Rabu, 04 April 2012

kepedihan tidak untuk disesali. Masa Iyya?!!?


Engkau yang sedang patah hati, menangislah dan jangan ragu ungkapkan betapa pedih hati yang tersakiti, racun yang membunuhmu secara perlahan. Engkau yang saat ini pilu, betapa menanggung beban kepedihan, Tumpahkan sakit itu dalam tangismu yang menusuk relung hati yang paling dalam, hanya diri sendiri yang tak mungkin orang lain akan mengerti. Di sini ku temani kau dalam tangismu bila air mata dapat cairkan hati, kan ku cabut duri pedih dalam hatimu agar kulihat senyum di tidurmu malam nanti. Anggaplah semua ini Satu langkah dewasakan diri dan tak terpungkiri juga bagi engkau yang hatinya terluka dipeluk nestapa tersapu derita, seiring saat keringnya air mata tak mampu menahan pedih yang tak ada habisnya. Hanya diri sendiri yang tak mungkin orang lain akan mengerti. Disini ku temani kau dalam tangismu bila air mata dapat cairkan hati, kan ku cabut duri pedih dalam hatimu agar kulihat, senyum di tidurmu malam nanti. Anggaplah semua ini Satu langkah dewasakan diri dan tak terpungkiri juga bagimu. By; Last Child: Pedih.

Seorang sahabat pernah mengirimkan pesan demikian, “Sungguh tidak ada gunanya lagi hidupku ini setelah ia meninggalkanku pergi. Rasa-rasanya hidup ini sudah tidak berarti lagi, Huuuft.” Maklumi saja apa yang telah “sahabat” sampaikan dari pesan singkat tersebut saat mendapatkan kado kesedihan dalam hidupnya. Wajar saja bahasa kekecewaan itu menjadi bahasa keseharian suatu ketika mendapatkan ujian ditengah perjalanan menapaki garis kehidupan ini. Baginya, juga bagi siapapun entah itu, saya, anda dan juga mereka, Kesedihan mendatangkan perih yang menyakitkan seakan-akan terlihat sebagai racun yang sangat menyakitkan. Membawa derita, pedih dan terkadang tangisan. Beginilah wajah umum kebanyakan manusia.

Terkadang kita juga begitu dalam keseharian hidup ini, hal yang manusiawi jika memang harus menangis saat tersandung suatu persoalan hidup yang menurut hemat kita tidak mampu lagi teratasi. Tidak heran jika banyak orang yang berujar bahwa kesedihan itu guncangan yang setan yang menjadikan jiwa merasa hampa tak bermakna. Bagi manusia kebanyakan, penderitaan adalah musuh yang sejatinya harus dienyahkan lantaran itu banyak orang mencari cara untuk bisa menikmati kehidupan ini dengan berbagai cara agar bisa merasa bahagia; mencari kenikmatan semu yang dianggapnya bisa menghilangkan kepedihan; hedonis.

Padahal kita tahu dan sadar betul, apapun yang kita jalani dalam hidup ini tidak pernah terlepas dari unsur kesedihan sebagai sisi kehidupan disisi yang lain, yang suatu saat kesedihan itu pasti menghampiri. Tak ubahnya seperti koin mata uang, disebelahnya terlihat wajah kebahagiaan, disatu sisinya lagi terdapat wajah kesedihan, menghilangkan satu sisi sama artinya menghilangkan dan menapikan sisi yang lainnya. Yang terpenting untuk kita mengerti setiap sisi diantara keduanya lantas mencoba untuk menyeimbangkan kedua sisinya sebagai bel kesadaran ditengah perjalanan hidup ini. Hanya saja bagaimana kita mencoba untuk mensiasati kepedihan itu lantas mengolahnya menjadi energy kesadaran dikemudian hari yang dapat mengantarkan kita pada kedewasaan dan kebijaksanaan yang seyogyanya menghadirkan kebahagiaan dikemudian hari, entah itu, esok, lusa, dan sampai kapanpun itu.

Tahukah kita, datangnya persoalan hidup bukanlah akhir dari kehidupan kita. Putusnya cinta bukan pula akhir dari segala-galanya. Kembalinya salah satu anggota keluarga keharibaan sang pencipta bukanlah kembalinya kita pula karena takdir kehidupan kita berbeda-beda. Hilangnya rizki bukanlah akhir dari segalanya, justru karena kehilangan itu mengingatkan kita bahwa semuanya itu bukan milik kita. Kesemuanya itu hanyalah sebagai tanda bahwa kita sedang diuji oleh sang pencipta. Tidaklah menjadi suatu aib jika tangisan terkadang menjadi penghapus kesedihan. Namun ingatlah, tangisan bukanlah solusi utama tuk hancurkan segala duka nestapa yang sedang menghinggapi relung jiwa. Kehidupan ini selalu membimbing untuk kita bisa mengerti dibalik tirani makna yang tersembunyi dibelakang hari. Semua itu akan ada kesudahannya.

Jika sudah sampai dijalan ini, tangisan maupun senyuman memiliki tempat yang sama. Sedih bahagia tidak ubahnya pelengkap yang selalu menyertai perjalanan. Tetaplah kesedihan hari ini disambut dengan pemaknaan yang dalam agar kita tidak lagi jatuh kedalam sesal yang sama sehingga suatu waktu terbitlah matahari kesadaran yang sangat luar biasa, kepedihan tidak untuk dicaci maki atau sebagai bahan hujatan-hujatan yang kita anggap memalukan; kebahagiaan tidak pula untuk dibangga-banggakan. Diantara keduanya itu terlihat bahwa hidup ini selalu menawarkan pola keseimbangan yang tidak memihak suatu yang berlebihan. Bukankah seorang bijak pernah berpesan demikian, “sebaik-baik perkara adalah tengah-tengah/ keseimbangan.” Oleh karenanya kita dibimbing untuk selalu melihat wajah tuhan dalam keseharian sehingga apapun yang tampak akan tertuangkan dalam syukur saat berdoa dan bersyukur atas segenap persembahan atas kehidupan ini; sedih maupun senang.

Untuk itulah kami mengawali diskusi kita kali ini dengan sebuat pesan singkat dari seorang sahabat yang sedang dirundung kesedihan dalam hidupnya suatu ketika ditinggalkan oleh orang yang sangat berharga dalam hidupnya, inilah rangkaian hidup (Kepedihan; Ujian dan cobaan) untuk kita jadikan sebagai bahan renungan. Sekali lagi, izinkanlah bahasa sahabat bertutur demikian. Inilah keseharian manusia yang seringkali berkeluh kesah, menderita saat ujian hidup menerpa. Hal yang lumrah terjadi dan seringkali kita jumpai dalam perjalanan hidup ini.

Jika kita merenung dalam-dalam, tidak pernah ada ceritanya seorang meninggal dunia karena putus cinta terkecuali mereka yang sudah memang ajalnya tiba untuk tidak lagi mengisi kehidupan didunia ini, tentu saja beragam cara akan mereka lakukan untuk mencoba mengakhiri hidupnya hanya karena tidak mampu melihat benang merah atas peroblema kehidupan yang sedang terbentang didepan mata kepala. Bagi mereka yang sudah terbiasa melihat kesedihan sebagai bel kesadaran untuk melihat harapan hidup yang lebih terang didepan sana, tangisan kesedihan akan berkesudahan dan tidak begitu lama menjadi teman dalam kehidupan.

Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghapus segala duka cita; mulai dari berbagi dengan sahabat dekat, berkumpul dengan orang tercinta-keluarga, merenungi dalam-dalam apa arti kesedihan yang sedang tuhan timpakan, menanamkan keyakinan bahwa tuhan akan selalu memberikan yang terbaik atas segala yang menimpa agar mampu melihat senyuman disetiap perjalanan yang terlewati dan beragam cara lain yang sejatinya bisa dilakukan untuk menghilangkan segala duka yang masih tersisa dikedalam hati didalam sana.

Dalam hidup ini, tentu saja kesedihan selalu saja menjadi teman keseharian. Kesedihan tidak pernah memandang pada siapa ia akan menghampiri. Kesedihan datang dan pergi. Begitulah hidup ini bertutur dalam perguliran waktu yang terus berputar. Suatu ketika kesedihan datang menghampiri, bukan berarti ia akan menetap tanpa pernah akan pergi, sesungguhnya kesedihan itu akan enyah jika kebahagiaan sudah menjadi tamu kehidupan. Mereka yang hanya berharap kebahagiaan tentu saja melawan hukum alam, pun juga akan menjadi bahan canda. Untuk itu para tetua selalu berpesan, “ketika kebahagiaan datang, ingatlah akan kesedihan. Ketika kesedihan menjadi teman, ingatlah suatu waktu ia akan pergi.

Tidak ada yang abadi. Alampun bertutur demikian. akankah kita merenung dari bahasa kesederhanaan dibalik kebijaksanaan alam yang telah tuhan ciptakan?” Inilah cahaya terang yang diajarkan oleh para bijak untuk menuntun kita pada cara hidup yang selalu diterangi kesadaran dalam diri hingga tidak lagi tergelincir dalam dualism yang suatu waktu nanti pasti akan berganti seiring perputaran waktu. Hanya penyerahan atas segala sesuatu didalam hidup ini kepada Tuhan yang akan membebaskan dari kesedihan dan memberikan angin segar kebahagiaan yang akan dirangkul menjadi satu dalam kebijaksanaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar