Mentari pagi baru saja
menengadah ke atas tiang angkasa di ufuk timur sana, mega kuning
masih terlihat menghiasi warna langit-langit bumi, sinar mentari
belum sepenuhnya terpancarkan sempurna, namun suasana gelap sudah
menyingsing ke tempat peraduannya. Suasana pagi terasa dingin,
apalagi embun yang masih bersemai bersama dedaunan masih menguncupkan
diri di setiap pucuk dedaunan hijau, lebih-lebih di atas padang
rumput yang terhampar luas, masih terlihat anggun bersama selimut
beningnya embun, begitulah sejatinya suasana yang Nampak di setiap
paginya, seolah-olah alam tidak bosan-bosannya mengajarkan kita makna
kesetiaan di balik kebersamaan dan jalinan kasih sayang.
Suasana layar kehidupan
masih terlihat sepi, tidak banyak aktifitas manusia yang terlihat
kontras. Hanya saja sebagian masyarakat di pedesaan sudah terlihat
meninggalkan rumah-rumah mereka untuk beraktifitas di tengah sawah
dan ladang mereka masing-masing untuk bercocok tanam. Begitulah
suasana yang Nampak jelas di tengah masyarakat pedesaan, berbeda
halnya dengan masyarakat yang hidup dan tinggal di daerah perkotaan
yang umumnya mereka bekerja di kantoran, menempatkan diri pada
skat-skat yang mereka buat sendiri, seolah-olah gambaran kehidupan
mereka lebih mengutamakan otoritas diri dan menomor duakan rasa
persaudaraan dan kebersamaan. Sangat
terlihat begitu kontras pola kehidupan itu, dalam perbedaannya itu
akan memunculkan pola yang berbeda pula dalam mensintesakan kehidupan
pada proporsi cara berfikir dan bertindak di dalam kehidupan mereka
masing-masing.
Di pagi itu pula, di
tengah padepokan yang jaraknya tidak jauh dari pemukiman penduduk, di
sana terlihat seorang guru mengajarkan murid-muridnya tentang
dasar-dasar kasih sayang tanpa harus menggunakan topeng-topeng
kehidupan. Dengan seksama, murid-murid mendengarkan segala uraian
yang di sampaikan oleh guru mereka.
Guru tersebut menguraikan
beberapa hal yang harus di pahami oleh setiap orang yang mendambakan
kehidupan yang lebih baik, dalam urainnya Sang Guru yang terkenal
dengan ke arifan dan kebijaksanaan itu menjelaskan arti cinta kasih
terhadap kehidupan tanpa harus mencintai dengan menggunakan wajah
bertopeng. "sungguh kehidupan kita tidak akan pernah menuai
kebijaksanaan dan kedamaian sebagaimana mestinya-di mana pencapaian
itu sesuai dengan apa yang kita inginkan yaitu menemukan sejatinya
kehidupan ini." Tiga orang muridnya tertegun mendengarkan
uraian-uraian hikmah yang di tuturkan oleh Sang Guru Bijak.
Setelah beberapa saat
kemudian, salah satu di antara murid yang paling muda, sebut saja
namanya Amna mencoba bertanya tentang pri-hal kehidupan bertopeng,
dengan suara lantang penuh semangat ia bertanya. "Guru, Apakah
selama ini kehidupan kami yang tetap bertahan dalam wajah
keterpurukan adalah merupakan manifestasi dari topeng-topeng yang
kami buat sendiri untuk menutupi wajah kehidupan yang sebenarnya?".
Dengan wajah berseri-seri
Sang Guru bijak Pun tersenyum mendengarkan pertanyaan yang di ajukan
untuknya, dengan wajah mantap Sang guru bijak menjawab. "Iya,
Sungguh benar demikian adanya wahai murid-muridKu. Selama ini kita
seringkali tidak menyadari bahwasanya kita selalu menutup diri dari
jalan kebahagiaan. Sungguh kita tidak pernah akan bisa melihat
wajah-wajah kita sendiri secara nyata di depan cermin kehidupan ini
jika kita sendiri masih mengenakan topeng.
Kita tidak akan mungkin
bisa mengenal kekurangan dan kelebihan kita sendiri. Pada hakikatnya
tidak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia ini, mereka adalah
makhluk yang lemah dan tak berdaya, mengenali dan mengakui kekurangan
diri sendiri bukanlah suatu kebodohan, namun pengakuan itu adalah
cara tuhan untuk membimbing kita pada sikap keterbukaan. Jika sudah
sikap keterbukaan itu menjadi bagian dalam hidup kita, tidak mungkin
tidak kebahagiaan akan menjadi milik Kita."
Mendengar uraian-uraian
bijak dari sang guru, semua murid tertegun seraya merenungkan setiap
kata-kata yang terucap. Tidak beberapa saat kemudian, murid yang
paling muda di antara murid-murid lainnya mencoba bertanya, walaupun
masih terlihat muda, ia begitu bersemangat dalam menimba
pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak dimilikinya, sebut saja
namanya Umary, Dengan sikap antusias ia bertanya kepada sang guru.
"Guru, jika memang topeng-topeng kehidupan ini masih melekat
dalam diri setiap manusia, termasuk dalam diri kami, adakah cara atau
metode yang bisa di gunakan untuk membuka topeng tersebut? Bukankah
semua kita mendambakan kehidupan yang penuh dengan aroma
kebahagiaan?."
"Wahai murid-muridKu!
Tuhan tidak akan melepaskan kita begitu saja, Dialah Yang Maha
bijaksana selalu menuntun kita pada jalan kebenaran, melalui
pengetahuan yang luas dari akal yang cerdas akan dapat membuka segala
rantai-rantai kehidupan yang selama ini mengekang jalan kita dalam
upaya menemuka sejatinya kehidupan. Meresapi setiap pristiwa dan atau
kejadian di alam semesta, membuka diri pada pelajaran hikmah yang
telah di bentangkan di segenap layar semesta ini akan mampu membuka
wawasan dan menambah pengetahuan.
Oleh karena itu, sikap
keterbukaan, berani mengakui kesalahan, memiliki kemauan yang kuat
untuk selalu belajar dari kehidupan, menghargai kehidupan ini dengan
sikap welas asih, dan bertanggung jawab atas segala perilaku yang
telah kita munculkan di tengah kehidupan akan dapat membuka
topeng-topeng yang menutupi wajah kehidupan ini. Jika sudah demikian,
kebahagiaan layaknya pendamping hidup yang tidak akan pernah lekang
oleh waktu atau apapun itu, termasuk kemelakan diri yang tak pernah
berakhir."
"Wahai murid-MuridKu,
Jauhkanlah oleh kalian sikap-sikap kesombongan yang masih menempel di
dalam hati. Sungguh kesombongan itu adalah pangkal kemelekatan pada
kehinaan dan kesengsaraan, ketidak jujuran pada rangkaian peroses
yang terjadi di setiap jengkal dalam kehidupan adalah ujung dari
kesombongan itu sendiri yang masih bersemayam di dalam diri.
Kesombongan itu tidak hanya menjauhkan jiwa dari jalan kebahagiaan,
namun juga kesombongan akan membuat hati berkarat. Ibaratnya besi
yang tidak menginginkan di tempali oleh api (Ujian-Ujian Hidup),
merasa diri sudah memiliki kelayakan-kelayakan dalam hidup, sungguh
mereka yang demikian itu tidak akan pernah mampu membuka
topeng-topeng kesengsaraan yang dapat menjadikan hidup mereka
terkekang untuk selama-lamanya. Hindarilah olehMu sifat yang demikian
itu wahai murid-muridku jika kalian mengharapkan kasih tuhan di
segenap kehidupan." Begitulah uraisan Nasihat sang guru saat
sebelum mengakhiri pertemuan mereka pada pagi itu.
"Terima kasih atas
segala budi baik Guru, Kami akan selalu mengingat dan mencoba
mengaplikasikan/ mengamalkan segala petuah dan nasihat guru yang
sungguh-sungguh sangat berharga bagi kehidupan kami di masa kini dan
mendatang. Mudah-mudahan kami kelak dapat membuka diri pada sejatinya
kehidupan serta mencoba untuk mengikis habis sifat-sifat kesombongan
yang masih bersemayam di dalam hati kami.
Doakanlah kami guru,
semoga tuhan menuntun jalan kami pada jalan kebijaksanaan sebagaimana
kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup yang melekat pada guru yang semua
itu tidak lain adalah anugrah dari Allah. Terima kasih banyak Guru
sekali lagi terima kasih." Ucap sang murid sambil undur diri dan
memberi hormat di hadapan Gurunya yang Arif dan bijaksana.
Sang guru memandang
murid-muridnya pergi meninggalkan tempat persemaian ilmu sampai
mereka tak tampak lagi bayangannya. Ia tersenyum puas melihat
kemajuan yang Nampak di wajah kehidupan murid-muridnya untuk
menemukan jalan kebijaksanaan. Kini Tidak terasa mentari sudah
menaiki tangga cakrawala, pagi sudah terasa hangat, embun-embun di
atas pucuk dedaunan sudah mulai mencair dan mengilhami kehidupan pada
makna keteduhan. Tunas-tunas baru kehidupan ini sudah mulai bertumbuh
mengisi tanah kebijaksanaan, kehadirannya sangat din nanti-nantikan
di masa mendatang untuk menggantikan pohon induknya. Begitulah siklus
kehidupan terjadi, mereka selalu mengajarkan kita keseimbangan hidup
untuk dapat menemukan kebahagiaan sebagai anugrah Kasih Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar