Selasa, 28 Februari 2012

Engkau telah sepenuhnya membebaskanKu dari derita Cinta. bolehkan Ku memanggilmu malaikat kecil dalam hatiku?

Mentari pagi sudah menampakkan senyuman manis diatas tiang langit diufuk timur nun jauh diatas sana, dibarengi cahaya terang, membangunkan semesta dari tidur lelapnya. Namun bagi Faiza, mentari kali ini bukanlah pertanda sebuah senyuman semesta, layaknya seorang yang sedang dirundung kekecewaan berbalut kesedihan. Sudah semalaman Faiza meneteskan air mata, seolah-olah air mata itu benar-benar telah menemani tidur lelapnya malam itu, membuat kedua kelopak matanya menampak warna merah, perasaannya tak menentu, begitu sakit rasanya hati yang tersimpan dibalik rongga dada membuat ia terkadang merasa diri seolah-olah sedang mengalami penyakit seperti sakit jantung. Sesekali sesak membuat ia kesulitan bernafas. Bagaimana tidak, rasa sakit dihati membuat seluruh tubuhnya pun ikut mengadu, Barangkali kondisi yang seperti ini yang pernah dikatakan dokter sebagai penyakit aneh itu; somatoform/ somatis. Entah mengapa kesedihan membuat jiwa dan raganya terkungkung dalam penjara kehidupan yang membuat semuanya terlihat suram adanya.

Pagi itu, Faiza hanya bisa menatap boneka yang menghiasi meja belajarnya, boneka teddy bear warna biru muda, boneka kesayangannya itu. Sesekali ia meneteskan air mata melihat boneka tersebut. Mengapa tidak, boneka teddy bear itu adalah kenangan satu-satunya yang dimilikinya yang pernah diberikan oleh Saputra; pacar sekaligus tunangan yang selama ini selalu menemani hari-harinya. Namun cinta itu kini tidak lagi besemi diantara dua hati, Faiza hanya bisa menyemaikan cinta yang pernah ada dan tidak akan pernah kembali lagi untuknya. Saputra, laki-laki baik hati sekaligus perhatian dimata Faiza dan teman-temannya itu telah dipanggil Tuhan Sang Pencipta.

Sejak dua hari lalu, Saputra telah disemayamkan dan dimakamkan oleh keluarganya. Sakit jantung yang telah lama dirasakan oleh saputra telah membuat nyawa dan cintanya harus rela tertanggalkan. Kini ia telah sepenuhnya menghadap sang pencipta. Meninggalkan semua jejak kehidupan yang pernah tertorehkan diatas dunia, termasuk juga meninggalkan Faiza, wanita cantik berkulit kuning langsat yang biasa dibaluti kerudung warna putih dikepalanya. Wanita cantik yang sekarang masih duduk dibangku kuliah strata satu, jurursan Keperawatan Universitas Negeri Mamben..

“Faiza…. Buka Pintunya” tiba-tiba saja ada suara yang memanggilnya dari luar kamar. Entah itu siapa, namun Faiza begitu mengenal suara itu hingga membuat ia beranjak dari tempat tidur lantas membuka pintu kamarnya. “Eeeh, Kakak, Ada apa kak?” Sapa Faiza kepada wanita yang sedang berdiri didepan pintu kamarnya sambil merapikan raut wajahnya yang masih meneteskan air mata. Sebut saja namanya Umroh, biasa dipanggil kak umroh.

“Ayo sarapan…! Sejak tadi malam dik Faiza tidak makan, nanti bisa sakit lho.” Ajak Umroh, Sambil memegang tangan Faiza, Umroh mencoba meyakinkan Faiza agar beranjak dari kamarnya dan ikut bergabung bersama keluarga diruang makan, barangkali dengan cara demikian, Faiza; adek kesayangannya itu akan mampu melepas kesedihan yang sedang menari-nari diatas tungku jiwanya. “Nggak kak, ntar aja dech, saya nggak lagi lapar kok.” Jawab faiza sambil memalingkan wajah muramnya dan kemudian masuk ke kamarnya. Faiza pun kembali merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Tubuh wanita cantik itu tergeletak lemas, membuat Umroh merasa terpanggil untuk masuk kamar Faiza. Dan Umroh pun duduk disamping Faiza untuk menghapus tetesan air mata yang masih mengalir deras dipipi adik kesayangannya itu.

“Sudahlah dik, Jangan menangis terus. Relakanlah kepergian Saputra. Jika adik menangis terus seperti ini, Saputra tidak akan pernah tenang dialam sana dan dia tidak akan pernah bisa sampai dihadapan Sang Pencipta.” Nasihat Umroh kepada Faiza, mencoba menenangkan perasaan adiknya agar bisa merelakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Kak, Saya keee… ceeewa. Saakiiitt Rasanya Haa..haati ini” Jawab Faiza. Mimik wajah berbingkai kesedihan tidak mampu terelakkan membuat suaranya terbata-bata mengucapkan beberapa patah kata. “Adik Kecewa kenapa?” Imbuh Umroh, mencoba menelusuk masuk kedalam kesedihan adiknya. “Saya keee… ceewa, aatas siikap keluarga Mas saputra. Saya tidak bisa melihat seeeperti appa kepergian Mas Saputra. Tidak bisa melihat Raut waajahnyaa. Bahkan tidak tahu keeabar tentang kepergiannya duu-da haarri yang lalu.” Jawab Faiza kepada kakaknya. “Raaasa--raaasanya bee-gitu sakit hati inii, kak.”

Sesekali ia terlihat menyeka air mata yang mengalir dipipinya. “Saya Keee..ceewa kak.” Lanjutnya. Mencoba menguraikan kesedihan yang menyelimuti dirinya. Sudah semalaman ia terbuai dalam tangis kekecewaan hingga membuat hati dan perasaan Faiza semakin pilu, entah mengapa keluarga Saputra tak jua memberikan kabar tentang kepergian Sang kekasih hati, entahlah! Semuanya sudah berlalu, apa lagi yang harus diselali. Kesedihan tetaplah menampak wajah kesedihan, adakalanya kesedihan bertahtakan dalam ruang waktu yang lama, namun ia pasti akan berlalu. Semua terus bergulir dalam perjalanan panjang diatas tapal waktu.

“Sudahlah dik, jangan menangis lagi. Barangkali keluarga Mas Saputra tidak ingin melihat adik menangis saat menyaksikan langsung kepergian Mas Saputra. Sudahlah dik, tidak ada gunanya menyalahkan orang lain. Semua pasti ada hikmahnya. Sekarang adik Cuci dulu mukanya, baru setelah itu kita sarapan bareng. Okey!” Benar adanya apa yang dipesankan Umroh kepada adik kesayangannya itu, namun ternyata kondisi tak memungkinkan untuk bisa membuat Faiza mengerti atas apa yang sesungguhnya sedang terjadi diatas perhelatan kehidupan yang sedang terbentang luas didepan mata. Keheningan pun tak bisa terelakkan lagi. Suasana kamar menjadi sunyi, diam dan membisu, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang terpajang diatas tempat tidur Faiza. Faiza hanya terdiam, sesekali terdengar suara isak tangis. Umroh tak bisa berbuat apa-apa lagi, usaha yang ia lakukan hanya sia-sia saja. Faiza tetap bertahan untuk tinggal diam dalam kesendirian.

Mentari sudah beranjak pergi meninggalkan peraduannya, kini Mentari telah betengger diatas cakrawala. Bagi Faiza, cahaya terang sang lentera alam tak berarti apa-apa selain wajah suram bertemakan kesedihan mendalam. Kepergian Saputra benar-benar telah menyayat hatinya, ditambah lagi sikap keluarga Saputra yang tidak memberikan kabar tentang kepergian Sang Kekasih hatinya, hanya saja Kemarin sore Faiza baru mendapat kabar dari Orang Tua kekasihnya itu tentang kepergian Saputra, hingga membuat ia lumpuh tak berdaya setelah mendengar kabar tersebut. Betapa tidak, Saputra; kekasih yang selama ini menemani hari-harinya sudah tidak ada lagi didunia ini. Hanya ada bisikan pusara sang kekasih ditanah kuburan sana. Diam membisu, membisikkan makna yang tak seorangpun mengerti makna, namun sungguh ada satu pesan bahwa semua kita akan berakhir dibalik onggokan tanah dan batu nisan berbalutkan busana putih tanpa teman.

Menatap bayangannya Saputra, kekasih Hati yang selama ini menemani sudah tidak akan mungkin lagi terjadi, barangkali hanya sekedar mimpi yang membuat semua itu menjadi nyata diatas perjalanan waktu. Dalam hati terus mengadu, bergulat dalam jiwa bersama sayatan luka mendalam membuat semua kehidupan terlihat kelam. Faiza mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil selembar kertas yang berada diatas meja belajarnya. Secarik kertas, tulisan puisi Saputra yang pernah dipersembahkan saat memberikan Faiza Kado ULTAH yang ke-21.

Jika hanya selepas mentari mengisahkan terik panasnya diatas muka bumi hanya karena tak menginginkan mendung menyelimuti, entah mengapa ia menampakkan diri jua diatas cakrawala. Jika hanya embun menempel diatas dedaunan hanya karena mengharap sapa sang surya diatas mahkota cakrawa, entah mengapa ia terwujud disaat pagi hari saja? Kini perguliran waktu terus berputar, membuat semuanya berubah. Begitu pula dengan diriMu; Sayang, Usia sudah tidak lagi muda, terus saja betambah disetiap harinya. Izinkanlah secarik kertas ini menemai setiap perputaran waktu. Semua harus diterima apa adanya. tak ada yang abadi, namun Izinkanlah cinta Ini bersemai diantara dua hati, dan terus menghiasi hingga berteman keabadian. Sayang, semoga Engkau Selalu berbahagia. Amin!

Oya Sayang, terimalah Kado yang sangat sederhana ini, Boneka Teddy Bear warna biru muda. Semoga bisa menemani malam-malamMu. Salam Sayang, Kangen, Rindu dan Cinta dari KekasihMu; Ahmad Arvan Saputra Ardiansyah.

Mata Faiza tak mampu lagi membendung tetesan air mata yang semakin mengucur deras, Membaca surat itu seolah-olah ia sedang menyaksikan kehadiran Saputra berada disampingnya. Membuat kenangan masa lalu semakin jelas terlihat didepan mata. Sesekali ia memeluk boneka Teddy bear yang ada disampingnya. “Sayang, mengapa engkau tega meninggalkanKu sendiri. Aku tidak begitu kuat menahan kesedihan ini.” Gumamnya sambil menatap Photo yang terpampang diatas meja belajarnya. Faiza tidak juga mendapatkan jawaban apapun, hanya bisa melihat dan menyaksikan senyuman tanpa suara dari dalam bingkai photo.

Sudah enam hari berlalu, semenjak kepergian Saputra , Faiza tidak menampak wajah cerah. Sesekali tangisan menghiasi pipinya saat melihat pasangan kekasih bermesraan didepan matanya saat bertugas dirumah sakit, diruang tunggu, ruang inap yang biasa diramaikan oleh keluarga pasien yang sedang menjenguk anggota keluarganya. “Andai saja Mas saputra masih ada, barangkali Faiza tidak sendiri menjalani hidup ini, pengen rasanya untuk bisa berkumpul bersama, canda dan tawa bersama, namun semua itu sudah tidak mungkin lagi terjadi. huuuft.” Gumamnya dalam hati. Berhari-hari, Faiza hidup dalam pengandaian yang tak kunjung usai. Ia terkungkung dalam penjara kenangan masa silam, membuat kehidupannya tidak lagi ceria seperti dulu.

“Faiza…” Sapa Alfina. Perawat sekaligus Sahabat dekat Faiza saat bertugas dirumah sakit, Ruang internis. Sudah satu bulan mereka bertugas diruang yang sama. Membuat hubungan mereka semakin dekat adanya. “Iya Mbak” jawab Faiza yang sedang duduk diruang perawat menimpali panggilan sahabatnya yang berada diruang sanitizer, ternyata Alfina sedang membersihkan tangannya dari darah yang masih berbau anyir setelah keluar dari ruang tindakan. “Coba Mbak Faiza check dulu pasien yang baru masuk diruang 29A. tadi keluarga pasien meminta untuk digantikan cairan infusnya. nanti saya susul belakangan. Pokoknya jangan tampakkan wajah muramnya lagi, barangkali mbak faiza bakal bertemu sang pangeran pengganti. Enjoy ajja. Okey!” pinta Alfina, sedikit menghibur. “Iya, Mbak. Ihhh, mbak alfina lebay dech. Mana ada pangeran pengganti. Kayak pemeran pengganti film layar lebar aja” jawab faiza.

Faiza langsung saja melangkahkan kakinya ke ruang 29A, walau terlihat berat, ia tetap saja mencoba untuk kuatkan hati dalam kesedihan yang masih menyelimuti hidupnya. Suatu kewajiban untuk membantu mereka yang sedang sakit, karena memang tugas yang harus ia selesaikan sebagai seorang petugas pelayan kesehatan, walau apapun yang sejatinya sedang bertengger diatas tungku jiwa. Semua itu harus mampu ia minimalisir demi tuntutan profesionalisme dalam bertugas memberikan pelayanan terbaik bagi para pasiennya.

“Gemana Mbak, sudah selesai ganti cairan Infusnya?” Tanya Alfina kepada sahabat dekatnya itu yang baru saja datang dari ruang petugas dan sekarang lagi berdiri tegak disamping meja yang biasa digunakan untuk meletakkan obat-obatan dan juga makanan bagi pasien. “Sudah selesai kok mbak. Oya mbak, minta tolong, coba dicheck kembali tensi pak Latief. Mungkin tensinya mengalami perubahan sejak dipindah alihkan dari ruang UGD?” pinta Faiza. “Okey, sus… siap dilaksanakan” jawab Alfina, sesekali terlihat senyuman dari raut wajahnya, barangkali ia sedang mendapat kabar bahagia, tidak seperti sahabatnya yang seringkali menampak wajah muram, wajar saja, Faiza belum sepenuhnya menerima kenyataan saat ditinggal oleh kekasihnya menghadap Sang Khalik, apalagi ditambah oleh sikap Keluarga Kekasihnya yang lebih memilih diam ketimbang memberikan Informasi kepada Faiza atas kepergian Saputra.

“Pak, Saya check dulu tensinya, gih?” Senyuman kecil menghiasi pipi Alfina sembari memasangkan alat Spyhgnomamometer ditangan kiri pak Latief, pasien baru yang mengidap stroke diruang 29A.

Faiza dan Alfina sudah terbiasa menghadapi pasien yang mengidap penyakit stroke diruang internis. Ruang Internis memang diperuntukkan bagi mereka; pasien-pasien yang mengidap stroke. Wajar saja Faiza dan Alfina begitu cekatan dalam menangani pasien-pasiennya karena Sudah menjadi kebiasaan setiap harinya.

“Terima kasih Mbak… oya, jika nanti suatu waktu butuh pertolongan perawat jaga, kira-kira gemana caranya, mungkin ada prosedur lain yang memang harus dipenuhi atau gemana?” Tanya seorang keluarga pasien. Sebut saja namanya Adi, laki-laki bertubuh kekar dengan penampilan yang cukup mengesankan yang sedang berdiri diujung ruangan, dekat White board yang terpasang dipojok ruangan. “Oya mas, tinggal pencet bel disebelah kanan, dekat pintu keluar, nanti petugas bakalan datang kok…” jawab faiza, raut wajahnya menampakkan tegur sapaan dingin. Sebenarnya dalam hati Faiza tersimpan dentuman besar saat menatap raut wajah Adi, sosok laki-laki betubuh atletis, wajah ala Jet Li, pemeran Film China yang terkenal itu. seolah-olah ia sedang melihat wajah Mas Saputra berdiri didepannya. Raut wajah yang tak jauh berbeda dengan balutan busana layaknya Saputra.

Faiza dan Alfina meninggalkan ruang perawatan pasien. Langkah kaki mereka jelas terdengar, balutan sepatu vantouple warna putih mengesankan suara “tuk…tak… tuk… tak…” saat melangkah menginjak lantai rumah sakit. Balutan baju warna putih khas perawat membuat penampilan Faiza dan Alfina terlihat sangat menarik untuk dipandang. Seolah-olah Busana putih itu telah mampu menyimpan rapat-rapat kesedihan hati Faiza, entah mengapa warna putih mampu menyelimuti hati yang sedang dirundung kesedihan. Barangkali karena tuntutan tugas yang harus membuat Faiza dan juga mereka yang berdedikasi untuk pasien mampu terlihat tegar dalam terpaan cobaan, bukan semata-mata hanya karena balutan busana warna putih itu saja. Semua warna adalah indah jika kita mampu bersenda dalam batin bahwa sesungguhnya ada warna tertentu yang membuat ketertarikan jiwa itu ada, entah itu warna putih, biru ataupun lain sebagainya. Semuanya indah, tergantung bagaimana anda menafsirkannya.

“Driniiing… Dringgg… Dringgg…” bunyi suara bel diruang tugas perawat. Rupanya ruang 29A sedang membutuhkan pertolongan medis. Dengan segera Faiza melangkahkan kakinya keruang tersebut. “Iya pak,,, barangkali ada yang bisa kami bantu?. Infusnya sudah habis yach” sapa Faiza sambil melihat cairan infuse yang bergantungan diatas tiang perawatan, diujung sebelah atas tempat tidur pasien. Kelihatannya Faiza masih belum yakin dengan apa yang dilihatnya, hentakan jantungnya berdebar keras saat menatap sosok Adi, dalam benaknya selalu terbayang wajah Saputra, tentu saja membuatnya salah tingkah. “Mbak, tadi bapak sempat mengigau, katanya tangannya terasa ngilu. Badannya terasa panas. Kira-kira bapak kenapa, mbak?” Tanya Adi, keluarga pasien pak latief, sosok pemuda berwajah Chinese dengan rambut lurus, sudah sejak lama Ia memperhatikan Faiza, wanita dengan paras wajah cantikannya itu. Ternyata Adi memang sengaja meminta pertolongan medis agar bisa bertemu kembali dengan Faiza, perawat berwajah cantik dengan hidungnya yang mancung serta kulitnya yang putih langsat. Jilbab putih yang melekat dikepalanya menambah pesona kecantikan alami Faiza. Seolah-olah ada seorang bidadari yang menampakkan diri dimuka bumi ini.

“Mas, Kondisi bapak masih butuh perawatan intensif. Tensinya juga lagi dimonitoring sama dokter yang merawat bapak. Mas tidak usah cemas. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa memberikan perawatan bagi Bapak latief.” Jawab Faiza, mencoba menjelaskan kondisi pasien yang sedang dirawatnya itu, Sesekali terlihat gerakan tangan Faiza, meyakinkan penjelasannya dengan bahasa Tubuh, lebih lagi untuk mengurangi rasa gugup yang mendera perasaannya. “Oooo begitu ya mbak. Terima kasih banyak mbak. Saya minta maaf jika telah mengganggu waktunya mbak.” “Sudah tugas kami kok Mas, jadi mas tidak usah sungkan-sungkan, jika suatu waktu membutuhkan pertolongan, petugas diruangan siap membantu..” Lanjut Faiza.

Percakapan singkat yang sangat mengesankan bagi Adi, laki-laki berwajah sipit dengan wajah ovale itu. Namun entahlah apa yang sedang tersuratkan dalam hati Faiza, jangan-jangan Faiza juga demikian, namun ia malu untuk mengatakan bahwa Adi memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dari sang kekasih; Saputra. Setelah pertemuan Mereka diruang 29A, Adi merasakan Vibrasi dalam hatinya, seolah-olah ada getaran yang mengusik labirin jiwanya hingga membuat perasaannya membumbung keatas angkasa, membuatnya mampu memetik bintang-bintang angkasa, bersemai cinta yang selalu bersinar terang dalam ruang jiwa. Seiring perputaran waktu, kedekatan mereka semakin terasa adanya setelah intensitas pertemuan mereka begitu seringnya dirumah sakit Mamben, Ruang Internis.

Siang yang cerah, dipenghujung hari, menjelang menyambut datangnya sore. Bayangan benda-benda terlihat dua kali lipat dari bentuk aslinya. Terlihat dua orang wanita meninggalkan area parkir petugas rumah sakit, ternyata kedua wanita tidak lain adalah mahasiswa salah satu Universitas Negeri Mamben, universitas terbesar dikota mamben. Kedua wanita tersebut sedang menyelesaikan Peraktik Lapangan di RS Mamben; Faiza dan Alfina. “Faiza, kita mampir dulu diwarung yuuuks” pinta Alfina, menyapa Faiza. “Lapeeer nich.” Lanjutnya. “Okey dech sus,,, Makan dimana nich?” Jawab Faiza menimpali sahabatnya, Alfina. “Ditempat biasa ajja dech. Okey.” Mereka pun beranjak dari tempat parker melintasi deretan sepeda motor yang berjejer rapi bak perajurit militer saat sedang berlatih Berbaris.

Ditengah perjalanannya itu, secara tidak sengaja mereka bertemu dengan Adi, laki-laki berwajah chines yang biasa menyapa mereka diRuang internis. Maklumlah, mereka memang dipertemukan tuhan ditempat itu. suatu kehendak takdir yang tidak disangka-sangka oleh siapapun. Banyak sekali sekenario kehidupan yang tidak pernah kita mengerti, hanya pantas diserahkan pada rahasia takdir tuhan. Seperti pertemuan antara Faiza dan Adi, layaknya pertemuan Romeo dan Juliet seperti dinovel-novel roman yang begitu banyak digemari remaja.

“Eeeh, bu suster. Mau kemana tuch?” Tanya Adi. “Mmmmm, mau ke kantin. Laper nich.” Jawab Alfina. “Bareng Yuuuks, saya juga lagi lapar, sejak tadi pagi belum sarapan. Boleh khan?” “lanjut Adi, mencoba menghangatkan komunikasi diantara mereka bertiga. Boleh-boleh-boleh.” Jawab Alfina. Faiza hanya terdiam, tanpa suara. Hanya terlihat senyuman tipis dipipinya, sesekali menatap lembut wajah Adi. Entah apa yang sedang terpikirkan, namun bisa terlihat dari pancaran cara pandangan matanya itu, rupanya Faiza mengagumi sosok Adi, membuatnya terbingkaikan rasa malu.

“Kok mbak Faiza diam aja sich, kayaknya ada masalah nich?!?” celetuk adi sambil merapikan tempat duduknya setelah mengantar menu pesanan ke pojokan kantin, tempat dimana orang-orang biasanya memesan menu yang akan mereka santap.

Tidak ada satupun jawaban yang terdengar dari mulut tipis Faiza, hanya saja terlihat senyuman kecil menghias pipinya. Entah mengapa ia hanya terdiam tanpa suara. Sikapnya yang dingin membuat beribu-ribu tanda Tanya dimata Adi. “Mas Adi, Mbak Faiza lagi bersedih hati tuch setelah ditinggal kekasih hatinya. Barangkali mas Adi bisa menghibur. Heee. Heee..” Alfina langsung saja mengomentari dengan nada candanya itu, harapannya agar bisa membuat tangisan sedih dalam hati sahabatnya sirna tanpa sisa.

Terlihat warna merah dipipi Faiza. Sesekali ia mencuri pandang kearah Adi. Dalam batin ia berkata, “Tuhan akankah aku bisa menatap keperibadian Mas Saputra didalam diri Adi, wajahnya terlihat mirip, mengingatkanku kenangan yang telah berlalu. Tuhan, tolonglah daku, sesungguhnya hati ini begitu sulit untuk menrima kenyataan. Akankah mas Saputra menjamu dirinya dalam sosok laki-laki yang sedang ada disamping ini, Tuhan, berikanlah jawaban atas kebimbangan ini.”

“Eiiitz, Mbak Faiza mengkhayalkan siapa tuch? Sapa Adi sambil menatap dalam-dalam wanita cantik yang sedang duduk didepannya itu. “Mas Adi, mbak Faiza suka menghayal akhir-akhir ini. barangkali mas Adi bisa membuat Mbak Faiza tidak lagi hidup dalam khayalan. Benar khan mbak Faiza.?!” Celetuk Alfina, menggoda. Wajah Faiza semakin terlihat memerah menampak rasa malu yang sedang hinggapi dirinya.

“Aaaah, Mbak Alfina Sook tahu nich. Nggak lagi menghayal kok. Eh, kita makan dulu dech, nanti saja kita lanjutkan ngobrolnya lagi. Khan gak boleh makan sambil ngomong. Iya khan bu sus…..” Faiza mencoba membuka mulutnya yang bisu, ternyata dalam seribu rahasia yang tersimpan, ia masih mampu mengalihkan apa yang sedang berkecamuk dalam batinnya.

Suara canda tawa menghiasi obrolan mereka sore itu. seakan-akan mereka begitu enggan untuk meninggalkan tempat duduk kantin. Kedekatan mereka semakin erat terasa membuat mereka menyingsingkan tirai batin yang selama ini menutupi jiwa dalam dada. Senyuman mekar nan menawan membingkai jelas diwajah mereka, barangkali kebahagiaan sedang bercengkerama dihati mereka, begitupula dengan Faiza, layaknya seorang yang baru saja merasa kedamaian menghiasi singgasana Jiwanya. Setelah kejadian itu, Faiza dan Alfina sudah merasa begitu dekat dengan Adi, laki-laki berwajah ala chiness itu.

Garis waktu semakin terlihat jelas, memberikan kesempatan bagi Faiza untuk bisa menatap wajah Adi. Adi pun juga demikian. Ternyata Tuhan menitipkan sayap baru bagi kehidupan saat kita sudah tidak mampu terbang lagi untuk mengitari alam semesta. semua itu tidak akan mungkin terjadi jika jiwa tertutup dari kaunia yang Tuhan telah dan akan diberikan-Nya. Semua akan terlihat indah jika Jiwa mampu membuka diri untuk menjadi wajah kebahagiaan. Sebagaimana pesan seorang sahabat kebijaksanaan “Bila dirimu sekarang sedang menunggu seseorang untuk menjalani kehidupan menuju ridhoNya, bersabarlah dengan keindahan. Demi Allah, dia tidak datang karena kecantikan dan ketampanan, kepintaran ataupun kekayaan. Tapi Allah-lah yang sebenarnya sedang menggerakkan semuanya itu. janganlah tergesa-gesa untuk mengekspresikan cinta kepadanya sebelum Allah mengizinkan atas semuanya. Belum tentu yang kaucintai adalah yang terbaik untukmu. Siapakah yang lebih mengetahui melainkan Allah. Simpanlah segala bentuk ungkapan cinta dan derap hati rapat-rapat. Allah akan menjawabnya dengan lebih indah diwaktu yang tepat. Sesungguhnya ia akan datang dalam waktu yang tepat. Bersabarlah untuk menunggu cinta dalam bingkisan kado Cinta sebagai persembahan Yang Maha Cinta.”

Dua Minggu telah berlalu. Tidak terasa waktu telah berputar dengan cepatnya. Kenangan disetiap torehan selalu saja membekas dalam kenangan, namun kenangan tidak akan pernah mampu membekukan sejuta harapan didepan sana, dikehidupan masa depan. Hanya mereka yang terbelit dalam kungkungan masa yang tak mampu berdiri melihat kenyataan ditengah kehidupan. Boleh saja cinta masa lalu membuat kesedihan menyemaikan diri, namun bukan pertanda akhir dari segala-galanya.

Kini Faiza telah mampu melewati garis-garis waktu, melewati kesedihan yang selama ini membuatnya mengurung diri dalam kesendirian. Seolah-olah hidup ini penjara baginya. Tapi bagaimanapun jua, akhir cinta bukanlah akhir dari segalanya. Faiza sudah sepenuhnya menerima kenyataan yang Tuhan berikan. Tangisan minggu-minggu sebelumnya sudah tidak lagi menghiasi pipi cantiknya. Barangkali ia sudah bisa melihat kehidupan yang indah didepan sana apalagi ruang waktu terbuka lebar untuknya setelah tuhan mengutus malaikat kecil didalam kehidupan barunya; Adi laki-laki baik hati seperti kekasih lama yang pernah singga dihati atau bahkan lebih baik lagi daripada semua yang telah berlalu. Bukankah Tuhan memberikan yang terbaik dalam hidup ini?. Keep Spirit For Our Life Better…

Salam satu Jiwa… Salam sehat Jiwa untuk menggapai bahagia…

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar