Terpampang jelas dipapan pengumuman penerimaan siswi
baru nama yang panjang itu; Annisa Elisya Amniyani Fitrotie Dewi Zeinia
Saputri, sebagai siswi terbaik yang memiliki DANEM tertinggi diantara
pendaftar lainnya yang secara sah diterima menjadi santriwati. Panggil
saja aku Amny, Saat itu aku tengah duduk dibangku kelas 1 Madrasah
Aliyah Muallimat yang terfavorit Dikota tempat aku berdomisili,
kebanyakan orang menyebutnya sekolah MAM, singkatan dari madrasah aliyah
muallimat yang mana penghuninya adalah cewek semua, tak satu ekorpun
cowok yang ada disana sebagai siswanya, wajar saja begitu karena sekolah
tersebut hanya diperuntukkan untuk cewek disetiap ruang kelasnya,
kecuali guru dan staf karyawannya. Waktu itu, Aku Baru saja memasuki
Madrasah/ sekolah yang berbasis pesantren itu, seperti disebuah
pemondokan yang santriwatinya datang dari berbagai daerah di indonesia;
misalnya saja daerah istimewa suralaga, bermi, selong, masbagik,
narmada, suela, sembalun, praya dan berbagai daerah lainnya.
Saat itu aku terkenal dengan panggilan "aneh" Mungkin karena nama yang
berjubel itu, pun juga karena aku sangat berbeda dari mereka. Tidak
heran sebutan aneh si “panjang” atau “rel sekolah” adalah Panggilan yang
sangat melekat untukku diantara teman-teman disekolah tersebut. Tidak
tahu mengapa mereka begitu senang memanggilku dengan panggilan “aneh”,
tapi yang jelas semua itu tidak lain karena nama yang begitu panjang
yang pernah diberikan oleh orang tuaku.
Awal masuk disekolah tersebut, aku adalah sosok seorang wanita yang
aneh dalam jiwaku teruntuk kehidupanku sendiri. Dahulunya, sejak duduk
dibangku SMP, aku tidak pernah memakai tutup kepala atau biasanya
disebut dengan istilah aneh “jilbab” sebagaimana aku dengar dari
penuturan orang-orang disekitarku, termasuk dari ibuku sendiri yang
tidak pernah lepas oleh kain yang biasanya terpampang diatas kepala.
Mereka yang mengenakan tutup kepala itu layaknya seorang yang menyimpan
keindahan rambutnya bak mutiara berharga, atau mungkin ada alasan lain
dibalik itu semua yang tidak aku mengerti hakikat tutup kepala yang
biasa kami kenakan saat beranjak kesekolah setiap harinya. Namun ada
sebagian lain yang justru mengoyak makna jilbab yang kini melekat
dikepalaku. “Buat apa pakai jilbab?.”
Tutur seorang sahabat dengan bangga ketika ia hidup didalam lingkungan
yang baru, lingkungan dimana ia boleh memilih, entah menanggalkan jilbab
atau mengenakannya. Pengakuan itu yang sering terdengar ditelingaku,
apalagi dihadapan teman-teman lamaku.
Banyak orang merasa nyaman dengan putusan baru dalam hidupnya, padahal
sebelumnya ia sepenuhnya selalu mencibir mereka yang tidak pernah
menutupi kepala atau mengenakan jilbab/ kerudung. Inilah mengapa banyak
orang bertanya; mengapa hal itu dilakukan? Jawabannya itu adalah satu;
putusan atas sebuah pilihan hidup masing-masing orang. Barangkali akan
muncul beragam alasan, tentu saja karena alasan untuk bisa menguatkan
argumentasi personal. Misalnya saja alasan yang paling sering
diungkapkan oleh sebagian orang; “Ngapain
pakai jilbab/ kerudung jika saja belum mampu menjaga sikap dengan sebaik
mungkin?” jika boleh bertanya kembali; apakah ada suatu kebaikan yang
menghalangi anda untuk berjilbab atau jilbab yang barangkali menghalangi
langkah kaki anda untuk berbuat kebaikan atau mungkin factor lainnya?
Kini aku harus memulai hidup baru dengan jilbab yang dahulunya sesuatu
yang aneh dalam hidupku. Kenapa tidak, penutup kepala itu menjadi
kewajiban kami setiap harinya sebagai santriwati, jika saja berani
menentang aturan sekolah. Kami akan diasingkan bahkan tidak segan-segan
untuk dibawa kembali kehadapan orang tua yang membiayayi pendidikan kami
selama ini. Kasihan banget jika harus berhenti ditengah perjalanan
meneguk setitik air makna kehidupan dibangku sekolah.
Terus terang saja, dahulunya aku menolak untuk masuk disekolah
tersebut. Aku hanya berharap bisa masuk sekolah Favoritku, SMA 1 Negeri
Mamben yang terkenal dengan ragam prestasi terbaik yang selama ini
diraihnya dalam berbagai macam pentas dan perlombaan, sekolah yang cukup
familier disemua kalangan karena prestasi-prestasi terbaik yang pernah
diraihnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain yang memiliki
prestasi tidak sebanding dengan sekolah impianKu tersebut. Namun tak ada
lagi gunanya menyesali apa yang sudah tuhan pesembahkan bagiku. Mau
tidak mau harus menerima sekolah MAM tersebut sebagai suatu kebanggaan
dalam hidupku karena aku mendapatkan sesuatu yang lebih yang belum
pernah aku dapatkan sebelumnya. Sebenarnya MAM adalah sekolah yang
kualitasnya tidak diragukan lagi. Namun karena suasana kelas yang diisi
oleh kaum hawa membuat aku merasa terasing dengan pilihan tuhan atas
diriku saat itu. Adalah kehidupan selalu berputar terus menerus, memilih
adalah suatu putusan, namun adakalanya putusan hati telah ditetapkan
tuhan dan saat itulah jiwa harus menerimanya secara terbuka.
Kini penutup kepala itu sudah tidak asing bagiku, begitupula dengan
teman-temanku. Barangkali kebiasaan menutup kepala ini sudah menjadi
bagian dalam hidupku saat ini dan sampai detik ini karena sekolah
mengajarkanKu untuk menjaga arti kesucian dalam diriku, tercermin dari
busana yang biasanya melekat disekujur tubuh ini. jauh berbeda halnya
dengan teman-temanku di SMP dulu yang kini mengenakan jilbab
diwaktu-waktu tertentu, layaknya seorang yang hanya mengadopsi penutup
kepala saat hari-hari penting keagamaan, namun penutup tersebut terseret
entah kemana saat selesai mengikuti acara tertentu. Banyak pula kakak
alumni sekolahku yang dulunya menutup kepala namun kini menghempaskan
penutup itu entah kemana. Barangkali mereka muak, atau mungkin mereka
mengikuti gaya baru yang jauh lebih trend dengan perkembangan zaman
modern.
Kini, sudah tiga tahun
berlalu. Aku sudah duduk dikelas Tiga dimana moment penting saat bersama
teman-teman akan terseret bersama putaran waktu, kebersamaan itu kini
sebentar lagi akan berakhir saat ujian nasional nanti digelar serempak
oleh Negara. Seorang teman dekat menghampiriku saat aku asyik
bercengkerama dengan buku Bahasa Indonesia yang ada ditanganku. “Amny!!
Besok kamu mau lanjutkan kuliah dimana?” Tanya Eni, sahabat dekat yang
aku kenal begitu baik sejak duduk dibangku kelas satu sampai detik ini.
“Nggak tahu sobat. Kayaknya sich bakal melanjutkan di Universitas Negeri
Mamben. Maklum, UNM sudah banyak mencetak generasi penerus bangsa.
Mmmm, kayaknya sich lebih memilih kuliah disana.” Jawabku sambil menatap
wajah cantiknya sahabat tersebut.
“kalau eni ndiri lanjutkan kuliah dimana tuch?” tanyaku mencoba
menelusuk masuk kealam pikirnya tentang impiannya masa depan yang belum
pasti karena kami saat ini masih duduk dibangku kelas tiga. “Kayaknya
sich bakal melanjutkan ke Universitas Udayana Mataram. Pengennya sich
begitu, cari suasana yang baru. Begittuuuu.!” Jawabnya dengan bahasa
obrolan ringan sambil melepas tubuhnya dibangku kosong yang ada
disebelahku.
“Semoga saja kita
bisa impian besar kita Amin.” Jawabku sembari menaruh seribu harapan
masa depan yang terus diburu waktu kekinian yang tak pernah kunjung
usai. “Amiiiin.. semoga yach. Harapannya sich begitu. Maklumlah, sekolah
kita nich di isi cewek semua, kalau gak hati-hati bisa dibawa merarik
kodek (menikah dini; budaya khas Lombok yang notabenenya kawin lari,.
Setelah itu terkadang cerai dan menikah lagi. Mmmmm, semoga kedepannya
tidak lagi demikian yach <mimic wajah="" berharap="" pada=""
realitas="" budaya="">), kayak teman kita; Sushy. Kasihan sushy yach.
Padahal tinggal satu bulan lagi kita ujian nasional. Apa dia gak
kepikiran masa depannya?” Celetuk eni sambil menaruh wajah iba kepada
Sushy, teman dekat kami yang begitu ceplas-ceplos, walau begitu dia
tergolong ramah dan mudah berteman sama siapapun.</mimic>
“Sudahlah… Jangan lebay dech. Barangkali sudah jodohnya. Iya khan.!?
Eeh, ngomong-ngomong nich, sudah persiapan buat menghadapi ujian Bahasa
Indonesia apa belum?”
“oooowwwhhh tidaaak.. Masa sich ada ujian hari ini? waaah, saya belum
belajar. Gemana nich?” wajah eni saat itu berubah seketika, mimic bahasa
tubuh tak karuan menampak kekhawatirannya menghadapi ujian. Buku bahasa
indonesianya dibuka tak karuan, seakan-akan ia sedang mencoba untuk
merengkuh setiap baris dibuku mata pelajaran tersebut agar bisa masuk
diotaknya.
Suasana siang sudah
mulai menampak cerah, terasa kehangatan matahari yang memulai menyengat
kulit dengan sapaan trik siangnya. Suasana kelas kami sunyi sepi, hanya
terdengar suara gemercik kertas yang sedang dibolak balik oleh tuannya
yang saat itu telah dirampok pikiran dan perasaan kebingungan demi
kebingungan diruangan kelas saat ujian digelar. Coretan kata indah
menawan pelajaran bahasa indonesia berubah dalam rangkaian pertanyaan
dan sederetan pemintaan aneh. Aku sibuk menuangkan ide dalam lembaran
kertas kosong dari Guru Bahasa Indonesia; Pak Opiek hamdie Liverpoeles.
Panggil saja pak opik atau ustadz opik, Guru bahasa indonesia kami yang
memiliki wajah cakep dan begitu menarik untuk dipandang oleh lentikkan
alis mata seusiaku yang mengharapkan tegur sapa seorang cowok setampan
pak opik.
Jujur saja, guru muda
tersebut memiliki kharismatik yang membuat kami terus berpacu dalam
motifasi hidup. Setiap harinya, seusai pembelajaran digelar didepan
kelas, beliau selalu mengejawantahkan spirit bagi kami. Dalam angan
bathin kecil ini bertutur dalam mimpi menerawang lepas keatas entah
kemana arahnya. “andai saja aku bisa seperti ustadz, mungkin aku bisa
membuat orang-orang disekitarKu tersenyum akan hadirku dalam kehidupan
mereka. Semoga saja aku bisa seperti beliau.” saat itu pikiranku lepas
menimbun impian angin segar menerawang didalam benakku mengejawantahkan
mimpiku untuk bisa menjadi seorang tarbaik seperti guruku yang sedang
berdiri didepan pintu kelasku. Iya, berharap diriku ini seperti beliau
yang sedang berdiri didepan kelasku, disana. Keep spirit for our life
better....
Salam satu jiwa. Salam sehat Jiwa untuk menggapai hidup bahagia
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar