Senin, 11 Juni 2012

Petuh Bijak Sang Guru-Membuka kemelut topeng-topeng kehidupan


Mentari pagi baru saja menengadah ke atas tiang angkasa di ufuk timur sana, mega kuning masih terlihat menghiasi warna langit-langit bumi, sinar mentari belum sepenuhnya terpancarkan sempurna, namun suasana gelap sudah menyingsing ke tempat peraduannya. Suasana pagi terasa dingin, apalagi embun yang masih bersemai bersama dedaunan masih menguncupkan diri di setiap pucuk dedaunan hijau, lebih-lebih di atas padang rumput yang terhampar luas, masih terlihat anggun bersama selimut beningnya embun, begitulah sejatinya suasana yang Nampak di setiap paginya, seolah-olah alam tidak bosan-bosannya mengajarkan kita makna kesetiaan di balik kebersamaan dan jalinan kasih sayang.

Suasana layar kehidupan masih terlihat sepi, tidak banyak aktifitas manusia yang terlihat kontras. Hanya saja sebagian masyarakat di pedesaan sudah terlihat meninggalkan rumah-rumah mereka untuk beraktifitas di tengah sawah dan ladang mereka masing-masing untuk bercocok tanam. Begitulah suasana yang Nampak jelas di tengah masyarakat pedesaan, berbeda halnya dengan masyarakat yang hidup dan tinggal di daerah perkotaan yang umumnya mereka bekerja di kantoran, menempatkan diri pada skat-skat yang mereka buat sendiri, seolah-olah gambaran kehidupan mereka lebih mengutamakan otoritas diri dan menomor duakan rasa persaudaraan dan kebersamaan. Sangat terlihat begitu kontras pola kehidupan itu, dalam perbedaannya itu akan memunculkan pola yang berbeda pula dalam mensintesakan kehidupan pada proporsi cara berfikir dan bertindak di dalam kehidupan mereka masing-masing.

Di pagi itu pula, di tengah padepokan yang jaraknya tidak jauh dari pemukiman penduduk, di sana terlihat seorang guru mengajarkan murid-muridnya tentang dasar-dasar kasih sayang tanpa harus menggunakan topeng-topeng kehidupan. Dengan seksama, murid-murid mendengarkan segala uraian yang di sampaikan oleh guru mereka.

Guru tersebut menguraikan beberapa hal yang harus di pahami oleh setiap orang yang mendambakan kehidupan yang lebih baik, dalam urainnya Sang Guru yang terkenal dengan ke arifan dan kebijaksanaan itu menjelaskan arti cinta kasih terhadap kehidupan tanpa harus mencintai dengan menggunakan wajah bertopeng. "sungguh kehidupan kita tidak akan pernah menuai kebijaksanaan dan kedamaian sebagaimana mestinya-di mana pencapaian itu sesuai dengan apa yang kita inginkan yaitu menemukan sejatinya kehidupan ini." Tiga orang muridnya tertegun mendengarkan uraian-uraian hikmah yang di tuturkan oleh Sang Guru Bijak.

Setelah beberapa saat kemudian, salah satu di antara murid yang paling muda, sebut saja namanya Amna mencoba bertanya tentang pri-hal kehidupan bertopeng, dengan suara lantang penuh semangat ia bertanya. "Guru, Apakah selama ini kehidupan kami yang tetap bertahan dalam wajah keterpurukan adalah merupakan manifestasi dari topeng-topeng yang kami buat sendiri untuk menutupi wajah kehidupan yang sebenarnya?".

Dengan wajah berseri-seri Sang Guru bijak Pun tersenyum mendengarkan pertanyaan yang di ajukan untuknya, dengan wajah mantap Sang guru bijak menjawab. "Iya, Sungguh benar demikian adanya wahai murid-muridKu. Selama ini kita seringkali tidak menyadari bahwasanya kita selalu menutup diri dari jalan kebahagiaan. Sungguh kita tidak pernah akan bisa melihat wajah-wajah kita sendiri secara nyata di depan cermin kehidupan ini jika kita sendiri masih mengenakan topeng.

Kita tidak akan mungkin bisa mengenal kekurangan dan kelebihan kita sendiri. Pada hakikatnya tidak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia ini, mereka adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya, mengenali dan mengakui kekurangan diri sendiri bukanlah suatu kebodohan, namun pengakuan itu adalah cara tuhan untuk membimbing kita pada sikap keterbukaan. Jika sudah sikap keterbukaan itu menjadi bagian dalam hidup kita, tidak mungkin tidak kebahagiaan akan menjadi milik Kita."

Mendengar uraian-uraian bijak dari sang guru, semua murid tertegun seraya merenungkan setiap kata-kata yang terucap. Tidak beberapa saat kemudian, murid yang paling muda di antara murid-murid lainnya mencoba bertanya, walaupun masih terlihat muda, ia begitu bersemangat dalam menimba pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak dimilikinya, sebut saja namanya Umary, Dengan sikap antusias ia bertanya kepada sang guru. "Guru, jika memang topeng-topeng kehidupan ini masih melekat dalam diri setiap manusia, termasuk dalam diri kami, adakah cara atau metode yang bisa di gunakan untuk membuka topeng tersebut? Bukankah semua kita mendambakan kehidupan yang penuh dengan aroma kebahagiaan?."

"Wahai murid-muridKu! Tuhan tidak akan melepaskan kita begitu saja, Dialah Yang Maha bijaksana selalu menuntun kita pada jalan kebenaran, melalui pengetahuan yang luas dari akal yang cerdas akan dapat membuka segala rantai-rantai kehidupan yang selama ini mengekang jalan kita dalam upaya menemuka sejatinya kehidupan. Meresapi setiap pristiwa dan atau kejadian di alam semesta, membuka diri pada pelajaran hikmah yang telah di bentangkan di segenap layar semesta ini akan mampu membuka wawasan dan menambah pengetahuan.

Oleh karena itu, sikap keterbukaan, berani mengakui kesalahan, memiliki kemauan yang kuat untuk selalu belajar dari kehidupan, menghargai kehidupan ini dengan sikap welas asih, dan bertanggung jawab atas segala perilaku yang telah kita munculkan di tengah kehidupan akan dapat membuka topeng-topeng yang menutupi wajah kehidupan ini. Jika sudah demikian, kebahagiaan layaknya pendamping hidup yang tidak akan pernah lekang oleh waktu atau apapun itu, termasuk kemelakan diri yang tak pernah berakhir."

"Wahai murid-MuridKu, Jauhkanlah oleh kalian sikap-sikap kesombongan yang masih menempel di dalam hati. Sungguh kesombongan itu adalah pangkal kemelekatan pada kehinaan dan kesengsaraan, ketidak jujuran pada rangkaian peroses yang terjadi di setiap jengkal dalam kehidupan adalah ujung dari kesombongan itu sendiri yang masih bersemayam di dalam diri. Kesombongan itu tidak hanya menjauhkan jiwa dari jalan kebahagiaan, namun juga kesombongan akan membuat hati berkarat. Ibaratnya besi yang tidak menginginkan di tempali oleh api (Ujian-Ujian Hidup), merasa diri sudah memiliki kelayakan-kelayakan dalam hidup, sungguh mereka yang demikian itu tidak akan pernah mampu membuka topeng-topeng kesengsaraan yang dapat menjadikan hidup mereka terkekang untuk selama-lamanya. Hindarilah olehMu sifat yang demikian itu wahai murid-muridku jika kalian mengharapkan kasih tuhan di segenap kehidupan." Begitulah uraisan Nasihat sang guru saat sebelum mengakhiri pertemuan mereka pada pagi itu.

"Terima kasih atas segala budi baik Guru, Kami akan selalu mengingat dan mencoba mengaplikasikan/ mengamalkan segala petuah dan nasihat guru yang sungguh-sungguh sangat berharga bagi kehidupan kami di masa kini dan mendatang. Mudah-mudahan kami kelak dapat membuka diri pada sejatinya kehidupan serta mencoba untuk mengikis habis sifat-sifat kesombongan yang masih bersemayam di dalam hati kami.

Doakanlah kami guru, semoga tuhan menuntun jalan kami pada jalan kebijaksanaan sebagaimana kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup yang melekat pada guru yang semua itu tidak lain adalah anugrah dari Allah. Terima kasih banyak Guru sekali lagi terima kasih." Ucap sang murid sambil undur diri dan memberi hormat di hadapan Gurunya yang Arif dan bijaksana.

Sang guru memandang murid-muridnya pergi meninggalkan tempat persemaian ilmu sampai mereka tak tampak lagi bayangannya. Ia tersenyum puas melihat kemajuan yang Nampak di wajah kehidupan murid-muridnya untuk menemukan jalan kebijaksanaan. Kini Tidak terasa mentari sudah menaiki tangga cakrawala, pagi sudah terasa hangat, embun-embun di atas pucuk dedaunan sudah mulai mencair dan mengilhami kehidupan pada makna keteduhan. Tunas-tunas baru kehidupan ini sudah mulai bertumbuh mengisi tanah kebijaksanaan, kehadirannya sangat din nanti-nantikan di masa mendatang untuk menggantikan pohon induknya. Begitulah siklus kehidupan terjadi, mereka selalu mengajarkan kita keseimbangan hidup untuk dapat menemukan kebahagiaan sebagai anugrah Kasih Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar