adalah pertanda sebuah kesiapan untuk memulai kehidupan dengan sebuah keyakinan yang tidak akan pernah terpatahkan.
Helm berwana hitam dipojokan kamar diambilnya dengan penuh keyakinan. Perdana membuka pintu kamar perlahan-lahan. “Bismillahirrohmanirrahim-(Dengan menyebut nama Allah/Tuhan / Sang Hyang Widi Wase. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), Semoga hari ini adalah hari yang sangat indah bagiKu, Tuhan tidak akan mungkin menyia-nyiakan Hambanya. Aku Pasti Bisa!” setelah mengucapkan doa pengharapan tersebut dengan penuh keyakinan, senyuman kecil pun ikut menghiasi pipinya yang sudah dibaluti helm berwarna Hitam. Doa pengharapan yang tidak pernah terlupakan, seolah-olah doa pengharapan tersebut adalah bahasa kesehariannya acap kali meninggalkan kost. Tak pernah terlupakan, tentu saja doa pengharapan tersebut adalah kebiasaan yang sudah lama tertanam didalam dirinya, wajar saja, keluarga perdana adalah keluarga yang taat menjalankan ibadah, begitupula dengan perdana, laki-laki yang taat menjalankan nilai-nilai keagamaan; semstinyalah membiasakan diri untuk selalu menyemaikan diri dengan doa pengharapan disetiap harinya. Dari kebiasaan yang ditanamkan keluarga akan benar-benar membantu membentuk pribadi yang cakap sehingga lahirlah generasi penerus yang bisa dibanggakan dikemudian harinya.
Perdana pun segera meninggalkan tempat, Langkah kakinya ia percepat, sesekali ia menatap jam tangan berwarna hitam yang selalu menemani hari-harinya. “Pukul 06:15, InsyaAllah saya pasti bisa sampai Rumah sakit tepat waktu” gumamnya. Perdana pun menghidupkan sepeda motor yang biasa ia tumpangi kemanapun ia berpergian. Tidak beberapa saat kemudian, sepeda motornya pun melangkah jauh meninggalkan gerbang kost menyusuri jalanan, berteman polusi udara dan hiruk pikuk masyarakat perkotaan yang sudah siapkan diri untuk beranjak hadir ke tempat kerja mereka masing-masing.
Pagi itu, kondisi jalanan terlihat relatif lebih ramai dari hari-hari biasanya. Hari senin adalah awal untuk memulai segala aktifitas bagi sebagain besar masyarakat perkotaan yang sudah memiliki perkejaan, baik itu dikator, pasar, mall, dan beragam tempat lainnya. Pemandangan tersebut sudah menjadi wajah kota-kota besar yang acapkali terlihat jelas dibeberapa sudut kota. Kemacetan terjadi dimana-mana, apalagi dikota besar seperti Mamben. Kendaraan roda dua adalah pilihan bagi sebagian besar orang untuk bisa lebih cepat sampai ditempat kerja. Berbeda halnya dengan kendaraan roda empat yang harus rela ngantri lebih lama, hal ini dimungkinkan oleh padatnya kendaraan dikota-kota besar.
Sudah setengah jam Perdana menghabiskan waktu menyusuri jalan hingga akhirnya sampai ditempat parkir Rumah sakit. “Tepat pukul 06;45, lumayanlah lebih cepat sampai dari hari-hari sebelumnya” kata Perdana. Ia pun segera melepaskan helm yang dikenakannya dan merapikan jas yang dipakainya, sesekali ia melihat bayangan dirinya dikaca spion, setelah merasa rapi. Perdana pun melangkahkan kaki meninggalkan tempat parkir dan memasuki pintu depan masuk Rumah sakit.
“Perdana!!! Tunggu donk” sapa seorang wanita cantik berambut panjang yang sedang memarkir sepeda motornya. Ternyata wanita tersebut memang sengaja membuntuti Perdana. Pasalnya ia begitu mengenal sosok laki-laki yang ia ikuti dari belakang, jln. Perempatan Masjid, disanalah wanita tersebut berpapasan langsung dengan sosok laki-laki yang ia rasa dikenalnya itu. Sebut saja namnya Naolie. Teman dekat perdana saat duduk dibangku kuliah. Mereka sama-sama alumni sebuah perguruan tinggi negeri dikota Mataram. Sudah lama mereka berpisah. Wisuda adalah pertemuan terakhir mereka. Sejak itulah mereka tak pernah bertatap muka lagi. Namun tidak disangka-sangka, ternyata pagi itu adalah pertemuan mereka untuk kesekian kalinya, seolah-olah pertemuan pagi itu telah mampu memoar kisah kenangan masa silam yang pernah mereka torehkan sebelumnya didalam buku kehidupan.
“Eh Naolie, Apa kabarnya? Kok Tumben kita bertemu yach? Kelihatannya gak jauh beda seperti dulu. Melamar kerja dirumah sakit ini juga yach?” sambut perdana saat berjalan berdampingan dengan Naolie dipintu Depan Rumah sakit. “Alhamdulillah Kabar Baik. Iya nich, Tumben Banget kita bertemu, sudah sejak lama kita berpisah. Kayaknya sudah satu tahun lebih waktu telah memisahkan kita. Naolie melamar kerja ditempat ini juga. Paman Naolie meminta untuk ikut memasukkan surat lamaran. Kamu tahu gak, Perdana bakal bertemu dengan paman naolie diruang wawancara nantinya. Maklumlah beliau yang jadi Ketua Tim Rekruitmen.” Jawab Naolie menimpali dengan ramah, sesekali dibarengi senyum penuh kegirangan karena Tuhan telah mempertemukan sahabat karib yang telah terpisah oleh dentingan waktu yang tidak pernah berhenti barang sedetikpun. Satu tahun telah berlalu, bukanlah waktu yang singkat, wajar saja pertemuan pagi itu membuat embun kebahagiaan membasahi jiwa mereka berdua hingga membuat mereka mampu merasakan kebahagiaan yang pernah tertorehkan, disuguhkan kembali dalam masa dan waktu yang berbeda.
“Ooooo, begitu! Jadi paman Naolie yang bakal menjadi tim investigasi” celetuk perdana. “Yeee Bukan tim Investigasi kaleee, beliau bukan Polisi kok.” Kata naolie. “Cuma Canda kok, jangan diambil hati. Oya, Ngomong-Ngomong Naolie Tinggal dimana sekarang?” Tanya perdana, mencoba menghangatkan suasana.
“Saya sekarang Tinggal sama paman dijalan Terontong nomor 45A. Dekat-dekat Rumah sakit ini kok. Kapan kamu mampir kerumah?” lanjut Naolie. “Nggak tahu kapan. Nggak berani janji. InsyaAllah kalau ada waktu.” Jawab perdana sambil menatap wajah naolie. Sosok wajah wanita cantik yang begitu indah untuk dipandang. Apalagi bagi seorang Perdana yang masih menyimpan Rasa terhadap sahabat dekatnya itu. Bagi Perdana, sosok Naolie adalah wanita idaman. Namun sampai hari ini, dia; perdana, tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung. Dia begitu takut untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya tersirat dalam isi hatinya. Entah mengapa hal itu begitu sulit untuk ia lakukan, padahal Naolie sudah sejak lama ia kenal dan hubungan mereka sudah terlihat dekat sejak acara OPSPEK digelar. Maklumlah, acara OPSPEK memang bertujuan untuk meningkatkan kedekatan hubungan antara mahasiswa yang satu dengan lainnya agar mereka mampu berinteraksi satu sama lain, walau terkadang acara OPSPEK mampu membuat jalinan emosional semakin dekat antara dua insan yang berbeda, bahkan lebih dekat lagi. Setelah gelaran acara OPSPEK selesai, pertemuan mereka tidak terhenti sampai disana, terkadang mereka bertemu diruang kelas yang sama, bahkan mereka Pernah berkumpul dalam Diskusi kelompok hingga membuat jalinan persahabatan diantara mereka semakin dekat, seolah-olah tidak ada dinding pemisah yang begitu bermakna.
Pagi itu adalah moment yang teramat penting untuk memoar kembali kisah kenangan masa lalu. Namun apa mau dikata, waktu yang singkat bukanlah waktu yang tepat untuk sharing bersama; menceritakan segala kenagan yang pernah ada.
Mentari pagi sudah menaiki tangga cakrawala, walau demikian, suasana dingin masih saja enggan menanggalkan diri dari kulit. Rasanya begitu nyaman untuk tetap memakai jas atau pakaian yang mampu membuat kehangatan bagi tubuh. Dirumah sakit itu sudah terlihat ramai, maklumlah diramaiakan oleh para kontestan pelamar kerja yang sudah siapakan diri untuk mengikuti wawancara sesi kedua penerimaan calon pegawai baru ditambah lagi oleh ramaianya keluarga pasien yang sedang menunggu anggota keluarga yang dirawat diruang inap Rumah Sakit. Perdana dan Naolie berjalan berbarengan menaiki tangga, sesekali terlihat senyuman menghiasi wajah mereka. Tidak terasa mereka sudah sampai dilantai Tiga, tempat dimana wawancara akan dilakukan oleh pihak penyelenggara Rumah Sakit. Tepat pukul 07;30, acara dimulai, satu persatu peserta memasuki ruangan untuk menghadapi beragam pertanyaan sekaligus pernyataan yang diajukan oleh tim penguji, layaknya sidang uji karya ilmiah sebagaimana dikampus.
“Naolie…!!” Panggil seorang petugas didepan pintu ruang wawancara. “Iya pak” jawab Naolie sambil memeriksa barang bawaannya, barangkali ada sesuatu yang tertinggal. “Naolie masuk ruangan dulu yach, nanti kita bareng pulangnya. Okey.” Pesan Naolie kepada Perdana sembari melapas senyuman manis kearah Sahabat yang sedang duduk didepannya itu. “Iya, InsyaAllah, nanti kita bareng Pulangnya. Selamat berjuang yach, tetap semangat. Semoga Sukses, Okey” Jawab perdana, menimpali Naolie dengan lembut sembari melepas senyum kepada Naolie yang sedang beranjak pergi meninggalakan bangku diruang tunggu dimana mereka menghabiskan waktu berdua untuk memoar kisah kenangan masa lalu sambil sesekali menceritakan angan-angan dan impian masa depan.
Tidak terasa Mentari sudah sampai pada puncaknya, embun pagi yang tadinya masih menyemaikan diri diatas pucuk dedaunan telah sirna tanpa menyisakan sedikitpun sisa. Kini terlihat daun yang berfotosintesis dengan cahaya matahari untuk menerima suplai makanan dan beragam peroses alamiah lainnya. Siklus alam yang sangat indah, seolah-olah alam benar-benar sedang berpesan bahwa keindahan itu seyogyanya tersiratkan dalam pesan alam, tanpa suara namun ia selalu ada untuk mengajarkan manusia betapa sempurnanya penciptaan.
“Perdana…!” Panggil Naolie. Seketika itu perdana mengarahkan kepalanya kearah suara. Ternyata Naolie sudah lama menunggu diruang tunggu, disebelah kanan ruang wawancara diselenggarakan, ternyata Naolie benar-benar menunggu Perdana selesai diwawancarai oleh tim penguji, sebagaimana janji mereka untuk betemu kembali dan pulang bersama.
“Bagaimana Wawancaranya tadi?” Tanya Naolie. “Alhamdulillah Lancar. Oya paman Naolie yang mana yach? Tadi diruang wawancara terlihat tiga orang laki-laki paruh baya, saya memperhatikan mereka, kelihatannya tidak ada wajah satupun diantara mereka yang mirip sama Naolie.” Jawab Perdana, mengomentari pertanyaan Naolie. “Syukurlah, semoga saja kita berdua bisa diterima kerja dirumah sakit ini. Mana mungkin wajah cantik Naolie mirip sama mereka, Naolie masih muda sedangkan mereka sudah keliahatan tua. Iya khan?” jawab naolie dengan PDnya. “Paman Naolie yang duduk ditengah. Masih ingat wajahnya khan?” lanjut Naolie. “InsyaAllah saya Masih Ingat betul wajah beliau.” Jawab Perdana.
Sambil berjalan beriringan menelusuri lorong rumah sakit, mereka terus melanjutkan percakapan. Seolah-olah pertemuan mereka saat itu telah menghapus tandusnya jiwa diantara mereka berdua, sesekali canda dan tawa menghiasi kebersamaan mereka saat itu. “Kita Makan siang dulu Yuuuks, ntar Naolie yang teraktir. Mau apa nggak” Ajak naolie. “Kita makan dimana? Gemana saya saja yang teraktir Naolie? Gak enak kalau cewek yang teraktir. Oya, jangan-jangan teraktirannya sebagai hadiah Ulang tahun Naolie minggu lalu. Benar gak?” jawab perdana menimpali sosok wanita cantik yang sedang berjalan berdampingan dengannya saat itu. “Gak apa-apa kok Naolie yang teraktir. Oya, kok Kamu masih Ingat hari ulang Tahun Naolie?” Tanya naolie. “Alhamdulillah masih ingat kok. Nggak mungkin lupa Ulang tahun sahabat sendiri. Selamat Ulang Tahun Yach. Semoga Naolie panjang umur dan diberikan kesuksesan dalam menggapai segala impian, asa, cita dan cinta untuk menyongsong hari esok yang lebih cerah, sekaligus membahagiakan. Oya, hampir lupa, semoga mendapat jodoh yang baik hati plus pengertian sekaligus jadi imam bagi Naolie untuk selama-lamanya. Amin!” kata Perdana sembari melepas senyum setelah mendoakan sahabatnya, sekaligus cewek yang di-idam-idamkan selama ini, namun tak pernah ia ungkapkan isi perasaannya itu, kecuali ia simpan sendiri, hanya dia dan Tuhan yang tahu apa sebenarnya tersiratkan dikedalaman sana; didalam jiwa.
“Terima kasih banyak atas doanya. Tidak ada seorangpun yang pernah mengucapkan doa selengkap ini. sekali lagi terima kasih banyak yach, semoga doanya terkabul dan bahagiapun akan selalu menyertai setiap langkah Perdana. Amin.” Jawab Naolie. “Gemana kalau kita makan dikantin Rumah sakit, jaraknya gak begitu jauh kok. Okey!” lanjut Naolie. “Okey dech, special menu Ulang Tahun yach.” Celetuk perdana. “okey dech, terserah Perdana Pesan menu apa, Naolie bakal pesan menu yang dipesan Perdana. Naolie ikut-ikut saja dech.” Jawab Naolie seraya tersenyum manja. Kebahagiaan tidak terkirakan terlihat dari wajah Naolie, seakan-akan sedang memancarkan cahaya terang sebuah pengharapan yang sekian lama ia pendam. Namun rasa malu mampu menutupi seluruh harapannya itu, menyelimuti seluruh pesan rahasia yang tak seorangpun mengerti apa yang sebenarnya tersiratkan, Hanya Tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terpendam dalam-dalam. Barangkali rasa cinta sedang menyelimuti hatinya, sama seperti Perdana menyimpan Rasa cinta yang selama ini ia pendam dalam-dalam, jauh didalam labirin jiwa dikedalaman sana.
Persahabatan yang sudah sejak lama mereka bangun telah menghadirkan seribu warna indah yang tak akan mampu digoreskan oleh seorang Pelukis handal, walau sekaliber Leonardo Da Vinci, pelukis Monalisa yang sangat terkenal itu, karyanya sampai sekarang masih membumi dikalangan para seniman dunia. Adalah cinta ikut menyemaikan diri ditengah persahabatan mereka yang sudah terjalin indah bagaikan ikatan antara dua kutub yang tidak mungkin terpisahkan. Walau tidak pernah disampaikan dalam bentuk ukiran kata-kata, namun cinta tetaplah memiliki bahasa tersendiri untuk menyampaikan dengan bahasa cinta itu sendiri. Rangkaian kata adalah sebagian kecil diantara mutiara cinta yang selama ini diartikan sebagai cinta sesungguhnya oleh kalangan remaja. Dalam persahabatan, selalu saja ada ikatan cinta, terkadang pula cinta dalam bentuk lain menyemaikan diri hingga mempersatukan dua insan dalam sebuah kedekatan yang sulit terpisahkan atau bahkan tidak akan mungkin terpisahkan.
Barangkali ada benarnya apa yang disampaikan oleh seorang sastrawan terkemuka seperti Kahlil Gibran, “Cinta tak pernah datang terlambat ataupun terburu-buru, tetapi cinta selalu datang tepat pada waktunya. Jangan pernah kau kira cinta datang dari keakraban yang lama atau pendekatan yang tekun. Sesungguhnya Cinta adalah kecocokn jiwa dan jika itu tidak pernah ada, cinta tak akan tercipta dalam hitungan tahun millennia.” Bahasa jiwa selalu saja hadir untuk menyatukan dua insan seperti Perdana dan Naolie. Walau tanpa harus diungkapkan, sesungguhnya rasa itu akan mampu terbaca suatu hari nanti, entah itu hari esok, lusa atau mungkin tahun depan, bahkan dalam hitungan waktu yang relative lama. Tuhan tahu waktu yang tepat karena Dialah Yang Maha Tahu segalanya.
Kini senja telah memancarkan warna mega kuning diatas langit. Cahaya temaran telah menyibak garis kehidupan dihari itu. tinggalah kegelapan menggantikan cahaya terang Sang Mentari. Petang itu telah memisahkan dua sahabat yang sudah lama tenggelam dalam kurun waktu yang cukup lama, namun tak mampu mengurung bahasa hati yang sudah sekian lama memancarkan vibrasi bahasa kasih diantara Naoli dan Perdana.
Suasana Malam yang dingin membuat Perdana Enggan untuk keluar dari kamar kostnya. Ia teringat pertemuan pagi itu. masih terbayang apa yang pernah ia torehkan selama seharian. Rasa-rasanya masih segar dalam ingatan. sambil menatap langit-langit kamar, tebayang olehnya kenangan masa lalu yang pernah tergoreskan. Seolah-olah langit-langit kamar telah berubah menjadi layar lebar, memutar kembali kenangan masa lalunya bersama teman-teman dekat saat duduk dibangku kuliah, termasuk juga ingatan yang tak mungkin terlupkan kepada sosok wanita cantik yang tadi pagi menemaninya selama seharian. dalam lamunan yang terus berputar, Dalam hati kecil ia bergumam penuh harapan, “Semoga saja Naolie menerimaKu apa adanya. Mungkin bukan saatnya aku ungkapkan segala isi hati ini, namun suatu saat nanti aku akan menceritakan semua kerinduan ini yang tak mungkin hilang dalam imajinasi jiwaku ini. InsyaAllah kalau sudah diterima kerja, ku coba untuk melamarnya, barangkali orangtuanya akan menerimaKu apa adanya.” bisikan itu semakin jelas terdengar, ditambah oleh senyum ketulusan yang membingkai dipipinya. “Barangkali Naolie juga menyimpan rasa seperti Aku menyimpan rasa terindah dalam hidup tentang dirinya.” Lanjut perdana, menasihati diri dengan pengharapan pada tuhan, dia berharap untuk bisa hidup bersama seorang sahabat yang ia kenal begitu baik dalam hidupnya.
Next Story…..
Dalam malam berteman keheningan ditengah kegelapan yang menyelimuti, Rembulan memancarkan pesona cemerlang bertahtakan bintang-bintang angkasa, terangkai indah didalam bingkai semesta, menyanyikan lagu sendu, mengantarkan insan dalam tidur lelapnya. Sosok laki-laki bertubuh kurus berdiri tegak ditanah lapang, balutan mantel tebal mengurung tubuhnya. Laki-laki itu terlihat sedang menatap lepas ke atas angkasa, seakan-akan ekor matanya itu tak mau luput dari setiap keindahan yang terpancar dari benda angkasa, barangkali ada bintang jatuh saat impian tergores dalam jiwa. Rasa-rasanya waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan hati atas apa yang sebenarnya ingin ia tampakkan dalam bingkai pengharapan ditengah bentangan kehidupan.
Hembusan angin menambah suasana dingin malam itu, Rasa-rasanya ingin sekali tubuh ini terbaring dalam balutan selimut tebal. Wajar jika banyak orang yang bilang kalau suasana dingin lebih asyik di isi dengan aktfitas In door; nonton TV, baca buku diruang keluarga, ngopi/ ng-teh bareng keluarga, dan beragam aktifitas pengusir suasana dingin lainnya atau bahkan sebagian besar orang akan lebih memilih tidur lelap ketimbang mengigil menahan derita dibalik baju tipis yang mereka kenakan.
Diluar sana, ditanah lapang, laki-laki bertubuh kurus itu masih tetap saja membisu tanpa sepatah kata yang terucap dari mulutnya. Terlihat gumpalan uap membumbung setiap kali ia bernafas. Sesekali ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku sembari wajahnya menatap bintang dikejauhan sana. Coba lihat, betapa indahnya pancaran bintang saat langit malam lepas dari kungkungan awan hitam ataupun putih yang menutupi tiang-tiang langit, terbebas dari balutan awan yang mengisi setiap inci diatas langit sana. “Subhanallah (Maha Suci Allah SWT)” gumam laki-laki itu dalam hatinya yang paling dalam.
Pandangan sorot matanya masih terfokus menikmati indahnya pesona kerlap-kerlip bintang angkasa, seakan-akan benda-benda angkasa itu sedang menyapanya dengan sebuah senyuman atau mungkin sedang menghipnotis dirinya hingga membuatnya enggan meninggalkan panorama alam saat mentari masih tertimbun oleh cahaya rembulan diufuk timur sana . Namun bagi sebagian orang, menikmati malam dalam suasana dingin akan lebih asyik didalam ruangan yang hangat ditemani selimut tebal, apalagi malam sudah menginjakkan waktu paruhnya disisa-sisa akhir peraduannya diatas bentangan cakrawala langit malam. Susana kota Mamben terlihat lengang, barangkali benar apa yang dikatakan oleh ahli Meteorologi dan Geofisika itu; dingin sangat berpengaruh pada pola sikap setiap orang. Apalagi akhir-akhir ini suasana dingin selalu saja menemani kota Mamben saat menjelang Malam dan Saat pagi masih berselimutkan embun diatas rerumputan tanah lapang.
Selama Lima hari ini, Perdana menghabiskan sisa-sisa malam ditanah lapang, didepan sebuah Rumah kost tempat ia tinggal. Tidak seperti biasanya, setelah ia melewati test wawancara lima hari lalu, ia seringkali terlihat didepan kost, diseberang jalan. Tanah lapang yang biasanya dijadikan tempat bermain bola anak perumahan tempat ia tinggal adalah tempat pilihan untuk bisa menatap bintang dan rembulan saat purnama menyapa dipertengahan bulan hijriah. Raut wajahnya menampak harapan yang begitu tinggi atas hasil ujian seleksi masuk pegawai baru disalah satu Rumah Sakit ternama dikota Mamben. Terkadang saat sebelum tidur, Perdana terlihat berdiri diatas sisa pundukan tanah diujung tanah lapang tersebut, terkadang pula ia terlihat disisa malam terakhir, saat setelah selesai menunaikan sholat malam; Sholat Tahajjud.
Dalam keyakinannya Perdana, sholat ditengah malam saat orang tertidur pulas adalah waktu yang paling tepat untuk menggantungkan setiap harapan kepada Sang Khalik, pun juga untuk meningkatkan intensitas kedekatan kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Semua itu tidak hanya ia lakukan saat sedang menjalani sebuah test atau ujian tertentu, kebiasaan bangun malam sudah menjadi tradisi dalam kehidupan Perdana, seakan-akan kebiasaan bangun sholat disepertiga malam adalah kebiasaan yang sudah menjadi karakter dirinya.
Selama ini ia berharap agar bisa diterima bekerja disalah satu Rumah sakit terbesar dikota Mamben, kota yang menjadi icon Prekonomian dan perdagangan terbesar diProvinsi Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, Perdana begitu sangat menggantungkan harapan besar untuk bisa hidup mandiri, pun juga untuk bisa menghidupi tiga saudaranya yang masih bersekolah didesa Senggauan, desa kecil yang dikenal masyarakat dengan nilai-nilai budayanya yang masih utuh, walau letaknya tidak begitu jauh dari kota Mamben, desa Senggauan masih bisa mempertahankan nilai-nilai luhur nenek moyang dalam konteks kemasyarakatan secara keseluruhan. Jaraknya juga tidak begitu jauh dari jantung kota, sekitar satu jam perjalanan dari kota, anda sudah sampai bisa menapaki langkah didesa Senggauan.
Perdana menjadi tulang punggung keluarganya saat setelah sepeninggal Ayahnya satu tahun lalu. Disamping itupula, ia selalu berharap untuk bisa melamar Naolie, menjadikannya sebagai kekasih hati didalam ikatan rumah tangga yang sah. Naolie, wanita cantik berambut panjang dengan pesona wajah ovalenya itu, sahabat dekat Perdana saat duduk dibangku sekolah. Sahabat yang pernah bertatap muka dengannya saat gelaran tes interview dirumah sakit, Lima hari yang lalu. “Besok pagi adalah hari penentu atas usahaku selama ini, semoga besok aku terpilih menjadi pemenang untuk bisa diterima bekerja dirumah sakit, pun juga sebagai awal untuk memulai hidup yang baru. Amin…” gumam Perdana dalam hati sembari menitipkan beberapa baris doa ditengah malam saat orang-orang tertidur pulas.
Suara Adzan mendayu-dayu dari atas menara masjid, memanggil setiap insan untuk kembali bersimpuh dihadapan tuhannya. Memanggil setiap jiwa yang berharap pengampunan dan kasih sayang Sang Pencipta, creator Semesta yang sangat indah ini. Tidak hanya itu, suara puji-pujian mengisi ruang semesta, menghentakkan kesadaran manusia yang sedang asyik menikmati indahnya mimpi-mimpi dibalik belaian mesra Selimut tebal yang mereka kenakan untuk menemani tidur semalaman.
Perdana beranjak dari tempat tidurnya, menyingsingkan baju mantel yang ia kenakan setiap kali beranjak dari kost menuju tanah lapang untuk menikmati keindahan alam saat malam menginjakkan kakinya diatas muka bumi. Ia melangkahkan kakinya ke kamar mandi yang lokasinya tidak jauh dari tempat tidurnya.
“Dreeeeeenggg-Dreeeenggg” suara pintu kost terbuka dipagi buta. Ternyata Laki-laki kurus berbalutkan busana muslim membuka pintu kost, entah itu siapa, namun wajah itu semakin terlihat jelas ketika melewati tiang lampu yang terpasang dekat musholla. “Mas Perdana…” sapa pak Amin, salah seorang laki-laki separuh baya yang biasa menghabiskan sisa hidupnya dimusholla Alqona’ah. Tempat ibadah yang biasanya Perdana Kunjungi setiap kali ada panggilan waktu sholat telah tiba karena jaraknya tidak begitu jauh dari tempat kostnya itu, musholla kecil dengan daya tampung sekitar tiga puluh orang dewasa. Adalah kebanyakan manusia sekarang yang terlena dengan kehidupan dunia, musholla yang seharusnya dipenuhi jama’ah, namun ternyata musholla itu hanya di isi oleh segelintir orang yang masih bisa dihitung batang hidungnya.
Suasana pagi mulai terasa saat sinar mentari telah menjunjung tinggi cahaya temaran diufuk timur dikejauhan sana, menyingsing gelap menjadi terang benderang. Sisa embun semalaman masing bergeming diatas rerumputan, menyemaikan kerinduan diatas bunga mawar kehidupan yang tumbuh dipekarangan rumah persinggahan. Seakan-akan sinar mentari kali ini inginkan manusia bertumbuh dalam kehangatan kasih untuk terus belajar berharap pada setiap impian ditengah perjalanan menapaki kehidupan. Begitupula dengan Harapan yang bersemai didalam diri Perdana.
Pagi ini Perdana ingin melihat langsung hasil usaha yang telah ia kibarkan selama ini diatas tiang kehidupan yang menjulang tinggi, pun juga untuk menyuguhkan harapan cinta bagi Naolie, sosok sahabat yang ia kenal baik, sosok wanita tempat Perdana menambatkan harapan cinta untuk bisa hidup bersama. Tahukah engkau sahabat; Sinar mentari pagi ini tidak hanya ingin menatap senyuman dikala ia mengawali langkah diatas pijakan kehidupan, pun juga tuk persembahkan kado kebahagiaan untuk Perdana, untuk kita, dan juga mereka agar pesona warna indah kehidupan ini selalu terlihat merona disetiap harinya.
Pagi itu, Perdana tersenyum merekah menghiasi pipinya. Kebiasaan harian yang tak pernah terlupakan setiap mengawali kehidupan; mengawali aktifitas harian, dan mengawali seluruh asa sejak mentari telah bertengger diats cakrawala. Dengan semangat baru dalam menanti sebuah pencapaian disegenap harapan, ia mengenakan baju kebesaran ala pegawai kantoran. Baju berkerah dengan balutan jas diluarnya menambah rupawan sosok seorang Perdana yang khas dengan mata sipit ala artis korea yang banyak digemari oleh kaum hawa. Sesekali ia menatap cermin yang terpampang didekat meja belajarnya untuk merapikan rambutnya yang sudah dilumuri gel conditioner. “Sudah kelihatan Rapi nich, gak bakal minder ketemu keluarga Naolie.” Gumam Perdana dalam hati. Pagi ini, Perdana sudah siap mengantongi dua rencana sekaligus buat mengisi aktifitas harian; melihat hasil pengumuman penerimaan seleksi masuk pegawai dan karyawan di Rumah sakit dan juga berkunjung ke rumah keluarga Naolie di jln. Terontong No. 45, Kompleks Perumahan besar yang lokasinya tidak jauh dari Lokasi Rumah sakit.
“Bismillah…” Ucap Perdana mengawali langkah kakinya, membuka pintu gerbang kost sambil menggenggamkan tangan penuh percaya diri. Tak luput senyuman kecil menghiasi pipinya. Sudah menjadi kebiasaan dalam hidupnya dan tidak akan mungkin terlupakan. Apalagi kebiasaan baik itu adalah nasihat yang pernah dipesankan oleh Ayah yang sangat ia cintai. Sosok Orang tua yang selalu menanamkan bibit kebijaksanaan didalam diri setiap anaknya agar generasi penerusnya mampu berpijak ditengah kehidupan yang selalu dipenuhi ketidak pastian ini.
Suara deru sepeda motor melaju meninggalkan kost. Perdana melaju pelan menyusuri jalanan. Lagi-lagi ia harus bergelut dengan polusi udara yang sudah mengepakkan sayapnya dibeberapa ruas jalan yang sudah dipadati kendaraan masyarakat kota yang akan menghabiskan waktu harian dikantor, mall, pertokoan, pasar dan beragam tempat kerja lainnya. Laju kendaraan menyesuaikan dengan padatnya lalu lintas dipagi itu, maklumlah kota Mamben terkenal dengan padatnya lalu lintas setiap pagi, apalagi jam-jam kerja.
Perdana memasuki Pintu gerbang utama rumah sakit. Dua orang satpam memberikan komando kepada Perdana dan karyawan Rumah sakit yang baru saja datang untuk segera membelokkan sepeda motor kearah kanan, tempat parkir karyawan Rumah sakit. Perdana melepas helm warna hitam yang biasa ia kenakan, sesekali tatapan matanya mengarah ketangan kanannya, melihat jarum jam yang melekat ditangannya itu. “Tepat Pukul 07:00. Lumayanlah bisa sampai lebih cepat walau tidak seperti bisanya.” Ucap perdana. Langkah kakinya ia percepat menju pintu masuk rumah sakit. Sesekali ia menoleh karah belakang, barangkali ia bisa bertemu kembali dengan Naolie seperti minggu kemarin. Sudah setengah perjalanan ia lalui menerobos masuk rumah sakit, Namun ternyata tak jua ia dapatkan kelembutan wajah Naolie menghampirinya ataupun menyapanya pagi itu.
Dalam batinnya berharap untuk bisa bertemu kembali; bertemu wanita idaman yang terlihat seperti bidadari didalam persinggahan jiwa yang paling dalam. Pagi itu, Ia hanya melihat perawat yang mengisi ruas jalanan rumah sakit. Tak jua ia mendengar sapaan lembut dari sosok wanita yang ia kenal lama dibangku kuliah. “Kok Naolie belum juga datang yach? Mungkin Ia datang agak terlambat? Tapi mana mungkin Naolie mengulur-ngulur waktu?” beragam tanda Tanya mengisi benak dan pikiran perdana, seolah-olah sedang terjadi perdebatan tanpa ujung yang pasti, menghiasi pikirannya pagi itu. Langkah kakinya terus melaju, menapaki ruas jalan rumah sakit, melewati tangga hingga sampailah ia dilantai tiga dimana tempat yang pernah dijadikan sebagai lokasi interview. Perdana mengalihkan langkah kakinya menuju Ruang Informasi penerimaan karyawan baru dan pegawai baru; petugas kesehatan yang berhak untuk bekerja dirumah Sakit. Kertas warna putih berukuran besar menghiasi setengah dinding Rumah sakit. “Wah, kayaknya kertas pengumumannya sudah dipampang sejak kemarin.” Kata perdana. Ia mendekati lembaran kertas berukuran besar yang terpampang, matanya menyorot setiap baris Nama pegawai dan karyawan yang diterima bekerja, mengisi rumah sakit yang ternama itu. Rupanya ekor matanya belum juga menemukan nama yang cocok dengan nama yang dimilikinya.
Perdana terlihat begitu serius menatap setiap baris tulisan, namun tak jua ia melihat namanya dalam daftar yang sudah tersedia. Senyum diwajahnya mulai berubah, akan tetapi ia tetap mencoba tegar melihat apa yang sedang ia saksikan didepan mata kepala. “Rupanya saya Tidak lulus.” Beberapa kali mulutnya mengucapkan kata itu, seolah-olah ia sudah frustasi atas hidup ini. Apa mau dikata, usaha yang ia lakukan sia-sia saja. Langkah kakinya terlihat berat, seakan-akan ada beban yang mengikat diantara tungkai pergelangan kaki, seperti orang yang mengalami penyakit Hemiparese; kelumpuhan pada separuh tungkai bawah organ tubuh. Ia pun duduk tak berdaya diruang tunggu masuk yang memang tersedia disebelah kiri kanan pintu ruangan tempat selesksi gelar, minggu lalu.
“Bagaimana Mas hasil testnya, Lulus apa nggak?” Tanya wanita yang sedang duduk disebelah Perdana. Wanita cantik, mengenakan kerudung warna putih dengan balutan busana putih dari ujung kaki sampai ujung rambut. Sebut saja namanya Sarah, salah satu kandidat dokter terpilih terbaik yang diterima bekerja dirumah sakit, kota Mamben. “Nggak mbak, nama saya tidak terlampir didalam kertas pengumuman. Kayaknya saya tidak diterima bekerja dirumah sakit ini.” jawab perdana. “Mas, masih ada satu lagi lembar hasil pengumuman, barangkali belum di check. Dilembaran itu hanya tersedia calon dokter terbaik. Kalau tidak salah hanya lima orang yang terdaftar namanya. Empat diantaranya cewek, dan yang menduduki urutas teratas itu cowok sendirian. Kalau gak salah namanya; dr. Ahmad Seftiawan Perdana Kuswara Azra.”
Mendapat tuturan cewek yang ada disampingnya itu, Perdana langsung bersujud seketika itu. mendengar namanya diurutan terbaik, ia tidak bisa mengucapkan sesuatu apapun kecuali rasa syukur yang menghiasi bibir dan hatinyanya, perdana tak mampu lagi membendung rasa bahagia yang sedang begumul didalam bingkai dan palung jiwanya, ia terlihat tersenyum sendiri tanpa memperdulikan orang-orang disekitar lokasi, walau jumlahnya tidak banyak, tetap saja membuat nyali menjadi menciut jika dilihat aneh oleh mereka yang ada ditempat itu. “Mas, kenapa” Tanya Sarah, wanita yang barus saja membeberkan informasi kelulusan bagi peserta terbaik yang sudah memasukkan lamaran kerja dirumah sakit.
“Alhamdulillah saya lulus.” Jawab perdana. “Terima kasih mbak atas informasinya. oya, mbak… lembar pengumuman kandidat terpilih terbaik dimana?” lanjut Perdana, menanyakan hasil pengumuman kandidat terpilih terbaik. “disebelah pintu masuk ruang tiga tempat selesksi, disana ada papan pengumuman. mas bisa lihat langsung kok, ada lembaran kertas warna keemasan.” jawab wanita itu. Perdana langsung saja beranjak dari tempat duduknya, tanpa pikir panjang, ia langsung melangkah ketempat yang ditunjuk Sarah, wanita yang ia kenal telah mampu membangkitkan semangat dalam hati jiwa perdana setelah mendengar tutur ceritanya saat itu. senyuman merekah menghiasi pipi Perdana saat menatap lembar warna keemasan yang terpampang disebelah pintu masuk ruang tiga, disana terpampang kotak pengumuman, termasuk didalamnya terpampang kandidat terpilih terbaik yang berhak bekerja dirumah sakit.
Saat setelah melihat langsung dengan mata kepala sendiri, Perdana kembali lagi ketempat wanita yang telah memberikannya informasi gratis atas kelulusannya itu; “Terima kasih banyak, Mbak. Saya kira saya tidak diterima kerja ditempat ini, tapi ternyata saya salah. Seharusnya saya melihat dulu pengumuman tanpa melewatkannya satupun. Tapi sykurlah mbak membeberkan informasi yang sebelumnya saya tidak tahu sama sekali.” Kata perdana kepada Sarah.
“Selamat yach! Mas, sudah terpilih menjadi yang terbaik. Saya hanya bisa mengucapkan selamat atas prestasi yang sangat memuaskan yang mas raih. Saya iri melihat kebahagiaan mas saat ini. Terus terang saja, saya merasa menjadi nomor dua setelah melihat hasil pengumuman, tapi mau gemana lagi, saya juga harus bersyukur bisa diterima ditempat ini.” kata Sarah, mencoba menghangatkan komunikasi pagi itu. “Wah,,, berarti dr. Sarah Ayasha Elisha Amani Leilani itu nama mbak yach? Namanya Panjang banget. Panggilan akrabnya apa mbak?” Tanya Perdana sambil menatap wajah wanita yang sedang duduk disebelahnya itu, seolah bahasa tubuhnya ingin menunjukkan rasa keakraban sekaligus ucapan terima kasih. “Mas bisa panggil apa saja, Ayasha boleh, Elisha juga boleh. Tapi lebih akrab dipanggil Sarah oleh teman dekat, juga keluarga.”
“Waaah, Nama yang bagus mbak.” Celetuk Perdana kepada teman barunya itu. “Mas juga, namanya panjang banget, apalagi tertulis diurutan pertama. Lebih bagus lagi khan.” Lanjut Sarah menimpali pujian yang dilontarkan Perdana. Percakapan mereka mulai terasa hangat, keakraban memang belum terlihat nampak jelas karena mereka baru saja saling mengenal satu sama lain. Sebagaimana pesan orang bijak dalam sebuah tuturan; adalah awal pertemuan secara baik-baik akan berakhir dalam sebuah bingkai kebaikan. Mereka berdua diterima kerja dirumah sakit itu, sedangkan kandidat terbaik urutan ketiga; Naolie harus rela meninggalkan kota mamben untuk kembali ke kota mataram karena harus bertugas ketempat asal dimana ia ditugaskan. Pun juga kandidat terbaik lainnya yang memang harus dengan ikhlas menerima putusan untuk bekerja dirumah sakit yang tersebar diProfinsi NTB.
Suasana Rumah sakit terlihat mulai ramai, apalagi jam besuk pasien sudah dibuka oleh petugas jaga dipintu masuk Rumah sakit. Perdana terlihat meninggalkan pintu masuk rumah sakit, pun juga meninggalkan teman barunya itu; Sarah, untuk berpisah sementara waktu karena kesibukan masing-masing yang tidak mungkin terelakkan. Tentu saja niatan Perdana untuk berkunjung kerumah keluarga Naolie tidak mungkin terelakkan dan terlupakan. Sesuai rencana, ia tidak langsung beranjak pulang menuju Kost, Perdana justru mengalihkan arah perjalanannya menuju Perumahan Elit dijalan Trontong No 45A, Tempat tinggal paman Naolie dan keluarga.
Sudah sejak awal perdana menunggu kedatangan Naolie dirumah sakit, namun ternyata waktu tidak mengizinkan pertemuan mereka. Entah apa yang sedang terjadi pada Naolie hingga ia tidak datang untuk melihat langsung hasil perolehan akhir setelah melewati tahapan sleksi masuk yang sangat ketat itu. Niatan dalam bathin Perdana semakin terdengar keras, seolah-olah suara itu benar-benar terdengar ditelinganya membuat tangannya dan seluruh anggota gerak tubuhnya terkendali secara penuh oleh keinginannya bertemu Naolie dan keluarganya di Perumahan Elit, jln. Terontong No. 45A.
Tidak terasa pencariannya selama setengah jam telah membuahkan hasil, Rumah yang ia cari ternyata letaknya diujung Rumah Megah Lainnya. Terdapat didepannya hiasan pohon-pohon yang menjulang tinggi, dibatasi oleh dinding-dinding yang tinggi. Kelihatannya seperti hotel berbintang lima, wajar saja, Perumahan elit tersebut dihuni oleh mereka yang memiliki Uang banyak, kaum jetset dan para pengusaha terkenal lainnya. Sesekali Perdana menatap pintu gerbang yang terpampang didepan rumah, namun ternyata tak jua ia melihat penghuninya. “Dreeengg-Dreeeng-Dreeeng..” Suara bel Rumah berbunyi keras hingga terdengar oleh Perdana. Sejenak ia menunggu, dari pojokan rumah, terlihat laki-laki berbaju sederhana ala kadarnya menuju pintu gerbang lantas membuka jeruji besi berukuran besar itu. “Cari Siapa Mas” Tanya tukang Kebunnya paman Naolie. “Apa benar ini Rumah Pak Danial Elyawan Attamimi, Pamannya mbak Naolie.?” “Iya Mas, benar sekali.” Silahkan Masuk, lanjut Tukang kebun Pak Danial sambil membungkukkan tubuhnya pertanda rasa hormat terhadap tamu yang berkunjung kerumah Pejabat Tinggi dirumah sakit yang beberapa hari lalu menjadi Koordinator tim recruitment calon pegawai dirumah sakit kota Mamben (RSM).
Tanpa menunggu lama, seorang laki-laki paruh baya menghampiri Perdana lantas melepas senyum kepada tamu yang berkunjung kerumahnya itu. “Mas Perdana, temannya Naolie?” Sapa Pak Danial membuka percakapan. “Enggih Pak.” Jawab perdana sambil menundukkan kepalanya. Seolah pertemuan mereka siang itu sudah terjadi berkali-kali. Terlihat dari keakraban yang terjalin diantara pak Danial; tuan rumah dengan perdana, tamu sekaligus kandidat calon pegawai minggu lalu yang diwawancarainya itu. Komunikasi terasa mengalir diantara mereka, sesekali terlihat senyuman lepas menghiasi pipi mereka berdua.
Tiba-tiba saja Pak Danial mengucapkan sepatah kata yang membuat Perdana semakin menaruh rasa hormat pada Omnya Naolie; Pak Danial, “Selamat Mas, atas kerja keras anda selama ini, Anda memang layak menjadi dokter tetap yang bekerja dirumah sakit.” Kata laki-laki paruh baya itu memaparkan hasil seleksi masuk yang sudah digelar beberapa hari yang lalu. “Beberapa hari yang lalu Naolie cerita banyak tentang Mas, dan dia berpesan sama om, kalau nanti ada tamu yang berkunjung, mohon dipersilahkan masuk dan disambut secara kekeluargaan. Kurang lebih begitu pesannya tiga hari yang lalu sebelum ia berangkat balik ke Mataram.” Lanjut Pak Danial. “Pak, Saya bersyukur jika kedatangan hari ini disambut secara kekeluargaan. Sebelumnya saya minta maaf jika saya terlalu lancang untuk harus mengucapkan niatan kedatangan saya hari ini. sebenarnya maksud kedatangan kerumah bapak tidak lain untuk bisa melamar dr. Naolie, keponakan bapak. Sebenarnya niatan ini sudah lama saya rencanakan sebelumnya. Namun rasanya tidak begitu pantas untuk melamar dr. Naolie jika belum memiliki pekerjaan tetap dan Alhamdulillah hari ini sudah diterima menjadi dokter tetap dirumah sakit, perkenankanlah untuk bisa melamar keponakan bapak.” Ucap Perdana dengan penuh rasa hormat dan sopan santun.
“Oooowh, Mas perdana ada-ada saja nieh. Kami sebagai keluarga sangat bangga atas keberanian mas untuk datang melamar Ponakan Kami. Kami sangat menghargai siapapun yang melamar Naolie apalagi Mas perdana yang memiliki potensi yang sangat Luar biasa. Terus terang saja, kami sangat bangga dengan Mas Perdana yang memiliki segudang prestasi yang layak diacungi jempol, disatu sisi ada harapan agar ponakan kami bisa hidup dengan laki-laki sebaik Mas Perdana. Namun pada kenyataannya goresan takdir berkata Lain, Dua Hari yang lalu, Naolie dilamar sekaligus gelaran acara pernikahan dengan anaknya Pak Ardian, Sahabat dekat Ayahnya Naolie. Karena memang Ayahnya Naolie memaksakan untuk menikahkan Naolie dengan anak sahabatnya itu. Sebenarnya kami tidak menginginkan hal itu terjadi karena Naolie memiliki pilihan tersendiri atas hidupnya. Tapi Yaaa begitulah… semua sudah terjadi.” Papar Pak Danial kepada Perdana dengan penuh perasaan, seakan-akan ia mengerti betul apa yang sesungguhnya sedang bergejolak dihati Perdana, sama seperti masa hidupnya masa lalu saat masih Muda. “Mas Perdana harus tabah menerima semua ini, barangkali Mas perdana akan dipertemukan Tuhan dengan wanita yang lebih baik dari ponakan kami; Naolie.” Lanjut pak Danial, mencoba untuk menenangkan perasaan Perdana yang saat itu sedang terjatuh dalam lumpur keterputus asa-an.
Mendengar tutur ceritra pak Danial, seakan-akan perdana sedang mendengar hempasan petir dari atas semesta disiang bolong, rasa-rasanya hati Perdana ingin memuntahkan segala teriakan bathin yang membuatnya terpenjara. Bagaimana tidak, wanita yang selama ini ia harapkan menjadi pendamping hidupnya telah sepenuhnya dimiliki oleh orang lain. Tidak ada secarik kertas undangan pun yang ia terima dari Naolie. Entah mengapa, namun apapun jua, begitulah kehidupan sedang bercerita. Tidak selamanya orang yang kita cintai akan menjadi milik kita dikemudian hari. Mungkin tuhan sedang mengajarkan arti sebuah pengorbanan, kerelaan dan penerimaan secara tulus atas apapun yang terjadi ditengah bentangan kehidupan ini.
Wajah muram tak berdaya, langkah kaki pun tak kuat melangkah barang setapak untuk menapaki setiap pijakan diatas bumi. Perdana seakan-akan terkena himpitan kehidupan yang begitu kuatnya. Seolah-olah ada beban yang masih tertumpuk dibahunya. Bayangkan saja bagaimana perasaannya saat itu. harapan yang sekian lama terpendam telah pupus ditengah jalan. Hari itu ia mendapat kabar bahagia, hari itu juga ia harus menerima kabar derita yang membuat dirinya tak mampu lagi bersua. Impian yang selama ini bersemai dalam jiwanya telah runtuh dan sirna tanpa sisa sedikitpun dalam bingkai jiwanya. Kesedihan tak luput dari tangisan dan terikan jiwanya, membuatnya menangis dalam hati.
Tidak disangka-sangka, Ternyata Naolie telah bersanding diatas altar bersama orang yang tidak ia cintainya, menanggalkan semua kenangan yang pernah ia torehkan ditengah kehidupan bersama sahabat dekatnya itu; Perdana. Pun juga menyingsingkan cinta yang telah merasuki jiwa mereka berdua. Apa mau dikata, Harapan orang tua tetaplah bertekuk pada harapan yang mereka impikan walau harus menapikan segala harapan yang terbungkus dalam jiwa anak-anaknya. Ternyata dizaman modern ini masih ada kisah kehidupan ala Siti Nurbaya, pemaksaan perkawinan hanya untuk melestarikan kekayaan dan prestise keluarga sudah menjadi budaya, walau sepenuhnya sudah ditinggalkan oleh sebagian orang, namun sesungguhnya budaya local itu masih ada dan membumi dalam diri orang tua yang mengharapkan keagungan untuk dirinya, lantas membiarkan kebahagiaan anaknya terseret arus entah dibawa kemana, atau mungkin telah hilang tanpa sisa.
Terus terang saja, kekecewaan kali ini adalah kekecewaan yang paling berat yang dialami Perdana setelah kepergian Ayahnya. Perdana hanya mampu meratap tangisan batin yang tak mampu ia seka. Dalam bathin terus berkecamuk perdebatan dalam dirinya. Begitulah respon kebanyakan manusia saat tersentuh kasih tuhan dalam kado musibah ditengah kehidupan. Terkadang manusia merasa tiada berguna disaat musibah mendera, mereka terkadang putus asa ditengah pelajaran hikmah yang mereka terima dan terkadang pula mereka menyesali lembaran hikmah kehidupan yang telah tuhan bentangkan. Padahal seyogyanya tuhan telah meyakinkan mereka akan indahnya kehidupan jika mereka memaknainya dengan pena kesyukuran.
Adalah diri kita yang sangat sulit mensyukuri setiap kejadian sebelum memaknai setiap peristiwa yang sedang membujur didepan mata. Begitupula dengan Perdana, hari ini ia tak mampu melihat apa yang sedang terjadi dalam jiwa. Barangkali esok atau lusa ia telah sepenuhnya mampu bangkit dari keterpurukan jiwa setelah ditinggal pergi Naolie; sosok wanita cantik yang telah ia kenal lama saat duduk dibangku kuliah.
Dua tiga waktu telah terlampaui, meninggalkan jejak kesedihan dihati Perdana. Malam berteman Susana dingin kala itu merangkul tubuh perdana dalam balutan selimut tebal. Membungkus tubuh serta jiwanya yang selama ini masih mencoba bangkit dari jurang kesedihan, menyeka segala tangis yang masih mengaliri relung hati. Perdana hanya bisa menatap langit-langit kamar, mencoba menghapus segala kenangan yang pernah ia torehkan. Sesekali terlintas dalam benaknya pesan dan petuah Orang tuanya saat masih menemaninya dan bersahabat dalam hidup ditengah kehidupan. “Kita boleh kehilangan semuanya didalam hidup ini, kita boleh mengalami beban yang luar biasa beratnya, tapi jangan pernah kehilangan kesabaran dan harapan. Ketika iman berbenturan dengan kenyataan, biarlah kesabaran dan pengharapan menopang hidup kita.” Pesan singkat yang sangat bermakna untuk mengingatkan kembali serta membangkitkan semangat perdana, pun juga bagi siapapun, entah itu saya, Anda dan juga mereka.
Selama ini Perdana telah banyak menelantarkan waktu, mengulur-ulurkannya untuk bisa melamar Kekasih hatinya, namun semuanya sudah berlalu dan tak akan mungkin pernah kembali lagi untuknya, ia hanya bisa bertekuk lutup pada kenyataan. Sepenuhnya ia harus merelakan apa yang telah tergoreskan dalam dunia realita seperti apa adanya. Barangkali tepat untuk kita renungkan, “Terkadang kita ingin waktu kembali lagi, terkadang pula menyesali yang sudah terjadi, hanya waktu yang bisa membuat kita sadar betapa berartinya sebuah keputusan, belajar dari penyesalan sangatlah berarti, karena penyesalan itu tidak akan pernah terjadi jika dan tak kan pernah hadir sebelum kita mengambil keputusan yang tepat untuk memulai hidup ini.”
Next Story….
Mengenang perempuan itu ibaratnya sedang melihat langsung lukisan tiga dimensi yang sedang terpampang jelas ditembok ruangan kamar. Rambut panjang berwarna hitam tersimpan rapi dibalik kerudung yang biasa ia kenakan, seakan-akan kerudung itu telah menyimpan harta karun yang sangat mahal harganya, bak lukisan Leonardo da vinci yang begitu mahal harganya sehingga hanya cukup cinta untuk bisa memilikinya lantas dipajang diatas dinding kamar untuk dinikmati keindahan yang terlukiskan. Kulit putih langsat merona bak hiasan warna pelangi disaat hujan telah menyemaikan diri diatas semesta ini, mata bening terbingkaikan dalam wajah lembut nan menawan, rasa-rasanya sulit sekali untuk dilukiskan dalam rangkaian kata-kata indah seperti rangkaian kata dalam puisi, sekalipun oleh seorang sastrawan ternama, sekaliber kahlil Gibran atau setenar HAMKA, pun juga seindah puisi khairil Anwar yang begitu dikenal dibumi pertiwi ini.
Bibir mungilnya selalu terbingkai senyuman indah, seolah-olah senyuman itu adalah mutiara dalam hidupnya, senyuman itu telah menjadi mantera ampuh untuk memikat hati laki-laki manapun, pun juga hati seorang Perdana; Laki-laki bernasib malang yang telah pernah ditinggal pergi oleh seorang sahabat dekat, pun juga sekaligus sebagai kekasih hati yang sudah banyak menorehkan kenangan dalam album kehidupannya dimasa silam.
Terus terang saja, Perdana tak mampu lagi berkata apapun selain rasa kagumnya kepada sosok wanita cantik yang telah mampu melepaskan segala kesedihan dan teriakan hati yang telah menari-nari diatas tungku jiwanya, menghapus segala kegundahan yang telah pernah menyibak ruang dalam relung jiwanya, mengenyahkan dahaga cinta bagi seorang Perdana. Wanita dalam lamunan itu tidak lain adalah dr. Sarah Ayasha Elisha Amani Leilani, seorang dokter muda yang biasa disapa dr. Sarah, rekan sekerjanya itu. Kini hati Perdana telah bersandar dibawah naungan kasih malam, dibawah bingkai semesta seolah-olah Ia telah melihat dr. Sarah tersenyum mesra, tak bisa lagi hatinya untuk berbicara walau hanya sepatah kata, karena sungguh hati Perdana telah terkatup merunduk malu oleh indahnya pesona pancaran wajah merona seorang Sarah, wanita idamannya itu.
Sejak perkenalannya lima bulan yang lalu, dr. Sarah telah banyak menghiasi lamunan indah Perdana. Betapa tidak, wanita cantik itu telah menemani hari-hari Perdana semenjak ditugaskan bekerja dirumah sakit umum kota Mamben. Kebersamaan mereka telah merekatkan energy magnet (Vibrasi; Pancaran energy Quanta-Fisika Quantum) yang sangat kuat diantara dua hati hingga mereka berdua tidak mampu mengingkari apa yang sesungguhnya sedang bercengkerama didalam ruang jiwa. Malam ini juga demikian. Wanita cantik itu seolah-olah sedang terpampang jelas ditembok ruangan.
Mengenang kisah kenangan saat pertama kali pertemuan dengan dr. Sarah, ibarat menonton cukilan-cukilan adegan yang telah bersatu padu dalam sebuah film yang sedang diputar ditembok ruangan kamar. Membuat perdana tidak bisa membohongi hatinya. Sejak ditinggal menikah oleh kekasih hati; Naolie. Semenjak ditinggal menikah, Perdana tak tahu entah kemana menggantungkan harapan cintanya itu.
Sungguh pun, Perdana tak mampu lagi mengadukan segala kesedihan itu hingga menggerogoti seluruh kehidupannya saat ia menjalankan roda kehidupan disetiap harinya, seakan-akan kehidupan masa lalu itu telah meluluh lantahkan jiwanya hingga menjadikannya manusia lumpuh tak berdaya. Terlihat berjalan tegar sebagaimana manusia biasanya, adalah jiwanya didalam sana yang sudah rapuh dan tak mampu menorehkan diri walau hanya sejengkal. Namun kini, tuhan telah mengutus bidadari cantik untuk menghapus segala duka yang sedang bersemayam didalam jiwanya itu, bidadari itu tidak lain adalah dr. Sarah Ayasha Elisha Amani Leilani, wanita cantik berpoles kelembutan yang sejatinya selalu menawan disetiap hembusan nafas harapan hingga menyatukan keindahan syurga hadir menyemaikan diri diatas bumi. Tidak muskil jika keberadaan dr. Sarah laksana biadadari kecil yang menjelmakan diri diatas bumi lantas menjamu setiap jiwa laki-laki yang haus akan urapan minyak kasih sayang.
“Ya Allah, Apa yang sedang terjadi dengan hambaMu ini. Apakah ini Cinta? Jika memang benar ini cinta, jangan pernah engkau timpakan kekecewaan cinta ini untuk kesekian kalinya!” Gumam perdana dalam lamunannya malam itu, sambil menuturkan beribu harapan dan doa kepada tuhan saat merebahkan kepalanya diatas bantal warna biru muda, bantal kesayangan yang selalu menemani tidur lelapnya. Rasa kantuk telah membuat tubuhnya tergeletak lemas tak berdaya diatas dipan. Namun entah mengapa bayangan Sarah selalu saja membuntuti hidupnya akhir-akhir ini, hingga terkadang Perdana membawa lamunannya itu kedalam mimpi mengisi tidur lelapnya hingga menemaninya sampai pagi tiba diatas cakrawala diufuk timur sebagai pertanda perguliran semesta yang terus berputar tanpa henti-hentinya.
Kini malam semakin larut, udara dingin diluar sana telah menembus tembok-tembok beton rumah hingga membuat tubuh merasakan sapaan dingin walau berada didalam ruangan tertutup. Sebagian orang lebih memilih untuk tetap bersembunyi dibalik selimut tebal mereka sambil menikmati keindahan pesona alam mimpi. Namun berbeda halnya dari kebanyakan orang, malam itu Perdana terbangun dari tidur lelapnya sebagaimana kebiasaan yang telah lama membumi didalam dirinya, kebiasaan yang telah lama ia lakukan semenjak duduk dibangku SMA; Sholat Malam/ Tahajjud.
Malam itu Ia terbangun lantas menanggalkan setiap mimpi-mimpi indahnya untuk kembali menghadap Sang Pencipta disisa malam yang masih bersemai dengan embun yang masih menguncup diatas pucuk daun, pun juga dengan sapaan suara-suara music alam sembari menghaturkan seribu pengharapan atau bahkan lebih kepada Sang Pencipta, hanya dialah sang pemberi anugrah, tanpa keberadaan-Nya, rasa-rasanya kehidupan ini tak akan pernah ada. Lantunan Doa Pengharapan Perdana terngiang mengisi relung hatinya, menyemaikan diri bersama sinar bintang-bintang angkasa yang masih bertengger diatas angkasa malam itu, Sebening embun yang terus-menerus menyemaikan diri dalam keheningan malam, seindah nyanyian permata langit kala malam telah sampai dipenghujung waktu, Selembut lantunan doa alam yang dinukilkan oleh sapaan Sang angin malam kala berhembus diantara tidur lelap bersama sejuta harapan dalam impian yang tersibakkan dari ukiran hati yang paling dalam.
Seiring perputaran waktu, malam berganti pagi. Terlihat dipojokan semesta ditimur sana, mentari telah menorehkan kehangatannya kepada sang bumi; planet biru ini. Layaknya seorang teman kehidupan yang tak pernah absesnsi dari tugas wajibnya untuk terus menyinari. Pagi itu, suasana rumah sakit kembali ramai, para petugas kesehatan; dokter, perawat, apoteker dan petugas kesehatan lainnya sudah terlihat mengisi setiap ruangan kerja dan pojokan rumah sakit. Pun juga para keluarga pasien rawat inap yang mulai ramai berdatangan.
DiPagi buta itu, Terlihat sosok wanita cantik melewati lorong-lorong rumah sakit. Kelihatannya ia sedang menuju ruang perawatan hemodialisa, sosok seorang wanita cantik yang biasa berbusana ala seorang artis ternama ibu kota, hanya saja bedanya dengan artis ibu kota terletak pada balutan jas warna putih ala dokter, menutupi busana yang dikenakannya, ditambah lagi dengan balutan kerudung warna putih yang sangat khas menutupi kepalanya. Wanita itu kelihatannya sibuk sekali merapikan berkas-berkas laporan perkembangan kondisi pasien diruang petugas sambil mengisi beberapa lajur yang kosong untuk keperluan perawatan para pasien dibawah pengawasannya, diruang hemodialisa. Sesekali ia membolak-balik berkas yang ada dimeja kerjanya. Ia pun menghitung jumlah keseluruhan berkas yang ada dimeja kerjanya. Ternyata wanita cantik berbusana ala artis itu tidak lain adalah dokter Sarah, Janda Muda yang ditinggal mati oleh suaminya Satu Tahun lalu. Sosok wanita yang setiap malamnya seringkali membuntuti lamunan Perdana, dokter sekerjanya itu diRumah sakit umum kota mamben.
Sejak ditinggal pergi oleh sang sumi dimalam resepsi, saat itulah dr. Sarah tidak bisa lagi menatap wajah suaminya. Bagaimana tidak, setelah usai pergelaran acara resepsi pernikahan, Suaminya harus pergi untuk berjuang membela Negara dalam konflik perang di Nangroe Aceh Darussalam. Mau tidak mau, panggilan tugas harus dilaksanakan sebagai seorang Perwira Tinggi Tentara yang dikenal sangat Profesional. Kini, perwira tinggi itu sudah tidak ada lagi. Suaminya itu hanya tinggal nama, meninggalkannya seorang diri bersama permata kisah sejarah yang pernah terukirkan semenjak berpacaran. Walau demikian, dr. Sarah selalu menampak wajah cerah disetiap harinya, karena Dia tidak mau hidupnya berkubang dalam kesedihan. Baginya, Masa lalu biarlah berlalu bersama sejuta torehan kisah yang sudah bercengkerama diatas pentas masa silam. Kini adalah waktu baru untuk melihat apa yang ada didepan sana. Kini adalah waktu yang tepat untuk bisa mengukir masa depan yang lebih indah. Dan kini adalah waktu yang tepat untuk melukis pelangi kehidupan yang indah dibandingkan torehan masa silam, karena bagi siapapun selalu inginkan masa depan hidupnya selalu indah, sekalipun terus berkubang dalam goretan masalah silih berganti.
Pagi itu, dr. Sarah datang lebih awal. Entah mengapa, yang pasti ada alasan yang kuat hingga ia harus datang lebih pagi. Satu persatu berkas yang berjejer dimeja kerjanya diperiksa. “lima belas. Kok Cuma segini sich. Berkas yang satunya kemana yach?” Pikirannya mulai berkalang kabut layaknya seorang yang sedang mengalami kebingungan, bagaikan kabut tebal yang menutupi cerahnya pancaran cahaya mentari diatas cakrawala diatas sana. Bahasa tubuhnya seakan-akan sedang mencari sesuatu yang tersembunyi entah kemana. Entah mengapa hal itu terjadi dipagi-pagi buta. “Bu dokter, Caria apa!?” sapa seorang perawat yang kebetulan ada diruang petugas, menunggu jam pulang setelah semalaman menunggu ruangan kosong tak berpenghuni, kecuali mereka yang sedang tergelatak sakit tak berdaya. Sebut saja namanya Andi. Perawat jaga malam yang biasa mengisi ruang hemodialis. “saya cari berkas pasien yang masuk keruang ini kemarin, kelihatannya ada yang kurang.” Tanya dr. Sarah dengan mimik wajah menampak kebingungan.
“Coba dokter cari lagi, mungkin terselip diantara berkas lainnya atau mungkin tertinggal dirumah ibu.” Lanjut Andi. “Perasaan saya semua berkas sudah saya bawa, dan kemarin saya tidak membawa apa-apa saat kembali kerumah. Oya, kemarin malam ada dokter yang masuk ruangan ini gak? Tanya dr. Sarah. “Mmmmm, Iya dok, kalau tidak salah, tadi malam dokter Perdana masuk ruangan ini, melihat-lihat perkembangan pasien. Dia juga kelihatan membawa lembaran saat keluar dari ruangan ini menuju ruang Laboratorium. Apa mungkin dokter Perdana yang membawa Berkas yang dok maksud?”
“Oohh, Iya, saya hampir lupa. Kemarin saya sempat berpesan sama mbak Anastasya, agar dokter Perdana melihat lebih lanjut perkembangan pasien. Mungkin saja dr. Perdana ingin mengkaji lebih lanjut. Tidak mengapalah. Alhamdulillah. Tidak bingung kesana-kemari cari berkasnya lagi.? Oya, Mas andi, ada pesan dokter Perdana buat Saya gak?”
“Tidak ada ibu dok. Beliau Cuma ekspansi perkembangan kondisi pasien, itupun hanya sebentar saja.” Lanjut andi mencoba menjelaskan. Tidak terasa jam didinding yang tertampang diruang petugas sudah menunjukkan pukul 07:15. Seolah-olah telah menghentak Andi untuk segera balik kerumah karena memang jam tugasnya sudah selesai, tinggal menunggu giliran jaga malam. “Ibu dok, Saya harus balik duluan. Sudah sejak tadi malam disini, rasanya pengen pulang istirahat. Monggo ibu dok. Saya Pulang duluan. Assalamua’alikum wr wb.”
“Ooooyaa, silahkan Mas Andi, hati-hati dijalan. Wa’alaikumussalam wr wb.” Sejak kepergian perawat Andi, dokter Sarah hanya sendiri diruang petugas, menunggu kedatangan para petugas kesehatan lainnya yang mengisi ruang hemodialis. Ternyata kedatangannya dipagi buta tidak lain untuk memeriksa beberapa berkas tanggung jawab tentang kondisi pasien yang berada dibawah pengawasannya sebagai seorang dokter. dr. Sarah sudah terbiasa dengan berkas pelaporan perkembangan pasien, seakan-akan berkas pelaporan itu adalah sahabat sejatinya setelah diterima bekerja dirumah sakit umum kota Mamben, pun juga sebagai pengganti kesendiriannya kali ini setelah ditinggal mati oleh sang suami.
Setelah sekian lama menutup hati, ternyata diam-diam dr. Sarah menaruh harapan besar untuk bisa bersanding dengan dokter Perdana. Begitulah adanya yang sejatinya tersiratkan dikedalaman sana. Namun aktifitas yang begitu padat telah membuat mereka lupa untuk bisa membahasakan isi hati dan harapan angan yang terlukis dalam mimpi-mimpi indah mereka. Sudah sekian lama rasa itu berkecamuk dalam dada. Entah apa yang harus mereka sembunyikan lagi sejak pertemuan pertama mereka lima bulan lalu dilantai tiga ruang informasi rumah sakit umum kota mamben. Bahasa mata sudah sangat jelas ingin menyampaikan akan ingin mereka yang seyogyanya sudah diikrarkan oleh sanubari. Disanalah cinta sedang merajut kain-kain kehidupan, menyatukan keterpisahan, menyatukannya menjadi baju yang indah untuk dikenakan agar kehangatan selalu terasa disetiap pijakan langkah kaki.
Tidak terasa terik panas mentari sudah sampai diubun-ubun. Suasana ramai Rumah sakit menambah panasnya suasana, seakan-akan rasa ingin memberontak mencari sepi lantas mengharap tebaran hembusan angin segar agar penat tak lagi berkisruh dalam angan diri yang kini berharap bertemu dengan sang pujaan hati dibalik jeruji aktifitas yang selalu bersanding dengan mereka yang berbaring sakit tak berdaya diatas dipan, beralaskan seprai warna putih dengan aroma segar obat-obatan khas Rumah sakit. Dibalik kesibukan itu, masih saja bisikan hati berdisik didalam labirin jiwanya, mengingatkannya akan senyuman laki-laki yang dikenal bertangan dingin oleh rekan sekerjanya. Begitulah sketsa bahasa hati dokter Sarah. Sejak dari pagi wanita cantik itu tidak bertemu dokter Perdana, rekan sekerjanya itu. Kini cinta itu sudah bersemai menyajikan keindahan, terkadang pula mempersanding kehampaan akan rasa ingin bertemu. Mereka berdua sudah masuk dalam perangkap cinta, perangkap yang tak jemu-jemu menghadirkan kegundahan jika tak pernah bertemu sang pujaan hati.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 02:00, waktunya untuk beranjak pergi meninggalkan rumah sakit setelah seharian bercengkerama dengan berkas pelaporan, pun juga dengan mereka yang tergeletak sakit diruang inap Rumah Sakit. Siang itu, dr. Sarah hanya menampak wajah masam tak bercahaya walau terkadang senyum tipisnya terlihat dari balik balutan jilbabnya itu. Namun senyuman tipis itu tidak mampu menutup rasa sedih bercampur harap untuk bisa bertatap muka dengan dokter Perdana. Langkah lunglai menghiasi suara dentakan kakinya, sekonyong-konyong ia terus menelusuri jalan rumah sakit menuju pintu depan. Dalam hati ia terus berkecamuk berharap hadirnya dokter perdana. Namun tak jua mereka bertemu, bertatap muka untuk menghilangkan keluh dahaga cinta.
Bayangan kisah kenangan seakan-akan sedang terpatri disetiap tembok rumah sakit, terpampang jelas seolah-olah peristiwa pertemuan mereka dibeberapa sudut rumah sakit benar-benar terjadi. pertemuan demi pertemuan yang pernah mereka rajut dikilasan masa yang terpatri didalam bingkai masa lalu terkenang, berputas dalam kisaian masa sekarang. Betapa tidak, dinding rumah sakit menjadi persaksian pertemuan mereka setiap harinya, satu bulan lalu. Namun karena program jadwal piket baru yang berbeda yang baru-baru ini di SK-kan oleh pihak manajemen Rumah Sakit membuat mereka harus terpisahkan. Rasanya begitu berat menerima kenyataan, tapi bagaimana pun jua, mau tidak mau mereka harus merelakan semuanya. Toh juga cobaan cinta tidak menambah kedukaan, namun sungguh akan mengahadirkan bingkisan cinta yang lebih besar hari dikemudian harinya. Dengan perinsip kenyataan hidup yang demikian itu, dr. Sarah hanya bisa menerima putusan. “Biarlah semuanya terjadi, mungkin saja ada rahasia tuhan yang tidak aku mengerti maksud dan tujuannya.” Gumamnya dalam hati.
Seharian penuh dr. Sarah bergelut dengan aroma anyir pikiran dan perasaannya yang terus saja mengingatkannya akan wajah tampan Perdana, begitupula sikap tanggung jawab dan santunnya itu, wajar saja dr. sarah tertunduk lantas bersujud dengan segala harapannya untuk bisa dipinang oleh dokter bertangan dingin itu; Perdana. Barangkali Perdana juga mengalami hal demikian dikediamannya, namun tak seorangpun mampu mengertikan dan membahasakannya. Sungguhpun cinta selalu saja begitu, tak seorang pun mampu membendungnya jika sudah sampai waktu untuk menumbuhkan dan menupahkan segala rasa hingga benar-benar menjadi bagian terindah penghias kehidupan. Bahkan dipergantian hari berganti malam pun terus saja begitu.
Setelah lama menatap handphone warna pink diatas meja belajarnya, dr. Sarah tak mampu lagi menutup akan inginnya yang tersempan didalam labirin jiwa dikedalaman sana. Ia ambil handphone itu lantaran tak mampu lagi bertahan dalam dera angannya. Ia berharap dokter Perdana mau berbicara walau hanya sepatah dua patah kata. Tuuuut,,,,, tuuuuuttt… tuuuuttt…. “Hallo! Assalamu’alaikum wr wb. Selamat Malam. Apa kabar bud ok” sapa seorang laki-laki didalam handphone itu. Sarah terdiam, raut wajahnya memerah seketika, ia tak mampu membuka mulutnya saat itu, hanya senyuman kecil terlintas menghiasi pipi cantiknya. Entah mengapa hal demikian itu terjadi. Hanya ada satu alasan mengapa hal itu terjadi, hasrat dalam jiwa telah mengubah segalanya hingga psikologisnya terbawa arus kuat dari dalam sana.
“Hallo… Wa’alaikumussalam Wr Wb… Selamat Malam juga dok… Alhamdulillah kabar baik. Dok sendiri apa kabarnya nich? Lagi sibuk gak? Tanya dokter Sarah. “Alhamdulillah baik-baik saja. Nggak terlalu sibuk sich, Cuma membereskan pelaporan hasil perkembangan pasien. Oya dok, Saya minta maaf jika berkas pasien ruang 4A belum saya kembalikan. InsyaAllah nanti sepulang dari rumah sakit akan mampir kerumah ibu dok. Ada waktu gak?”
“Mmmmm… Boleh-Boleh! Berhubung saya tidak ada kesibukan yang begitu berarti. Iya gak apa-apa-lah dok mampir kerumah.” Setarikan nafas lega, lewatlah harapan sarah dalam bingkai kebahagiaan, Lalu sarah melanjutkan, “dok, jangan lupa buah tangannya yach. Hehe. Cuma canda doank kok dok.” Celetuk sarah mencoba menggugah pintu bahasa yang tersampaikan agar suasana tidak terlihat formal antara seorang rekan kerja, tapi semata-mata untuk seorang sahabat atau bahkan lebih dari itu. “Nggak apa-apa kok, ntar saya bawakan appel, berhubung Lagi musim aplle, kayaknya bakal melewati pasar Aplle Aikmel.” Lanjut Perdana, laki-laki berbudi sopan santun itu kepada sarah. “Oke dok, terima kasih atas waktunya.selamat beraktifitas. Assalamu’alaikum wr wb.” Seketika itu suara perdana tidak terdengar lagi, namun karena komunikasi singkat itu, dr. Sarah telah mampu membasuh harapan citanya itu yang sudah begitu lama bersemi saat bertemu dengan dokter perdana, dokter berprestasi, lagi baik hati.
Ternyata diam-diam jari-jemari cinta telah menyatukan hati mereka lantas membimbing mereka menghalukan nafas jiwa dalam cenayang syurga yang sudah sejak lama diharapkan oleh dahaga cinta diantara mereka berdua. Tidak hanya didalam renungan malam perdana saat berkisar diatas pusara malam lamunan yang terhias wajah cantik sarah. Dibalik itu semua, sarah terhenyak lamunan indah seorang perdana. Penantian itu semakin terasa menyesakkan ruang jiwa, barangkali pertemuan singkat nanti terucapkan lontaran ungkapan kasih untuk mempeatukan jalinan persahabatan menjadi ikatan yang lebih termanifestasikan wahana cinta hingga menjadikan mereka tak terpisahkan oleh tembok pembatas yang selama ini berdiri diantara jeruji waktu yang sangat kokoh terhelatkan kesibukan aktifitas yang telah menghilir mereka dalam keterpisahan.
Malam itu, dipojokan ruang dirumah sakit, perdana dengan sigap mempersiapkan seluruh berkas yang sudah dicermatinya. Seketika itu ia terus saja menampihkan diri dalam senyuman. Benar apa yang dikatakan oleh para petuah cinta, “cinta telah mengubah segalanya, tanpa harus dituntun untuk temukannya, ia akan hadir dalam segenap ruang yang menjadikan manusia tertunduk dalam kebersatuan ditengah perbedaan yang memisahkan. Adalah cinta yang membuat semua menjadi halus, sehalus patung indah yang tersentuh ampelas seorang pemahat handal.
Next Story….
Malam itu, isak tangis Sarah belum juga reda. Disandarkannya kepalanya diatas bantal empuk warna biru sembari menyeka air mata yang mengalir deras dipipi cantiknya dengan secarik kain bermotifkan hiasan burung merak dipinggirnya, secarik kain tak berguna bagi seorang yang memiliki kekayaan berlimpah seperti mereka yang hidup diatas sofa-sofa empuk, namun bagi sarah; sapu tangan itu begitu bermakna dalam hidupnya walau ia tergolong kaya raya, seolah-olah sapu tangan itu pengganti keberadaan seorang terkasih yang saat ini tak sadarkan diri diruang UGD.
Terus terang saja kain lusuh itu begitu berharga baginya apalagi saat kesedihan sedang mengasuh jiwanya dalam bingkai keniscayaan tuk teteskan air mata berlimpah bak air hujan yang menyemaikan tandusnya bumi disaat kekeringan mengejawantahkan bumi gersang dalam kekalutan jiwa, hingga datanglah hujan tangis menghujam kesedihan lebih dalam, sedalam sayatan luka hingga menemaninya bersua. Kain itulah yang sedang mendampinginya setia tuk gantikan hadirnya getaran jiwa dalam labirin jiwa, sapu tangan itu yang pernah diberikan oleh seorang yang dianggapnya spesial sampai detik dan saat ini, rasa kekaguman itu telah membumi dalam dirinya dan tak mampu membuatnya lari tuk kesekian kalinya dari genggaman cinta yang menghadirkan seribu pesan didalam jiwa.
Sapu tangan warna biru itu memoar kenangan indah diruang hemodialisa dan sekarang harus berkorban dalam keadaan basah kuyup seperti saat dijadikan pembersih tangan sarah oleh dokter perdana yang terkelupas benturan meja tempat ia bekerja, menggantikan kain kasa sebagai pembalut tangan yang luka dalam tindakan kedaruratan medis. Lantaran kejadian itulah sapu tangan itu kini menjadi miliknya. Walau sisa darah kering 4 bulan lalu masih menempel dipinggir sapu tangan itu, namun tak ia perdulikan sama sekali. Malam itu sarah benar-benar lupa pesan singkat yang pernah tertuang didinding Facebooknya tiga bulan lalu.
Sebuah tulisan singkat dari dokter perdana, “Disaat kesedihan menyeruak didalam jiwa, cobalah untuk pandangi langit malam ini, barangkali disana tertuangkan pesan kasih tuhan agar semua kesedihan itu sirna tak bersisa, lalu hiruplah udara sejuk ini lantas bukalah seluruh pintu hati agar tuhan menyemainya dengan semangat baru tuk lukis kehidupan indah dimasa mendatang.” wajar saja kealpaan itu tak mungkin lagi terelakkan. Kini pesan bijak itu ikut tertumpuk dalam kesedihan bersama penderitaan yang dialami perdana diruang Unit Gawat Darurat Rumah sakit Umum kota Mamben.
Sarah menatap langit-langit kamarnya dalam tatapan kosong, wajahnya murung tak berseri tak seindah pancaran setiap harinya saat berhadapan dengan pasien-pasien dirumah sakit tempat ia bekerja. Bayangannya hanya tergelantung pada sosok rekan kerja sekaligus sosok laki-laki ganteng ala artis mandarin yang begitu banyak dikagumi wanita ditambah lagi oleh sikapnya yang profesional dalam menghadapi pasien dan berbudi sopan santun penuh kelamah lembutan yang selama ini dikaguminya.
Betapa tidak, laki-laki yang begitu diharapkan untuk bisa hadir dan bercengkerama bersamanya malam itu harus tergeletak lemas tak berdaya diatas kain putih terhias lumuran darah segar warna merah pekat berbau amis, janji untuk bertemu pupus sudah terbawa misteri kehidupan yang tak seorangpun mampu mengungkap artian disetiap perencanaan yang ditetapkan, karena hanya tuhan jualah kunci segala ketetapan pasti tanpa seorangpun mampu mengintervensi keputusan sang Pencipta.
Pukul 01;35 belum juga membuat mata sarah terpejam. Khayalannya terbawa kedalam ruang dimensi yang berbeda. Keberadaannya jauh lepas diruang perawatan kegawat daruratan, Rumah sakit Umum Kota Mamben. Handphone yang ada diatas meja belajarnya menjadi saksi akan kejadian 2 jam lalu yang menimpa dokter perdana, rekan sejawatnya dirumah sakit umum kota mamben. Untung saja dr. Dafied Zeinerl, rekan sekerjanya dirumah sakit memberitahukan akan kondisi dokter Perdana yang saat ini dalam penanganan tim dokter setelah diselamatkan oleh warga dijalan Aikmel, sepuluh menit setelak tempat kejadian perkara kecelakaan yang menimpa perdana. Dokter Dafied Zeinerl asal melben city menginformasikan kejadian ini dua jam lalu karena ia tahu kedekatan hubungan dokter perdana dan sarah, teman karib yang bisa menangani pasien diRumah Sakit kota Mamben.
Saat itulah Sarah tak bisa membendung air mata yang mengalir membasahi pipi cantiknya, seakan-akan tangisan itu mewakilkan teriakan bathinnya yang saat ini mengadu dalam kepiluan bersama kegelapan malam diluar sana. Sekonyong-konyong ia mencoba untuk keluar malam guna melihat perkembangan kondisi perdana, namun tak jua ia memberanikan diri untuk keluar rumah. Sopir pribadinya sudah tertidur pulas, rasanya berat untuk menghidupkan mesin mobilnya malam-malam, apalagi orang tuanya sedang tertidur pulas saat seharian berkerja di Perusahaan Terbesar yang bergerak dibidang Pengembangan sumber daya manusia, di Pancor.
Perang bathin berkecamuk dalam dirinya. Teriakan bathin terjadi dalam manifestasi buliran beribu-ribu air mata yang terus menetes tanpa henti-hentinya. Bayangkan saja, sudah dua jam berlalu, ia tetap saja menangisi keadaan. Tidak heran jika cinta telah mampu memberikan kekuatan untuk seorang mampu tersenyum dalam segala keadaan, pun juga cinta akan mampu menghadirkan tangisan disetiap perjalanan ditengah kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, kini fajar telah menampak diufuk timur sana. Rupa-rupanya Sarah tertidur dalam kesedihan mendalam, sudah semalaman ia berteman tetesan air mata membuat kedua kelopak matanya terlihat memerah, tidak seperti biasanya. Skelera matanya (organ penglihatan <mata> dilapisan luar) kini memendar warna merah setelah menangis semalaman. Respon fisiologis yang tak mungkin lagi terabaikan saat tubuh terpendam dalam respon emosi kesedihan mendalam.</mata>
Pagi itu, Sarah terbangun dari tidur setelah terhanyut arus kesedihan. Dengan sigap ia bangkit dari tempat pembaringan lantas melangkahkan kaki dikamar mandi yang tidak jauh dari tempat ia tidur. Sekitar sepuluh langkah orang dewasa, ia sudah menjangkau kamar mandi tersebut. Ia keluar dalam keadaan terlunta langkah kaki yang tak mampu lagi berjalan tegar. Namun begitu ia mencoba untuk terus melangkah, ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk menabuh doa pengharapan pada Sang Pencipta. Wajar saja begitu, sarah adalah sosok wanita lembut yang tak pernah lupa untuk menghadap sang pencipta saat panggilan illahi memanggil dirinya bersimpuh kembali.
Dalam doa ia mengadu, “Ya Allah, mengapa kesedihan ini engkau timpakan padaku lagi sebagaimana engkau pernah timpakan satu tahun lalu. Kesedihan Apa lagi yang ingin engkau timpakan pada hambamu yang lemah ini. Sungguh, Tuhan, hanya padamu diri ini mengadu, jika ini cobaan tuk kuatkan Hamba, berikanlah hamba kekuatan untuk menghadapi kenyataan ini. Rengkuhlah ia yang sedang berbaring tak berdaya. Ya Allah, engkau tahu betapa berarti dirinya dalam hidup ini. Sampai hari ini tak berani ku ungkap perasaan itu hanya karena ku tahu engkau pasti akan memberikan jawaban yang lebih aku butuhkan dikemudian hari. Ya Allah sembuhkanlah perdana dari penderitaanya. Hanya engkaulah yang maha Menyembuhkan, Terimalah doa Hamba, Ya Allah. Amin” lagi-lagi tetesan air mata tipis membasahi pipi sarah saat memohon kepada-Nya, kepada Sang Kuasa.
Ternyata selama ini sarah benar-benar menyembunyikan rasa cinta itu. Kasih sayangnya terpendam dalam balutan selimut rindu yang mengadu dalam sikap malu yang mampu menutup rapat-rapat akan inginnya pada sosok seorang perdana, dokter yang dikenal berbudi halus oleh semua teman dekatnya, termasuk pula dokter sarah. Ia benar-benar mengejawantahkan diri dalam pendiriannya untuk menanti suara halus bisikan cinta dari perdana atau barangkali ada alasan lain didalam sana hingga membuatnya terbungkam tuk ungkapkan rasa. Baginya, pesan orang tua sudah cukup menuntun dirinya untuk menunggu kepastian cinta. “Bila memang belum siap melangkahkan kaki lebih dekat dalam berkelanjutan dengan seseorang, cukuplah tuk cintainya dalam diam, karena diammu itu adalah bakti akan cinta kasihmu kepadanya, sungguh diammu itulah yang nantinya memuliakan kesucian diri dan hatimu lantas menghindarkan dirimu dari hal-hal yang nantinya kan merusak izzah dan iffahmu sebagi seorang wanita yang dibentuk tuhan dalam kelembutan.....”
“Yakinlah akan diammu itu, karena diammu bukti kesetiaanmu kepadanya, karena mungkin saja orang yang engkau cintai adalah orang yang telah Allah pilihkan untukMu, jika dia memang bukan diperuntukkan tuhan dalam kehidupanMu, dalam perjalanan waktu Allah akan menghapus cinta dalam diamMu itu dan akan memberimu rasa yang lebih indah untuk orang yang lebih tepat sebagai bagian dalam hidupMu, biarkan cinta dalam diammu itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu dikedalaman sana menjadi rahasia antara kau dan sang pemilik hati”
Pesan-pesan itu semakin terngiang jelas dalam telinga bathinnya walau sebenarnya ia ingin memberontak bahwa ia pun mampu tuk ungkapkan semua isi hatinya bagi seorang laki-laki yang terpendar pancaran daya tarik cinta. Namun apa mau dikata, sekarang sudah terlambat untuk ungkapkan apa yang ada, dokter perdana kini hanya bisa mendengarkan dentuman suara tetesan cairan infus yang mengikat kedua tangannya diruang UGD Rumah sakit kota mamben.
Tak ada gunanya lagi bagi seorang diri sarah menangisi kisah yang telah berlalu, tak ada artinya memaki masa lalu karena keterlambatan ungkapkan isi hati yang merintih tuk berharap teman hati menyapa dalam bingkai keseharian, kehidupan ini layaknya sebuah titipan, mesti ada yang datang dan pergi, hanya ada satu kekuatan untuk merangkul kehidupan dan menjadikannya sebagai awal menggapai kebahagiaan; syukurilah apa yang terjadi lantas tersenyum bagi hidup ini walau dalam delik tangis yang datang dan berlalu.
Pagi-pagi betul, sarah melaju dengan melintasi jalan perumahan Selong Permai menuju rumah sakit umum kota Mamben. Tanpa bantuan supir pribadi, Sarah seolah-olah terpanggil batinnya untuk bersegera melihat kondisi perdana yang saat ini terkulai tak berdaya, tak bersuara dan tak mampu lagi melihat apa yang ada sekelilingnya karena ia masih dalam keadaan tak sadarkan diri sejak kejadian tadi malam. Deru suara mobilnya memecah keheningan dipagi itu. Suasana lengang jalan memudahkannya untuk melaju kencang seperti biasanya, bahkan kini kecepatan laju mobilnya menderu dalam kecepatan 90-100 km/ jam.
Mobil warna merah dengan nomor polisi DR 3007 KK itu memasuki halaman rumah sakit. Rupanya sarah mengendarai dengan kecepatan tinggi. Tidak beberapa lama Tubuh sarah tampak jelas saat setelah membuka pintu depan mobil ditempat parkir mobil sebelah kanan pintu masuk. Ia dengan segera melaju langkah ke ruang UGD tanpa babi-bi-bu. Langkah kakinya terlihat cepat layaknya sedang dikejar sesuatu yang tak pasti. Namun ketahuilah, ketika cinta telah menjangkiti, kelemahan akan tampak tegar, langkah kakipun begitu, akan terpacu sendiri tanpa harus dipaksa untuk berlari.
“Mas,,, Ap-apa yaang terjadi. kenapa eng-engkaauuuu meninggalkanku sendiriiii. Mass... jawabb massss” suara terbata-bata dari gema suara isak tangis sarah tak mampu terbedung lagi saat menyaksikan tubuh Perdana tak berdaya lagi, tubuh berukuran 171 cm ini terbaring kaku tertutupi kain putih. Dokter yang merawat sudah tidak mampu lagi memberikan pertolongan lebih, karena bagaimanapun juga usia sudah menjadi rahasia Sang Pencipta, secanggih apapun peralatan medis dan keahlian serta profesinalitas seorang dokter, jika sudah waktunya kematian menjemput, maka kematian jualah yang harus menimpa dalam bahasa kekakuan tubuh dan tak berdaya.
Sarah hanya bisa mendengar suara dokter perdana dalam batinnya sendiri dalam putaran waktu yang berlalu saat kenangan tertorehkan dalam pertemuan pertamanya dilantai tiga rumah sakit yang sama, pun juga kenangan saat bekerja diruang yang sama; ruang hemodialisa. Kini sarah sudah tak bisa lagi mendengar suara itu untuk kali kedua setelah pembicaraan tadi malam. Tidak disangka-sangka perdana sudah pergi meninggalkan sarah seorang diri, meninggalkan keluarga dan adek-adeknya. Saking sedihnya dipagi buta itu dan tak mampu lagi melihat bahagia dalam batin yang paling dalam, tertutup kabut kelam kesedihan yang menari-nari diatas tungku jiwa, sarah berlari ke pintu keluar ruang UGD sambil menyeka air mata yang mengalir. Sebelumnya ia belum pernah menangisi kondsi pasien yang sama seperti perdana. Tidak heran jika hal itu terjadi, bahasa hati telah mengubah segalanya. dr. Dafied yang ada ditempat itu hanya bisa melihat sahabatnya terbujur kaku. Apa mau dikata, sudah banyak cara kedaruratan medis yang diberikan, namun ternyata hasilnya nihil. Kini tersisa tubuh kaku seorang perdana yang akan dipindahkan di Kamar mayat, menyisakan seribu duka bagi seorang sarah dan keluarga tercinta perdana, juga buat rekan sekerjanya dirumah sakit umum kota mamben. Inilah akhir dari segalanya, akhir dari kehiupan perdana yang meninggalkan derita cinta yang dalam dijiwa dokter sarah yang saat ini terkoyak bathinnya tertanggalkan oleh jasad tak bernyawa.
Salam Satu Jiwa... Salam Sehat Jiwa Untuk Menggapai Hidup Bahagia....
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Mengenang perempuan itu ibaratnya sedang melihat langsung lukisan tiga dimensi yang sedang terpampang jelas ditembok ruangan kamar. Rambut panjang berwarna hitam tersimpan rapi dibalik kerudung yang biasa ia kenakan, seakan-akan kerudung itu telah menyimpan harta karun yang sangat mahal harganya, bak lukisan Leonardo da vinci yang begitu mahal harganya sehingga hanya cukup cinta untuk bisa memilikinya lantas dipajang diatas dinding kamar untuk dinikmati keindahan yang terlukiskan. Kulit putih langsat merona bak hiasan warna pelangi disaat hujan telah menyemaikan diri diatas semesta ini, mata bening terbingkaikan dalam wajah lembut nan menawan, rasa-rasanya sulit sekali untuk dilukiskan dalam rangkaian kata-kata indah seperti rangkaian kata dalam puisi, sekalipun oleh seorang sastrawan ternama, sekaliber kahlil Gibran atau setenar HAMKA, pun juga seindah puisi khairil Anwar yang begitu dikenal dibumi pertiwi ini.
Bibir mungilnya selalu terbingkai senyuman indah, seolah-olah senyuman itu adalah mutiara dalam hidupnya, senyuman itu telah menjadi mantera ampuh untuk memikat hati laki-laki manapun, pun juga hati seorang Perdana; Laki-laki bernasib malang yang telah pernah ditinggal pergi oleh seorang sahabat dekat, pun juga sekaligus sebagai kekasih hati yang sudah banyak menorehkan kenangan dalam album kehidupannya dimasa silam.
Terus terang saja, Perdana tak mampu lagi berkata apapun selain rasa kagumnya kepada sosok wanita cantik yang telah mampu melepaskan segala kesedihan dan teriakan hati yang telah menari-nari diatas tungku jiwanya, menghapus segala kegundahan yang telah pernah menyibak ruang dalam relung jiwanya, mengenyahkan dahaga cinta bagi seorang Perdana. Wanita dalam lamunan itu tidak lain adalah dr. Sarah Ayasha Elisha Amani Leilani, seorang dokter muda yang biasa disapa dr. Sarah, rekan sekerjanya itu. Kini hati Perdana telah bersandar dibawah naungan kasih malam, dibawah bingkai semesta seolah-olah Ia telah melihat dr. Sarah tersenyum mesra, tak bisa lagi hatinya untuk berbicara walau hanya sepatah kata, karena sungguh hati Perdana telah terkatup merunduk malu oleh indahnya pesona pancaran wajah merona seorang Sarah, wanita idamannya itu.
Sejak perkenalannya lima bulan yang lalu, dr. Sarah telah banyak menghiasi lamunan indah Perdana. Betapa tidak, wanita cantik itu telah menemani hari-hari Perdana semenjak ditugaskan bekerja dirumah sakit umum kota Mamben. Kebersamaan mereka telah merekatkan energy magnet (Vibrasi; Pancaran energy Quanta-Fisika Quantum) yang sangat kuat diantara dua hati hingga mereka berdua tidak mampu mengingkari apa yang sesungguhnya sedang bercengkerama didalam ruang jiwa. Malam ini juga demikian. Wanita cantik itu seolah-olah sedang terpampang jelas ditembok ruangan.
Mengenang kisah kenangan saat pertama kali pertemuan dengan dr. Sarah, ibarat menonton cukilan-cukilan adegan yang telah bersatu padu dalam sebuah film yang sedang diputar ditembok ruangan kamar. Membuat perdana tidak bisa membohongi hatinya. Sejak ditinggal menikah oleh kekasih hati; Naolie. Semenjak ditinggal menikah, Perdana tak tahu entah kemana menggantungkan harapan cintanya itu.
Sungguh pun, Perdana tak mampu lagi mengadukan segala kesedihan itu hingga menggerogoti seluruh kehidupannya saat ia menjalankan roda kehidupan disetiap harinya, seakan-akan kehidupan masa lalu itu telah meluluh lantahkan jiwanya hingga menjadikannya manusia lumpuh tak berdaya. Terlihat berjalan tegar sebagaimana manusia biasanya, adalah jiwanya didalam sana yang sudah rapuh dan tak mampu menorehkan diri walau hanya sejengkal. Namun kini, tuhan telah mengutus bidadari cantik untuk menghapus segala duka yang sedang bersemayam didalam jiwanya itu, bidadari itu tidak lain adalah dr. Sarah Ayasha Elisha Amani Leilani, wanita cantik berpoles kelembutan yang sejatinya selalu menawan disetiap hembusan nafas harapan hingga menyatukan keindahan syurga hadir menyemaikan diri diatas bumi. Tidak muskil jika keberadaan dr. Sarah laksana biadadari kecil yang menjelmakan diri diatas bumi lantas menjamu setiap jiwa laki-laki yang haus akan urapan minyak kasih sayang.
“Ya Allah, Apa yang sedang terjadi dengan hambaMu ini. Apakah ini Cinta? Jika memang benar ini cinta, jangan pernah engkau timpakan kekecewaan cinta ini untuk kesekian kalinya!” Gumam perdana dalam lamunannya malam itu, sambil menuturkan beribu harapan dan doa kepada tuhan saat merebahkan kepalanya diatas bantal warna biru muda, bantal kesayangan yang selalu menemani tidur lelapnya. Rasa kantuk telah membuat tubuhnya tergeletak lemas tak berdaya diatas dipan. Namun entah mengapa bayangan Sarah selalu saja membuntuti hidupnya akhir-akhir ini, hingga terkadang Perdana membawa lamunannya itu kedalam mimpi mengisi tidur lelapnya hingga menemaninya sampai pagi tiba diatas cakrawala diufuk timur sebagai pertanda perguliran semesta yang terus berputar tanpa henti-hentinya.
Kini malam semakin larut, udara dingin diluar sana telah menembus tembok-tembok beton rumah hingga membuat tubuh merasakan sapaan dingin walau berada didalam ruangan tertutup. Sebagian orang lebih memilih untuk tetap bersembunyi dibalik selimut tebal mereka sambil menikmati keindahan pesona alam mimpi. Namun berbeda halnya dari kebanyakan orang, malam itu Perdana terbangun dari tidur lelapnya sebagaimana kebiasaan yang telah lama membumi didalam dirinya, kebiasaan yang telah lama ia lakukan semenjak duduk dibangku SMA; Sholat Malam/ Tahajjud.
Malam itu Ia terbangun lantas menanggalkan setiap mimpi-mimpi indahnya untuk kembali menghadap Sang Pencipta disisa malam yang masih bersemai dengan embun yang masih menguncup diatas pucuk daun, pun juga dengan sapaan suara-suara music alam sembari menghaturkan seribu pengharapan atau bahkan lebih kepada Sang Pencipta, hanya dialah sang pemberi anugrah, tanpa keberadaan-Nya, rasa-rasanya kehidupan ini tak akan pernah ada. Lantunan Doa Pengharapan Perdana terngiang mengisi relung hatinya, menyemaikan diri bersama sinar bintang-bintang angkasa yang masih bertengger diatas angkasa malam itu, Sebening embun yang terus-menerus menyemaikan diri dalam keheningan malam, seindah nyanyian permata langit kala malam telah sampai dipenghujung waktu, Selembut lantunan doa alam yang dinukilkan oleh sapaan Sang angin malam kala berhembus diantara tidur lelap bersama sejuta harapan dalam impian yang tersibakkan dari ukiran hati yang paling dalam.
Seiring perputaran waktu, malam berganti pagi. Terlihat dipojokan semesta ditimur sana, mentari telah menorehkan kehangatannya kepada sang bumi; planet biru ini. Layaknya seorang teman kehidupan yang tak pernah absesnsi dari tugas wajibnya untuk terus menyinari. Pagi itu, suasana rumah sakit kembali ramai, para petugas kesehatan; dokter, perawat, apoteker dan petugas kesehatan lainnya sudah terlihat mengisi setiap ruangan kerja dan pojokan rumah sakit. Pun juga para keluarga pasien rawat inap yang mulai ramai berdatangan.
DiPagi buta itu, Terlihat sosok wanita cantik melewati lorong-lorong rumah sakit. Kelihatannya ia sedang menuju ruang perawatan hemodialisa, sosok seorang wanita cantik yang biasa berbusana ala seorang artis ternama ibu kota, hanya saja bedanya dengan artis ibu kota terletak pada balutan jas warna putih ala dokter, menutupi busana yang dikenakannya, ditambah lagi dengan balutan kerudung warna putih yang sangat khas menutupi kepalanya. Wanita itu kelihatannya sibuk sekali merapikan berkas-berkas laporan perkembangan kondisi pasien diruang petugas sambil mengisi beberapa lajur yang kosong untuk keperluan perawatan para pasien dibawah pengawasannya, diruang hemodialisa. Sesekali ia membolak-balik berkas yang ada dimeja kerjanya. Ia pun menghitung jumlah keseluruhan berkas yang ada dimeja kerjanya. Ternyata wanita cantik berbusana ala artis itu tidak lain adalah dokter Sarah, Janda Muda yang ditinggal mati oleh suaminya Satu Tahun lalu. Sosok wanita yang setiap malamnya seringkali membuntuti lamunan Perdana, dokter sekerjanya itu diRumah sakit umum kota mamben.
Sejak ditinggal pergi oleh sang sumi dimalam resepsi, saat itulah dr. Sarah tidak bisa lagi menatap wajah suaminya. Bagaimana tidak, setelah usai pergelaran acara resepsi pernikahan, Suaminya harus pergi untuk berjuang membela Negara dalam konflik perang di Nangroe Aceh Darussalam. Mau tidak mau, panggilan tugas harus dilaksanakan sebagai seorang Perwira Tinggi Tentara yang dikenal sangat Profesional. Kini, perwira tinggi itu sudah tidak ada lagi. Suaminya itu hanya tinggal nama, meninggalkannya seorang diri bersama permata kisah sejarah yang pernah terukirkan semenjak berpacaran. Walau demikian, dr. Sarah selalu menampak wajah cerah disetiap harinya, karena Dia tidak mau hidupnya berkubang dalam kesedihan. Baginya, Masa lalu biarlah berlalu bersama sejuta torehan kisah yang sudah bercengkerama diatas pentas masa silam. Kini adalah waktu baru untuk melihat apa yang ada didepan sana. Kini adalah waktu yang tepat untuk bisa mengukir masa depan yang lebih indah. Dan kini adalah waktu yang tepat untuk melukis pelangi kehidupan yang indah dibandingkan torehan masa silam, karena bagi siapapun selalu inginkan masa depan hidupnya selalu indah, sekalipun terus berkubang dalam goretan masalah silih berganti.
Pagi itu, dr. Sarah datang lebih awal. Entah mengapa, yang pasti ada alasan yang kuat hingga ia harus datang lebih pagi. Satu persatu berkas yang berjejer dimeja kerjanya diperiksa. “lima belas. Kok Cuma segini sich. Berkas yang satunya kemana yach?” Pikirannya mulai berkalang kabut layaknya seorang yang sedang mengalami kebingungan, bagaikan kabut tebal yang menutupi cerahnya pancaran cahaya mentari diatas cakrawala diatas sana. Bahasa tubuhnya seakan-akan sedang mencari sesuatu yang tersembunyi entah kemana. Entah mengapa hal itu terjadi dipagi-pagi buta. “Bu dokter, Caria apa!?” sapa seorang perawat yang kebetulan ada diruang petugas, menunggu jam pulang setelah semalaman menunggu ruangan kosong tak berpenghuni, kecuali mereka yang sedang tergelatak sakit tak berdaya. Sebut saja namanya Andi. Perawat jaga malam yang biasa mengisi ruang hemodialis. “saya cari berkas pasien yang masuk keruang ini kemarin, kelihatannya ada yang kurang.” Tanya dr. Sarah dengan mimik wajah menampak kebingungan.
“Coba dokter cari lagi, mungkin terselip diantara berkas lainnya atau mungkin tertinggal dirumah ibu.” Lanjut Andi. “Perasaan saya semua berkas sudah saya bawa, dan kemarin saya tidak membawa apa-apa saat kembali kerumah. Oya, kemarin malam ada dokter yang masuk ruangan ini gak? Tanya dr. Sarah. “Mmmmm, Iya dok, kalau tidak salah, tadi malam dokter Perdana masuk ruangan ini, melihat-lihat perkembangan pasien. Dia juga kelihatan membawa lembaran saat keluar dari ruangan ini menuju ruang Laboratorium. Apa mungkin dokter Perdana yang membawa Berkas yang dok maksud?”
“Oohh, Iya, saya hampir lupa. Kemarin saya sempat berpesan sama mbak Anastasya, agar dokter Perdana melihat lebih lanjut perkembangan pasien. Mungkin saja dr. Perdana ingin mengkaji lebih lanjut. Tidak mengapalah. Alhamdulillah. Tidak bingung kesana-kemari cari berkasnya lagi.? Oya, Mas andi, ada pesan dokter Perdana buat Saya gak?”
“Tidak ada ibu dok. Beliau Cuma ekspansi perkembangan kondisi pasien, itupun hanya sebentar saja.” Lanjut andi mencoba menjelaskan. Tidak terasa jam didinding yang tertampang diruang petugas sudah menunjukkan pukul 07:15. Seolah-olah telah menghentak Andi untuk segera balik kerumah karena memang jam tugasnya sudah selesai, tinggal menunggu giliran jaga malam. “Ibu dok, Saya harus balik duluan. Sudah sejak tadi malam disini, rasanya pengen pulang istirahat. Monggo ibu dok. Saya Pulang duluan. Assalamua’alikum wr wb.”
“Ooooyaa, silahkan Mas Andi, hati-hati dijalan. Wa’alaikumussalam wr wb.” Sejak kepergian perawat Andi, dokter Sarah hanya sendiri diruang petugas, menunggu kedatangan para petugas kesehatan lainnya yang mengisi ruang hemodialis. Ternyata kedatangannya dipagi buta tidak lain untuk memeriksa beberapa berkas tanggung jawab tentang kondisi pasien yang berada dibawah pengawasannya sebagai seorang dokter. dr. Sarah sudah terbiasa dengan berkas pelaporan perkembangan pasien, seakan-akan berkas pelaporan itu adalah sahabat sejatinya setelah diterima bekerja dirumah sakit umum kota Mamben, pun juga sebagai pengganti kesendiriannya kali ini setelah ditinggal mati oleh sang suami.
Setelah sekian lama menutup hati, ternyata diam-diam dr. Sarah menaruh harapan besar untuk bisa bersanding dengan dokter Perdana. Begitulah adanya yang sejatinya tersiratkan dikedalaman sana. Namun aktifitas yang begitu padat telah membuat mereka lupa untuk bisa membahasakan isi hati dan harapan angan yang terlukis dalam mimpi-mimpi indah mereka. Sudah sekian lama rasa itu berkecamuk dalam dada. Entah apa yang harus mereka sembunyikan lagi sejak pertemuan pertama mereka lima bulan lalu dilantai tiga ruang informasi rumah sakit umum kota mamben. Bahasa mata sudah sangat jelas ingin menyampaikan akan ingin mereka yang seyogyanya sudah diikrarkan oleh sanubari. Disanalah cinta sedang merajut kain-kain kehidupan, menyatukan keterpisahan, menyatukannya menjadi baju yang indah untuk dikenakan agar kehangatan selalu terasa disetiap pijakan langkah kaki.
Tidak terasa terik panas mentari sudah sampai diubun-ubun. Suasana ramai Rumah sakit menambah panasnya suasana, seakan-akan rasa ingin memberontak mencari sepi lantas mengharap tebaran hembusan angin segar agar penat tak lagi berkisruh dalam angan diri yang kini berharap bertemu dengan sang pujaan hati dibalik jeruji aktifitas yang selalu bersanding dengan mereka yang berbaring sakit tak berdaya diatas dipan, beralaskan seprai warna putih dengan aroma segar obat-obatan khas Rumah sakit. Dibalik kesibukan itu, masih saja bisikan hati berdisik didalam labirin jiwanya, mengingatkannya akan senyuman laki-laki yang dikenal bertangan dingin oleh rekan sekerjanya. Begitulah sketsa bahasa hati dokter Sarah. Sejak dari pagi wanita cantik itu tidak bertemu dokter Perdana, rekan sekerjanya itu. Kini cinta itu sudah bersemai menyajikan keindahan, terkadang pula mempersanding kehampaan akan rasa ingin bertemu. Mereka berdua sudah masuk dalam perangkap cinta, perangkap yang tak jemu-jemu menghadirkan kegundahan jika tak pernah bertemu sang pujaan hati.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 02:00, waktunya untuk beranjak pergi meninggalkan rumah sakit setelah seharian bercengkerama dengan berkas pelaporan, pun juga dengan mereka yang tergeletak sakit diruang inap Rumah Sakit. Siang itu, dr. Sarah hanya menampak wajah masam tak bercahaya walau terkadang senyum tipisnya terlihat dari balik balutan jilbabnya itu. Namun senyuman tipis itu tidak mampu menutup rasa sedih bercampur harap untuk bisa bertatap muka dengan dokter Perdana. Langkah lunglai menghiasi suara dentakan kakinya, sekonyong-konyong ia terus menelusuri jalan rumah sakit menuju pintu depan. Dalam hati ia terus berkecamuk berharap hadirnya dokter perdana. Namun tak jua mereka bertemu, bertatap muka untuk menghilangkan keluh dahaga cinta.
Bayangan kisah kenangan seakan-akan sedang terpatri disetiap tembok rumah sakit, terpampang jelas seolah-olah peristiwa pertemuan mereka dibeberapa sudut rumah sakit benar-benar terjadi. pertemuan demi pertemuan yang pernah mereka rajut dikilasan masa yang terpatri didalam bingkai masa lalu terkenang, berputas dalam kisaian masa sekarang. Betapa tidak, dinding rumah sakit menjadi persaksian pertemuan mereka setiap harinya, satu bulan lalu. Namun karena program jadwal piket baru yang berbeda yang baru-baru ini di SK-kan oleh pihak manajemen Rumah Sakit membuat mereka harus terpisahkan. Rasanya begitu berat menerima kenyataan, tapi bagaimana pun jua, mau tidak mau mereka harus merelakan semuanya. Toh juga cobaan cinta tidak menambah kedukaan, namun sungguh akan mengahadirkan bingkisan cinta yang lebih besar hari dikemudian harinya. Dengan perinsip kenyataan hidup yang demikian itu, dr. Sarah hanya bisa menerima putusan. “Biarlah semuanya terjadi, mungkin saja ada rahasia tuhan yang tidak aku mengerti maksud dan tujuannya.” Gumamnya dalam hati.
Seharian penuh dr. Sarah bergelut dengan aroma anyir pikiran dan perasaannya yang terus saja mengingatkannya akan wajah tampan Perdana, begitupula sikap tanggung jawab dan santunnya itu, wajar saja dr. sarah tertunduk lantas bersujud dengan segala harapannya untuk bisa dipinang oleh dokter bertangan dingin itu; Perdana. Barangkali Perdana juga mengalami hal demikian dikediamannya, namun tak seorangpun mampu mengertikan dan membahasakannya. Sungguhpun cinta selalu saja begitu, tak seorang pun mampu membendungnya jika sudah sampai waktu untuk menumbuhkan dan menupahkan segala rasa hingga benar-benar menjadi bagian terindah penghias kehidupan. Bahkan dipergantian hari berganti malam pun terus saja begitu.
Setelah lama menatap handphone warna pink diatas meja belajarnya, dr. Sarah tak mampu lagi menutup akan inginnya yang tersempan didalam labirin jiwa dikedalaman sana. Ia ambil handphone itu lantaran tak mampu lagi bertahan dalam dera angannya. Ia berharap dokter Perdana mau berbicara walau hanya sepatah dua patah kata. Tuuuut,,,,, tuuuuuttt… tuuuuttt…. “Hallo! Assalamu’alaikum wr wb. Selamat Malam. Apa kabar bud ok” sapa seorang laki-laki didalam handphone itu. Sarah terdiam, raut wajahnya memerah seketika, ia tak mampu membuka mulutnya saat itu, hanya senyuman kecil terlintas menghiasi pipi cantiknya. Entah mengapa hal demikian itu terjadi. Hanya ada satu alasan mengapa hal itu terjadi, hasrat dalam jiwa telah mengubah segalanya hingga psikologisnya terbawa arus kuat dari dalam sana.
“Hallo… Wa’alaikumussalam Wr Wb… Selamat Malam juga dok… Alhamdulillah kabar baik. Dok sendiri apa kabarnya nich? Lagi sibuk gak? Tanya dokter Sarah. “Alhamdulillah baik-baik saja. Nggak terlalu sibuk sich, Cuma membereskan pelaporan hasil perkembangan pasien. Oya dok, Saya minta maaf jika berkas pasien ruang 4A belum saya kembalikan. InsyaAllah nanti sepulang dari rumah sakit akan mampir kerumah ibu dok. Ada waktu gak?”
“Mmmmm… Boleh-Boleh! Berhubung saya tidak ada kesibukan yang begitu berarti. Iya gak apa-apa-lah dok mampir kerumah.” Setarikan nafas lega, lewatlah harapan sarah dalam bingkai kebahagiaan, Lalu sarah melanjutkan, “dok, jangan lupa buah tangannya yach. Hehe. Cuma canda doank kok dok.” Celetuk sarah mencoba menggugah pintu bahasa yang tersampaikan agar suasana tidak terlihat formal antara seorang rekan kerja, tapi semata-mata untuk seorang sahabat atau bahkan lebih dari itu. “Nggak apa-apa kok, ntar saya bawakan appel, berhubung Lagi musim aplle, kayaknya bakal melewati pasar Aplle Aikmel.” Lanjut Perdana, laki-laki berbudi sopan santun itu kepada sarah. “Oke dok, terima kasih atas waktunya.selamat beraktifitas. Assalamu’alaikum wr wb.” Seketika itu suara perdana tidak terdengar lagi, namun karena komunikasi singkat itu, dr. Sarah telah mampu membasuh harapan citanya itu yang sudah begitu lama bersemi saat bertemu dengan dokter perdana, dokter berprestasi, lagi baik hati.
Ternyata diam-diam jari-jemari cinta telah menyatukan hati mereka lantas membimbing mereka menghalukan nafas jiwa dalam cenayang syurga yang sudah sejak lama diharapkan oleh dahaga cinta diantara mereka berdua. Tidak hanya didalam renungan malam perdana saat berkisar diatas pusara malam lamunan yang terhias wajah cantik sarah. Dibalik itu semua, sarah terhenyak lamunan indah seorang perdana. Penantian itu semakin terasa menyesakkan ruang jiwa, barangkali pertemuan singkat nanti terucapkan lontaran ungkapan kasih untuk mempeatukan jalinan persahabatan menjadi ikatan yang lebih termanifestasikan wahana cinta hingga menjadikan mereka tak terpisahkan oleh tembok pembatas yang selama ini berdiri diantara jeruji waktu yang sangat kokoh terhelatkan kesibukan aktifitas yang telah menghilir mereka dalam keterpisahan.
Malam itu, dipojokan ruang dirumah sakit, perdana dengan sigap mempersiapkan seluruh berkas yang sudah dicermatinya. Seketika itu ia terus saja menampihkan diri dalam senyuman. Benar apa yang dikatakan oleh para petuah cinta, “cinta telah mengubah segalanya, tanpa harus dituntun untuk temukannya, ia akan hadir dalam segenap ruang yang menjadikan manusia tertunduk dalam kebersatuan ditengah perbedaan yang memisahkan. Adalah cinta yang membuat semua menjadi halus, sehalus patung indah yang tersentuh ampelas seorang pemahat handal.
Next Story….
Malam itu, isak tangis Sarah belum juga reda. Disandarkannya kepalanya diatas bantal empuk warna biru sembari menyeka air mata yang mengalir deras dipipi cantiknya dengan secarik kain bermotifkan hiasan burung merak dipinggirnya, secarik kain tak berguna bagi seorang yang memiliki kekayaan berlimpah seperti mereka yang hidup diatas sofa-sofa empuk, namun bagi sarah; sapu tangan itu begitu bermakna dalam hidupnya walau ia tergolong kaya raya, seolah-olah sapu tangan itu pengganti keberadaan seorang terkasih yang saat ini tak sadarkan diri diruang UGD.
Terus terang saja kain lusuh itu begitu berharga baginya apalagi saat kesedihan sedang mengasuh jiwanya dalam bingkai keniscayaan tuk teteskan air mata berlimpah bak air hujan yang menyemaikan tandusnya bumi disaat kekeringan mengejawantahkan bumi gersang dalam kekalutan jiwa, hingga datanglah hujan tangis menghujam kesedihan lebih dalam, sedalam sayatan luka hingga menemaninya bersua. Kain itulah yang sedang mendampinginya setia tuk gantikan hadirnya getaran jiwa dalam labirin jiwa, sapu tangan itu yang pernah diberikan oleh seorang yang dianggapnya spesial sampai detik dan saat ini, rasa kekaguman itu telah membumi dalam dirinya dan tak mampu membuatnya lari tuk kesekian kalinya dari genggaman cinta yang menghadirkan seribu pesan didalam jiwa.
Sapu tangan warna biru itu memoar kenangan indah diruang hemodialisa dan sekarang harus berkorban dalam keadaan basah kuyup seperti saat dijadikan pembersih tangan sarah oleh dokter perdana yang terkelupas benturan meja tempat ia bekerja, menggantikan kain kasa sebagai pembalut tangan yang luka dalam tindakan kedaruratan medis. Lantaran kejadian itulah sapu tangan itu kini menjadi miliknya. Walau sisa darah kering 4 bulan lalu masih menempel dipinggir sapu tangan itu, namun tak ia perdulikan sama sekali. Malam itu sarah benar-benar lupa pesan singkat yang pernah tertuang didinding Facebooknya tiga bulan lalu.
Sebuah tulisan singkat dari dokter perdana, “Disaat kesedihan menyeruak didalam jiwa, cobalah untuk pandangi langit malam ini, barangkali disana tertuangkan pesan kasih tuhan agar semua kesedihan itu sirna tak bersisa, lalu hiruplah udara sejuk ini lantas bukalah seluruh pintu hati agar tuhan menyemainya dengan semangat baru tuk lukis kehidupan indah dimasa mendatang.” wajar saja kealpaan itu tak mungkin lagi terelakkan. Kini pesan bijak itu ikut tertumpuk dalam kesedihan bersama penderitaan yang dialami perdana diruang Unit Gawat Darurat Rumah sakit Umum kota Mamben.
Sarah menatap langit-langit kamarnya dalam tatapan kosong, wajahnya murung tak berseri tak seindah pancaran setiap harinya saat berhadapan dengan pasien-pasien dirumah sakit tempat ia bekerja. Bayangannya hanya tergelantung pada sosok rekan kerja sekaligus sosok laki-laki ganteng ala artis mandarin yang begitu banyak dikagumi wanita ditambah lagi oleh sikapnya yang profesional dalam menghadapi pasien dan berbudi sopan santun penuh kelamah lembutan yang selama ini dikaguminya.
Betapa tidak, laki-laki yang begitu diharapkan untuk bisa hadir dan bercengkerama bersamanya malam itu harus tergeletak lemas tak berdaya diatas kain putih terhias lumuran darah segar warna merah pekat berbau amis, janji untuk bertemu pupus sudah terbawa misteri kehidupan yang tak seorangpun mampu mengungkap artian disetiap perencanaan yang ditetapkan, karena hanya tuhan jualah kunci segala ketetapan pasti tanpa seorangpun mampu mengintervensi keputusan sang Pencipta.
Pukul 01;35 belum juga membuat mata sarah terpejam. Khayalannya terbawa kedalam ruang dimensi yang berbeda. Keberadaannya jauh lepas diruang perawatan kegawat daruratan, Rumah sakit Umum Kota Mamben. Handphone yang ada diatas meja belajarnya menjadi saksi akan kejadian 2 jam lalu yang menimpa dokter perdana, rekan sejawatnya dirumah sakit umum kota mamben. Untung saja dr. Dafied Zeinerl, rekan sekerjanya dirumah sakit memberitahukan akan kondisi dokter Perdana yang saat ini dalam penanganan tim dokter setelah diselamatkan oleh warga dijalan Aikmel, sepuluh menit setelak tempat kejadian perkara kecelakaan yang menimpa perdana. Dokter Dafied Zeinerl asal melben city menginformasikan kejadian ini dua jam lalu karena ia tahu kedekatan hubungan dokter perdana dan sarah, teman karib yang bisa menangani pasien diRumah Sakit kota Mamben.
Saat itulah Sarah tak bisa membendung air mata yang mengalir membasahi pipi cantiknya, seakan-akan tangisan itu mewakilkan teriakan bathinnya yang saat ini mengadu dalam kepiluan bersama kegelapan malam diluar sana. Sekonyong-konyong ia mencoba untuk keluar malam guna melihat perkembangan kondisi perdana, namun tak jua ia memberanikan diri untuk keluar rumah. Sopir pribadinya sudah tertidur pulas, rasanya berat untuk menghidupkan mesin mobilnya malam-malam, apalagi orang tuanya sedang tertidur pulas saat seharian berkerja di Perusahaan Terbesar yang bergerak dibidang Pengembangan sumber daya manusia, di Pancor.
Perang bathin berkecamuk dalam dirinya. Teriakan bathin terjadi dalam manifestasi buliran beribu-ribu air mata yang terus menetes tanpa henti-hentinya. Bayangkan saja, sudah dua jam berlalu, ia tetap saja menangisi keadaan. Tidak heran jika cinta telah mampu memberikan kekuatan untuk seorang mampu tersenyum dalam segala keadaan, pun juga cinta akan mampu menghadirkan tangisan disetiap perjalanan ditengah kehidupan.
Seiring berjalannya waktu, kini fajar telah menampak diufuk timur sana. Rupa-rupanya Sarah tertidur dalam kesedihan mendalam, sudah semalaman ia berteman tetesan air mata membuat kedua kelopak matanya terlihat memerah, tidak seperti biasanya. Skelera matanya (organ penglihatan <mata> dilapisan luar) kini memendar warna merah setelah menangis semalaman. Respon fisiologis yang tak mungkin lagi terabaikan saat tubuh terpendam dalam respon emosi kesedihan mendalam.</mata>
Pagi itu, Sarah terbangun dari tidur setelah terhanyut arus kesedihan. Dengan sigap ia bangkit dari tempat pembaringan lantas melangkahkan kaki dikamar mandi yang tidak jauh dari tempat ia tidur. Sekitar sepuluh langkah orang dewasa, ia sudah menjangkau kamar mandi tersebut. Ia keluar dalam keadaan terlunta langkah kaki yang tak mampu lagi berjalan tegar. Namun begitu ia mencoba untuk terus melangkah, ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk menabuh doa pengharapan pada Sang Pencipta. Wajar saja begitu, sarah adalah sosok wanita lembut yang tak pernah lupa untuk menghadap sang pencipta saat panggilan illahi memanggil dirinya bersimpuh kembali.
Dalam doa ia mengadu, “Ya Allah, mengapa kesedihan ini engkau timpakan padaku lagi sebagaimana engkau pernah timpakan satu tahun lalu. Kesedihan Apa lagi yang ingin engkau timpakan pada hambamu yang lemah ini. Sungguh, Tuhan, hanya padamu diri ini mengadu, jika ini cobaan tuk kuatkan Hamba, berikanlah hamba kekuatan untuk menghadapi kenyataan ini. Rengkuhlah ia yang sedang berbaring tak berdaya. Ya Allah, engkau tahu betapa berarti dirinya dalam hidup ini. Sampai hari ini tak berani ku ungkap perasaan itu hanya karena ku tahu engkau pasti akan memberikan jawaban yang lebih aku butuhkan dikemudian hari. Ya Allah sembuhkanlah perdana dari penderitaanya. Hanya engkaulah yang maha Menyembuhkan, Terimalah doa Hamba, Ya Allah. Amin” lagi-lagi tetesan air mata tipis membasahi pipi sarah saat memohon kepada-Nya, kepada Sang Kuasa.
Ternyata selama ini sarah benar-benar menyembunyikan rasa cinta itu. Kasih sayangnya terpendam dalam balutan selimut rindu yang mengadu dalam sikap malu yang mampu menutup rapat-rapat akan inginnya pada sosok seorang perdana, dokter yang dikenal berbudi halus oleh semua teman dekatnya, termasuk pula dokter sarah. Ia benar-benar mengejawantahkan diri dalam pendiriannya untuk menanti suara halus bisikan cinta dari perdana atau barangkali ada alasan lain didalam sana hingga membuatnya terbungkam tuk ungkapkan rasa. Baginya, pesan orang tua sudah cukup menuntun dirinya untuk menunggu kepastian cinta. “Bila memang belum siap melangkahkan kaki lebih dekat dalam berkelanjutan dengan seseorang, cukuplah tuk cintainya dalam diam, karena diammu itu adalah bakti akan cinta kasihmu kepadanya, sungguh diammu itulah yang nantinya memuliakan kesucian diri dan hatimu lantas menghindarkan dirimu dari hal-hal yang nantinya kan merusak izzah dan iffahmu sebagi seorang wanita yang dibentuk tuhan dalam kelembutan.....”
“Yakinlah akan diammu itu, karena diammu bukti kesetiaanmu kepadanya, karena mungkin saja orang yang engkau cintai adalah orang yang telah Allah pilihkan untukMu, jika dia memang bukan diperuntukkan tuhan dalam kehidupanMu, dalam perjalanan waktu Allah akan menghapus cinta dalam diamMu itu dan akan memberimu rasa yang lebih indah untuk orang yang lebih tepat sebagai bagian dalam hidupMu, biarkan cinta dalam diammu itu menjadi memori tersendiri dan sudut hatimu dikedalaman sana menjadi rahasia antara kau dan sang pemilik hati”
Pesan-pesan itu semakin terngiang jelas dalam telinga bathinnya walau sebenarnya ia ingin memberontak bahwa ia pun mampu tuk ungkapkan semua isi hatinya bagi seorang laki-laki yang terpendar pancaran daya tarik cinta. Namun apa mau dikata, sekarang sudah terlambat untuk ungkapkan apa yang ada, dokter perdana kini hanya bisa mendengarkan dentuman suara tetesan cairan infus yang mengikat kedua tangannya diruang UGD Rumah sakit kota mamben.
Tak ada gunanya lagi bagi seorang diri sarah menangisi kisah yang telah berlalu, tak ada artinya memaki masa lalu karena keterlambatan ungkapkan isi hati yang merintih tuk berharap teman hati menyapa dalam bingkai keseharian, kehidupan ini layaknya sebuah titipan, mesti ada yang datang dan pergi, hanya ada satu kekuatan untuk merangkul kehidupan dan menjadikannya sebagai awal menggapai kebahagiaan; syukurilah apa yang terjadi lantas tersenyum bagi hidup ini walau dalam delik tangis yang datang dan berlalu.
Pagi-pagi betul, sarah melaju dengan melintasi jalan perumahan Selong Permai menuju rumah sakit umum kota Mamben. Tanpa bantuan supir pribadi, Sarah seolah-olah terpanggil batinnya untuk bersegera melihat kondisi perdana yang saat ini terkulai tak berdaya, tak bersuara dan tak mampu lagi melihat apa yang ada sekelilingnya karena ia masih dalam keadaan tak sadarkan diri sejak kejadian tadi malam. Deru suara mobilnya memecah keheningan dipagi itu. Suasana lengang jalan memudahkannya untuk melaju kencang seperti biasanya, bahkan kini kecepatan laju mobilnya menderu dalam kecepatan 90-100 km/ jam.
Mobil warna merah dengan nomor polisi DR 3007 KK itu memasuki halaman rumah sakit. Rupanya sarah mengendarai dengan kecepatan tinggi. Tidak beberapa lama Tubuh sarah tampak jelas saat setelah membuka pintu depan mobil ditempat parkir mobil sebelah kanan pintu masuk. Ia dengan segera melaju langkah ke ruang UGD tanpa babi-bi-bu. Langkah kakinya terlihat cepat layaknya sedang dikejar sesuatu yang tak pasti. Namun ketahuilah, ketika cinta telah menjangkiti, kelemahan akan tampak tegar, langkah kakipun begitu, akan terpacu sendiri tanpa harus dipaksa untuk berlari.
“Mas,,, Ap-apa yaang terjadi. kenapa eng-engkaauuuu meninggalkanku sendiriiii. Mass... jawabb massss” suara terbata-bata dari gema suara isak tangis sarah tak mampu terbedung lagi saat menyaksikan tubuh Perdana tak berdaya lagi, tubuh berukuran 171 cm ini terbaring kaku tertutupi kain putih. Dokter yang merawat sudah tidak mampu lagi memberikan pertolongan lebih, karena bagaimanapun juga usia sudah menjadi rahasia Sang Pencipta, secanggih apapun peralatan medis dan keahlian serta profesinalitas seorang dokter, jika sudah waktunya kematian menjemput, maka kematian jualah yang harus menimpa dalam bahasa kekakuan tubuh dan tak berdaya.
Sarah hanya bisa mendengar suara dokter perdana dalam batinnya sendiri dalam putaran waktu yang berlalu saat kenangan tertorehkan dalam pertemuan pertamanya dilantai tiga rumah sakit yang sama, pun juga kenangan saat bekerja diruang yang sama; ruang hemodialisa. Kini sarah sudah tak bisa lagi mendengar suara itu untuk kali kedua setelah pembicaraan tadi malam. Tidak disangka-sangka perdana sudah pergi meninggalkan sarah seorang diri, meninggalkan keluarga dan adek-adeknya. Saking sedihnya dipagi buta itu dan tak mampu lagi melihat bahagia dalam batin yang paling dalam, tertutup kabut kelam kesedihan yang menari-nari diatas tungku jiwa, sarah berlari ke pintu keluar ruang UGD sambil menyeka air mata yang mengalir. Sebelumnya ia belum pernah menangisi kondsi pasien yang sama seperti perdana. Tidak heran jika hal itu terjadi, bahasa hati telah mengubah segalanya. dr. Dafied yang ada ditempat itu hanya bisa melihat sahabatnya terbujur kaku. Apa mau dikata, sudah banyak cara kedaruratan medis yang diberikan, namun ternyata hasilnya nihil. Kini tersisa tubuh kaku seorang perdana yang akan dipindahkan di Kamar mayat, menyisakan seribu duka bagi seorang sarah dan keluarga tercinta perdana, juga buat rekan sekerjanya dirumah sakit umum kota mamben. Inilah akhir dari segalanya, akhir dari kehiupan perdana yang meninggalkan derita cinta yang dalam dijiwa dokter sarah yang saat ini terkoyak bathinnya tertanggalkan oleh jasad tak bernyawa.
Salam Satu Jiwa... Salam Sehat Jiwa Untuk Menggapai Hidup Bahagia....
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar