Sabtu, 25 Februari 2012

Kugantungkan harapku dibalik jilbab putihKu

Terpampang jelas dipapan pengumuman penerimaan siswi baru nama yang panjang itu; Annisa Elisya Amniyani Fitrotie Dewi Zeinia Saputri, sebagai siswi terbaik yang memiliki DANEM tertinggi diantara pendaftar lainnya yang secara sah diterima menjadi santriwati. Panggil saja aku Amny, Saat itu aku tengah duduk dibangku kelas 1 Madrasah Aliyah Muallimat yang terfavorit Dikota tempat aku berdomisili, kebanyakan orang menyebutnya sekolah MAM, singkatan dari madrasah aliyah muallimat yang mana penghuninya adalah cewek semua, tak satu ekorpun cowok yang ada disana sebagai siswanya, wajar saja begitu karena sekolah tersebut hanya diperuntukkan untuk cewek disetiap ruang kelasnya, kecuali guru dan staf karyawannya. Waktu itu, Aku Baru saja memasuki Madrasah/ sekolah yang berbasis pesantren itu, seperti disebuah pemondokan yang santriwatinya datang dari berbagai daerah di indonesia; misalnya saja daerah istimewa suralaga, bermi, selong, masbagik, narmada, suela, sembalun, praya dan berbagai daerah lainnya.

Saat itu aku terkenal dengan panggilan "aneh" Mungkin karena nama yang berjubel itu, pun juga karena aku sangat berbeda dari mereka. Tidak heran sebutan aneh si “panjang” atau “rel sekolah” adalah Panggilan yang sangat melekat untukku diantara teman-teman disekolah tersebut. Tidak tahu mengapa mereka begitu senang memanggilku dengan panggilan “aneh”, tapi yang jelas semua itu tidak lain karena nama yang begitu panjang yang pernah diberikan oleh orang tuaku.

Awal masuk disekolah tersebut, aku adalah sosok seorang wanita yang aneh dalam jiwaku teruntuk kehidupanku sendiri. Dahulunya, sejak duduk dibangku SMP, aku tidak pernah memakai tutup kepala atau biasanya disebut dengan istilah aneh “jilbab” sebagaimana aku dengar dari penuturan orang-orang disekitarku, termasuk dari ibuku sendiri yang tidak pernah lepas oleh kain yang biasanya terpampang diatas kepala. Mereka yang mengenakan tutup kepala itu layaknya seorang yang menyimpan keindahan rambutnya bak mutiara berharga, atau mungkin ada alasan lain dibalik itu semua yang tidak aku mengerti hakikat tutup kepala yang biasa kami kenakan saat beranjak kesekolah setiap harinya. Namun ada sebagian lain yang justru mengoyak makna jilbab yang kini melekat dikepalaku. “Buat apa pakai jilbab?.” Tutur seorang sahabat dengan bangga ketika ia hidup didalam lingkungan yang baru, lingkungan dimana ia boleh memilih, entah menanggalkan jilbab atau mengenakannya. Pengakuan itu yang sering terdengar ditelingaku, apalagi dihadapan teman-teman lamaku.

Banyak orang merasa nyaman dengan putusan baru dalam hidupnya, padahal sebelumnya ia sepenuhnya selalu mencibir mereka yang tidak pernah menutupi kepala atau mengenakan jilbab/ kerudung. Inilah mengapa banyak orang bertanya; mengapa hal itu dilakukan? Jawabannya itu adalah satu; putusan atas sebuah pilihan hidup masing-masing orang. Barangkali akan muncul beragam alasan, tentu saja karena alasan untuk bisa menguatkan argumentasi personal. Misalnya saja alasan yang paling sering diungkapkan oleh sebagian orang; “Ngapain pakai jilbab/ kerudung jika saja belum mampu menjaga sikap dengan sebaik mungkin?” jika boleh bertanya kembali; apakah ada suatu kebaikan yang menghalangi anda untuk berjilbab atau jilbab yang barangkali menghalangi langkah kaki anda untuk berbuat kebaikan atau mungkin factor lainnya?

Kini aku harus memulai hidup baru dengan jilbab yang dahulunya sesuatu yang aneh dalam hidupku. Kenapa tidak, penutup kepala itu menjadi kewajiban kami setiap harinya sebagai santriwati, jika saja berani menentang aturan sekolah. Kami akan diasingkan bahkan tidak segan-segan untuk dibawa kembali kehadapan orang tua yang membiayayi pendidikan kami selama ini. Kasihan banget jika harus berhenti ditengah perjalanan meneguk setitik air makna kehidupan dibangku sekolah.

Terus terang saja, dahulunya aku menolak untuk masuk disekolah tersebut. Aku hanya berharap bisa masuk sekolah Favoritku, SMA 1 Negeri Mamben yang terkenal dengan ragam prestasi terbaik yang selama ini diraihnya dalam berbagai macam pentas dan perlombaan, sekolah yang cukup familier disemua kalangan karena prestasi-prestasi terbaik yang pernah diraihnya dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain yang memiliki prestasi tidak sebanding dengan sekolah impianKu tersebut. Namun tak ada lagi gunanya menyesali apa yang sudah tuhan pesembahkan bagiku. Mau tidak mau harus menerima sekolah MAM tersebut sebagai suatu kebanggaan dalam hidupku karena aku mendapatkan sesuatu yang lebih yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Sebenarnya MAM adalah sekolah yang kualitasnya tidak diragukan lagi. Namun karena suasana kelas yang diisi oleh kaum hawa membuat aku merasa terasing dengan pilihan tuhan atas diriku saat itu. Adalah kehidupan selalu berputar terus menerus, memilih adalah suatu putusan, namun adakalanya putusan hati telah ditetapkan tuhan dan saat itulah jiwa harus menerimanya secara terbuka.

Kini penutup kepala itu sudah tidak asing bagiku, begitupula dengan teman-temanku. Barangkali kebiasaan menutup kepala ini sudah menjadi bagian dalam hidupku saat ini dan sampai detik ini karena sekolah mengajarkanKu untuk menjaga arti kesucian dalam diriku, tercermin dari busana yang biasanya melekat disekujur tubuh ini. jauh berbeda halnya dengan teman-temanku di SMP dulu yang kini mengenakan jilbab diwaktu-waktu tertentu, layaknya seorang yang hanya mengadopsi penutup kepala saat hari-hari penting keagamaan, namun penutup tersebut terseret entah kemana saat selesai mengikuti acara tertentu. Banyak pula kakak alumni sekolahku yang dulunya menutup kepala namun kini menghempaskan penutup itu entah kemana. Barangkali mereka muak, atau mungkin mereka mengikuti gaya baru yang jauh lebih trend dengan perkembangan zaman modern.

Kini, sudah tiga tahun berlalu. Aku sudah duduk dikelas Tiga dimana moment penting saat bersama teman-teman akan terseret bersama putaran waktu, kebersamaan itu kini sebentar lagi akan berakhir saat ujian nasional nanti digelar serempak oleh Negara. Seorang teman dekat menghampiriku saat aku asyik bercengkerama dengan buku Bahasa Indonesia yang ada ditanganku. “Amny!! Besok kamu mau lanjutkan kuliah dimana?” Tanya Eni, sahabat dekat yang aku kenal begitu baik sejak duduk dibangku kelas satu sampai detik ini. “Nggak tahu sobat. Kayaknya sich bakal melanjutkan di Universitas Negeri Mamben. Maklum, UNM sudah banyak mencetak generasi penerus bangsa. Mmmm, kayaknya sich lebih memilih kuliah disana.” Jawabku sambil menatap wajah cantiknya sahabat tersebut.

“kalau eni ndiri lanjutkan kuliah dimana tuch?” tanyaku mencoba menelusuk masuk kealam pikirnya tentang impiannya masa depan yang belum pasti karena kami saat ini masih duduk dibangku kelas tiga. “Kayaknya sich bakal melanjutkan ke Universitas Udayana Mataram. Pengennya sich begitu, cari suasana yang baru. Begittuuuu.!” Jawabnya dengan bahasa obrolan ringan sambil melepas tubuhnya dibangku kosong yang ada disebelahku.

“Semoga saja kita bisa impian besar kita Amin.” Jawabku sembari menaruh seribu harapan masa depan yang terus diburu waktu kekinian yang tak pernah kunjung usai. “Amiiiin.. semoga yach. Harapannya sich begitu. Maklumlah, sekolah kita nich di isi cewek semua, kalau gak hati-hati bisa dibawa merarik kodek (menikah dini; budaya khas Lombok yang notabenenya kawin lari,. Setelah itu terkadang cerai dan menikah lagi. Mmmmm, semoga kedepannya tidak lagi demikian yach <mimic wajah="" berharap="" pada="" realitas="" budaya="">), kayak teman kita; Sushy. Kasihan sushy yach. Padahal tinggal satu bulan lagi kita ujian nasional. Apa dia gak kepikiran masa depannya?” Celetuk eni sambil menaruh wajah iba kepada Sushy, teman dekat kami yang begitu ceplas-ceplos, walau begitu dia tergolong ramah dan mudah berteman sama siapapun.</mimic>

“Sudahlah… Jangan lebay dech. Barangkali sudah jodohnya. Iya khan.!? Eeh, ngomong-ngomong nich, sudah persiapan buat menghadapi ujian Bahasa Indonesia apa belum?”

“oooowwwhhh tidaaak.. Masa sich ada ujian hari ini? waaah, saya belum belajar. Gemana nich?” wajah eni saat itu berubah seketika, mimic bahasa tubuh tak karuan menampak kekhawatirannya menghadapi ujian. Buku bahasa indonesianya dibuka tak karuan, seakan-akan ia sedang mencoba untuk merengkuh setiap baris dibuku mata pelajaran tersebut agar bisa masuk diotaknya.

Suasana siang sudah mulai menampak cerah, terasa kehangatan matahari yang memulai menyengat kulit dengan sapaan trik siangnya. Suasana kelas kami sunyi sepi, hanya terdengar suara gemercik kertas yang sedang dibolak balik oleh tuannya yang saat itu telah dirampok pikiran dan perasaan kebingungan demi kebingungan diruangan kelas saat ujian digelar. Coretan kata indah menawan pelajaran bahasa indonesia berubah dalam rangkaian pertanyaan dan sederetan pemintaan aneh. Aku sibuk menuangkan ide dalam lembaran kertas kosong dari Guru Bahasa Indonesia; Pak Opiek hamdie Liverpoeles. Panggil saja pak opik atau ustadz opik, Guru bahasa indonesia kami yang memiliki wajah cakep dan begitu menarik untuk dipandang oleh lentikkan alis mata seusiaku yang mengharapkan tegur sapa seorang cowok setampan pak opik.

Jujur saja, guru muda tersebut memiliki kharismatik yang membuat kami terus berpacu dalam motifasi hidup. Setiap harinya, seusai pembelajaran digelar didepan kelas, beliau selalu mengejawantahkan spirit bagi kami. Dalam angan bathin kecil ini bertutur dalam mimpi menerawang lepas keatas entah kemana arahnya. “andai saja aku bisa seperti ustadz, mungkin aku bisa membuat orang-orang disekitarKu tersenyum akan hadirku dalam kehidupan mereka. Semoga saja aku bisa seperti beliau.” saat itu pikiranku lepas menimbun impian angin segar menerawang didalam benakku mengejawantahkan mimpiku untuk bisa menjadi seorang tarbaik seperti guruku yang sedang berdiri didepan pintu kelasku. Iya, berharap diriku ini seperti beliau yang sedang berdiri didepan kelasku, disana. Keep spirit for our life better....

Salam satu jiwa. Salam sehat Jiwa untuk menggapai hidup bahagia

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar