Engkau yang sedang patah hati,
menangislah dan jangan ragu ungkapkan betapa pedih hati yang
tersakiti, racun yang membunuhmu secara perlahan. Engkau yang saat
ini pilu, betapa menanggung beban kepedihan, Tumpahkan sakit itu
dalam tangismu yang menusuk relung hati yang paling dalam, hanya diri
sendiri yang tak mungkin orang lain akan mengerti. Di sini ku temani
kau dalam tangismu bila air mata dapat cairkan hati, kan ku cabut
duri pedih dalam hatimu agar kulihat senyum di tidurmu malam nanti.
Anggaplah semua ini Satu langkah dewasakan diri dan tak terpungkiri
juga bagi engkau yang hatinya terluka dipeluk nestapa tersapu derita,
seiring saat keringnya air mata tak mampu menahan pedih yang tak ada
habisnya. Hanya diri sendiri yang tak mungkin orang lain akan
mengerti. Disini ku temani kau dalam tangismu bila air mata dapat
cairkan hati, kan ku cabut duri pedih dalam hatimu agar kulihat,
senyum di tidurmu malam nanti. Anggaplah semua ini Satu langkah
dewasakan diri dan tak terpungkiri juga bagimu. By; Last Child:
Pedih.
Seorang sahabat pernah
mengirimkan pesan demikian, “Sungguh tidak ada gunanya lagi hidupku
ini setelah ia meninggalkanku pergi. Rasa-rasanya hidup ini sudah
tidak berarti lagi, Huuuft.” Maklumi saja apa yang telah “sahabat”
sampaikan dari pesan singkat tersebut saat mendapatkan kado kesedihan
dalam hidupnya. Wajar saja bahasa kekecewaan itu menjadi bahasa
keseharian suatu ketika mendapatkan ujian ditengah perjalanan
menapaki garis kehidupan ini. Baginya, juga bagi siapapun entah itu,
saya, anda dan juga mereka, Kesedihan mendatangkan perih yang
menyakitkan seakan-akan terlihat sebagai racun yang sangat
menyakitkan. Membawa derita, pedih dan terkadang tangisan. Beginilah
wajah umum kebanyakan manusia.
Terkadang kita juga begitu dalam
keseharian hidup ini, hal yang manusiawi jika memang harus menangis
saat tersandung suatu persoalan hidup yang menurut hemat kita tidak
mampu lagi teratasi. Tidak heran jika banyak orang yang berujar bahwa
kesedihan itu guncangan yang setan yang menjadikan jiwa merasa hampa
tak bermakna. Bagi manusia kebanyakan, penderitaan adalah musuh yang
sejatinya harus dienyahkan lantaran itu banyak orang mencari cara
untuk bisa menikmati kehidupan ini dengan berbagai cara agar bisa
merasa bahagia; mencari kenikmatan semu yang dianggapnya bisa
menghilangkan kepedihan; hedonis.
Padahal kita tahu dan sadar
betul, apapun yang kita jalani dalam hidup ini tidak pernah terlepas
dari unsur kesedihan sebagai sisi kehidupan disisi yang lain, yang
suatu saat kesedihan itu pasti menghampiri. Tak ubahnya seperti koin
mata uang, disebelahnya terlihat wajah kebahagiaan, disatu sisinya
lagi terdapat wajah kesedihan, menghilangkan satu sisi sama artinya
menghilangkan dan menapikan sisi yang lainnya. Yang terpenting untuk
kita mengerti setiap sisi diantara keduanya lantas mencoba untuk
menyeimbangkan kedua sisinya sebagai bel kesadaran ditengah
perjalanan hidup ini. Hanya saja bagaimana kita mencoba untuk
mensiasati kepedihan itu lantas mengolahnya menjadi energy kesadaran
dikemudian hari yang dapat mengantarkan kita pada kedewasaan dan
kebijaksanaan yang seyogyanya menghadirkan kebahagiaan dikemudian
hari, entah itu, esok, lusa, dan sampai kapanpun itu.
Tahukah kita, datangnya
persoalan hidup bukanlah akhir dari kehidupan kita. Putusnya cinta
bukan pula akhir dari segala-galanya. Kembalinya salah satu anggota
keluarga keharibaan sang pencipta bukanlah kembalinya kita pula
karena takdir kehidupan kita berbeda-beda. Hilangnya rizki bukanlah
akhir dari segalanya, justru karena kehilangan itu mengingatkan kita
bahwa semuanya itu bukan milik kita. Kesemuanya itu hanyalah sebagai
tanda bahwa kita sedang diuji oleh sang pencipta. Tidaklah menjadi
suatu aib jika tangisan terkadang menjadi penghapus kesedihan. Namun
ingatlah, tangisan bukanlah solusi utama tuk hancurkan segala duka
nestapa yang sedang menghinggapi relung jiwa. Kehidupan ini selalu
membimbing untuk kita bisa mengerti dibalik tirani makna yang
tersembunyi dibelakang hari. Semua itu akan ada kesudahannya.
Jika sudah sampai dijalan ini,
tangisan maupun senyuman memiliki tempat yang sama. Sedih bahagia
tidak ubahnya pelengkap yang selalu menyertai perjalanan. Tetaplah
kesedihan hari ini disambut dengan pemaknaan yang dalam agar kita
tidak lagi jatuh kedalam sesal yang sama sehingga suatu waktu
terbitlah matahari kesadaran yang sangat luar biasa, kepedihan tidak
untuk dicaci maki atau sebagai bahan hujatan-hujatan yang kita anggap
memalukan; kebahagiaan tidak pula untuk dibangga-banggakan. Diantara
keduanya itu terlihat bahwa hidup ini selalu menawarkan pola
keseimbangan yang tidak memihak suatu yang berlebihan. Bukankah
seorang bijak pernah berpesan demikian, “sebaik-baik perkara adalah
tengah-tengah/ keseimbangan.” Oleh karenanya kita dibimbing untuk
selalu melihat wajah tuhan dalam keseharian sehingga apapun yang
tampak akan tertuangkan dalam syukur saat berdoa dan bersyukur atas
segenap persembahan atas kehidupan ini; sedih maupun senang.
Untuk itulah kami mengawali
diskusi kita kali ini dengan sebuat pesan singkat dari seorang
sahabat yang sedang dirundung kesedihan dalam hidupnya suatu ketika
ditinggalkan oleh orang yang sangat berharga dalam hidupnya, inilah
rangkaian hidup (Kepedihan; Ujian dan cobaan) untuk kita jadikan
sebagai bahan renungan. Sekali lagi, izinkanlah bahasa sahabat
bertutur demikian. Inilah keseharian manusia yang seringkali berkeluh
kesah, menderita saat ujian hidup menerpa. Hal yang lumrah terjadi
dan seringkali kita jumpai dalam perjalanan hidup ini.
Jika kita merenung dalam-dalam,
tidak pernah ada ceritanya seorang meninggal dunia karena putus cinta
terkecuali mereka yang sudah memang ajalnya tiba untuk tidak lagi
mengisi kehidupan didunia ini, tentu saja beragam cara akan mereka
lakukan untuk mencoba mengakhiri hidupnya hanya karena tidak mampu
melihat benang merah atas peroblema kehidupan yang sedang terbentang
didepan mata kepala. Bagi mereka yang sudah terbiasa melihat
kesedihan sebagai bel kesadaran untuk melihat harapan hidup yang
lebih terang didepan sana, tangisan kesedihan akan berkesudahan dan
tidak begitu lama menjadi teman dalam kehidupan.
Banyak hal yang bisa kita
lakukan untuk menghapus segala duka cita; mulai dari berbagi dengan
sahabat dekat, berkumpul dengan orang tercinta-keluarga, merenungi
dalam-dalam apa arti kesedihan yang sedang tuhan timpakan, menanamkan
keyakinan bahwa tuhan akan selalu memberikan yang terbaik atas segala
yang menimpa agar mampu melihat senyuman disetiap perjalanan yang
terlewati dan beragam cara lain yang sejatinya bisa dilakukan untuk
menghilangkan segala duka yang masih tersisa dikedalam hati didalam
sana.
Dalam hidup ini, tentu saja
kesedihan selalu saja menjadi teman keseharian. Kesedihan tidak
pernah memandang pada siapa ia akan menghampiri. Kesedihan datang dan
pergi. Begitulah hidup ini bertutur dalam perguliran waktu yang terus
berputar. Suatu ketika kesedihan datang menghampiri, bukan berarti ia
akan menetap tanpa pernah akan pergi, sesungguhnya kesedihan itu akan
enyah jika kebahagiaan sudah menjadi tamu kehidupan. Mereka yang
hanya berharap kebahagiaan tentu saja melawan hukum alam, pun juga
akan menjadi bahan canda. Untuk itu para tetua selalu berpesan,
“ketika kebahagiaan datang, ingatlah akan kesedihan. Ketika
kesedihan menjadi teman, ingatlah suatu waktu ia akan pergi.
“Tidak ada yang abadi. Alampun
bertutur demikian. akankah kita merenung dari bahasa kesederhanaan
dibalik kebijaksanaan alam yang telah tuhan ciptakan?” Inilah
cahaya terang yang diajarkan oleh para bijak untuk menuntun kita pada
cara hidup yang selalu diterangi kesadaran dalam diri hingga tidak
lagi tergelincir dalam dualism yang suatu waktu nanti pasti akan
berganti seiring perputaran waktu. Hanya penyerahan atas segala
sesuatu didalam hidup ini kepada Tuhan yang akan membebaskan dari
kesedihan dan memberikan angin segar kebahagiaan yang akan dirangkul
menjadi satu dalam kebijaksanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar