Selasa, 28 Februari 2012

Ada malaikat kecil di Rumah Sakit itu... Dialah CINTA

   Keheningan malam itu menyampaikan berjuta keindahannya yang tidak akan mampu dibahasakan oleh setiap jiwa, entah itu oleh seorang sastrawan ternama sekalipun sekaliber Kahlil Gibran ataupun sosok seorang HAMKA yang begitu dikenal dibumi pertiwi ini. Malaikat-malaikat malam bersinar terang mengitari pesona cahaya sang rembulan, begitupula peri-peri berhiasan pernak-pernik hiasan semesta, Subhanallah, Indahnya, semua itu tercipta tidak lain oleh tangan kreatif Tuhan yang telah memberikan karunia terindah bagi setiap insan, begitulah hati berbisik dalam-dalam. Sejenak seluruh alam semesta mencoba untuk menyapa seraya berucap untaian syair-syair doa ditengah kedamaian dan ketenteraman, menantikan senyuman setiap insan yang berharap kepada Tuhan dengan penuh ketulusan, termasuk do’a-do’a mereka yang sedang dirundung cobaan hidup oleh Sang Pencipta, baik mereka yang sedang terlentang sakit tak berdaya atau siapapun mereka. Sungguh malam itu adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan sebaris doa atau beberapa patah doa sebagai sebuah pengharapan kepada sang pencipta agar hidup ini menjadi inspirasi penuntun kebahagiaan.

Malam itu, Suasana Rumah sakit terlihat Sunyi sepi. Sesunyi semesta saat gelap telah menyelimuti seluruh ruang diatas semesta. Malam itu, Dirumah sakit tidak terlihat seperti malam-malam biasanya yang terlihat ramai disetiap pojokannya, hanya saja masih ada suara rengekan dan jeritan orang-orang yang sedang sakit yang dirawat diruang inap. Begitulah adanya, suara rengekan dan jeritan sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah terjadi, lebih lagi; Suasana malam itu semakin terasa hangat oleh suara hentakan kaki perawat dan residen calon dokter yang sedang sibuk menangani para pasiennya. Wajar saja kondisi rumah sakit terlihat sepi, malam itu adalah malam minggu, tentu saja rumah sakit tidak begitu ramai seperti malam-malam biasanya saat para petugas kesehatan begitu ramainya untuk mengisi setiap ruang rumah sakit untuk mengontrol perkembangan pasien-pasiennya. Para dokter dan perawat yang biasanya meramaikan rumah sakit sedang menghabiskan waktu liburan panjang mereka setelah satu hari sebelumnya mendapatkan cuti bersama. Namun bagi para perawat dan residen calon dokter yang bertugas tidak bisa menikmati hari libur mereka karena tuntutan tugas yang harus mereka selesaikan sebagai suatu keharusan dan tanggung jawab besar bagi mereka yang sedang membutuhkan pertolongan medis; sakit.

Suasana malam semakin larut, angin malam pun ikut mengantarkan kesunyian malam semakin terasa memuncak menggerogoti tulang belulang. Rasa-rasanya tidak begitu kuat kulit ini untuk menahan dinginnya malam yang sudah sangat memuncak. Aku pun mencoba mengambil selimut yang letaknya tidak jauh dibawah kaki tempat aku berbaring, lantas aku pun menutupi sekujur tubuh yang sudah tidak kuat lagi menahan dinginnnya malam, pun juga menahan rasa sakit selama berbaring ditempat tidur diruang inap rumah sakit. Dan ternyata aku masih bisa melakukannya, walau tubuhKu begitu lemah dan tak berdaya, aku mencoba untuk melakukan hal-hal sederhana tanpa harus dibantu oleh orang lain, semua itu aku lakukan untuk terus mencoba menasihati diri agar bisa hidup mandiri. Sudah dua minggu aku terbaring lemas ditemani selang infus ditangan kananKu, ditambah lagi oleh alat medis lainnya yang ditancapkan disekujur tubuhku membuat aku tidak berdaya untuk bergerak lepas seperti dulu lagi atau juga seperti mereka yang sehat. Namun apa mau dikata, aku hanya bisa menerima kenyataan tanpa bisa menolak sedikitpun; bergulat bersama penderitaan yang mau tidak mau harus diterima dengan ikhlas dibarengi kesabaran dan ketulusan, karena hanya itulah bekal yang mampu membuat aku masih bisa bertahan sampai detik ini.

“Mas Amna!!!” Sapa seorang perawat yang saat itu masuk kedalam ruang dimana aku dirawat.  Aku begitu mengenal suara itu, bahkan setiap hari sudah terbisa dengan sapanya saat ia menghampiri pasien-pasien lainnya yang juga dirawat dirumah sakit, disebelah ruang akau dirawat.

Panggil saja dia Mbak Andin. Dia adalah perawat yang biasanya jaga malam. Dialah perawat yang selalu menjaga pasien-pasiennya termasuk juga diriku. Diruang inap kamar 24 atau biasa orang menyebutnya ruang internis, diruang itulah ia menghabiskan usianya untuk membantu orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan medis; sakit. Sekarang mbak Andin sudah menjadi perawat tetap setelah resmi menerima pengangkatan dirinya menjadi pegawai negeri yang ditugaskan dirumah sakit kota Malang. Kota yang dikenal dengan tempat wisata serta pemandangan alamnya yang begitu memanjakan mata bagi mereka yang sudah pernah mengunjunginya.

Saat Perawat, mbak Andin masuk ruangan dimana aku dirawat, ia selalu saja memberikan senyuman, seolah-olah senyuman itu adalah sesuatu hal yang tidak pernah ia lupakan, senyuman bagi setiap orang adalah kebiasaannya. Mungkin senyuman sudah menjadi karakter mbak andin. “Mbak andin ganti inpusnya dulu yach! Ntar Mas Amna bisa istirahat. Kalau nggak diganti, bisa-bisa Mas Amna gak sembuh-sembuh lho.” Kata perawat itu padaku sembari tersenyum. Sejenak setelah ia mengganti cairan infus, andin beranjak pergi meninggalkan ruang inap dimana aku dirawat.

Jam berdenting melaju tanpa henti, berdetak seirng perjalanan garis waktu, detik demi detik berlalu berganti menit, menit pun kini berganti jam, tidak terasa jarum jam diatas tembok ruangan sudah menunjukkan pukul 01;30, ternyata sudah larut malam. Sudah setengah jam mataku ini tak jua mau terpejam, aku tidak bisa tidur lagi setelah terbangun. Hanya bisa melihat langit-langit kamar dan tembok ruangan yang dicat warna putih. Barangkali ini yang dinamakan dokter dengan istilah asing itu; insomnia. Iya, begitu ucapan dokter yang pernah aku dengar saat sang dokter telah selesai memeriksa kondisi kesehatanku minggu lalu.

Ternyata sakit itu begitu melelahkan, wajar saja banyak orang menyesal setelah ia jatuh sakit. Betapa berartinya hidup sehat, bisa melakukan segala aktfitas dengan mudah tanpa adanya beban fisik, berbeda halnya saat tubuh sudah tergulai lemah tak berdaya, namun ternyata penyesalan hanya tinggal penyesalan, semua itu tidak ada gunanya lagi. Kini hanya bisa bergulat dengan dentingan waktu yang terus berputar bersama seribu harapan yang belum nyata ditengah bentangan kehidupan. Bersyukur bagi mereka yang sedang diberikan karunia kesehatan. Andai saja mereka tahu rasanya sakit dan penderitaan yang tak juga pupus, mungkin tidak ada diantara mereka yang mengabaikan kesehatannya saat ini. kesehatan layaknya sesuatu hal yang termat berharga, mungkin kesehatan bukanlah segala-galanya, namun tanpa kesehatan hidup tak berarti apa-apa. Tinggal kehampaan berteman penyesalan hingga menyisakan tangis diakhir pejalanan saat menapaki jalan kehidupan yang begitu panjang tanpa kita tahu kapan akhirnya.

Suasana malam kini telah berganti pagi, tetesan air infus terus mengalir dalam vena, tanpa hentinya air infus ini mengisi tubuhku sejak dua minggu lalu. Rasanya begitu sangat terasa menusuk seluruh jari-jemariku sampai tangan ini membengkak dan tak berdaya, terkulai lemas, seolah-olah ada beban yang diikatkan diantara jari-jemari dan sekujur tubuhku. Walau demikian, beban bukanlah cara tuhan untuk menghadirkan keterhinaan, barangkali sakit ini akan mampu menghapus segala kesalahan yang pernah tertorehkan ditengah bentangan kehidupan.

Dipagi yang masih gelap bersama cahaya temaran, Tiba-tiba saja pintu kamar ruang dimana aku dirawat terbuka, entah siapa yang membukanya, hati ini bertanya-tanya, namun tidak beberapa saat kemudian terlihatlah sosok wanita berkulit putih bersih, pancaran wajahnya begitu menyejukkan, wajar saja wajahnya masih terlihat segar dan berseri-seri setelah menyentuh air wudhu, kayaknya dia adalah seorang wanita yang taat beribadah. Rambutnya yang panjang nan hitam memperindah penampilannya. Sosok wanita yang anggun, bisik hatiku dalam-dalam. Saat ia masuk ruangan, Ditangannya terlihat cairan infus dan peralatan medis lainnya. Barangkali ia akan mengganti cairan infusku lagi, begitu gumamku dalam hati. Ternyata wanita itu tidak lain adalah mbak andin, perawat yang begitu ramah dan baik hati yang selama ini aku begitu kenal, seolah-olah perkenalan itu membuat kehidupanku dirumah sakit terasa menyejukkan walau sepenuhnya kondisi fisik ini butuh perawatan medis. Saat sejenak ia perlahan-lahan mendekat dan menaruh peralatan medis yang dibawanya diatas meja yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat tidurku.

“Selamat Pagi Mas Amna!” sapanya, lantas tersenyum padaku. “Bagaimana kondisinya sekarang? Tadi malam istirahatnya pasti nyenyak yach?” lanjutnya. “Pagi juga Mbak, masih kurang begitu kok mbak, tapi gemana lagi, mau tidak mau harus diterima apa adanya, toh juga memberontak dari kenyataan sudah tidak ada gunanya lagi. Oya mbak, tadi malam saya tidak bisa istirahat. Setelah terbangun dari tidur, mata tidak bisa dipejamkan lagi, kira-kira penyebabnya apa yach?” tanyaku pada mbak andin, perawat ruang internis yang biasanya berjaga malam. Sosok seorang perawat yang dikenal baik dan penuh tanggung jawab, lebih lagi dengan kecantikannya yang begitu menawan, rasa-rasanya setiap mata akan begitu terpesona saat menyaksikan keindahan kecantikannya maupun keperibadiannya. Layaknya seorang malaikat kecil yang dititipkan Tuhan dirumah sakit. Sungguh, semua ini karunia tuhan yang layak untuk disyukuri.

Setelah mendengarkan keluhanku, Perawat itu tidak langsung menjawab pertanyaanKu saat itu. Seketika itu ia langsung memasang stetoschope ditelinganya. Telinga yang begitu indah terlihat dibola mataku. “Saya periksa dulu perkembangan kondisi mas amna yach.!” Katanya padaku. Tanpa pikir panjang aku pun langsung mempersilahkannya. Saat itu ia menempelkan stetoschope dibagian atas perut, tepatnya dibagian paru-paruku. Rasanya desiran darah didalam tubuhku mengalir deras dibarengi detakan jantung yang intesitasnya mulai meningkat. Entah mengapa semua itu terjadi. Sejak pertemuanku dirumah sakit itu membuat aku begitu nyaman dengan perawat yang sedang memeriksa aku saat itu. memang hubungan kami sebatas pasien dan terapis, namun entah mengapa, intensitas pertemuan yang begitu seringnya membuat aku menyimpan sesuatu yang lain didalam hati ini. namun apa mau dikata, itulah adanya. Barangkali kondisi demikian seringkali terjadi antara dokter dan pasiennya atau petugas kesehatan lainnya walau tidak semua mereka seperti itu.

Dalam hati aku bergumam, “bagaimana mungkin ia akan menaruh hati padaku, aku hanyalah sosok seorang laki-laki yang sudah tak berdaya. Mana ada cewek secantik mbak andin akan menaruh hati pada pasien yang sakit seperti diriKu. Ia hanya pantas memiliki laki-laki tegar yang mampu untuk menjaga serta mengayomi kehidupannya. Beda dengan diriKu yang saat ini hanya bisa terkulai lemas tak berdaya.” Pergulatan rasa dalam diri terus saja saling mengomentari. Tiba-tiba saja aku tersentak oleh mbak andin yang sudah selesai memeriksa kondisiKu saat itu. “Mas Amna Melamun yach?!? Waaah, jangan-jangan mas amna sakit karena ditinggal pacar. Hehe” apa yang dikatakan perawat itu membuat aku tersentak, kesadaranKu mulai kembali, aku hanya bisa terkesipu mendengar apa yang dikatakannya pada diriku. “Aaah, mbak ini ada-ada ajja kok, mana ada cewek yang mau sama laki-laki yang sakit-sakitan seperti ini.” jawabku padanya. “Siapa tahu lho mas, yang namanya cinta tidak ada yang tahu lho mas.” Jawab mbak andin mengomentari dengan lembutnya. Tentu saja ucapannya itu semakin menumbuhkan seribu harapanku. Mungkin saja dia juga menyimpan rasa cinta itu sebagaimana aku mencintainya, namun itu tidak akan mungkin terjadi. begitu bisik hati ini dalam-dalam, seolah sedang terjadi pergulatan didalam.

“Mas amna istirahat yang cukup yach, sekarang saya harus pergi, maklum tugas sudah selesai, InsyaAllah besok malam kita bertemu lagi. Oya, dokter yang akan opesai mas belum bisa datang hari ini, maklum hari ini dokter masih libur, jadi bakal bisa bertemu dokter hari senin besok. Sabar yach. Lekas sembuh mas amna.” Kata-kata perawat itu yang sangat memotifasi bagi diriku. “terima kasih mbak. Mbak andin baik banget, semoga saja hari ini adalah hari yang indah buat mbak andin! selamat menikmati hari libur yach. Have a nice day” jawabku untuk menimpalinya. Perawat itupun meninggalkan ruangan dimana aku dirawat. Kini tinggal aku sendiri tanpa seorang pun yang menemani, hanya ada selang infus dan peralatan medis lainnya ditambah bantal warna putih yang melekat dikepala.

Kini cahaya mentari sudah menampakkan diri, walau masih terlihat seberkas cahaya temaran untuk menyibak embun pagi yang masih bergeming diatas pucuk daun. Seolah-olah embun masih enggan untuk meninggalkan kemesraannya bersama dedaunan yang masih malu membuka diri menyambut hadirnya pancaran cahaya sang surya kala itu. Waktu terus bergulir tanpa pernah berhenti barang sejenak. Tidak terasa sudah, kini mentari hari senin sudah menampakkan diri diatas permadani bumi. Hari yang dinantikan sekaligus mendebarkan sudah tiba. Embun pagi sudah tidak terlihat lagi membasahi rerumputan dan dedaunan. Kini mentari sudah melangkah jauh diatas garis cakrawala. Kehangatannya pun sudah mulai terasa.

Pagi itu, suasana rumah sakit sudah kembali seperti biasanya. Banyak perawat, residen calon dokter, dokter dan petugas kesehatan lainnya meramaikan rumah sakit. Mereka terlihat sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada diantara mereka yang sibuk meresepkan obat bagi para pasien yang dirawat diruang inap, ada juga yang bertugas mengganti cairan infus bagi para pasien yang memang sudah waktunya untuk mengganti cairan. Ada pula yang sibuk mendorong kursi roda pasien yang baru datang berobat atau mungkin akan dirawat diruang Inap. Kondisi demikian sudah tidak asing lagi dimata ini, pemandangan yang sudah biasa terjadi dirumah sakit.

Seorang laki-laki separuh baya memasuki ruangan tempat aku dirawat. Balutan baju putih melengkapi busana yang dikenakannya. Stetoschope yang melekat dilehernya menambah penampilan sang dokter. ia pun langsung mendekatiku lantas memeriksa perkembangan kondisi kesehatanKu. Setelah lama melakukan inspeksi diruang dimana aku dirawat, sang dokterpun mempersiapkan segala keperluan untuk mencatat apa yang sudah didapatkannya dari hasil diagnosis lanjutan. “Mas amna, hari ini anda masuk ke ruang bedah dan akan ditindak lanjuti oleh dokter bedah. Saya sudah mengkomuniaksikannya dengan pihak yang bersangkutan. Saya sebagai dokter anda akan tetap mengevaluasi perkembangan anda, nantinya. Sebaiknya anda tidak perlu cemas ataupun takut. Yakinkah diri bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja, Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik bagi hamba-hambanya.” Setelah berucap demikian, dokter inipun melepaskan senyuman kepadaku yang membuatku terasa lebih nyaman walau ada sedikit beban yang masih tersisakan. Setelah sang dokter berkata demikian, ia pun kini meninggalkan ruangan beserta dua residen calon dokter yang ada dibelakangnya.

Entah mengapa, rasa cemas dan takut tiba-tiba mengganggu pikiran ini. Wajar saja ini terjadi, kali pertama untuk memasuki ruang bedah. Sebelum-sebelumnya tidak pernah memasuki ruang operasi. Terasa menyeramkan memang. Kekalutan pikiran membayangi, ditambah lagi oleh keluarga yang belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah itu papa, mama ataupun saudara. Sebenarnya diri ini takut jika harus menjalani operasi. Mengapa harus ada operasi, apa sudah tidak ada lagi solusi lain yang bisa menggatikannya, begitu hati berbisik.

Ditengah kekalutan pikiran, pintu ruangan terbuka. Ternyata sudah ada papa dan mama yang berdiri disamping pintu. Merekapun masuk dengan leluasa. Hanya ada kami sekeluarga yang mengisi ruangan itu. “Nak, papa sama mama minta maaf karena tidak bisa menemani, sudah dua malam papa dan mama tidak bisa menginap dirumah sakit. Oya nak, kata dokter, hari ini waktunya memasuki ruang bedah. Nak, jangan cemas, semuanya akan baik-baik saja. Dokter yang bakal melakukan operasi adalah teman papa, jadi tidak perlu cemas, beliau adalah dokter yang sangat professional dalam bidangnya.” Pesan papa membesarkan hatiku. Namun sesungguhnya ada sedikit kesedihan yang masih tersisa dalam angan-angan. Andai saja mbak andin ada ditempat ini, mungkin aku bisa mengucapkan beberapa patah kata, mungkin saja ini adalah akhir dari hidupku untuk bertemu dirinya, barangkali dengan mengucapkan rangkaian ucapan terima kasih akan membuat dia mengerti apa yang sebenarnya ada dalam hati ini, walau sepenuhnya tidak disampaikan dalam bahasa yang lugas akan harapan dan inginku. Begitu hati ini bergumam. Namun entahlah, hari itu aku tidak juga bertemu dengannya hingga detik-detik penantian sudah mendekati tanpa bisa diundur lagi.

Tidak beberapa jam kemudian, dua orang perawat memindahkan tubuhku, lantas mereka membawaku ke ruang yang tidak aku kenal. Kayaknya aku sudah memasuki ruang bedah. Tidak lama kemudian seorang dokter lengkap dengan baju kebesarannya, ditambah lagi oleh balutan masker diwajahnya, tiba-tiba saja mendekatiku dan menyuntikan cairan kedalam tubuhku. Tiba-tiba saja kesadaranku mulai menanggalkan diri lantas meninggalkanku sendiri. Hanya terasa kehampaan yang tidak mampu dibahasakan. Pikiran terasa membumbung tinggi ke atas angkasa. Entah mengapa hal itu terjadi. terlihat olehku sosok seorang laki-laki berbadan tegap dibaluti oleh baju putih bersih.

Aku tidak mengenal siapa pria itu. Suara dokter bedah dan rekannya terdengar samar-samar, lama kelamaan suara itu hanyut dibawa oleh oleh hembusan angin, entah dibawa kemana, yang kuraskan tubuhku mulai ringan tak berdaya. Aku hanya mampu melihat sosok laki-laki yang sedang mendekatiku, Aku tak dapat melihat wajahnya secara jelas, entah seperti apa wajah aslinya. Aku semakin takut, pikiran dan perasaanku semakin ringan adanya. Aku tersadar ternyata dia adalah sosok malaikat Izrail. Malaikat pencabut maut yang tuhan tugaskan untuk membawaku kembali keharibaan sang pencipta. Dia mendekatiku dan menggapai tubuhku yang sedang tergeletak tak berdaya diruang operasi. Dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap! Aku hanya bisa merasakan bahwa itulah akhir kehidupanku.

Dokter bedah yang betugas diruang itu terlihat sibuk untuk memberikan tata laksana atas tubuhku yang sudah tergelatak. Kayaknya mereka sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan operasi pada jantungku yang sudah tidak berdetak lagi. Upaya medis sudah sepenuhnya diupayakan namun ternyata tubuh itu terbujur kaku tanpa ada tanda-tanda kehidupan lagi. Aku hanya bisa menyaksikan tubuhku yang sudah tak mampu bergerak lagi. Dipojok ruang tunggu, aku sempatkan diri melihat mama yang dihiasi oleh derai tangis, begitu pula dengan papa. Raut wajahnya terlihat sendu walau ia mencoba untuk bisa tetap tegar menghadapi kenyataan.

Kini tubuhku yang kaku itu sudah dipindahkan diruang jenazah, terbalut selimut putih tanpa ada pakaian lainnya selain selimut putih itu. tiba-tiba saja seorang wanita cantik mendekati jasadku yang sudah terbujur, ternyata dia adalah perawat yang biasa menemani malam-malamku. Dia adalah mbak andin. Entah mengapa ia menghampiriku diruang jenazah. Akankah ia akan menanyakan lagi perkembangan kondisi kesehatanku lagi. Tapi itu tidak akan mungkin terjadi karena aku tahu jasadku terbujur kaku tanpa suara. Tiba-tiba saja derai air mata membasahi pipinya. Andai saja tubuhku masih bisa bergerak, aku akan sempatkan diri untuk menyeka air mata dari pipi manisnya agar ia tidak lagi dirundung kesedihan. Entah mengapa ia menangisiku, yang aku tahu dia adalah perawat yang hanya mendampingi hari-hariku dirumah sakit.

Saat isak tangis dan derai air matanya mengalir, mbak andin sempat berucap beberapa patah kata disamping tubuhku yang sudah terbujur kaku. “Mas amna, mengapa engkau pergi meninggalkanku. Andai mas Amna bisa mendengarkan isi hatiku, mungkin cinta ini tidak membuat aku menagis sendiri.” Ucapan dari mulutnya tidak begitu jelas karena derai tangis yang membuat kesedihannya begitu bermakna, namun aku masih bisa mendengar apa yang diucapkannya itu. ternyata mbak andin, perawat yang baik itu menyimpan rasa sebagaimana cinta yang sudah bersemai dalam jiwa ini sejak pertemuan pertama malam itu, berawal dimana aku mulai dirujuk masuk dikamar 24, ruang internnis. Namun apa mau dikata, tubuhku hanya tergeletak kaku, tak berdaya dan tak bersuara sedikitpun. Inilah akhir dari kehidupanku beserta cintaku yang tersimpan didalam jiwa seorang malaikat kecil yang pernah tuhan titipkan dirumah sakit. Semoga saja merelakan kepergianku ini. Tuhan akan membalas budi baikmu, wahai malaikat kecilku. Keep spirit for our life better.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar