Mentari pagi sudah menampakkan senyuman manis diatas tiang langit
diufuk timur nun jauh diatas sana, dibarengi cahaya terang, membangunkan
semesta dari tidur lelapnya. Namun bagi Faiza, mentari kali ini
bukanlah pertanda sebuah senyuman semesta, layaknya seorang yang sedang
dirundung kekecewaan berbalut kesedihan. Sudah semalaman Faiza
meneteskan air mata, seolah-olah air mata itu benar-benar telah menemani
tidur lelapnya malam itu, membuat kedua kelopak matanya menampak warna
merah, perasaannya tak menentu, begitu sakit rasanya hati yang tersimpan
dibalik rongga dada membuat ia terkadang merasa diri seolah-olah sedang
mengalami penyakit seperti sakit jantung. Sesekali sesak membuat ia
kesulitan bernafas. Bagaimana tidak, rasa sakit dihati membuat seluruh
tubuhnya pun ikut mengadu, Barangkali kondisi yang seperti ini yang
pernah dikatakan dokter sebagai penyakit aneh itu; somatoform/ somatis.
Entah mengapa kesedihan membuat jiwa dan raganya terkungkung dalam
penjara kehidupan yang membuat semuanya terlihat suram adanya.
Pagi
itu, Faiza hanya bisa menatap boneka yang menghiasi meja belajarnya,
boneka teddy bear warna biru muda, boneka kesayangannya itu. Sesekali ia
meneteskan air mata melihat boneka tersebut. Mengapa tidak, boneka
teddy bear itu adalah kenangan satu-satunya yang dimilikinya yang pernah
diberikan oleh Saputra; pacar sekaligus tunangan yang selama ini selalu
menemani hari-harinya. Namun cinta itu kini tidak lagi besemi diantara
dua hati, Faiza hanya bisa menyemaikan cinta yang pernah ada dan tidak
akan pernah kembali lagi untuknya. Saputra, laki-laki baik hati
sekaligus perhatian dimata Faiza dan teman-temannya itu telah dipanggil
Tuhan Sang Pencipta.
Sejak dua hari lalu, Saputra telah
disemayamkan dan dimakamkan oleh keluarganya. Sakit jantung yang telah
lama dirasakan oleh saputra telah membuat nyawa dan cintanya harus rela
tertanggalkan. Kini ia telah sepenuhnya menghadap sang pencipta.
Meninggalkan semua jejak kehidupan yang pernah tertorehkan diatas dunia,
termasuk juga meninggalkan Faiza, wanita cantik berkulit kuning langsat
yang biasa dibaluti kerudung warna putih dikepalanya. Wanita cantik
yang sekarang masih duduk dibangku kuliah strata satu, jurursan
Keperawatan Universitas Negeri Mamben..
“Faiza…. Buka
Pintunya” tiba-tiba saja ada suara yang memanggilnya dari luar kamar.
Entah itu siapa, namun Faiza begitu mengenal suara itu hingga membuat ia
beranjak dari tempat tidur lantas membuka pintu kamarnya. “Eeeh, Kakak,
Ada apa kak?” Sapa Faiza kepada wanita yang sedang berdiri didepan
pintu kamarnya sambil merapikan raut wajahnya yang masih meneteskan air
mata. Sebut saja namanya Umroh, biasa dipanggil kak umroh.
“Ayo
sarapan…! Sejak tadi malam dik Faiza tidak makan, nanti bisa sakit
lho.” Ajak Umroh, Sambil memegang tangan Faiza, Umroh mencoba meyakinkan
Faiza agar beranjak dari kamarnya dan ikut bergabung bersama keluarga
diruang makan, barangkali dengan cara demikian, Faiza; adek
kesayangannya itu akan mampu melepas kesedihan yang sedang menari-nari
diatas tungku jiwanya. “Nggak kak, ntar aja dech, saya nggak lagi lapar
kok.” Jawab faiza sambil memalingkan wajah muramnya dan kemudian masuk
ke kamarnya. Faiza pun kembali merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur.
Tubuh wanita cantik itu tergeletak lemas, membuat Umroh merasa
terpanggil untuk masuk kamar Faiza. Dan Umroh pun duduk disamping Faiza
untuk menghapus tetesan air mata yang masih mengalir deras dipipi adik
kesayangannya itu.
“Sudahlah dik, Jangan menangis terus.
Relakanlah kepergian Saputra. Jika adik menangis terus seperti ini,
Saputra tidak akan pernah tenang dialam sana dan dia tidak akan pernah
bisa sampai dihadapan Sang Pencipta.” Nasihat Umroh kepada Faiza,
mencoba menenangkan perasaan adiknya agar bisa merelakan apa yang
sebenarnya sedang terjadi. “Kak, Saya keee… ceeewa. Saakiiitt Rasanya
Haa..haati ini” Jawab Faiza. Mimik wajah berbingkai kesedihan tidak
mampu terelakkan membuat suaranya terbata-bata mengucapkan beberapa
patah kata. “Adik Kecewa kenapa?” Imbuh Umroh, mencoba menelusuk masuk
kedalam kesedihan adiknya. “Saya keee… ceewa, aatas siikap keluarga Mas
saputra. Saya tidak bisa melihat seeeperti appa kepergian Mas Saputra.
Tidak bisa melihat Raut waajahnyaa. Bahkan tidak tahu keeabar tentang
kepergiannya duu-da haarri yang lalu.” Jawab Faiza kepada kakaknya.
“Raaasa--raaasanya bee-gitu sakit hati inii, kak.”
Sesekali
ia terlihat menyeka air mata yang mengalir dipipinya. “Saya Keee..ceewa
kak.” Lanjutnya. Mencoba menguraikan kesedihan yang menyelimuti
dirinya. Sudah semalaman ia terbuai dalam tangis kekecewaan hingga
membuat hati dan perasaan Faiza semakin pilu, entah mengapa keluarga
Saputra tak jua memberikan kabar tentang kepergian Sang kekasih hati,
entahlah! Semuanya sudah berlalu, apa lagi yang harus diselali.
Kesedihan tetaplah menampak wajah kesedihan, adakalanya kesedihan
bertahtakan dalam ruang waktu yang lama, namun ia pasti akan berlalu.
Semua terus bergulir dalam perjalanan panjang diatas tapal waktu.
“Sudahlah
dik, jangan menangis lagi. Barangkali keluarga Mas Saputra tidak ingin
melihat adik menangis saat menyaksikan langsung kepergian Mas Saputra.
Sudahlah dik, tidak ada gunanya menyalahkan orang lain. Semua pasti ada
hikmahnya. Sekarang adik Cuci dulu mukanya, baru setelah itu kita
sarapan bareng. Okey!” Benar adanya apa yang dipesankan Umroh kepada
adik kesayangannya itu, namun ternyata kondisi tak memungkinkan untuk
bisa membuat Faiza mengerti atas apa yang sesungguhnya sedang terjadi
diatas perhelatan kehidupan yang sedang terbentang luas didepan mata.
Keheningan pun tak bisa terelakkan lagi. Suasana kamar menjadi sunyi,
diam dan membisu, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang
terpajang diatas tempat tidur Faiza. Faiza hanya terdiam, sesekali
terdengar suara isak tangis. Umroh tak bisa berbuat apa-apa lagi, usaha
yang ia lakukan hanya sia-sia saja. Faiza tetap bertahan untuk tinggal
diam dalam kesendirian.
Mentari sudah beranjak pergi
meninggalkan peraduannya, kini Mentari telah betengger diatas cakrawala.
Bagi Faiza, cahaya terang sang lentera alam tak berarti apa-apa selain
wajah suram bertemakan kesedihan mendalam. Kepergian Saputra benar-benar
telah menyayat hatinya, ditambah lagi sikap keluarga Saputra yang tidak
memberikan kabar tentang kepergian Sang Kekasih hatinya, hanya saja
Kemarin sore Faiza baru mendapat kabar dari Orang Tua kekasihnya itu
tentang kepergian Saputra, hingga membuat ia lumpuh tak berdaya setelah
mendengar kabar tersebut. Betapa tidak, Saputra; kekasih yang selama ini
menemani hari-harinya sudah tidak ada lagi didunia ini. Hanya ada
bisikan pusara sang kekasih ditanah kuburan sana. Diam membisu,
membisikkan makna yang tak seorangpun mengerti makna, namun sungguh ada
satu pesan bahwa semua kita akan berakhir dibalik onggokan tanah dan
batu nisan berbalutkan busana putih tanpa teman.
Menatap
bayangannya Saputra, kekasih Hati yang selama ini menemani sudah tidak
akan mungkin lagi terjadi, barangkali hanya sekedar mimpi yang membuat
semua itu menjadi nyata diatas perjalanan waktu. Dalam hati terus
mengadu, bergulat dalam jiwa bersama sayatan luka mendalam membuat semua
kehidupan terlihat kelam. Faiza mencoba untuk bangkit dari tempat
tidurnya dan mengambil selembar kertas yang berada diatas meja
belajarnya. Secarik kertas, tulisan puisi Saputra yang pernah
dipersembahkan saat memberikan Faiza Kado ULTAH yang ke-21.
Jika
hanya selepas mentari mengisahkan terik panasnya diatas muka bumi hanya
karena tak menginginkan mendung menyelimuti, entah mengapa ia
menampakkan diri jua diatas cakrawala. Jika hanya embun menempel diatas
dedaunan hanya karena mengharap sapa sang surya diatas mahkota cakrawa,
entah mengapa ia terwujud disaat pagi hari saja? Kini perguliran waktu
terus berputar, membuat semuanya berubah. Begitu pula dengan diriMu;
Sayang, Usia sudah tidak lagi muda, terus saja betambah disetiap
harinya. Izinkanlah secarik kertas ini menemai setiap perputaran waktu.
Semua harus diterima apa adanya. tak ada yang abadi, namun Izinkanlah
cinta Ini bersemai diantara dua hati, dan terus menghiasi hingga
berteman keabadian. Sayang, semoga Engkau Selalu berbahagia. Amin!
Oya
Sayang, terimalah Kado yang sangat sederhana ini, Boneka Teddy Bear
warna biru muda. Semoga bisa menemani malam-malamMu. Salam Sayang,
Kangen, Rindu dan Cinta dari KekasihMu; Ahmad Arvan Saputra Ardiansyah.
Mata
Faiza tak mampu lagi membendung tetesan air mata yang semakin mengucur
deras, Membaca surat itu seolah-olah ia sedang menyaksikan kehadiran
Saputra berada disampingnya. Membuat kenangan masa lalu semakin jelas
terlihat didepan mata. Sesekali ia memeluk boneka Teddy bear yang ada
disampingnya. “Sayang, mengapa engkau tega meninggalkanKu sendiri. Aku
tidak begitu kuat menahan kesedihan ini.” Gumamnya sambil menatap Photo
yang terpampang diatas meja belajarnya. Faiza tidak juga mendapatkan
jawaban apapun, hanya bisa melihat dan menyaksikan senyuman tanpa suara
dari dalam bingkai photo.
Sudah enam hari berlalu,
semenjak kepergian Saputra , Faiza tidak menampak wajah cerah. Sesekali
tangisan menghiasi pipinya saat melihat pasangan kekasih bermesraan
didepan matanya saat bertugas dirumah sakit, diruang tunggu, ruang inap
yang biasa diramaikan oleh keluarga pasien yang sedang menjenguk anggota
keluarganya. “Andai saja Mas saputra masih ada, barangkali Faiza tidak
sendiri menjalani hidup ini, pengen rasanya untuk bisa berkumpul
bersama, canda dan tawa bersama, namun semua itu sudah tidak mungkin
lagi terjadi. huuuft.” Gumamnya dalam hati. Berhari-hari, Faiza hidup
dalam pengandaian yang tak kunjung usai. Ia terkungkung dalam penjara
kenangan masa silam, membuat kehidupannya tidak lagi ceria seperti dulu.
“Faiza…”
Sapa Alfina. Perawat sekaligus Sahabat dekat Faiza saat bertugas
dirumah sakit, Ruang internis. Sudah satu bulan mereka bertugas diruang
yang sama. Membuat hubungan mereka semakin dekat adanya. “Iya Mbak”
jawab Faiza yang sedang duduk diruang perawat menimpali panggilan
sahabatnya yang berada diruang sanitizer, ternyata Alfina sedang
membersihkan tangannya dari darah yang masih berbau anyir setelah keluar
dari ruang tindakan. “Coba Mbak Faiza check dulu pasien yang baru masuk
diruang 29A. tadi keluarga pasien meminta untuk digantikan cairan
infusnya. nanti saya susul belakangan. Pokoknya jangan tampakkan wajah
muramnya lagi, barangkali mbak faiza bakal bertemu sang pangeran
pengganti. Enjoy ajja. Okey!” pinta Alfina, sedikit menghibur. “Iya,
Mbak. Ihhh, mbak alfina lebay dech. Mana ada pangeran pengganti. Kayak
pemeran pengganti film layar lebar aja” jawab faiza.
Faiza
langsung saja melangkahkan kakinya ke ruang 29A, walau terlihat berat,
ia tetap saja mencoba untuk kuatkan hati dalam kesedihan yang masih
menyelimuti hidupnya. Suatu kewajiban untuk membantu mereka yang sedang
sakit, karena memang tugas yang harus ia selesaikan sebagai seorang
petugas pelayan kesehatan, walau apapun yang sejatinya sedang bertengger
diatas tungku jiwa. Semua itu harus mampu ia minimalisir demi tuntutan
profesionalisme dalam bertugas memberikan pelayanan terbaik bagi para
pasiennya.
“Gemana Mbak, sudah selesai ganti cairan
Infusnya?” Tanya Alfina kepada sahabat dekatnya itu yang baru saja
datang dari ruang petugas dan sekarang lagi berdiri tegak disamping meja
yang biasa digunakan untuk meletakkan obat-obatan dan juga makanan bagi
pasien. “Sudah selesai kok mbak. Oya mbak, minta tolong, coba dicheck
kembali tensi pak Latief. Mungkin tensinya mengalami perubahan sejak
dipindah alihkan dari ruang UGD?” pinta Faiza. “Okey, sus… siap
dilaksanakan” jawab Alfina, sesekali terlihat senyuman dari raut
wajahnya, barangkali ia sedang mendapat kabar bahagia, tidak seperti
sahabatnya yang seringkali menampak wajah muram, wajar saja, Faiza belum
sepenuhnya menerima kenyataan saat ditinggal oleh kekasihnya menghadap
Sang Khalik, apalagi ditambah oleh sikap Keluarga Kekasihnya yang lebih
memilih diam ketimbang memberikan Informasi kepada Faiza atas kepergian
Saputra.
“Pak, Saya check dulu tensinya, gih?” Senyuman
kecil menghiasi pipi Alfina sembari memasangkan alat Spyhgnomamometer
ditangan kiri pak Latief, pasien baru yang mengidap stroke diruang 29A.
Faiza
dan Alfina sudah terbiasa menghadapi pasien yang mengidap penyakit
stroke diruang internis. Ruang Internis memang diperuntukkan bagi
mereka; pasien-pasien yang mengidap stroke. Wajar saja Faiza dan Alfina
begitu cekatan dalam menangani pasien-pasiennya karena Sudah menjadi
kebiasaan setiap harinya.
“Terima kasih Mbak… oya, jika
nanti suatu waktu butuh pertolongan perawat jaga, kira-kira gemana
caranya, mungkin ada prosedur lain yang memang harus dipenuhi atau
gemana?” Tanya seorang keluarga pasien. Sebut saja namanya Adi,
laki-laki bertubuh kekar dengan penampilan yang cukup mengesankan yang
sedang berdiri diujung ruangan, dekat White board yang terpasang dipojok
ruangan. “Oya mas, tinggal pencet bel disebelah kanan, dekat pintu
keluar, nanti petugas bakalan datang kok…” jawab faiza, raut wajahnya
menampakkan tegur sapaan dingin. Sebenarnya dalam hati Faiza tersimpan
dentuman besar saat menatap raut wajah Adi, sosok laki-laki betubuh
atletis, wajah ala Jet Li, pemeran Film China yang terkenal itu.
seolah-olah ia sedang melihat wajah Mas Saputra berdiri didepannya. Raut
wajah yang tak jauh berbeda dengan balutan busana layaknya Saputra.
Faiza
dan Alfina meninggalkan ruang perawatan pasien. Langkah kaki mereka
jelas terdengar, balutan sepatu vantouple warna putih mengesankan suara
“tuk…tak… tuk… tak…” saat melangkah menginjak lantai rumah sakit.
Balutan baju warna putih khas perawat membuat penampilan Faiza dan
Alfina terlihat sangat menarik untuk dipandang. Seolah-olah Busana putih
itu telah mampu menyimpan rapat-rapat kesedihan hati Faiza, entah
mengapa warna putih mampu menyelimuti hati yang sedang dirundung
kesedihan. Barangkali karena tuntutan tugas yang harus membuat Faiza dan
juga mereka yang berdedikasi untuk pasien mampu terlihat tegar dalam
terpaan cobaan, bukan semata-mata hanya karena balutan busana warna
putih itu saja. Semua warna adalah indah jika kita mampu bersenda dalam
batin bahwa sesungguhnya ada warna tertentu yang membuat ketertarikan
jiwa itu ada, entah itu warna putih, biru ataupun lain sebagainya.
Semuanya indah, tergantung bagaimana anda menafsirkannya.
“Driniiing…
Dringgg… Dringgg…” bunyi suara bel diruang tugas perawat. Rupanya ruang
29A sedang membutuhkan pertolongan medis. Dengan segera Faiza
melangkahkan kakinya keruang tersebut. “Iya pak,,, barangkali ada yang
bisa kami bantu?. Infusnya sudah habis yach” sapa Faiza sambil melihat
cairan infuse yang bergantungan diatas tiang perawatan, diujung sebelah
atas tempat tidur pasien. Kelihatannya Faiza masih belum yakin dengan
apa yang dilihatnya, hentakan jantungnya berdebar keras saat menatap
sosok Adi, dalam benaknya selalu terbayang wajah Saputra, tentu saja
membuatnya salah tingkah. “Mbak, tadi bapak sempat mengigau, katanya
tangannya terasa ngilu. Badannya terasa panas. Kira-kira bapak kenapa,
mbak?” Tanya Adi, keluarga pasien pak latief, sosok pemuda berwajah
Chinese dengan rambut lurus, sudah sejak lama Ia memperhatikan Faiza,
wanita dengan paras wajah cantikannya itu. Ternyata Adi memang sengaja
meminta pertolongan medis agar bisa bertemu kembali dengan Faiza,
perawat berwajah cantik dengan hidungnya yang mancung serta kulitnya
yang putih langsat. Jilbab putih yang melekat dikepalanya menambah
pesona kecantikan alami Faiza. Seolah-olah ada seorang bidadari yang
menampakkan diri dimuka bumi ini.
“Mas, Kondisi bapak
masih butuh perawatan intensif. Tensinya juga lagi dimonitoring sama
dokter yang merawat bapak. Mas tidak usah cemas. Kami akan berusaha
semaksimal mungkin untuk bisa memberikan perawatan bagi Bapak latief.”
Jawab Faiza, mencoba menjelaskan kondisi pasien yang sedang dirawatnya
itu, Sesekali terlihat gerakan tangan Faiza, meyakinkan penjelasannya
dengan bahasa Tubuh, lebih lagi untuk mengurangi rasa gugup yang mendera
perasaannya. “Oooo begitu ya mbak. Terima kasih banyak mbak. Saya minta
maaf jika telah mengganggu waktunya mbak.” “Sudah tugas kami kok Mas,
jadi mas tidak usah sungkan-sungkan, jika suatu waktu membutuhkan
pertolongan, petugas diruangan siap membantu..” Lanjut Faiza.
Percakapan
singkat yang sangat mengesankan bagi Adi, laki-laki berwajah sipit
dengan wajah ovale itu. Namun entahlah apa yang sedang tersuratkan dalam
hati Faiza, jangan-jangan Faiza juga demikian, namun ia malu untuk
mengatakan bahwa Adi memiliki karakter yang tidak jauh berbeda dari sang
kekasih; Saputra. Setelah pertemuan Mereka diruang 29A, Adi merasakan
Vibrasi dalam hatinya, seolah-olah ada getaran yang mengusik labirin
jiwanya hingga membuat perasaannya membumbung keatas angkasa, membuatnya
mampu memetik bintang-bintang angkasa, bersemai cinta yang selalu
bersinar terang dalam ruang jiwa. Seiring perputaran waktu, kedekatan
mereka semakin terasa adanya setelah intensitas pertemuan mereka begitu
seringnya dirumah sakit Mamben, Ruang Internis.
Siang yang
cerah, dipenghujung hari, menjelang menyambut datangnya sore. Bayangan
benda-benda terlihat dua kali lipat dari bentuk aslinya. Terlihat dua
orang wanita meninggalkan area parkir petugas rumah sakit, ternyata
kedua wanita tidak lain adalah mahasiswa salah satu Universitas Negeri
Mamben, universitas terbesar dikota mamben. Kedua wanita tersebut sedang
menyelesaikan Peraktik Lapangan di RS Mamben; Faiza dan Alfina. “Faiza,
kita mampir dulu diwarung yuuuks” pinta Alfina, menyapa Faiza. “Lapeeer
nich.” Lanjutnya. “Okey dech sus,,, Makan dimana nich?” Jawab Faiza
menimpali sahabatnya, Alfina. “Ditempat biasa ajja dech. Okey.” Mereka
pun beranjak dari tempat parker melintasi deretan sepeda motor yang
berjejer rapi bak perajurit militer saat sedang berlatih Berbaris.
Ditengah
perjalanannya itu, secara tidak sengaja mereka bertemu dengan Adi,
laki-laki berwajah chines yang biasa menyapa mereka diRuang internis.
Maklumlah, mereka memang dipertemukan tuhan ditempat itu. suatu kehendak
takdir yang tidak disangka-sangka oleh siapapun. Banyak sekali
sekenario kehidupan yang tidak pernah kita mengerti, hanya pantas
diserahkan pada rahasia takdir tuhan. Seperti pertemuan antara Faiza dan
Adi, layaknya pertemuan Romeo dan Juliet seperti dinovel-novel roman
yang begitu banyak digemari remaja.
“Eeeh, bu suster. Mau
kemana tuch?” Tanya Adi. “Mmmmm, mau ke kantin. Laper nich.” Jawab
Alfina. “Bareng Yuuuks, saya juga lagi lapar, sejak tadi pagi belum
sarapan. Boleh khan?” “lanjut Adi, mencoba menghangatkan komunikasi
diantara mereka bertiga. Boleh-boleh-boleh.” Jawab Alfina. Faiza hanya
terdiam, tanpa suara. Hanya terlihat senyuman tipis dipipinya, sesekali
menatap lembut wajah Adi. Entah apa yang sedang terpikirkan, namun bisa
terlihat dari pancaran cara pandangan matanya itu, rupanya Faiza
mengagumi sosok Adi, membuatnya terbingkaikan rasa malu.
“Kok
mbak Faiza diam aja sich, kayaknya ada masalah nich?!?” celetuk adi
sambil merapikan tempat duduknya setelah mengantar menu pesanan ke
pojokan kantin, tempat dimana orang-orang biasanya memesan menu yang
akan mereka santap.
Tidak ada satupun jawaban yang
terdengar dari mulut tipis Faiza, hanya saja terlihat senyuman kecil
menghias pipinya. Entah mengapa ia hanya terdiam tanpa suara. Sikapnya
yang dingin membuat beribu-ribu tanda Tanya dimata Adi. “Mas Adi, Mbak
Faiza lagi bersedih hati tuch setelah ditinggal kekasih hatinya.
Barangkali mas Adi bisa menghibur. Heee. Heee..” Alfina langsung saja
mengomentari dengan nada candanya itu, harapannya agar bisa membuat
tangisan sedih dalam hati sahabatnya sirna tanpa sisa.
Terlihat
warna merah dipipi Faiza. Sesekali ia mencuri pandang kearah Adi. Dalam
batin ia berkata, “Tuhan akankah aku bisa menatap keperibadian Mas
Saputra didalam diri Adi, wajahnya terlihat mirip, mengingatkanku
kenangan yang telah berlalu. Tuhan, tolonglah daku, sesungguhnya hati
ini begitu sulit untuk menrima kenyataan. Akankah mas Saputra menjamu
dirinya dalam sosok laki-laki yang sedang ada disamping ini, Tuhan,
berikanlah jawaban atas kebimbangan ini.”
“Eiiitz, Mbak
Faiza mengkhayalkan siapa tuch? Sapa Adi sambil menatap dalam-dalam
wanita cantik yang sedang duduk didepannya itu. “Mas Adi, mbak Faiza
suka menghayal akhir-akhir ini. barangkali mas Adi bisa membuat Mbak
Faiza tidak lagi hidup dalam khayalan. Benar khan mbak Faiza.?!” Celetuk
Alfina, menggoda. Wajah Faiza semakin terlihat memerah menampak rasa
malu yang sedang hinggapi dirinya.
“Aaaah, Mbak Alfina
Sook tahu nich. Nggak lagi menghayal kok. Eh, kita makan dulu dech,
nanti saja kita lanjutkan ngobrolnya lagi. Khan gak boleh makan sambil
ngomong. Iya khan bu sus…..” Faiza mencoba membuka mulutnya yang bisu,
ternyata dalam seribu rahasia yang tersimpan, ia masih mampu mengalihkan
apa yang sedang berkecamuk dalam batinnya.
Suara canda
tawa menghiasi obrolan mereka sore itu. seakan-akan mereka begitu enggan
untuk meninggalkan tempat duduk kantin. Kedekatan mereka semakin erat
terasa membuat mereka menyingsingkan tirai batin yang selama ini
menutupi jiwa dalam dada. Senyuman mekar nan menawan membingkai jelas
diwajah mereka, barangkali kebahagiaan sedang bercengkerama dihati
mereka, begitupula dengan Faiza, layaknya seorang yang baru saja merasa
kedamaian menghiasi singgasana Jiwanya. Setelah kejadian itu, Faiza dan
Alfina sudah merasa begitu dekat dengan Adi, laki-laki berwajah ala
chiness itu.
Garis waktu semakin terlihat jelas,
memberikan kesempatan bagi Faiza untuk bisa menatap wajah Adi. Adi pun
juga demikian. Ternyata Tuhan menitipkan sayap baru bagi kehidupan saat
kita sudah tidak mampu terbang lagi untuk mengitari alam semesta. semua
itu tidak akan mungkin terjadi jika jiwa tertutup dari kaunia yang Tuhan
telah dan akan diberikan-Nya. Semua akan terlihat indah jika Jiwa mampu
membuka diri untuk menjadi wajah kebahagiaan. Sebagaimana pesan seorang
sahabat kebijaksanaan “Bila dirimu sekarang sedang menunggu seseorang
untuk menjalani kehidupan menuju ridhoNya, bersabarlah dengan keindahan.
Demi Allah, dia tidak datang karena kecantikan dan ketampanan,
kepintaran ataupun kekayaan. Tapi Allah-lah yang sebenarnya sedang
menggerakkan semuanya itu. janganlah tergesa-gesa untuk mengekspresikan
cinta kepadanya sebelum Allah mengizinkan atas semuanya. Belum tentu
yang kaucintai adalah yang terbaik untukmu. Siapakah yang lebih
mengetahui melainkan Allah. Simpanlah segala bentuk ungkapan cinta dan
derap hati rapat-rapat. Allah akan menjawabnya dengan lebih indah
diwaktu yang tepat. Sesungguhnya ia akan datang dalam waktu yang tepat.
Bersabarlah untuk menunggu cinta dalam bingkisan kado Cinta sebagai
persembahan Yang Maha Cinta.”
Dua Minggu telah berlalu.
Tidak terasa waktu telah berputar dengan cepatnya. Kenangan disetiap
torehan selalu saja membekas dalam kenangan, namun kenangan tidak akan
pernah mampu membekukan sejuta harapan didepan sana, dikehidupan masa
depan. Hanya mereka yang terbelit dalam kungkungan masa yang tak mampu
berdiri melihat kenyataan ditengah kehidupan. Boleh saja cinta masa lalu
membuat kesedihan menyemaikan diri, namun bukan pertanda akhir dari
segala-galanya.
Kini Faiza telah mampu melewati
garis-garis waktu, melewati kesedihan yang selama ini membuatnya
mengurung diri dalam kesendirian. Seolah-olah hidup ini penjara baginya.
Tapi bagaimanapun jua, akhir cinta bukanlah akhir dari segalanya. Faiza
sudah sepenuhnya menerima kenyataan yang Tuhan berikan. Tangisan
minggu-minggu sebelumnya sudah tidak lagi menghiasi pipi cantiknya.
Barangkali ia sudah bisa melihat kehidupan yang indah didepan sana
apalagi ruang waktu terbuka lebar untuknya setelah tuhan mengutus
malaikat kecil didalam kehidupan barunya; Adi laki-laki baik hati
seperti kekasih lama yang pernah singga dihati atau bahkan lebih baik
lagi daripada semua yang telah berlalu. Bukankah Tuhan memberikan yang
terbaik dalam hidup ini?. Keep Spirit For Our Life Better…
Salam satu Jiwa… Salam sehat Jiwa untuk menggapai bahagia…
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar