Selasa, 28 Februari 2012

Bagaimana Mungkin CINTA itu membuatnya jatuh dalam kebingungan ASMARA

Suasana malam saat itu terlihat lengang, berbeda dari malam-malam sebelumnya. Laju Mobil warna Pink bernomor polisi DR 3804 KQ melaju dengan kecepatan 90 km/ jam. Tentu saja hal biasa terjadi ketika jumlah kendaraan dijalan raya terlihat lengang, relative lebih aman menjalankan kendaraan roda empat dengan laju kecepatan diatas 70 km/ jam (Warning! Diharapkan tidak mengikuti adegan dalam cerita jika kondisi jalan relative ramai oleh pengguna jalan <peraturan polisi="" lalu="" lintas="" republik="" indonesia=""> dan ataupun mengemudi dengan kecepatan diatas rata-rata karena akan dapat mencelakai diri anda dan orang lain. Sueer tie keweeer-keweeer dech***). Hanya ada satu dua kendaraan yang melintasi jalan Provinsi Mataram-Labuhan Lombok. Suara musik sendu terdengar sayup-sayup dari dalam mobil tersebut, meramaikan kesendirian seorang wanita cantik yang sedang menyanyikan lagu kebahagiaan dari dalam hatinya saat cinta telah membisikkan syair kerinduan, teriring oleh merdunya detakan jantung yang seolah-olah menjadi suara pengiring disaat seorang penyanyi handal mempersembahkan lagu terindahnya dalam bahasa cinta, sekaliber penyanyi handal Justin Beiber, Celine Dion, ataupun Pasha Ungu yang begitu banyak digemari generasi muda. (Attention! Diharapkan untuk tidak mengemudi dengan memakai alat-alat pengeras suara karena dapat mengurangi fokus konsentrasi saat berkendara. BERBAHAYA!!! Jangan coba-coba, ntar tabrak orang, baru tahu akibatnya. Jangan dicoba Yach. Okey!!! hehe).</peraturan>

Terlihat didalam mobil tersebut sosok seorang wanita berwajah oval dengan keindahan bola matanya yang mirip seperti artis china sedang menatap jauh kedepan, menembus kaca mobil, menelusuri jalanan yang dilaluinya. Raut senyuman menampak manis penuh arti masih membekas disetiap rona pancaran raut wajah wanita cantik ini. Sebut saja namanya Hannania Serellia Za’farani Meilania Latifa. Wanita yang akrab dipanggil Nia oleh teman dekatnya di Apotek MUMAT, Maklumi saja, wanita cantik ala artis china ini sudah lama bekerja di Apotek MUMAT setelah lulus dari bangku kuliah sarjana strata satu di Universitas Negeri Mamben, jurusan Farmasi.

Rupa-rupanya pertemuan singkat dengan dokter Alawi telah mengubah raut wajahnya kali ini. Wajar saja begitu, pertemuannya di Apotek MUMAT di jalan TGKH Zainuddin Abdul Majid no 70 Pancor dua minggu lalu telah mengubah segalanya. Rupanya aroma cinta membekas menelusuk masuk dalam diri Nia saat dikunjungi apoteknya oleh dokter Alawi setelah lama berteman akrab disalah satu situs social yang banyak dikunjungi kaum lajang, pun juga kaum generasi lanjutan/ orang tua. Perkenalan singkatnya dua minggu lalu masih terkesan hangat hingga saat ini atau sampai kapan pun itu ketika cinta telah menyemaikan diri didalam ruang jiwanya kali ini. Ternyata diam-diam semerbak aroma cinta telah menelusuk masuk hingga membuatnya terengah sekaligus terjengah ketika tahu keharuman cinta sampai diubun-ubunnya, bahkan lebih jauh menelusuri labirin jiwanya yang paling dalam.

Pertemuan kali kedua telah membuat aroma keharuman masih terasa didalam mobil yang sedang melaju kencang tersebut. Betapa tidak, bingkisan kecil berupa bunga mawar dari dokter Alawi telah menjadikan kehidupan luar biasa dalam diri Nia, perkenalan singkatnya itu semakin berlanjut didunia maya ataupun dimedia teknologi komunikasi lainnya; Handphone, seperti kebanyakan anak muda zaman sekarang yang telah banyak menemukan cinta diantara tampilan sosok photo wanita cantik hingga menjadikan ketertarikan terus membumi nyata didalam kehidupan yang nyata. Berawal dari pertautan dunia maya membuat mereka semakin dekat adanya. Meniadikan ruang dan bahkan menyatukan mereka disetiap saat walau badan tak sempat bersua selama dua minggu lebih lamanya. (Trendy kehidupan psikologis percintaan masa sekarang yang lebih dititik beratkan pada pertemuan singkat lantas berlanjut didunia maya ataupun sebaliknya, berawal dari dunia nyata lantas berlanjut didunia maya)

Nafas lega bersimpuh pada perasaan bahagia menjadikan detakan jantung Nia berdetak dalam suara yang seolah-olah menunjukkan ritme yang sulit sekali dimengerti ataupun didiagnosa oleh spesialis cinta sekalipun. Tidak terasa, jarak tempuh Pancor, tempat dimana ia bekerja singkat rasanya dengan rumahnya di jalan Karang Anyar nomor 33. Perumahan Megah, yang hanya dihuni oleh orang berkelas ekonomi menengah keatas. Selain cantik, Nia ternyata memiliki kekayaan yang begitu memudarkan pandangan mata sekaligus menggiurkan untuk bisa menghitung keseluruhan kepemilikan harta kekayaan orang tuanya, walau begitu, sifat kelembutan dan rendah hati menjadikannya begitu dekat dengan teman-temannya, baik dari golongan berada maupun mereka yang jauh dari tarap kehidupan berkecukupan. Sifat kesombongan seolah-olah enyah dalam dirinya, karena bagi Nia, harta bukanlah sebagai ukuran segala-galanya jika kedamaian tidak menjadi teman disetiap perjalanan menapaki prosesi kehidupan ini.

Malam itu, sesekali senyuman menampak merona dari pipi manisnya yang tak bernoda, bak rembulan purnama yang memancarkan satir cahaya keindahan yang hanya diperuntukkan bagi semesta. Seakan-akan pertemuan kali kedua dengan dokter Alawi telah menghadirkan sejuta makna yang sulit sekali didefinisikan oleh seorang akdemisi, ataupun seorang guru besar cinta. Saat itu, nia menatap keindahan panorama malam sambil menikmati air putih yang tersedia disampingnya (Dianjurkan bagi siapa saja, entah itu saya, anda dan juga mereka yang sedang mengalami kondisi kesehatan prima ataupun dalam kondisi perbaikan setelah sakit untuk mengkonsumsi air putih yang cukup setiap harinya agar terjadi hemoestatis dalam kinerja organ tubuh secara keseluruhan; 8-12 gelas/ hari), sesekali terlihat kegamangan mata menatap layar handphone yang biasa menemani kesehariannya saat mengakses pesan singkat dari seorang dokter Alawi ataupun informasi lain dari sahabat-sahabat karibnya.

Tiba-tiba saja Hanphone warna biru muda itu bergetar seketika. Rupanya ada pesan singkat yang sedang masuk di Inbox-nya; “Nia sudah sampai Rumah Apa belum, sekarang lagi apa tuch?!?!” bunyi pesan singkat itu membuat senyuman nia semakin terlihat indah merona, tentu saja pesan singkat tersebut membuatnya terketuk untuk tersenyum merekah seindah bunga mawar yang sedang menampakkan keindahan puncaknya ketika bulir-bulir setiap bunganya sudah sepenuhnya menyapa kehidupan penuh keindahan, rupanya pesan singkat itu dari dokter Alawi, teman Facebooknya itu, atau mungkin lebih dari sekedar teman. Laki-laki bertubuh kekar ala atletis dengan rambut lurus warna hitam, berkulit putih, seorang Dokter lulusan Fakultas kedokteran Universitas Negeri Mamben,. Satu almamater dengan Nia. Ia telah dikenal memiliki kepribadian yang lembut dan bertanggung jawab oleh para pasiennya sejak membuka peraktik bersama dengan teman-teman seangkatan yang dahulunya disatu naungan Fakultas Kedokteran, Universitas Negeri Mamben. Diklinik Mu’allimat, dokter Alawi memulai kariernya untuk berdedikasi secara tepat guna dan profesinalisme seorang klinikus untuk kepentingan masyarakat yang sedang sakit dan membutuhkan pertolongan medis, dibantu oleh teman dokter yang memiliki spesialisasi yang berbeda satu sama lain, seperti dokter Arrofah, Qadafie dan juga Dokter Hamdi.

Malam Semakin larut, Nia semakin asyik saja mengutak-atik handphonenya, menjawab pesan singkat dokter Alawi. Suasana malam terus saja menebarkan suasana dingin disetai buliran embun yang terus tertuang secara lembut dalam belaian yang lembut nan halus, tak terlihat kasat mata namun embun itu terus saja menyemaikan diri dalam malam bertahtakan keheningan, seakan akan ia sedang menyampaikan pesan bertemakan kebijaksanaan bahwa cinta juga berbahasa dalam cara lembut seperti itu; Cinta terus saja hadir disetiap waktu tanpa seorangpun yang menyadari kehadirannya ditengah pentas kehidupan. Jarum Jam dinding yang terpasang diatas Televisi berukuran 14 inci dikamar Nia telah menunjukkan tepat pukul 09:00 WITA, namun Nia seakan-akan telah tersihir oleh benda tak bernyawa itu, tetapi mampu mengeluarkan suara, lebih-lebih mampu bergetar layaknya manusia yang sedang diglitiki oleh teman sejawat.

Sapaan lembut angin malam membelai kulit putih wanita cantik ala artis china itu, hingga membuatnya tak kuat lagi untuk duduk didepan kamarnya menahan sengatan angin malam yang menelusuk masuk kedalam lapisan epidermis kulit, menikmati sisa keindahan panorama alam disaat manusia asyik didalam kungkungan tembok tebal, berlapiskan selimut empuk. Akhirnya Nia pun mengalah, lantas tumitnya Bardu bersua dan mengadu pada lantai untuk bersegera meninggalkan keharmonisan komunikasi bersama semesta diruang terbuka. Malam semakin menghunuskan dinginnya disetiap kulit tak berbalut lapis yang menutupinya, menyingkap tirani untuk mengantarkan manusia kedalam tidur lelapnya dalam belaian selimut tebal berteman mimpi indah saat mata tak kuasa lagi memendarkan ranumnya bola mata.

Kini pagi telah membuka diri menyambut kehidupan dengan wajah barunya diatas cakrawala, seperti biasa menyapa manusia tanpa jemu-jemunya, mentari sudah terlihat diatas ruas-ruas ufuk timur dikejauhan sana, terlihat malu menampak diri, namun perlahan-lahan ia menampakkan dirinya demi menerangi setiap jiwa manusia. Terlihat sosok wanita, didalam ruangan yang berukuran 4x6 yang sedang asyik bersimpuh dihadapan tuhannya, mengadahkan tangannya meminta pengharapan kepada Sang Khalik. Sudah tiga puluh menit berlalu, wanita cantik ini masih saja asyik bercengkerama dengan tuhannya setelah selesai menunaikan sholat shubuh. Rupanya Benar, Nia tidak hanya cantik dan kaya, kelembutan budinya ditambah lagi ketaatannya kepada Sang pencipta membuktikan akan keperibadiannya yang anggun, layaknya seorang malaikat kecil yang diutus tuhan mengisi muka bumi ini.

Setelah selesai bercengkerama dengan Sang Pencipta dipagi-pagi buta, barulah Nia beranjak dari tempat persembahyangannya itu untuk bersegera sesigap mungkin mengganti busana yang dikenakannya dengan seragam kerja warna putih yang biasa dikenakan oleh seorang klinikus, sudah tiba waktunya mencoba beradu dengan waktu karena waktu sudah menegurnya untuk kembali beraktifitas ditempat kerja di Apotek MUMAT, dipancor. Lumayan jarak tempuh yang relative menghabiskan waktu ditengah perjalanan, jarak tempuh 30 menit dengan kecepatan 60-70 km/ jam. Walau demikian, jarak tidaklah menyurutkan hati Nia untuk memberikan pelayanan terbaik bagi mereka yang sedang membutuhkan perhatian tenaga Medis, karena dengan memberikan pelayanan kemanusiaan atas setiap orang, maka jiwa seorang terbebaskan dari kemelekatan yang sejatinya menjerumuskan dalam jurang keterhinaan.

Selama seharian Nia bercengkerama dengan resep dokter yang tulisannya tidak begitu jelas bagi mereka yang awam untuk membacanya, namun karena pengalaman kerja serta pengetahuannya yang cukup dalam bidang ke-farmasi-an telah membuatnya mudah melakukan peracikan dan pendokumentasian resep yang sudah diserahkan keluarga pasien kepada dirinya diruang khusus apoteker, baginya hal tersebut semudah membolak balikkan tangan. Tentu saja profesionalisme dalam bidang ini ditekankan kehati-hatian dan ketelitian yang sangat agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan bagi pasien. Tidak terasa perguliran waktu terasa cepat. Bagi mereka yang menikmati perkerjaannya, waktu berlalu begitu saja, hatipun terlihat merekah menerima kado kehidupan setiap harinya. Bebeda halnya dengan jeritan jiwa para pekerja yang tidak menikmati perkerjaannya, hingga jiwanya menjerit entah kemana mengadu penderitaan yang ada dan mengoyak keindahan kebahagiaan mereka.

Ketika itu sore hari, terlihat dikejauhan diufuk barat sana matahari yang akan tenggelam meninggalkan cakrawala memancarkan kilau mega kuning ke-emasan pada pucuk dedaunan yang rindang. Dibawah pohon kelapa, disamping sebuah gundukan taman yang memancarkan keindahan didepan apotek MUMAT, berjejer Sepeda Motor karyawan, pun juga Mobil-mobil karyawan yang sudah siap untuk menunggu kedatangan para tuannya untuk merelakan diri dikendarai menyusuri jalanan yang acap kali terhias debu berterbangan dari deru kendaraan yang lalu lalang. Mobil warna pink sudah siap menyusuri ruas jalan raya. Nia membelokkan setang setirnya kearah kanan saat keluar dari pintu depan apotek, rupanya dia tidak langsung balik kerumahnya, petang itu. Mobil Warna Pink melaju perlahan meninggalkan apotek MUMAT menuju sebuah Pertamina Yang cukup luas sekaligus megah, 2 kilo meter dari tempat ia bekerja. Didalamnya tersedia area parker yang luas sekali, pun juga tersedia kafe dan tempat perbelanjaan yang relative ramai dikunjungi oleh pengendara motor maupun mobil, tidak jarang sebagian diantaranya menyempatkan diri untuk break sejenak dicafe Pertamina Selong guna melepas lelah setelah seharian berhadapan dengan rutinitas kantor yang menyita pikiran dan tenaga.

Mobil warna pink yang biasa dikendari Nia terlihat memasuki area parker cafĂ© Pertamina Selong. Tidak beberapa lama terlihat tubuh wanita cantik dengan busana rapi, khas seorang petugas kesehatan. Kerudung warna putih menutupi rambut lurus berwarna hitam. Wajah ovalenya itu menampak keceriaan, dari balik kaca mata warna putih yang dikenakannya terlihat sorot mata bening yang sangat indah bagi setiap pria yang memandang keindahan tatapannya. Tanpa ba-bi-buu, Nia langsung saja menutup pintu depan mobilnya lantas membunyikan alarm pengaman untuk menjaga hal yang tidak dinginkan. Terlihat olehnya Mobil warna Putih dengan nomor polisi DR 3007 KQ disebelah kanan tempat ia parker, urutan ketiga dari tempat ia parkir. Rupanya ia sudah kenal betul siapa yang memiliki mobil tersebut.”Waaah, kayaknya dokter Alawi sudah datang lebih dahulu.” Bisiknya dalam hati. Langkahnya pelan namun pasti meninggalkan tempat parker, dua puluh langkah atau mungin lebih dari itu dari pintu masuk kafe, Nia menemukan tiga orang laki-laki dengan tampilan mengesankan. Senyuman tampak merona menyambut kedatangan Nia di petang itu.

Assalamu’alaikum Wr Wb. Selamat malam dok, saya minta maaf jika kedatangan saya terlambat.” Sapa Nia ramah kepada tiga laki-laki yang sedang menikmati suasana petang dikafe pertamina selong, jalan TGKH. Humaidi nomor 07, dekat dengan Selong Town Squer, Mall yang sangat familier oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat. “Tidak mengapa kok, Nia nggak terlambat kok, kami baru saja datang, lima menit sebelum kedatangan mbak Nia.” Jawab Hamdi mencoba mengomentari Sapa lembut Nia yang saat itu masih berdiri diantara deretan kursi kayu yang berjejer rapi mengelilingi meja bundar yang terhias bunga-bunga segar, khas kafe elit dikota besar.

Silahkan mbak, duduk disebelah sini saja…” lanjut Arofah sambil mempersilahkan kursi kosong untuk ditempati Nia. Ternyata ketiga dokter tersebut memang sengaja datang ke Kafe Pertamina Selong, barangkali ada janji diantara mereka untuk suatu keperluan tertentu. Sambil memperbaiki tas berukuran kecil yang ditentengnya itu, Nia duduk diantara dua kursi kosong yang mengapitnya disebelah kiri dan kanan, dan didepannya terdapat meja bundar terukir corak khas budaya Lombok (ukiran berugak elen). Tepat didepannya wajah lembut dokter Alawi yang masih terdiam, terhias senyuman lembut kepada sosok wanita yang saat itu hadir diantara perjamuan. Alawi sudah merencanakan sebelumnya pertemuan petang itu, sengaja mengajak teman dekatnya yang rupanya menyukai Nia, Apoteker cantik, lulusan Universitas Negeri Mamben. Karena dia tidak menginginkan peselisihan hanya karena cinta. Alawi dalam diam menyembunyikan kedekatannya dengan Nia agar tidak terjadi konflik internal dalam ikatan persahabatan mereka, wajar jika bahasa komunikasi yang disampaikannya saat petang itu terlihat dingin-dingin saja.

Namun berbeda halnya dengan apa yang terjadi pada diri Nia, wanita cantik itu seakan-akan terpojokkan kenyataan, antara kebimbangan untuk menentukan sikap terbaik dalam menghadapi ketiga sahabat dekatnya itu, yang sama-sama mengharapkan dirinya sebagai teman kehidupan dalam jalinan ikatan yang secara sah menyatukan insan dalam naungan kasih keluarga; pernikahan, mereka bertiga tidak lain adalah sahabat dunia maya sekaligus sahabat dunia nyata yang terkadang mereka bertemu di Rumah Sakit Umum kota Selong dihari-hari tertentu saat gantian mereka untuk piket tugas sesuai surat putusan yang mereka terima dari menejemen rumah sakit. Tentu saja jadwal yang berbeda dan ditempat yang berbeda, namun tidak menutup kemungkinan terkadang mereka bertemu ditempat yang tidak disangka-sangka, entah itu dilorong rumah sakit ataupun ditempat lainnya.

Nia salah tingkah menghadapi suasana yang mana semua pandangan mata terfokus padanya, ia terperanjat dalam situasi yang tidak dinginkannya terjadi, namun bagaimanapun semua sudah terjadi seperti apa adanya dan tak bisa berteriak lari ataupun memungkirinya. Antara menatap wajah alawi yang begitu dikaguminya ataupun menatap wajah Hamdi dan Arofah yang begitu berkeinginan menjadi pacar dirinya, namun Nia hanya mengaggap mereka sebatas sahabat saja. Selama ini Nia menanggapi biasa-biasa saja pesan masuk Hamdi dan Arofah, ketika perhatian mengalir kepadanya karena memang bahasa halus hatinya tidak memberikan intraksi vibari energy cinta. “Waah, sudah waktunya sholat Magrib nich, gemana kalau kita sholat dulu!?” celetuk Alawi mencoba memecah keheningan yang saat itu mengejawantahkan rasa tak terhingga dalam dirinya, antara mengertikan hatinya untuk bisa berjalan beriringan dalam jalinan dan ikatan yang sah bersama Nia atau mencoba merelakan keutuhan tali persahabatan yang sudah mereka jalani bersama dengan kedua sahabatnya tersebut.

Alawi berdiri, mencoba memperbaiki kursi tempat duduknya sembari mencairkan suasana saat itu yang terlihat canggung adanya, tidak seperti kehangatan biasanya yang diwarnai canda dan tawa saat mereka bersama dalam nuansa yang berbeda. Nia pun mencoba bangkit dari tempat duduknya, mencoba untuk menghilangkan jejak kecuriagaan dan rasa sakit hati diantara ikatan persahabatan. “Kita sholat dulu Yuuuks, jangan bengong begitu donk.” Kata Nia sambil melepas senyum kaku kepada semua sahabatnya, mencoba menutupi kebimbangan yang tersimpan rapi didalam dirinya, antara menghargai persahabatan ataupun memilih alawi sebagai seorang pilihan hati yang sudah lama mereka jalani dalam komunikasi jarak jauh karena terhalangi rutinitas yang selama ini menyibukkan waktu mereka untuk bertemu dan bertatap mata. “Ayo kita sholat dulu, keburu waktu sholat magribnya habis nich!” lanjut Alawi sambil meniggalkan tempat. Saat itu, Hamdi dan Arofah terkesipu malu melihat diri mereka yang terlalu menampakkan hasrat dalam diri mereka untuk memiliki seorang Nia, Wanita cantik yang memiliki pancaran inner beauty bagi siapa saja laki-laki yang menatap keindahan paras rupanya.

Tanpa menyimpan rasa kecurigaan diantara mereka berdua, Arofah dan Hamdi segera bergegas dari tempat duduknya untuk menjalankan Ibadah sholat magrib, mengikuti langkah Alawi yang sudah sepuluh langkah mendahului didepan sana, dekat sebuah ruang berukuran sedang bertuliskan “Tempat Wudhu”, disampingnya.

Mereka secara bergiliran mengambil air wudhu, sedangkan Nia menunggu disamping Musholla karena sejak tadi siang Nia mendapatkan diskon Tuhan untuk tidak melakukan aktifitas persembahyangan seperti biasanya; Sholat. Suatu hal yang lazimnya terjadi pada wanita setiap bulannya. Saat itu Nia hanya terpaku dengan kejadian yang baru saja menimpanya, kejadian yang tidak disangka-sangka harus bertemu dengan kedua teman dekatnya yang juga begitu mengharapkannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, Nia tidak menyangka jika janji pertemuannya kali ini harus berhadapan dengan ketiga orang laki-laki yang sama-sama mengharapkannya untuk menjadi pendamping dalam hidup.

Nia terdiam, menatap ketiga sahabatnya itu, namun focus pandangannya saat itu tertuju pada alawi, dokter yang telah lama mengisi mimpi indahnya saat bercengkerama dialam mimpi disaat lelap mengisi peristirahatan dalam kesunyian. Sungguh, Nia, Tak kuasa menahan gejolak dalam hatinya, yang semakin lama semakin menjadi, menguras seluruh inginnya tuk sampaikan rasa cinta yang sangat mendalam, namun ia tak mampu ungkapkan semua itu karena tahu posisi dirinya sebagai seorang wanita yang harus menjaga impian cinta yang menaungi akan angannya. Sudah sekian lama ia berteman dalam impian untuk bersanding dengan dokter Alawi, laki-laki yang sudah sejak lama memberikan perhatian cinta kepadanya, memberikan nasihat maupun saran dalam hidupnya, seolah-olah Alawi adalah teman keseharian yang tidak mampu ia tolak kehadirannya. Akan tetapi rasa itu harus terbentur persaingan hasrat dalam ikatan persahabatan, antara memilih atau mengabaikan perasaan yang sedang bercengkerama dikedalaman sana. Gejolak rasa terus mengadu. Bayangkan saja bagaimana kebingungan itu terus memuncakkan diri disaat menghadapi situasi yang tidak dinginkannya terjadi, namun benar-benar terjadi adanya.

Dalam lamunannya itu, Nia terseret segudang impian dan segudang perselisihan internal antara dirinya sendiri. Mencoba untuk melihat benang merah dan memadamkan perdebatan yang ada, dalam hati ia berpesan menasihati diri, “Tuhan, berikanlah hamba kekuatan untuk menghadapi Situasi seperti ini, tak ada niatan sedikitpun untuk memisahkan jalinan persahabatan, namun tak kuat diri ini menyimpan rasa cinta yang semakin hari menguak seluruh angan untuk memiliki hambamu itu seorang diri (sambil membuka matanya menatap alawi yang sedang mengadahkan tangannya saat berdoa kepada Sang Pencipta). Berikanlah hambaMu yang lemah ini titik terang atas permasalahan agar kuat jiwa ini menghadapinya. Tuhan janganlah engkau timpakan ujian yang tidak kuat kami memikulnya. Amin” Jalinan mesra hatinya mengalir saat menuturkan sebaris doa pada tuhannya, membuatnya lapang melihat kenyataan saat tuhan menimpakan ujian. Barangkali Tuhan ingin membuktikan kesetian hambanya yang ingin mencoba jalinan kedekatan dengan Sang Pencipta. To Be Continued… Keep Spirit For Our Life Better…

Salam Satu Jiwa. Salam sehat Jiwa untuk Menggapai Hidup Bahagia.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar