Betapa banyak ragam
penilaian terhadap diri sendiri dalam bentuk yang terlintas didalam
indra penglihatan atau indra lainnya, namun jarang sekali kita
menilainya dalam penilaian yang lebih bermakna terhadap diri sendiri
dan orang lain, dan penilaian yang lebih tinggi dimata Tuhan Sang
Pencipta Alam semsta ini. Memberikan orang lain sesuatu yang
dibutuhkan tentu saja sangat bermakna, namun jika saja pemberian itu
hanya untuk melonjakkan nama besar atau hanya ingin dipandang sebagai
orang baik dimata orang lain, apalah artinya sebuah pemberian jika
dibarengi kesombongan dan atau beragam sikap negative lainnya.
Memiliki predikat terbaik dimata diri sendiri dan orang lain adalah
sesuatu yang mampu mencitrakan diri kita dimasa sekarang dan juga
esok hari, namun jika saja predikat itu justru berdampak negatif bagi
perkembangan kesadaran jiwa kita dimasa mendatang.
Apalah arti semua
itu jika tidak memberikan sesuatu yang lebih positif bagi pertumbuhan
diri kita dimasa mendatang. Tentu saja hal serupa terjadi dalam kisah
kehidupan lain disetiap harinya. Jadi sesungguhnya apa yang
sebenarnya menjadi tolak ukur atas keberhasilan diri sendiri?
“Ketulusan”. Benarkah demikian? Mari sejenak kita renungkan
betapa berartinya sebuah ketulusan untuk melonjakkan nilai kebaikan,
meningkatkan kadar keberhasilan, memberdayakan potensi kesadaran dan
mempertemukan diri kita yang sesungguhnya pada pencapaian
keberhasilan ditengah kehidupan.
Ketulusan dalam menerima
kenyataan adalah tahapan yang pertama untuk kita bisa terus bertumbuh
disetiap harinya. Betapa tidak, sampai saat ini kita telah mampu
bertahan hidup sampai hari ini juga, semua itu tidak lain karena
ketulusan dalam menerima ragam peristiwa yang telah menimpa hidup
kita sampai saat sekarang ini. baik ataupun buruk, pahit ataupun
manis telah kita lalui, dan sampai saat ini kita telah membuktikan
bahwa ketulusan penerimaan membuat kita benar-benar belajar banyak
atas apa yang sesungguhnya sudah terlewatkan. Ketulusan penerimaan
telah membawa kita pada kehidupan sekarang. Diakui atau tidak,
ketulusan penerimaan inilah yang sesungguhnya cara tuhan menitipkan
proses sadar dalam diri kita untuk bisa mengaplikasikan potensi
alamiah yang ada dalam diri kita masing-masing. Dengan sendirinya
kita akan belajar dari ketulusan penerimaan itu sendiri. Namun
mengapa kita melupakan begitu saja peroses panjang tersebut?
Barangkali layak untuk
kita kaji tahapan-tahapan berikutnya agar kita tidak salah dalam
memahami arti sebuah pencapaian yang selama ini telah kita torehkan
diatas bentangan kehidupan. Betapa banyak orang yang telah mampu
melewati segala macam aral dan rintangan yang membentang ditengah
hidup ini namun nyatanya mereka melupkan begitu saja ragam peroses
disetiap peristiwa untuk bisa belajar darinya. Tentu saja hal ini
karena ketulusan pembelajaran telah kita lupakan. Ketulusan untuk
terus menerpa diri dalam rasa keingin tahuan yang kuat akan
benar-benar membentuk pencitraan ketulusan pembelajaran dalam diri
setiap individu, entah itu saya, anda dan juga mereka atau siapapun
juga.
Ketulusan pembelajaran
telah menjadikan sebagian besar mereka yang telah berhasil menjadi
seorang yang sangat peka terhadap perkembangan pun juga peka dalam
mengambil sebuah keputusan yang lebih matang karena mereka mampu
merekonstruksi pengalaman tersebut sehingga mereka tidak jatuh dalam
lubang kehidupan yang sama atau lubang kegamangan yang itu-itu saja;
keterhinaan. Bukankah kita seringkali jatuh dalam lubang kehidupan
yang sama: Keterhinaan, merasa bersalah, menghakimi diri sendiri dan
orang lain, dll? Semua itu terjadi berulang kali karena hilangnya
“ketulusan pembelajaran” dalam diri kita. Ketulusan untuk terus
belajar terhadap segala sesuatu yang baru agar kita tidak menjadi
manusia yang dikenal dengan istilah; keterbelakangan. Apalah artinya
kesuksesan yang ada digenggaman tangan kehidupan yang saat sekarang
ini menjadi sahabat sejati kita disetiap harinya, namun entah mengapa
peroses pencapaian kita lupakan begitu saja, seolah-olah kita tidak
tahu mengapa kita berada diatas puncak kehidupan.
Jika demikian adanya, kita
tidak lebih hitungannya dengan mereka yang mengharapkan sesuatu namun
mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah mereka terima.
Layakkah kita menuturkan keberhasilan bagi kehidupan orang lain agar
bisa termotifasi dalam hidupnya untuk mencapai tangga kehidupan yang
lebih tinggi dibandingkan kehidupan kita sekarang. Tentu saja semua
itu butuh peroses pencapaian, peroses berlangsung dalam hitungan
waktu, adalah ketulusan penerimaan dan pemahaman akan mengantarkan
kita memahami secara keseluruhan. Tulus dan Ikhlas disini tidaklah
terbatas dalam rangkuman pengertian didalam kamus yang tertulis dalam
bentuk sederhana, lebih dari itu, lebih layak kamus kehidupan inilah
yang akan mengartikan betapa luas makna yang dikandungnya.
Ketulusan pemahaman juga
akan mampu membentuk citra diri yang lemah lembut serta mampu
meresapi kebenaran dari segenap penjuru kehidupan tanpa harus melihat
dari siapa yang mengajarkannya. Mereka mampu merengkuhkan diri diatas
tahta tertinggi kehidupan dalam pemahaman yang luas menjadikan
kesuksesn mereka sangat berarti. Namun kita manusia kebanyakan belum
sepenuhnya meniti diri untuk terus belajar menjadi manusia Tulus dan
ikhlas, tulus dalam pemahaman. Betapa banyak kita mengukuhkan diri
menjadi manusia yang memiliki keterbelakangan, namun kita tidak
menyadarinya. Misalnya saja dalam bentuk realitas kehidupan setiap
harinya, Buktinya, banyak guru yang acuh tak acuh atas kebenaran yang
disampikan oleh peserta didik mereka yang usianya relative lebih muda
dari mereka. Mereka menganggap apa yang disampaikan hanya sebatas
semilir angin yang tak berarti apa-apa, bahkan terkadang kebenaran
itu membuat kuping terasa panas adanya. Begitu juga dengan contoh
lain dipojokan kehidupan lainnya.
Semua itu terjadi karena mereka
masih menggunakan baju keguruan atau baju apapun jua yang berlabelkan
ego. Berbeda halnya dengan guru kehidupan yang selalu dibungkus sikap
“ketulusan pembelajaran”. Dari siapapun mereka menerima kebaikan,
akan mereka terima seperti apa adanya tanpa penghakiman ego dalam
diri, layak jika kesuksesan akan terus bertumbuh dan menjadikan
mereka semakin berarti dimasa mendatang.
Tangga ketiga menuju
kehidupan bermakna tertata dalam tangga ketulusan jalan takdir. Semua
kita telah terlahir tanpa adanya campur tangan diri kita sendiri,
tanpa harus menginginkan diri kita seperti apa, bahkan orang tua kita
tidak pernah merancang kehidupan kita dimasa mendatang seperti apa
nantinya. Bukankah kita telah terlahir dari tangan kreatif takdir
tuhan, tentu saja semua kita adalah orang-orang sukses dalam hidup
ini, semua kita duduk dalam bagian masing-asing, jika memandang
kehidupan dalam kebermaknaan seperti ini, kita terlahir dalam
ketulusan untuk mengalir ditengah aliran air kehidupan tanpa
penghakiman yang berlebihan. Hanya saja kita berjalan dalam fitrah
kemanusiaan yang melekat dalam diri; bekerja, berdoa, berusaha, dan
beragam bentuk cara untuk tetap eksis ditengah hiruk-pikuk kehidupan
ini.
Ketulusan takdir inilah
yang telah membuat kita mampu memupuk kesuksesan lebih dari sekedar
kesuksesan tanpa makna. Kita terlahir untuk memupuk kesyukuran dalam
diri, menerima takdir tuhan tanpa penghakiman, tersenyum atas segenap
perolehan. Inilah ketulusan dan keikhlasan yang menopang kesadaran
untuk terus bertumbuh menjadi pencitraan diri yang agung disetiap
harinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar