Keheningan malam itu menyampaikan berjuta keindahannya yang tidak
akan mampu dibahasakan oleh setiap jiwa, entah itu oleh seorang
sastrawan ternama sekalipun sekaliber Kahlil Gibran ataupun sosok
seorang HAMKA yang begitu dikenal dibumi pertiwi ini. Malaikat-malaikat
malam bersinar terang mengitari pesona cahaya sang rembulan, begitupula
peri-peri berhiasan pernak-pernik hiasan semesta, Subhanallah, Indahnya,
semua itu tercipta tidak lain oleh tangan kreatif Tuhan yang telah
memberikan karunia terindah bagi setiap insan, begitulah hati berbisik
dalam-dalam. Sejenak seluruh alam semesta mencoba untuk menyapa seraya
berucap untaian syair-syair doa ditengah kedamaian dan ketenteraman,
menantikan senyuman setiap insan yang berharap kepada Tuhan dengan penuh
ketulusan, termasuk do’a-do’a mereka yang sedang dirundung cobaan hidup
oleh Sang Pencipta, baik mereka yang sedang terlentang sakit tak
berdaya atau siapapun mereka. Sungguh malam itu adalah waktu yang tepat
untuk mengucapkan sebaris doa atau beberapa patah doa sebagai sebuah
pengharapan kepada sang pencipta agar hidup ini menjadi inspirasi
penuntun kebahagiaan.
Malam itu, Suasana Rumah sakit
terlihat Sunyi sepi. Sesunyi semesta saat gelap telah menyelimuti
seluruh ruang diatas semesta. Malam itu, Dirumah sakit tidak terlihat
seperti malam-malam biasanya yang terlihat ramai disetiap pojokannya,
hanya saja masih ada suara rengekan dan jeritan orang-orang yang sedang
sakit yang dirawat diruang inap. Begitulah adanya, suara rengekan dan
jeritan sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah terjadi, lebih lagi;
Suasana malam itu semakin terasa hangat oleh suara hentakan kaki perawat
dan residen calon dokter yang sedang sibuk menangani para pasiennya.
Wajar saja kondisi rumah sakit terlihat sepi, malam itu adalah malam
minggu, tentu saja rumah sakit tidak begitu ramai seperti malam-malam
biasanya saat para petugas kesehatan begitu ramainya untuk mengisi
setiap ruang rumah sakit untuk mengontrol perkembangan pasien-pasiennya.
Para dokter dan perawat yang biasanya meramaikan rumah sakit sedang
menghabiskan waktu liburan panjang mereka setelah satu hari sebelumnya
mendapatkan cuti bersama. Namun bagi para perawat dan residen calon
dokter yang bertugas tidak bisa menikmati hari libur mereka karena
tuntutan tugas yang harus mereka selesaikan sebagai suatu keharusan dan
tanggung jawab besar bagi mereka yang sedang membutuhkan pertolongan
medis; sakit.
Suasana malam semakin larut, angin malam pun
ikut mengantarkan kesunyian malam semakin terasa memuncak menggerogoti
tulang belulang. Rasa-rasanya tidak begitu kuat kulit ini untuk menahan
dinginnya malam yang sudah sangat memuncak. Aku pun mencoba mengambil
selimut yang letaknya tidak jauh dibawah kaki tempat aku berbaring,
lantas aku pun menutupi sekujur tubuh yang sudah tidak kuat lagi menahan
dinginnnya malam, pun juga menahan rasa sakit selama berbaring ditempat
tidur diruang inap rumah sakit. Dan ternyata aku masih bisa
melakukannya, walau tubuhKu begitu lemah dan tak berdaya, aku mencoba
untuk melakukan hal-hal sederhana tanpa harus dibantu oleh orang lain,
semua itu aku lakukan untuk terus mencoba menasihati diri agar bisa
hidup mandiri. Sudah dua minggu aku terbaring lemas ditemani selang
infus ditangan kananKu, ditambah lagi oleh alat medis lainnya yang
ditancapkan disekujur tubuhku membuat aku tidak berdaya untuk bergerak
lepas seperti dulu lagi atau juga seperti mereka yang sehat. Namun apa
mau dikata, aku hanya bisa menerima kenyataan tanpa bisa menolak
sedikitpun; bergulat bersama penderitaan yang mau tidak mau harus
diterima dengan ikhlas dibarengi kesabaran dan ketulusan, karena hanya
itulah bekal yang mampu membuat aku masih bisa bertahan sampai detik
ini.
“Mas Amna!!!” Sapa seorang perawat yang saat itu
masuk kedalam ruang dimana aku dirawat. Aku begitu mengenal suara itu,
bahkan setiap hari sudah terbisa dengan sapanya saat ia menghampiri
pasien-pasien lainnya yang juga dirawat dirumah sakit, disebelah ruang
akau dirawat.
Panggil saja dia Mbak Andin. Dia adalah
perawat yang biasanya jaga malam. Dialah perawat yang selalu menjaga
pasien-pasiennya termasuk juga diriku. Diruang inap kamar 24 atau biasa
orang menyebutnya ruang internis, diruang itulah ia menghabiskan usianya
untuk membantu orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan medis;
sakit. Sekarang mbak Andin sudah menjadi perawat tetap setelah resmi
menerima pengangkatan dirinya menjadi pegawai negeri yang ditugaskan
dirumah sakit kota Malang. Kota yang dikenal dengan tempat wisata serta
pemandangan alamnya yang begitu memanjakan mata bagi mereka yang sudah
pernah mengunjunginya.
Saat Perawat, mbak Andin masuk
ruangan dimana aku dirawat, ia selalu saja memberikan senyuman,
seolah-olah senyuman itu adalah sesuatu hal yang tidak pernah ia
lupakan, senyuman bagi setiap orang adalah kebiasaannya. Mungkin
senyuman sudah menjadi karakter mbak andin. “Mbak andin ganti inpusnya
dulu yach! Ntar Mas Amna bisa istirahat. Kalau nggak diganti, bisa-bisa
Mas Amna gak sembuh-sembuh lho.” Kata perawat itu padaku sembari
tersenyum. Sejenak setelah ia mengganti cairan infus, andin beranjak
pergi meninggalkan ruang inap dimana aku dirawat.
Jam
berdenting melaju tanpa henti, berdetak seirng perjalanan garis waktu,
detik demi detik berlalu berganti menit, menit pun kini berganti jam,
tidak terasa jarum jam diatas tembok ruangan sudah menunjukkan pukul
01;30, ternyata sudah larut malam. Sudah setengah jam mataku ini tak jua
mau terpejam, aku tidak bisa tidur lagi setelah terbangun. Hanya bisa
melihat langit-langit kamar dan tembok ruangan yang dicat warna putih.
Barangkali ini yang dinamakan dokter dengan istilah asing itu; insomnia.
Iya, begitu ucapan dokter yang pernah aku dengar saat sang dokter telah
selesai memeriksa kondisi kesehatanku minggu lalu.
Ternyata
sakit itu begitu melelahkan, wajar saja banyak orang menyesal setelah
ia jatuh sakit. Betapa berartinya hidup sehat, bisa melakukan segala
aktfitas dengan mudah tanpa adanya beban fisik, berbeda halnya saat
tubuh sudah tergulai lemah tak berdaya, namun ternyata penyesalan hanya
tinggal penyesalan, semua itu tidak ada gunanya lagi. Kini hanya bisa
bergulat dengan dentingan waktu yang terus berputar bersama seribu
harapan yang belum nyata ditengah bentangan kehidupan. Bersyukur bagi
mereka yang sedang diberikan karunia kesehatan. Andai saja mereka tahu
rasanya sakit dan penderitaan yang tak juga pupus, mungkin tidak ada
diantara mereka yang mengabaikan kesehatannya saat ini. kesehatan
layaknya sesuatu hal yang termat berharga, mungkin kesehatan bukanlah
segala-galanya, namun tanpa kesehatan hidup tak berarti apa-apa. Tinggal
kehampaan berteman penyesalan hingga menyisakan tangis diakhir
pejalanan saat menapaki jalan kehidupan yang begitu panjang tanpa kita
tahu kapan akhirnya.
Suasana malam kini telah berganti
pagi, tetesan air infus terus mengalir dalam vena, tanpa hentinya air
infus ini mengisi tubuhku sejak dua minggu lalu. Rasanya begitu sangat
terasa menusuk seluruh jari-jemariku sampai tangan ini membengkak dan
tak berdaya, terkulai lemas, seolah-olah ada beban yang diikatkan
diantara jari-jemari dan sekujur tubuhku. Walau demikian, beban bukanlah
cara tuhan untuk menghadirkan keterhinaan, barangkali sakit ini akan
mampu menghapus segala kesalahan yang pernah tertorehkan ditengah
bentangan kehidupan.
Dipagi yang masih gelap bersama
cahaya temaran, Tiba-tiba saja pintu kamar ruang dimana aku dirawat
terbuka, entah siapa yang membukanya, hati ini bertanya-tanya, namun
tidak beberapa saat kemudian terlihatlah sosok wanita berkulit putih
bersih, pancaran wajahnya begitu menyejukkan, wajar saja wajahnya masih
terlihat segar dan berseri-seri setelah menyentuh air wudhu, kayaknya
dia adalah seorang wanita yang taat beribadah. Rambutnya yang panjang
nan hitam memperindah penampilannya. Sosok wanita yang anggun, bisik
hatiku dalam-dalam. Saat ia masuk ruangan, Ditangannya terlihat cairan
infus dan peralatan medis lainnya. Barangkali ia akan mengganti cairan
infusku lagi, begitu gumamku dalam hati. Ternyata wanita itu tidak lain
adalah mbak andin, perawat yang begitu ramah dan baik hati yang selama
ini aku begitu kenal, seolah-olah perkenalan itu membuat kehidupanku
dirumah sakit terasa menyejukkan walau sepenuhnya kondisi fisik ini
butuh perawatan medis. Saat sejenak ia perlahan-lahan mendekat dan
menaruh peralatan medis yang dibawanya diatas meja yang letaknya tidak
begitu jauh dari tempat tidurku.
“Selamat Pagi Mas Amna!”
sapanya, lantas tersenyum padaku. “Bagaimana kondisinya sekarang? Tadi
malam istirahatnya pasti nyenyak yach?” lanjutnya. “Pagi juga Mbak,
masih kurang begitu kok mbak, tapi gemana lagi, mau tidak mau harus
diterima apa adanya, toh juga memberontak dari kenyataan sudah tidak ada
gunanya lagi. Oya mbak, tadi malam saya tidak bisa istirahat. Setelah
terbangun dari tidur, mata tidak bisa dipejamkan lagi, kira-kira
penyebabnya apa yach?” tanyaku pada mbak andin, perawat ruang internis
yang biasanya berjaga malam. Sosok seorang perawat yang dikenal baik dan
penuh tanggung jawab, lebih lagi dengan kecantikannya yang begitu
menawan, rasa-rasanya setiap mata akan begitu terpesona saat menyaksikan
keindahan kecantikannya maupun keperibadiannya. Layaknya seorang
malaikat kecil yang dititipkan Tuhan dirumah sakit. Sungguh, semua ini
karunia tuhan yang layak untuk disyukuri.
Setelah
mendengarkan keluhanku, Perawat itu tidak langsung menjawab pertanyaanKu
saat itu. Seketika itu ia langsung memasang stetoschope ditelinganya.
Telinga yang begitu indah terlihat dibola mataku. “Saya periksa dulu
perkembangan kondisi mas amna yach.!” Katanya padaku. Tanpa pikir
panjang aku pun langsung mempersilahkannya. Saat itu ia menempelkan
stetoschope dibagian atas perut, tepatnya dibagian paru-paruku. Rasanya
desiran darah didalam tubuhku mengalir deras dibarengi detakan jantung
yang intesitasnya mulai meningkat. Entah mengapa semua itu terjadi.
Sejak pertemuanku dirumah sakit itu membuat aku begitu nyaman dengan
perawat yang sedang memeriksa aku saat itu. memang hubungan kami sebatas
pasien dan terapis, namun entah mengapa, intensitas pertemuan yang
begitu seringnya membuat aku menyimpan sesuatu yang lain didalam hati
ini. namun apa mau dikata, itulah adanya. Barangkali kondisi demikian
seringkali terjadi antara dokter dan pasiennya atau petugas kesehatan
lainnya walau tidak semua mereka seperti itu.
Dalam hati
aku bergumam, “bagaimana mungkin ia akan menaruh hati padaku, aku
hanyalah sosok seorang laki-laki yang sudah tak berdaya. Mana ada cewek
secantik mbak andin akan menaruh hati pada pasien yang sakit seperti
diriKu. Ia hanya pantas memiliki laki-laki tegar yang mampu untuk
menjaga serta mengayomi kehidupannya. Beda dengan diriKu yang saat ini
hanya bisa terkulai lemas tak berdaya.” Pergulatan rasa dalam diri terus
saja saling mengomentari. Tiba-tiba saja aku tersentak oleh mbak andin
yang sudah selesai memeriksa kondisiKu saat itu. “Mas Amna Melamun
yach?!? Waaah, jangan-jangan mas amna sakit karena ditinggal pacar.
Hehe” apa yang dikatakan perawat itu membuat aku tersentak, kesadaranKu
mulai kembali, aku hanya bisa terkesipu mendengar apa yang dikatakannya
pada diriku. “Aaah, mbak ini ada-ada ajja kok, mana ada cewek yang mau
sama laki-laki yang sakit-sakitan seperti ini.” jawabku padanya. “Siapa
tahu lho mas, yang namanya cinta tidak ada yang tahu lho mas.” Jawab
mbak andin mengomentari dengan lembutnya. Tentu saja ucapannya itu
semakin menumbuhkan seribu harapanku. Mungkin saja dia juga menyimpan
rasa cinta itu sebagaimana aku mencintainya, namun itu tidak akan
mungkin terjadi. begitu bisik hati ini dalam-dalam, seolah sedang
terjadi pergulatan didalam.
“Mas amna istirahat yang cukup
yach, sekarang saya harus pergi, maklum tugas sudah selesai, InsyaAllah
besok malam kita bertemu lagi. Oya, dokter yang akan opesai mas belum
bisa datang hari ini, maklum hari ini dokter masih libur, jadi bakal
bisa bertemu dokter hari senin besok. Sabar yach. Lekas sembuh mas
amna.” Kata-kata perawat itu yang sangat memotifasi bagi diriku. “terima
kasih mbak. Mbak andin baik banget, semoga saja hari ini adalah hari
yang indah buat mbak andin! selamat menikmati hari libur yach. Have a
nice day” jawabku untuk menimpalinya. Perawat itupun meninggalkan
ruangan dimana aku dirawat. Kini tinggal aku sendiri tanpa seorang pun
yang menemani, hanya ada selang infus dan peralatan medis lainnya
ditambah bantal warna putih yang melekat dikepala.
Kini
cahaya mentari sudah menampakkan diri, walau masih terlihat seberkas
cahaya temaran untuk menyibak embun pagi yang masih bergeming diatas
pucuk daun. Seolah-olah embun masih enggan untuk meninggalkan
kemesraannya bersama dedaunan yang masih malu membuka diri menyambut
hadirnya pancaran cahaya sang surya kala itu. Waktu terus bergulir tanpa
pernah berhenti barang sejenak. Tidak terasa sudah, kini mentari hari
senin sudah menampakkan diri diatas permadani bumi. Hari yang dinantikan
sekaligus mendebarkan sudah tiba. Embun pagi sudah tidak terlihat lagi
membasahi rerumputan dan dedaunan. Kini mentari sudah melangkah jauh
diatas garis cakrawala. Kehangatannya pun sudah mulai terasa.
Pagi
itu, suasana rumah sakit sudah kembali seperti biasanya. Banyak
perawat, residen calon dokter, dokter dan petugas kesehatan lainnya
meramaikan rumah sakit. Mereka terlihat sibuk dengan aktifitas
masing-masing. Ada diantara mereka yang sibuk meresepkan obat bagi para
pasien yang dirawat diruang inap, ada juga yang bertugas mengganti
cairan infus bagi para pasien yang memang sudah waktunya untuk mengganti
cairan. Ada pula yang sibuk mendorong kursi roda pasien yang baru
datang berobat atau mungkin akan dirawat diruang Inap. Kondisi demikian
sudah tidak asing lagi dimata ini, pemandangan yang sudah biasa terjadi
dirumah sakit.
Seorang laki-laki separuh baya memasuki
ruangan tempat aku dirawat. Balutan baju putih melengkapi busana yang
dikenakannya. Stetoschope yang melekat dilehernya menambah penampilan
sang dokter. ia pun langsung mendekatiku lantas memeriksa perkembangan
kondisi kesehatanKu. Setelah lama melakukan inspeksi diruang dimana aku
dirawat, sang dokterpun mempersiapkan segala keperluan untuk mencatat
apa yang sudah didapatkannya dari hasil diagnosis lanjutan. “Mas amna,
hari ini anda masuk ke ruang bedah dan akan ditindak lanjuti oleh dokter
bedah. Saya sudah mengkomuniaksikannya dengan pihak yang bersangkutan.
Saya sebagai dokter anda akan tetap mengevaluasi perkembangan anda,
nantinya. Sebaiknya anda tidak perlu cemas ataupun takut. Yakinkah diri
bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja, Tuhan akan selalu
memberikan yang terbaik bagi hamba-hambanya.” Setelah berucap demikian,
dokter inipun melepaskan senyuman kepadaku yang membuatku terasa lebih
nyaman walau ada sedikit beban yang masih tersisakan. Setelah sang
dokter berkata demikian, ia pun kini meninggalkan ruangan beserta dua
residen calon dokter yang ada dibelakangnya.
Entah
mengapa, rasa cemas dan takut tiba-tiba mengganggu pikiran ini. Wajar
saja ini terjadi, kali pertama untuk memasuki ruang bedah.
Sebelum-sebelumnya tidak pernah memasuki ruang operasi. Terasa
menyeramkan memang. Kekalutan pikiran membayangi, ditambah lagi oleh
keluarga yang belum juga menampakkan batang hidungnya. Entah itu papa,
mama ataupun saudara. Sebenarnya diri ini takut jika harus menjalani
operasi. Mengapa harus ada operasi, apa sudah tidak ada lagi solusi lain
yang bisa menggatikannya, begitu hati berbisik.
Ditengah
kekalutan pikiran, pintu ruangan terbuka. Ternyata sudah ada papa dan
mama yang berdiri disamping pintu. Merekapun masuk dengan leluasa. Hanya
ada kami sekeluarga yang mengisi ruangan itu. “Nak, papa sama mama
minta maaf karena tidak bisa menemani, sudah dua malam papa dan mama
tidak bisa menginap dirumah sakit. Oya nak, kata dokter, hari ini
waktunya memasuki ruang bedah. Nak, jangan cemas, semuanya akan
baik-baik saja. Dokter yang bakal melakukan operasi adalah teman papa,
jadi tidak perlu cemas, beliau adalah dokter yang sangat professional
dalam bidangnya.” Pesan papa membesarkan hatiku. Namun sesungguhnya ada
sedikit kesedihan yang masih tersisa dalam angan-angan. Andai saja mbak
andin ada ditempat ini, mungkin aku bisa mengucapkan beberapa patah
kata, mungkin saja ini adalah akhir dari hidupku untuk bertemu dirinya,
barangkali dengan mengucapkan rangkaian ucapan terima kasih akan membuat
dia mengerti apa yang sebenarnya ada dalam hati ini, walau sepenuhnya
tidak disampaikan dalam bahasa yang lugas akan harapan dan inginku.
Begitu hati ini bergumam. Namun entahlah, hari itu aku tidak juga
bertemu dengannya hingga detik-detik penantian sudah mendekati tanpa
bisa diundur lagi.
Tidak beberapa jam kemudian, dua orang
perawat memindahkan tubuhku, lantas mereka membawaku ke ruang yang tidak
aku kenal. Kayaknya aku sudah memasuki ruang bedah. Tidak lama kemudian
seorang dokter lengkap dengan baju kebesarannya, ditambah lagi oleh
balutan masker diwajahnya, tiba-tiba saja mendekatiku dan menyuntikan
cairan kedalam tubuhku. Tiba-tiba saja kesadaranku mulai menanggalkan
diri lantas meninggalkanku sendiri. Hanya terasa kehampaan yang tidak
mampu dibahasakan. Pikiran terasa membumbung tinggi ke atas angkasa.
Entah mengapa hal itu terjadi. terlihat olehku sosok seorang laki-laki
berbadan tegap dibaluti oleh baju putih bersih.
Aku tidak
mengenal siapa pria itu. Suara dokter bedah dan rekannya terdengar
samar-samar, lama kelamaan suara itu hanyut dibawa oleh oleh hembusan
angin, entah dibawa kemana, yang kuraskan tubuhku mulai ringan tak
berdaya. Aku hanya mampu melihat sosok laki-laki yang sedang
mendekatiku, Aku tak dapat melihat wajahnya secara jelas, entah seperti
apa wajah aslinya. Aku semakin takut, pikiran dan perasaanku semakin
ringan adanya. Aku tersadar ternyata dia adalah sosok malaikat Izrail.
Malaikat pencabut maut yang tuhan tugaskan untuk membawaku kembali
keharibaan sang pencipta. Dia mendekatiku dan menggapai tubuhku yang
sedang tergeletak tak berdaya diruang operasi. Dan tiba-tiba, semuanya
menjadi gelap! Aku hanya bisa merasakan bahwa itulah akhir kehidupanku.
Dokter
bedah yang betugas diruang itu terlihat sibuk untuk memberikan tata
laksana atas tubuhku yang sudah tergelatak. Kayaknya mereka sudah tidak
mampu lagi untuk melanjutkan operasi pada jantungku yang sudah tidak
berdetak lagi. Upaya medis sudah sepenuhnya diupayakan namun ternyata
tubuh itu terbujur kaku tanpa ada tanda-tanda kehidupan lagi. Aku hanya
bisa menyaksikan tubuhku yang sudah tak mampu bergerak lagi. Dipojok
ruang tunggu, aku sempatkan diri melihat mama yang dihiasi oleh derai
tangis, begitu pula dengan papa. Raut wajahnya terlihat sendu walau ia
mencoba untuk bisa tetap tegar menghadapi kenyataan.
Kini
tubuhku yang kaku itu sudah dipindahkan diruang jenazah, terbalut
selimut putih tanpa ada pakaian lainnya selain selimut putih itu.
tiba-tiba saja seorang wanita cantik mendekati jasadku yang sudah
terbujur, ternyata dia adalah perawat yang biasa menemani malam-malamku.
Dia adalah mbak andin. Entah mengapa ia menghampiriku diruang jenazah.
Akankah ia akan menanyakan lagi perkembangan kondisi kesehatanku lagi.
Tapi itu tidak akan mungkin terjadi karena aku tahu jasadku terbujur
kaku tanpa suara. Tiba-tiba saja derai air mata membasahi pipinya. Andai
saja tubuhku masih bisa bergerak, aku akan sempatkan diri untuk menyeka
air mata dari pipi manisnya agar ia tidak lagi dirundung kesedihan.
Entah mengapa ia menangisiku, yang aku tahu dia adalah perawat yang
hanya mendampingi hari-hariku dirumah sakit.
Saat isak
tangis dan derai air matanya mengalir, mbak andin sempat berucap
beberapa patah kata disamping tubuhku yang sudah terbujur kaku. “Mas
amna, mengapa engkau pergi meninggalkanku. Andai mas Amna bisa
mendengarkan isi hatiku, mungkin cinta ini tidak membuat aku menagis
sendiri.” Ucapan dari mulutnya tidak begitu jelas karena derai tangis
yang membuat kesedihannya begitu bermakna, namun aku masih bisa
mendengar apa yang diucapkannya itu. ternyata mbak andin, perawat yang
baik itu menyimpan rasa sebagaimana cinta yang sudah bersemai dalam jiwa
ini sejak pertemuan pertama malam itu, berawal dimana aku mulai dirujuk
masuk dikamar 24, ruang internnis. Namun apa mau dikata, tubuhku hanya
tergeletak kaku, tak berdaya dan tak bersuara sedikitpun. Inilah akhir
dari kehidupanku beserta cintaku yang tersimpan didalam jiwa seorang
malaikat kecil yang pernah tuhan titipkan dirumah sakit. Semoga saja
merelakan kepergianku ini. Tuhan akan membalas budi baikmu, wahai
malaikat kecilku. Keep spirit for our life better.
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar