Ombak berlarian mencapai pesisir pantai. Buih-buih ombak
menyuarakkan teriakannya kemudian menghilang disambut teriakan baru
yang terus berdebam, seperti sorak-sorai yang tak pernah kunjung usai.
Ketika Vhya dan Amnaniya. Dua orang sahabat karib menatap mentari yang
kian memerah memuncakkan warna mega kuning diujung cakrawala diufuk
timur sana. Matahari perlahan-lahan memunculkan wajah aslinya dari
dasar lautan, tepat di ujung laut sebelah timur, dikejauhan sana. Lalu
beranjak dari peraduannya perlahan-lahan menjunjung sinarnya keatas
angkasa, mengimbangi lambaian nyiur-nyiur yang berdiri tegak sepanjang
pesisir pantai sambil mengibaskan kelembutannya menyambut pagi.
Di
tepi laut itu, Dua sahabat karib berjalan mengejar buih putih yang
dipersembahkan oleh sang ombak di antara pasir putih yang tak kunjung
bosan-bosannya menyambut tarian samudra. Mereka berdua sama sekali
tidak menghiraukan burung camar yang meliuk-liuk diantara mega yang
memulai memudar yang kini menampakkan wajah cerah membusung diatas
cakrawala, menyembunyikan kemerlap bintang kejora yang sudah semalaman
menemani tidur lelap manusia. Sesekali suara ombak dan liuk-liuk suara
burung camar memekikkan telingga dengan suara lantang menyambut
panorama alam yang bertutur keindahannya dipagi hari.
“Kamu
merasa senang berada ditempat ini gak?” kata Amnaniya mencoba
mencairkan suasana pagi diantara liuk-liuk langkah sabat karibnya.
Tegur sapa Amnaniya berhasil memecah kesunyian.
“Ya,
senang sekali, tumben saya bisa menikmati suasana pagi dipinggir pantai
ini. Setelah lama meninggalkan keindahannya Sejak diperantauan. Entah
kapan lagi saya bisa menikmati keindahan seperti ini. Kalau kamu
bagaimana?” jawab Vhya singkat. Sesingkat cerita yang telah berjalan
dipagi buta. Walaupun suara Vhya tidak terdengar seriang nada ombak
yang sahut menyahut dipinggir pantai yang menandakan gejolak
kegembiraan tiada tara, namun suara tersebut menyusup masuk kedalam
rasa yang mempertemukan mereka sebagai seorang sahabat.
“Yaaach,
Lumayan juga sich, walau setiap minggunya saya menikmati suasana
seperti ini. Sebenarnya yang membuat suasana pagi kali ini berbeda ada
satu lho... tahu gak??? Senyumanmu.. lumayan, sudah lama kita tidak
bertemu semenjak keberangkatanmu ke tanah perantauan.” Jawab Amnaniya.
Mencoba menelusuk masuk kedalam kerinduan yang telah terbangun diantara
jari-jemari persahabatan mereka. kini mereka pun mulai lagi terbawa ke
alam bawah sadar masing-masing. Menguak ceritra masa lalu. Terkadang
Menghayalkan dan memikirkan sesuatu yang bakal terjadi atau sama sekali
tidak akan pernah terjadi. Sambil terus melangkahkan kaki menjauhi
keramaian. Keramaian yang penuh dengan suara bising dan hingar bingar
khas kehidupan perkotaan yang tak mengenal keheningan.
Amnaniya
tidak peduli lagi dengan langkahnya yang semakin jauh. Setapak demi
setapak yang meninggalkan bekas dan kemudian di sapu oleh ombak yang
kian mendekati bibir pantai.
“Amnani.... tunggu dooonk...” seru Vhya...
“Waaah, jalannya lemot sich,, buruan.” Teriak Amnaniya.
Langkah
Vhya berderu mengimbangi tarian ombak, menyeruakkan kerinduan,
mendekati sang sahabat yang telah lama tak menatap wajahnya.
“Mmmmm, jalannya cepat banget sich.” Kata Vhya.
“Iya dooonk. Hari gini jalan lemot, bakal ketinggalan kereta dech.”
“Kamu
tahu gak,,, Ternyata Salim CLBK lagi lho sama Rima.” Lanjut Amnaniya,
mengingatan cungkilan kisah masa lalu yang sudah usang ditutupi
debu-debu masa kini, dan kini kembali menyeruak kepermukaan dalam
bingkai ceritra yang terkadang membawa imajinasi seakan-akan sedang
duduk dipangkuan masa lalu.
“Masa
sich, Yang benar sajja dech?”. Vhya seakan-akan tidak percaya kabar
terbaru sahabat lama yang ia tinggalkan merantau. Sosok seorang Salim
yang pernah mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Namun Vhya lebih
memlih untuk berdiam diri, tak memberi jawaban sepatah katapun kepada
Salim; sahabat dekatnya sejak duduk dibangku SMA. Bathinnya tahu dan
benar-benar menyadari kesalahan besar yang akan diperbuatnya jika
menerima seorang salim; sahabat dekatnya. Batinnya menasihati; tak akan
mungkin tega untuk menyakiti hati sahabatnya yang sudah lebih dahulu
menjalin hubungan dengan Salim. Rima, wanita yang pernah ada dihati
salim, wanita niaf yang seringkali diacuhkan oleh salim, laki-laki
bertubuh atletis, wajah ovale khas aktor korea yang banyak dikagumi
para wanita se-saentro pertiwi.
Sebenarnya
bukan alasan itu yang membuat Vhya harus terdiam dan tak memberi
jawaban sepatah atau dua patah kata. Sesungguhnya, jauh menelusuk dalam
ruang bathin yang paling dalam. Ada kisah yang tak mungkin terlupakan
olehnya. Ada getaran yang tak mungkin terbahasakan selain kehalusan
jiwanya untuk mengatakan sejujurnya apa yang sedang dirasa didalam jiwa.
“Mereka jadian lagi lho... Maklum, Rima nggak mungkin melepas cowok seganteng Salim.” Jawab Amnaniya.
“Tapi
kaan... Rima sudah seringkali disakiti. Kaan kasihan banget kalau
terus-terusan kayak begini terus kisah cinta mereka.” Seakan-akan Vhya
tidak percaya, tapi apa mau dikata. Rasa empati berselimutkan simpati
kepada sahabat dekatnya; rima, hanya sekedar empati memelas wajah
kasihan belaka, yang terjadi tetaplah terjadi tanpa bisa menghadangnya
dengan kekuatan tubuh kasar yang tak lagi berdaya.
“sudahlah...
kelihatannya Salim sudah taubat tuuuch. Kayaknya sifat playboy-nya
sudah kagak laku lagi, makanya dia balik lagi sama Rima. Tahu gak?!?!?
Tiga bulan yang lalu, salim nembak Eny, temannya Hikmi, anak kelas ipa
yang terkenal cantiknya itu lhooo, tapi Salim ditolak mentah-mentah.
Jadi wajar kalau Salim harus tahu diri. Masa pacarnya sendiri
disia-siakan kayak gitu. Kayak gak mengerti perasaan cewek. Huuuh”
“ooooo,
Salim habis nembak Eny yach. Ckckck. Kayaknya saya jadi korban juga
nich. Tapi syukurlah gak kebawa rayuan gombal salim.” Celetuk Vhya,
manja.
“Maksudnya gemana nich??? Cerita dooonk” raut wajah Amnaniya berdecak penasaran, suaranya memelas lembut.
“Begini
ceritanya, enam bulan yang lalu, Salim sering colak-colek lewat
facebook. Perhatian banget pokoknya. Kirim pesan lewat inbox, tempel
ini-itu didinding fb. Eeeh, tiba-tiba seminggu kemudian dia ungkapin
perasaannya. Tapi nggak tak respon sich, kasihan rima. Jarang lho ada
cewek sesabar rima.”
“Ooooo,,, ternyata vhya jadi targetnya yach? Hahahaha”
“Lhoooo, kok tertawa sich??? Ada yang aneh?”
“nggak aneh sich. Iya lucu ajja. Ternyata diam-diam Salim suka sama vhya.”
“Uuuups,
jangan salah. Nggak salim doank kok yang suka. Cowok-cowok dikelas kita
dulu banyak yang ungkapin perasaanya lewat fb lhooo. Mereka berani
ungkapin perasaan setelah berpisah. Mmmm, kagak usah heran, maklum
artis. Hahahahaha.” Gelegak tawa Vhya memekik teriakan sang ombak
dilautan lepas. Sisa langkah mereka terhapus sudah oleh air laut yang
datang mengusap lembut pesisir pantai, seakan-akan sedang mencoba
menarik kaki dua sahabat yang sedang asyik menikmati suasana pagi
dipesisir pantai labuhan hajji, pesisir pantai yang keindahannya tidak
diragukan lagi oleh para pelancong dari dalam dan luar negeri,
khususnya para pelancong dari negeri seberang; Mamben, para pelancong
yang tidak pernah ketinggalan dalam menikmati suasana alam.
Semburat
mega telah sirna tak bersisa, cahaya terang sang mentari pagi memenuhi
jagad semesta, menyapa alam untuk memulai kisah dipagi hari dengan
sentuhan lembut keceriaan bak mentari pagi terbit dalam rengkuh
semangat yang tak pudar hingga senja datang menyapa. Dan bersama pasir
putih yang ikhlas dijamah oleh sentuhan lidah-lidah ombak dan
membawanya menuruni bibir pantai, bersama kesetiaan yang tak pernah
hilang antara kasih sang obak dan ketulsan pesisir yag tak pernah jemu
untuk bercumbu.
“Vhya... pulang yuuuks, sudah siang nich.” Seru Amnaniya.
“Bentar lagi... Asyiii nich. Iiii, ada kepiting nich. Coba lihat, imuut lhooo.”
“iiiiih, kayak orang yang nggak pernah lihat ajja. Tak tunggu diparkiran yach... okey!!!”
“Okey..”
Vhya
tak jua meninggalkan jejak kakinya dipesisir pantai, seakan-akan ia
telah tersihir oleh keindahannya atau mungkin ada alasan lain yang
membuatnya tak beranjak pergi dari keindahan deru ombak yang semakin
hangat dalam sentilan suara merdunya yang berdebam tak kenal henti.
“Mas
Afid, masih ingat di mana kita pertama kali bertemu, gak. Sekarang Vhya
sedang menikmati indahnya suasana pagi seperti kita pernah menikmatinya
dua tahun yang lalu.” Guamnya lembut dalam relung hati. Mata Vhya
menerawang bebas menatap apapun yang bertengger didepan kelopak mata.
Seolah-olah ia sedang berkata dengan seorang yang begitu dikenalnya.
Namun entah itu siapa. Hanya ada batu karang yang tercecer ditemani
oleh lambaian daun nyiur yang meliuk dan menari menyongsong pagi.
Barangkali itu sekedar lamunan dan bahkan benar-benar khayalan
imajinasi yang sedang bergejolak, tersemburkan semburat rindu, lepas
mengisi kehidupannya masa kini.
Vhya
berdiri tegak diatas pasir putih dipesisir pantai, memancing semua
kenangan dengan mengingatkan sejarah penting antara dirinya dan Afid;
laki-laki yang sangat dicintainya yang saat ini sedang duduk dibangku
kuliah, semester delapan, fakultas kedokteran di jakarta. Mengingatkan
kejadian dua tahun yang lalu yang membuat vhya mengenal Afid lebih
dalam lagi. Yang menyiratkan butiran-butiran cinta sejak ungkapan
perasaan hati antara mereka dipesisir pantai itu.
Dan
yang membawa Vhya kembali mengenang masa-masa itu dipagi ini atas nama
cinta, iya benar-benar atas nama cinta. Seakan-akan Vhya mencoba
menghidupkan kembali lentera kenangan yang telah berlalu yang menurut
sukma jiwanya sangat manis dan kenangan yang teramat manis untuk
dilupakan.
“Ya,.. kita pertama
kali mengungkapkan rasa ditempat ini, dipantai ini persis seperti ini.
Saat langit bermandikan semburat mega keemasan. Itulah awal dari
semuanya ini, awal dari kisah cinta kita. Kanda...” gumam Vhya, dalam
hati. Lagi lagi ia berbicara lirih dengan aroma segar masa lalu yang
bangkit kembali kepermukaan jiwanya. Ia terus menatap lepas merasakan
keindahan alam yang menari bersama kenangan indah kisah kasihnya dengan
Afid; laki-laki bermata sipit, kulit putih dan rambut hitam lurus.
Sesekali ia melemparkan batu karang kelautan lepas yang memunculkan
percikan air yang tak berarti Dan menghentikan langkah dan menatap jauh
ketengah deburan ombak di tengah laut yang sangat jauh. Jauh sekali.
Sampai Vhya tidak mengerti seberapa jauh pandangan mata memandang.
Memang itulah pertemuan kita, batin Vhya berujar lugas membenarkan
ucapannya yang sedang mencoba merasuk memori emas yang tak pernah
tergantikan.
Saat Sang lentera
terus memuncakkan diri dengan kehangatan tegur sapanya memenuhi jagat
dan lidah ombak yang menghiasi laut serta nyanyian camar yang terus
berderu, Vhya mencoba memejamkan mata, menarik nafas perlahan merasakan
keindahan yang sedang menjamah jiwanya dalam-dalam. Dengan lirih
batinnya berbicara dengan mesra, menyampaikan seutas doa sederhana;
“Tuhan, abadikanlah cinta kami ini dalam keindahan sebagaimana engkau
telah mengabadikan keindahan dan keagunganmu disetiap ciptaan-Mu.”
Sebenarnya
Vhya tidak ingin mengingatkan masa silam yang penuh dengan kenangan,
masa lalu yang sudah terpatri dengan damai laksana lukisan indah para
malaikat keindahan yang diutus tuhan dipuncak gunung Rinjani. Namun
Vhya hanya ingin memecah keheningan yang menghinggapi relung bathinnya
dalam kerinduan yang tak terkira, dipinggir pantai ini beserta seluruh
cinta yang berbicara dalam bahasa pengharapan dan sentuhan lembut kasih
sayang dalam kerinduan yang memekik keteduhan bagi sang jiwa. Keep
spirit for our life better...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar