Suasana malam saat itu terlihat lengang, berbeda dari
malam-malam sebelumnya. Laju Mobil warna Pink bernomor polisi DR 3804 KQ
melaju dengan kecepatan 90 km/ jam. Tentu saja hal biasa terjadi ketika
jumlah kendaraan dijalan raya terlihat lengang, relative lebih aman
menjalankan kendaraan roda empat dengan laju kecepatan diatas 70 km/ jam
(Warning! Diharapkan tidak mengikuti adegan dalam cerita jika kondisi
jalan relative ramai oleh pengguna jalan <peraturan polisi="" lalu=""
lintas="" republik="" indonesia=""> dan ataupun mengemudi dengan
kecepatan diatas rata-rata karena akan dapat mencelakai diri anda dan
orang lain. Sueer tie keweeer-keweeer dech***). Hanya ada satu dua
kendaraan yang melintasi jalan Provinsi Mataram-Labuhan Lombok. Suara
musik sendu terdengar sayup-sayup dari dalam mobil tersebut, meramaikan
kesendirian seorang wanita cantik yang sedang menyanyikan lagu
kebahagiaan dari dalam hatinya saat cinta telah membisikkan syair
kerinduan, teriring oleh merdunya detakan jantung yang seolah-olah
menjadi suara pengiring disaat seorang penyanyi handal mempersembahkan
lagu terindahnya dalam bahasa cinta, sekaliber penyanyi handal Justin
Beiber, Celine Dion, ataupun Pasha Ungu yang begitu banyak digemari
generasi muda. (Attention! Diharapkan untuk tidak mengemudi dengan
memakai alat-alat pengeras suara karena dapat mengurangi fokus
konsentrasi saat berkendara. BERBAHAYA!!! Jangan coba-coba, ntar tabrak
orang, baru tahu akibatnya. Jangan dicoba Yach. Okey!!!
hehe).</peraturan>
Terlihat
didalam mobil tersebut sosok seorang wanita berwajah oval dengan
keindahan bola matanya yang mirip seperti artis china sedang menatap
jauh kedepan, menembus kaca mobil, menelusuri jalanan yang dilaluinya.
Raut senyuman menampak manis penuh arti masih membekas disetiap rona
pancaran raut wajah wanita cantik ini. Sebut saja namanya Hannania
Serellia Za’farani Meilania Latifa. Wanita yang akrab dipanggil Nia oleh
teman dekatnya di Apotek MUMAT, Maklumi saja, wanita cantik ala artis
china ini sudah lama bekerja di Apotek MUMAT setelah lulus dari bangku
kuliah sarjana strata satu di Universitas Negeri Mamben, jurusan
Farmasi.
Rupa-rupanya pertemuan
singkat dengan dokter Alawi telah mengubah raut wajahnya kali ini. Wajar
saja begitu, pertemuannya di Apotek MUMAT di jalan TGKH Zainuddin Abdul
Majid no 70 Pancor dua minggu lalu telah mengubah segalanya. Rupanya
aroma cinta membekas menelusuk masuk dalam diri Nia saat dikunjungi
apoteknya oleh dokter Alawi setelah lama berteman akrab disalah satu
situs social yang banyak dikunjungi kaum lajang, pun juga kaum generasi
lanjutan/ orang tua. Perkenalan singkatnya dua minggu lalu masih
terkesan hangat hingga saat ini atau sampai kapan pun itu ketika cinta
telah menyemaikan diri didalam ruang jiwanya kali ini. Ternyata
diam-diam semerbak aroma cinta telah menelusuk masuk hingga membuatnya
terengah sekaligus terjengah ketika tahu keharuman cinta sampai
diubun-ubunnya, bahkan lebih jauh menelusuri labirin jiwanya yang paling
dalam.
Pertemuan kali kedua
telah membuat aroma keharuman masih terasa didalam mobil yang sedang
melaju kencang tersebut. Betapa tidak, bingkisan kecil berupa bunga
mawar dari dokter Alawi telah menjadikan kehidupan luar biasa dalam diri
Nia, perkenalan singkatnya itu semakin berlanjut didunia maya ataupun
dimedia teknologi komunikasi lainnya; Handphone, seperti kebanyakan anak
muda zaman sekarang yang telah banyak menemukan cinta diantara tampilan
sosok photo wanita cantik hingga menjadikan ketertarikan terus membumi
nyata didalam kehidupan yang nyata. Berawal dari pertautan dunia maya
membuat mereka semakin dekat adanya. Meniadikan ruang dan bahkan
menyatukan mereka disetiap saat walau badan tak sempat bersua selama dua
minggu lebih lamanya. (Trendy kehidupan psikologis percintaan masa
sekarang yang lebih dititik beratkan pada pertemuan singkat lantas
berlanjut didunia maya ataupun sebaliknya, berawal dari dunia nyata
lantas berlanjut didunia maya)
Nafas
lega bersimpuh pada perasaan bahagia menjadikan detakan jantung Nia
berdetak dalam suara yang seolah-olah menunjukkan ritme yang sulit
sekali dimengerti ataupun didiagnosa oleh spesialis cinta sekalipun.
Tidak terasa, jarak tempuh Pancor, tempat dimana ia bekerja singkat
rasanya dengan rumahnya di jalan Karang Anyar nomor 33. Perumahan Megah,
yang hanya dihuni oleh orang berkelas ekonomi menengah keatas. Selain
cantik, Nia ternyata memiliki kekayaan yang begitu memudarkan pandangan
mata sekaligus menggiurkan untuk bisa menghitung keseluruhan kepemilikan
harta kekayaan orang tuanya, walau begitu, sifat kelembutan dan rendah
hati menjadikannya begitu dekat dengan teman-temannya, baik dari
golongan berada maupun mereka yang jauh dari tarap kehidupan
berkecukupan. Sifat kesombongan seolah-olah enyah dalam dirinya, karena
bagi Nia, harta bukanlah sebagai ukuran segala-galanya jika kedamaian
tidak menjadi teman disetiap perjalanan menapaki prosesi kehidupan ini.
Malam
itu, sesekali senyuman menampak merona dari pipi manisnya yang tak
bernoda, bak rembulan purnama yang memancarkan satir cahaya keindahan
yang hanya diperuntukkan bagi semesta. Seakan-akan pertemuan kali kedua
dengan dokter Alawi telah menghadirkan sejuta makna yang sulit sekali
didefinisikan oleh seorang akdemisi, ataupun seorang guru besar cinta.
Saat itu, nia menatap keindahan panorama malam sambil menikmati air
putih yang tersedia disampingnya (Dianjurkan bagi siapa saja, entah itu
saya, anda dan juga mereka yang sedang mengalami kondisi kesehatan prima
ataupun dalam kondisi perbaikan setelah sakit untuk mengkonsumsi air
putih yang cukup setiap harinya agar terjadi hemoestatis dalam kinerja
organ tubuh secara keseluruhan; 8-12 gelas/ hari), sesekali terlihat
kegamangan mata menatap layar handphone yang biasa menemani
kesehariannya saat mengakses pesan singkat dari seorang dokter Alawi
ataupun informasi lain dari sahabat-sahabat karibnya.
Tiba-tiba
saja Hanphone warna biru muda itu bergetar seketika. Rupanya ada pesan
singkat yang sedang masuk di Inbox-nya; “Nia sudah sampai Rumah Apa
belum, sekarang lagi apa tuch?!?!” bunyi pesan singkat itu membuat
senyuman nia semakin terlihat indah merona, tentu saja pesan singkat
tersebut membuatnya terketuk untuk tersenyum merekah seindah bunga mawar
yang sedang menampakkan keindahan puncaknya ketika bulir-bulir setiap
bunganya sudah sepenuhnya menyapa kehidupan penuh keindahan, rupanya
pesan singkat itu dari dokter Alawi, teman Facebooknya itu, atau mungkin
lebih dari sekedar teman. Laki-laki bertubuh kekar ala atletis dengan
rambut lurus warna hitam, berkulit putih, seorang Dokter lulusan
Fakultas kedokteran Universitas Negeri Mamben,. Satu almamater dengan
Nia. Ia telah dikenal memiliki kepribadian yang lembut dan bertanggung
jawab oleh para pasiennya sejak membuka peraktik bersama dengan
teman-teman seangkatan yang dahulunya disatu naungan Fakultas
Kedokteran, Universitas Negeri Mamben. Diklinik Mu’allimat, dokter Alawi
memulai kariernya untuk berdedikasi secara tepat guna dan
profesinalisme seorang klinikus untuk kepentingan masyarakat yang sedang
sakit dan membutuhkan pertolongan medis, dibantu oleh teman dokter yang
memiliki spesialisasi yang berbeda satu sama lain, seperti dokter
Arrofah, Qadafie dan juga Dokter Hamdi.
Malam
Semakin larut, Nia semakin asyik saja mengutak-atik handphonenya,
menjawab pesan singkat dokter Alawi. Suasana malam terus saja menebarkan
suasana dingin disetai buliran embun yang terus tertuang secara lembut
dalam belaian yang lembut nan halus, tak terlihat kasat mata namun embun
itu terus saja menyemaikan diri dalam malam bertahtakan keheningan,
seakan akan ia sedang menyampaikan pesan bertemakan kebijaksanaan bahwa
cinta juga berbahasa dalam cara lembut seperti itu; Cinta terus saja
hadir disetiap waktu tanpa seorangpun yang menyadari kehadirannya
ditengah pentas kehidupan. Jarum Jam dinding yang terpasang diatas
Televisi berukuran 14 inci dikamar Nia telah menunjukkan tepat pukul
09:00 WITA, namun Nia seakan-akan telah tersihir oleh benda tak bernyawa
itu, tetapi mampu mengeluarkan suara, lebih-lebih mampu bergetar
layaknya manusia yang sedang diglitiki oleh teman sejawat.
Sapaan
lembut angin malam membelai kulit putih wanita cantik ala artis china
itu, hingga membuatnya tak kuat lagi untuk duduk didepan kamarnya
menahan sengatan angin malam yang menelusuk masuk kedalam lapisan
epidermis kulit, menikmati sisa keindahan panorama alam disaat manusia
asyik didalam kungkungan tembok tebal, berlapiskan selimut empuk.
Akhirnya Nia pun mengalah, lantas tumitnya Bardu bersua dan mengadu pada
lantai untuk bersegera meninggalkan keharmonisan komunikasi bersama
semesta diruang terbuka. Malam semakin menghunuskan dinginnya disetiap
kulit tak berbalut lapis yang menutupinya, menyingkap tirani untuk
mengantarkan manusia kedalam tidur lelapnya dalam belaian selimut tebal
berteman mimpi indah saat mata tak kuasa lagi memendarkan ranumnya bola
mata.
Kini pagi telah membuka
diri menyambut kehidupan dengan wajah barunya diatas cakrawala, seperti
biasa menyapa manusia tanpa jemu-jemunya, mentari sudah terlihat diatas
ruas-ruas ufuk timur dikejauhan sana, terlihat malu menampak diri, namun
perlahan-lahan ia menampakkan dirinya demi menerangi setiap jiwa
manusia. Terlihat sosok wanita, didalam ruangan yang berukuran 4x6 yang
sedang asyik bersimpuh dihadapan tuhannya, mengadahkan tangannya meminta
pengharapan kepada Sang Khalik. Sudah tiga puluh menit berlalu, wanita
cantik ini masih saja asyik bercengkerama dengan tuhannya setelah
selesai menunaikan sholat shubuh. Rupanya Benar, Nia tidak hanya cantik
dan kaya, kelembutan budinya ditambah lagi ketaatannya kepada Sang
pencipta membuktikan akan keperibadiannya yang anggun, layaknya seorang
malaikat kecil yang diutus tuhan mengisi muka bumi ini.
Setelah
selesai bercengkerama dengan Sang Pencipta dipagi-pagi buta, barulah
Nia beranjak dari tempat persembahyangannya itu untuk bersegera sesigap
mungkin mengganti busana yang dikenakannya dengan seragam kerja warna
putih yang biasa dikenakan oleh seorang klinikus, sudah tiba waktunya
mencoba beradu dengan waktu karena waktu sudah menegurnya untuk kembali
beraktifitas ditempat kerja di Apotek MUMAT, dipancor. Lumayan jarak
tempuh yang relative menghabiskan waktu ditengah perjalanan, jarak
tempuh 30 menit dengan kecepatan 60-70 km/ jam. Walau demikian, jarak
tidaklah menyurutkan hati Nia untuk memberikan pelayanan terbaik bagi
mereka yang sedang membutuhkan perhatian tenaga Medis, karena dengan
memberikan pelayanan kemanusiaan atas setiap orang, maka jiwa seorang
terbebaskan dari kemelekatan yang sejatinya menjerumuskan dalam jurang
keterhinaan.
Selama seharian Nia
bercengkerama dengan resep dokter yang tulisannya tidak begitu jelas
bagi mereka yang awam untuk membacanya, namun karena pengalaman kerja
serta pengetahuannya yang cukup dalam bidang ke-farmasi-an telah
membuatnya mudah melakukan peracikan dan pendokumentasian resep yang
sudah diserahkan keluarga pasien kepada dirinya diruang khusus apoteker,
baginya hal tersebut semudah membolak balikkan tangan. Tentu saja
profesionalisme dalam bidang ini ditekankan kehati-hatian dan ketelitian
yang sangat agar tidak terjadi hal-hal yang membahayakan bagi pasien.
Tidak terasa perguliran waktu terasa cepat. Bagi mereka yang menikmati
perkerjaannya, waktu berlalu begitu saja, hatipun terlihat merekah
menerima kado kehidupan setiap harinya. Bebeda halnya dengan jeritan
jiwa para pekerja yang tidak menikmati perkerjaannya, hingga jiwanya
menjerit entah kemana mengadu penderitaan yang ada dan mengoyak
keindahan kebahagiaan mereka.
Ketika
itu sore hari, terlihat dikejauhan diufuk barat sana matahari yang akan
tenggelam meninggalkan cakrawala memancarkan kilau mega kuning
ke-emasan pada pucuk dedaunan yang rindang. Dibawah pohon kelapa,
disamping sebuah gundukan taman yang memancarkan keindahan didepan
apotek MUMAT, berjejer Sepeda Motor karyawan, pun juga Mobil-mobil
karyawan yang sudah siap untuk menunggu kedatangan para tuannya untuk
merelakan diri dikendarai menyusuri jalanan yang acap kali terhias debu
berterbangan dari deru kendaraan yang lalu lalang. Mobil warna pink
sudah siap menyusuri ruas jalan raya. Nia membelokkan setang setirnya
kearah kanan saat keluar dari pintu depan apotek, rupanya dia tidak
langsung balik kerumahnya, petang itu. Mobil Warna Pink melaju perlahan
meninggalkan apotek MUMAT menuju sebuah Pertamina Yang cukup luas
sekaligus megah, 2 kilo meter dari tempat ia bekerja. Didalamnya
tersedia area parker yang luas sekali, pun juga tersedia kafe dan tempat
perbelanjaan yang relative ramai dikunjungi oleh pengendara motor
maupun mobil, tidak jarang sebagian diantaranya menyempatkan diri untuk
break sejenak dicafe Pertamina Selong guna melepas lelah setelah
seharian berhadapan dengan rutinitas kantor yang menyita pikiran dan
tenaga.
Mobil warna pink yang
biasa dikendari Nia terlihat memasuki area parker café Pertamina Selong.
Tidak beberapa lama terlihat tubuh wanita cantik dengan busana rapi,
khas seorang petugas kesehatan. Kerudung warna putih menutupi rambut
lurus berwarna hitam. Wajah ovalenya itu menampak keceriaan, dari balik
kaca mata warna putih yang dikenakannya terlihat sorot mata bening yang
sangat indah bagi setiap pria yang memandang keindahan tatapannya. Tanpa
ba-bi-buu, Nia langsung saja menutup pintu depan mobilnya lantas
membunyikan alarm pengaman untuk menjaga hal yang tidak dinginkan.
Terlihat olehnya Mobil warna Putih dengan nomor polisi DR 3007 KQ
disebelah kanan tempat ia parker, urutan ketiga dari tempat ia parkir.
Rupanya ia sudah kenal betul siapa yang memiliki mobil tersebut.”Waaah,
kayaknya dokter Alawi sudah datang lebih dahulu.” Bisiknya dalam hati.
Langkahnya pelan namun pasti meninggalkan tempat parker, dua puluh
langkah atau mungin lebih dari itu dari pintu masuk kafe, Nia menemukan
tiga orang laki-laki dengan tampilan mengesankan. Senyuman tampak merona
menyambut kedatangan Nia di petang itu.
“Assalamu’alaikum
Wr Wb. Selamat malam dok, saya minta maaf jika kedatangan saya
terlambat.” Sapa Nia ramah kepada tiga laki-laki yang sedang menikmati
suasana petang dikafe pertamina selong, jalan TGKH. Humaidi nomor 07,
dekat dengan Selong Town Squer, Mall yang sangat familier oleh
masyarakat Nusa Tenggara Barat. “Tidak mengapa kok, Nia nggak terlambat
kok, kami baru saja datang, lima menit sebelum kedatangan mbak Nia.”
Jawab Hamdi mencoba mengomentari Sapa lembut Nia yang saat itu masih
berdiri diantara deretan kursi kayu yang berjejer rapi mengelilingi meja
bundar yang terhias bunga-bunga segar, khas kafe elit dikota besar.
“Silahkan
mbak, duduk disebelah sini saja…” lanjut Arofah sambil mempersilahkan
kursi kosong untuk ditempati Nia. Ternyata ketiga dokter tersebut memang
sengaja datang ke Kafe Pertamina Selong, barangkali ada janji diantara
mereka untuk suatu keperluan tertentu. Sambil memperbaiki tas berukuran
kecil yang ditentengnya itu, Nia duduk diantara dua kursi kosong yang
mengapitnya disebelah kiri dan kanan, dan didepannya terdapat meja
bundar terukir corak khas budaya Lombok (ukiran berugak elen). Tepat
didepannya wajah lembut dokter Alawi yang masih terdiam, terhias
senyuman lembut kepada sosok wanita yang saat itu hadir diantara
perjamuan. Alawi sudah merencanakan sebelumnya pertemuan petang itu,
sengaja mengajak teman dekatnya yang rupanya menyukai Nia, Apoteker
cantik, lulusan Universitas Negeri Mamben. Karena dia tidak menginginkan
peselisihan hanya karena cinta. Alawi dalam diam menyembunyikan
kedekatannya dengan Nia agar tidak terjadi konflik internal dalam ikatan
persahabatan mereka, wajar jika bahasa komunikasi yang disampaikannya
saat petang itu terlihat dingin-dingin saja.
Namun
berbeda halnya dengan apa yang terjadi pada diri Nia, wanita cantik itu
seakan-akan terpojokkan kenyataan, antara kebimbangan untuk menentukan
sikap terbaik dalam menghadapi ketiga sahabat dekatnya itu, yang
sama-sama mengharapkan dirinya sebagai teman kehidupan dalam jalinan
ikatan yang secara sah menyatukan insan dalam naungan kasih keluarga;
pernikahan, mereka bertiga tidak lain adalah sahabat dunia maya
sekaligus sahabat dunia nyata yang terkadang mereka bertemu di Rumah
Sakit Umum kota Selong dihari-hari tertentu saat gantian mereka untuk
piket tugas sesuai surat putusan yang mereka terima dari menejemen rumah
sakit. Tentu saja jadwal yang berbeda dan ditempat yang berbeda, namun
tidak menutup kemungkinan terkadang mereka bertemu ditempat yang tidak
disangka-sangka, entah itu dilorong rumah sakit ataupun ditempat
lainnya.
Nia salah tingkah
menghadapi suasana yang mana semua pandangan mata terfokus padanya, ia
terperanjat dalam situasi yang tidak dinginkannya terjadi, namun
bagaimanapun semua sudah terjadi seperti apa adanya dan tak bisa
berteriak lari ataupun memungkirinya. Antara menatap wajah alawi yang
begitu dikaguminya ataupun menatap wajah Hamdi dan Arofah yang begitu
berkeinginan menjadi pacar dirinya, namun Nia hanya mengaggap mereka
sebatas sahabat saja. Selama ini Nia menanggapi biasa-biasa saja pesan
masuk Hamdi dan Arofah, ketika perhatian mengalir kepadanya karena
memang bahasa halus hatinya tidak memberikan intraksi vibari energy
cinta. “Waah, sudah waktunya sholat Magrib nich, gemana kalau kita
sholat dulu!?” celetuk Alawi mencoba memecah keheningan yang saat itu
mengejawantahkan rasa tak terhingga dalam dirinya, antara mengertikan
hatinya untuk bisa berjalan beriringan dalam jalinan dan ikatan yang sah
bersama Nia atau mencoba merelakan keutuhan tali persahabatan yang
sudah mereka jalani bersama dengan kedua sahabatnya tersebut.
Alawi
berdiri, mencoba memperbaiki kursi tempat duduknya sembari mencairkan
suasana saat itu yang terlihat canggung adanya, tidak seperti kehangatan
biasanya yang diwarnai canda dan tawa saat mereka bersama dalam nuansa
yang berbeda. Nia pun mencoba bangkit dari tempat duduknya, mencoba
untuk menghilangkan jejak kecuriagaan dan rasa sakit hati diantara
ikatan persahabatan. “Kita sholat dulu Yuuuks, jangan bengong begitu
donk.” Kata Nia sambil melepas senyum kaku kepada semua sahabatnya,
mencoba menutupi kebimbangan yang tersimpan rapi didalam dirinya, antara
menghargai persahabatan ataupun memilih alawi sebagai seorang pilihan
hati yang sudah lama mereka jalani dalam komunikasi jarak jauh karena
terhalangi rutinitas yang selama ini menyibukkan waktu mereka untuk
bertemu dan bertatap mata. “Ayo kita sholat dulu, keburu waktu sholat
magribnya habis nich!” lanjut Alawi sambil meniggalkan tempat. Saat itu,
Hamdi dan Arofah terkesipu malu melihat diri mereka yang terlalu
menampakkan hasrat dalam diri mereka untuk memiliki seorang Nia, Wanita
cantik yang memiliki pancaran inner beauty bagi siapa saja laki-laki
yang menatap keindahan paras rupanya.
Tanpa
menyimpan rasa kecurigaan diantara mereka berdua, Arofah dan Hamdi
segera bergegas dari tempat duduknya untuk menjalankan Ibadah sholat
magrib, mengikuti langkah Alawi yang sudah sepuluh langkah mendahului
didepan sana, dekat sebuah ruang berukuran sedang bertuliskan “Tempat
Wudhu”, disampingnya.
Mereka
secara bergiliran mengambil air wudhu, sedangkan Nia menunggu disamping
Musholla karena sejak tadi siang Nia mendapatkan diskon Tuhan untuk
tidak melakukan aktifitas persembahyangan seperti biasanya; Sholat.
Suatu hal yang lazimnya terjadi pada wanita setiap bulannya. Saat itu
Nia hanya terpaku dengan kejadian yang baru saja menimpanya, kejadian
yang tidak disangka-sangka harus bertemu dengan kedua teman dekatnya
yang juga begitu mengharapkannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa, Nia
tidak menyangka jika janji pertemuannya kali ini harus berhadapan dengan
ketiga orang laki-laki yang sama-sama mengharapkannya untuk menjadi
pendamping dalam hidup.
Nia
terdiam, menatap ketiga sahabatnya itu, namun focus pandangannya saat
itu tertuju pada alawi, dokter yang telah lama mengisi mimpi indahnya
saat bercengkerama dialam mimpi disaat lelap mengisi peristirahatan
dalam kesunyian. Sungguh, Nia, Tak kuasa menahan gejolak dalam hatinya,
yang semakin lama semakin menjadi, menguras seluruh inginnya tuk
sampaikan rasa cinta yang sangat mendalam, namun ia tak mampu ungkapkan
semua itu karena tahu posisi dirinya sebagai seorang wanita yang harus
menjaga impian cinta yang menaungi akan angannya. Sudah sekian lama ia
berteman dalam impian untuk bersanding dengan dokter Alawi, laki-laki
yang sudah sejak lama memberikan perhatian cinta kepadanya, memberikan
nasihat maupun saran dalam hidupnya, seolah-olah Alawi adalah teman
keseharian yang tidak mampu ia tolak kehadirannya. Akan tetapi rasa itu
harus terbentur persaingan hasrat dalam ikatan persahabatan, antara
memilih atau mengabaikan perasaan yang sedang bercengkerama dikedalaman
sana. Gejolak rasa terus mengadu. Bayangkan saja bagaimana kebingungan
itu terus memuncakkan diri disaat menghadapi situasi yang tidak
dinginkannya terjadi, namun benar-benar terjadi adanya.
Dalam
lamunannya itu, Nia terseret segudang impian dan segudang perselisihan
internal antara dirinya sendiri. Mencoba untuk melihat benang merah dan
memadamkan perdebatan yang ada, dalam hati ia berpesan menasihati diri,
“Tuhan, berikanlah hamba kekuatan untuk menghadapi Situasi seperti ini,
tak ada niatan sedikitpun untuk memisahkan jalinan persahabatan, namun
tak kuat diri ini menyimpan rasa cinta yang semakin hari menguak seluruh
angan untuk memiliki hambamu itu seorang diri (sambil membuka matanya
menatap alawi yang sedang mengadahkan tangannya saat berdoa kepada Sang
Pencipta). Berikanlah hambaMu yang lemah ini titik terang atas
permasalahan agar kuat jiwa ini menghadapinya. Tuhan janganlah engkau
timpakan ujian yang tidak kuat kami memikulnya. Amin” Jalinan mesra
hatinya mengalir saat menuturkan sebaris doa pada tuhannya, membuatnya
lapang melihat kenyataan saat tuhan menimpakan ujian. Barangkali Tuhan
ingin membuktikan kesetian hambanya yang ingin mencoba jalinan kedekatan
dengan Sang Pencipta. To Be Continued… Keep Spirit For Our Life Better…
Salam Satu Jiwa. Salam sehat Jiwa untuk Menggapai Hidup Bahagia.
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar