Malam
yang sunyi senyap bertabur keindahan bintang gemintang dilangit kota
Aikmel, seakan-akan sedang menggoda mata yang telah jenuh memandang
dunia yang tak lagi bersahabatkan cinta manusia, yang kini tersisa
disusut-sudut kota adalah manusia-manusia yang telah tersihir ego,
jabatan dan sekeranjang emas permata. Semburat mega merah jingga
masih bertengger diatas semesta mewarnai hamparan langit biru
sehingga tampak simfoni keindahan bercengkerama mengigaukan bait-bait
kemesraan yang membuat hati menelusuk masuk dalam rengkuh kedamaian
sempurna. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan namun mampu membuat
hati orang-orang yang sedang duduk diruang tunggu pasien, PUSKESMAS
Aikmel terusik dalam belai
dan dekapan
syahdu sang dingin yang mencungkil dan menggerogoti kulit, hingga
terasa meremukkan tulang belulang yang tersimpan rapi dibalik raga.
Suasana
yang mempesona ini nampaknya tidak sedang dinikmati oleh Zainuddin,
Laki-laki berperawakan tinggi sedang dengan wajah oval dan kulit
putih serta senyuman yang sangat menawan, pak Udin, begitulah sapaan
akrab yang biasa dipanggil oleh para tetangganya. Walau usianya pak
Udin sudah tidak lagi muda, nyatanya laki-laki paruh baya itu masih
mampu menghibur kekalutan jiwanya yang tak lagi bersahabat oleh
senyuman cinta dari manusia disekelilingnya. Namun malam itu,
senyumnya seolah-olah telah lenyap terbawa garis-garis waktu. Hanya
tampak guratan wajah kekecewaan dibalik kerut-keriput wajahnya yang
datang menghampirinya saat menunggu janji-janji yang belum juga
ditepati oleh sanak keluarganya, lebih lagi oleh nelangsah jiwa saat
rasa sakit menyeruak menyesakkan dada.
Rambutnya
yang dulunya rapi mengkilap warna hitam, kini semerawut dalam gores
warna putih beruban karena tak pernah terurus lagi. Pak Zainuddin
sudah satu jam terbaring lemas diatas ranjang pasien yang tersedia
didalam ruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Satu-satunya tempat tidur pasien
yang tersedia dipojok selatan, dibawah jendela berukuran 2x1 meter
yang terpasang permanen didinding tembok untuk menyambut angin
sepoi-sepoi yang terkadang datang menghibur menemani sinar temaran
cahaya rembulan saat ingin menyelinap masuk menyapa para perawat yang
sedang bertugas melayani pasien-pasiennya, termasuk pula menyapa pak
Zainuddin yang kini terbaring dalam kondisi lemas tak berdaya,
seakan-akan malaikat enggan melihat kondisinya yang telah rapuh
diusik waktu. Melihat laki-laki paruh baya yang tergeletak diruang
perawatan itu hanya akan menyisakan torehan bathin berbahasakan iba
mendalam. Sesekali terdengar nafasnya yang tersengal-sengal tak
bertenaga, kedengarannya Zainuddin benar-benar mengidap penyakit asma
kronis, sebagaimana penuturan tim dokter RSU kota Selong saat pertama
kali mendiagnosis penyakitnya beberapa tahun sebelumnya.
Sesekali
tangannya terlihat menggaruk-garuk kepala, sedang mata sipitnya
menatap lepas melihat pojok langit yang tak bertepi dari jendela yang
masih terbuka korden-nya. Kelihatannya Dia sedang menyesali betapa
naifnya dirinya setelah tergerus janji dan sikap keluarganya yang
berceloteh tentang peralatan medis yang akan dibelikan yang nantinya
bisa dipergunakan ketika serangan asmanya datang menggerus tubuhnya,
lebih lagi oleh sikap seronoh yang tak menggambarkan cinta kasih
berbahasakan kelembutan dari mereka-mereka yang menganggap dirinya
hidup dalam segudang kemewahan. Padahal, sejatinya pak Zainuddin
memiliki sanak keluarga yang tergolong mampu untuk membelikannya
peralatan medis sederhana suatu ketika penyakitnya itu kambuh
kembali, namun entah mengapa, beberapa diantara anak-anaknya
memperlihatkan sikap kesombongan mereka, dan bahkan menorehkan sikap
acuh tak acuh terhadap kondisi Zainuddin yang tergeletak dalam sakit
yang dideritanya.
Zainuddin
menggenggam tangannya keras-keras. Dia membuang nafas lepas, sembari.
Wajahnya sumringah, namun tak mampu menghapuskan kerutan wajahnya
yang sederhana.
"Astagfirullah-Astagfirullah,
Ya Rahman Ya Rahiim!" kata Zainuddin lirih. Berkali-kali
ia menyuarakan kata-kata itu, seakan-akan lantunan nyanyian
kekecewaan dari dalam batinnya yang sedang mengadu.
Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam
bathinnya, namun apa mau dikata, semuanya sedang duduk menemani
dirinya, ingin mengingatkan agar tak lagi perduli kehidupan dunia
yang sudah dipenuhi oleh harapan semu manusia yang telah terkikis
ego, lantas menggelincirkan cinta mereka yang tulus dari dalam jiwa.
Sakit
asma kronis dan CAD telah menghancurkan Zainuddin dan kehidupannya.
Gara-garanya, saat masih muda, Zainuddin acap kali bersahabat dengan
Rokok. Wajar jika ia kini harus bertemu berkali-kali diruang yang
sama dan dirawat intensif oleh dokter Zakiah, dokter spesialis
penyakit dalam yang bertugas PUSKESMAS Tersebut. Lebih lagi, kondisi
Zainuddin diperparah oleh sanak keluarganya yang tak lagi harmonis
seperti dahulunya. Semua itu berawal dari sikap Emi yang tergolong
keras kepala, anaknya pak Zainuddin yang ke empat. Betapa tidak,
sejak emi menikah dan kini memiliki 3 orang anak, kehidupannya sudah
berbeda dari sebelum-sebelumnya. Emi yang dahulu hidupnya biasa-biasa
saja, kini terlihat lebih “waaah” atau bahkan bisa dibilang
megah. Barangkali uang sudang menghipnotisnya atau mungkin ada suatu
hal lain hingga menjadikannya anak yang tak lagi perduli terhadap
kondisi orang tuanya yang kerap kali dibawa ke PUSKESMAS, bahkan
beberapakali harus menginap di Rumah Sakit Umum kota Selong, begitu
seterusnya. Bisa dibilang, Seakan-akan RSU dan PUSKESMAS adalah rumah
kedua bagi Zainuddin. Begitulah pembicaraan para tetangganya didesa.
Belum
lagi oleh Ulah Zakir, Anaknya yang kelima yang kerapkali membuat
sesuatu yang aneh-aneh yang memperparah kondisi pak Udin. Delapan
bulan yang lalu, Zakir mencalonkan diri sebagai kandidat calon Kepala
Desa yang dianggapnya pembaharu dari kalangan generasi muda, walaupun
harus meraup uang saku yang bisa dibilang banyak, maklum ongkos
kampanye dan administrasi. Sayangnya, ia gagal total. Lain lagi
konflik berkepanjangan antar sanak keluarga yang tak pernah menuai
ujung setelah parade pemilu berakhir. Tekanan-demi tekanan terus saja
mendera. Sakit fisik ditambah lagi tekanan bathin menjadikan
Zainuddin harus merelakan separuh hidupnya tergeletak diruang
perawatan dokter.
Bayangkan
saja, betapa menderitanya Pak Udin. Acapkali datang dirumah sakit
ataupun dipuskesmas, Ia hanya berteman istri dan terkadang ditemani
oleh cucu-cucunya saat libur panjang, maklum semua cucunya Pak Udin
sudah menginjakkan kaki dibangku perkuliahan, Dunia yang betul-betul
menyibukan dengan serangkaian aktifitas akademisi yang menyita waktu
lebih. Tidak heran jika pak Udin ditemani cucu-cucunya diwaktu
lengang saat libur panjang saja.
Kesedihan
beranak pinak dan seperti suara beduk bertalu-talu memecah genderang
telinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Tapi, entah siapa yang
salah dan yang harus dipersalahkan tentang semua yang telah terjadi
ini? Entahlah, barangkali “Kesalahanlah” yang memang harus
dipersalahkan agar tak lagi ada yang dikambing hitamkan, atau
barangkali semua yang terjadi sedang Mengingatkan pak Zainuddin untuk
benar-benar mengingat kembali usianya yang sudah tidak lagi muda agar
tak lagi terkecoh oleh ulah dan peringai sanak keluarganya yang
notabenenya telah menggerus arus kehidupan yang sesungguhnya, semua
itu telah terjadi yang kerapkali membuatnya terbaring sakit diruang
perawatan akibat perasaan stress yang mendera.
Semua
kejadian itu tumpang tindih, dan terus saja terjadi. Dan kini,
dimalam ini, Pak Udin sudah ke empat belas kalinya harus menerima
perawatan medis di PUSKESMAS Aikmel sejak beberapa tahun sebelumnya
dibawa keruang perawatan dokter, belum lagi perawatan yang
diterimanya di Rumah Sakit Umum kota selong, jumlahnya satu, dua,
tiga, empat, lima… aaah, jumlahnya sudah hampir dua puluh kali,
mungkin tidak perlu lagi untuk dihitung jumlahnya, hanya akan
menyesakkan dada melihat apa yang sedang terjadi menimpa pak
Zainuddin.
Selang
infus menancap ditangan kanannya, terkadang pula harus dialihkan
ditangan kirinya. Belum lagi alat medis yang mengeluarkan asap tebal
yang menyesakkan, berisi cairan aquades yang ditambahkan salbutamol
didalamnya, padahal, larutan salbutamol yang diterima saat menjalani
terapi membuatnya berdebar-debar tak berdaya, bahkan membuatnya tidak
bisa menikmati tidur lelap dimalam hari, memang begitulah adanya,
asap yang membumbung berisikan salbutamol akan sangat menyakitkan
bagi mereka yang sedang mengidap gangguan kardiovaskuler, namun apa
mau dikata, semuanya serba salah. Terapi ini dan itu sudah dicoba,
apalah yang harus dicoba lagi, hanya bisa menerima perlakuan dari
dokter yang merawatnya, dan pasrah jualah sebagai jalan satu-satunya
agar bisa menerima segala yang terjadi, segala kenaifan yang menimpa.
Bayangkan
saja betapa sengsaranya pak Udin harus menerima Penderitaan seperti
ini diakhir usianya. Raut wajahnya yang menampak keriput dan rambut
putih beruban, sesekali diusapnya oleh handuk kecil berwana putih
yang dibawanya saat berkunjung keruang UGD PUSKESMAS Aikmel.
Perasaannya tak menentu, sesekali telinganya menyimak deru motor yang
sedang parkir didepan UGD, berharap isterinya datang untuk menemani
malamnya di PUSKESMAS.
“Astagfirullah-Astagfirullah.”
Pak Zainuddin terus saja mengucapkan lantunan istigfar (islam;
permohonan maaf) untuk menenangkan kerisauan hatinya, terus dan terus
diucapkannya.
“Assalamu’alaikum…”
Tiba-tiba terdengar suara salam dari seorang laki-laki jangkung
berkulit putih menyapa Pak Udin. “tak-tik-tak-tik-tuk…” Suara
kakinya semakin mendekat, dan lebih dekat lagi dari tempat tidur
perawatan yang ditempati pak Udin.
“Bagaimana
kondisinya kek?” Sapa Putra, cucu Pak Udin dari anaknya yang kedua,
Rosida.
“Alhamdu-Lill-Laah,,,
suu-daah Lumayaan membaiik.” Suara pak Udin terbata-bata, namun ia
berusaha menampakkan ketegarannya, ingin sekali menyembunyikan
kegalauan dalam bathinnya.
Pak
zainuddin menatap atap ruang perawatan, ditarik nafasnya
panjang-panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan, lalu ia memulai
ceritanya tentang cukilan-cukilan kehidupan masa lalunya, mulai dari
cerita yang biasa-biasa saja hingga cerita yang mampu membangkitkan
perasaan iba mendalam saat mendengar penuturan polosnya. Ia bercerita
banyak tentang semua yang menimpanya hingga membuatnya harus berulang
kali menerima sentuhan jarum-jarum infuse yang menyakitkan, belum
lagi daftar resep obat-obatan yang jumlahnya lumayan banyak, mulai
dari obat asma, jantung, hipertensi, dan obat penenang dari dokter
yang memberikan perawatan. Yang tidak pernah ketinggalan adalah
tabung oksigen untuk membantu pernafasan ditambah oleh tusukan jarum
infuse pengganti cairan dan asupan makanan. Kelihatannya Pak
Zainuddin benar-benar merasakan kepedihan mendalam. Lagi-lagi ia
melanjutkan cerita kehidupan masa lalunya kepada Putra, cucunya yang
memang ingin menguraikan seluruh kesakitan bathin yang mendera dengan
menyempatkan waktunya mendengar jeritan bathin kakeknya yang renta.
Tidak
terasa, jam dinding yang terpasang didinding pintu masuk ruang
perawatan telah menunjukkan jam sebelas malam, sudah dua jam lamanya
Pak Zainuddin menceritakan semua kesedihan yang mendera kehidupannya.
Terlihat kekusutan wajahnya mulai menghilang sedikit demi sedikit,
satu atau dua garis kesedihan perlahan memudar setelah bercerita
cukilan episode kehidupan masa lalu, atau mungkin semuanya
perlahan-lahan menghilang bersama rasa kantuk yang sudah menyeruak
ingin dihilangkan sejenak kala mata telah terpejam. Putra menatap
wajah kakeknya yang terlihat semakin sayu. Kelihatannya ia masih
mengenang cukilan kisah dalam episode-episode kehidupan masa lalu.
“Kek,,,Kelihatannya
kondisi kakek butuh istirahat banyak. Kakek istirahat saja yaaach.
Nanti kami yang bakal menunggu kakek selama dirawat dipuskesmas.”
Sesekali tangan Putra memijat kaki kakeknya, ia berharap kondisi
kakeknya membaik.
“Nanti
kalau kakek butuh sesuatu, kami bakal masuk keruang perawatan kok
kek. Diluar ada Wahyu, Dicky, Agung, Sama Riezwandi. Oya kek, malam
ini nenek nggak bisa datang ke PUSKESMAS, maklum kondisinya juga lagi
nggak enak badan, beliau juga butuh istirahat. Kakek istirahat saja,
yaaach.” Lanjut Putra menasihati sambil membuka selimut warna biru
tua yang dibawanya dari rumah untuk menutup tubuh kakeknya yang
tergeletak lemas tak bertenaga.
Kelihatannya
laki-laki paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya
menengadah kearah jendela, menatap langit yang tak berujung. Sesekali
Dilihat wajah cucunya yang kini berada disampinya, diujung Ranjang
tempatnya terbaring, tepat diseblah kakinya yang kiri. Tak ada kata
yang diucapkannya. Ia benar-benar terdiam dan terdiam.
************************************
Sehari,
dua hari, tiga hari, telah berlalu begitu cepatnya. Zainuddin masih
terlihat disudut ruang perawatan di PUSKESMAS Aikmel. Namun pagi itu
ada yang berbeda, dan benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya,
raut wajahnya yang dahulu semerawut tak terawat, kini telah mekar
merona, menampak aura bahagia dari dalam jiwa. Seakan-akan wajah itu
ingin bercerita tentang kebahagiaan tak terkira yang sedang
dirasakannya, layaknya sinar mentari pagi yang datang dengan
kehangatan, menyinari dengan keceriaan, membawakan manusia
sekeranjang motifasi untuk memulai hidup baru, menepis kegelapan
kesedihan, menyuguhkan cahaya baru bagi kehidupan lebih baik dimasa
kini dan mendatang.
Wajah
bahagia itu tidak bisa ditutu-tutupi lagi, walau dalam keadaan sakit,
Pak Udin merasakan suatu keajaiban luar biasa, ia merasa benar-benar
sembuh, barangkali perasaan bahagia itu datang dari pesan
cucu-cucunya yang telah menemaninya selama tiga hari dipuskesmas
tersebut.
Putra
yang setiap saat selalu mengatakan, "Sabar kek. Pastilah kondisi
kakek akan semakin membaik, tidak perlu lagi kakek memikirkan hal-hal
yang membuat kakek terbeban. Serahkan semuanya kepada Tuhan."
setiap kali dinasihati demikian, Zainuddin Merasa ada yang berbeda
yang dirasakannya, Ia merasakan sentuhan lembut dan perhatian yang
selama ini di-idam-idamkannya.
Lain
lagi dengan pesan Agung, “Kakek harus sehat. Jangan lupa minum
obatnya. Pasti kakek nggak bakal sakit lagi.”
“Kakek
nggak perlu lagi dirawat ditempat ini. Sekarang kakek harus lebih
lapang dada. Kakek bisa, Pasti bisa, okey” ujar Riezwandi.
Lain
lagi cara unik Wahyu dan Dicky menghibur kakeknya, canda tawa yang
khas membuat pak Udin terlihat ceria, sesekali tertawa.
Akhirnya,
apa yang dilakukan Dicky, Agung, Putra, Riezwandi dan Wahyu membawa
hasil, mereka telah mampu mengusir segala kesedihan yang selama ini
menjegal kehidupan pak Zainuddin, begitupula memenjarakan tubuhnya
dari penyakit yang kerap kali muncul akibat stress yang mendera. Hal
ini terungkap ketika ada inspeksi pemeriksaan dari dokter yang
memeriksa perkembangan kondisi Pak Zainuddin. Menurut keterangan
Dokter, kondisi Pak Zainuddin membaik dan bisa dipulangkan dari ruang
perawatan PUSKESMAS, hari ini juga… END…
Salam
satu jiwa. Salam sehat Jiwa untuk menggapai hidup bahagia…
Mustafid
Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar