Jumat, 28 September 2012

Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam bathin

Malam yang sunyi senyap bertabur keindahan bintang gemintang dilangit kota Aikmel, seakan-akan sedang menggoda mata yang telah jenuh memandang dunia yang tak lagi bersahabatkan cinta manusia, yang kini tersisa disusut-sudut kota adalah manusia-manusia yang telah tersihir ego, jabatan dan sekeranjang emas permata. Semburat mega merah jingga masih bertengger diatas semesta mewarnai hamparan langit biru sehingga tampak simfoni keindahan bercengkerama mengigaukan bait-bait kemesraan yang membuat hati menelusuk masuk dalam rengkuh kedamaian sempurna. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan namun mampu membuat hati orang-orang yang sedang duduk diruang tunggu pasien, PUSKESMAS Aikmel terusik dalam belai dan dekapan syahdu sang dingin yang mencungkil dan menggerogoti kulit, hingga terasa meremukkan tulang belulang yang tersimpan rapi dibalik raga.

Suasana yang mempesona ini nampaknya tidak sedang dinikmati oleh Zainuddin, Laki-laki berperawakan tinggi sedang dengan wajah oval dan kulit putih serta senyuman yang sangat menawan, pak Udin, begitulah sapaan akrab yang biasa dipanggil oleh para tetangganya. Walau usianya pak Udin sudah tidak lagi muda, nyatanya laki-laki paruh baya itu masih mampu menghibur kekalutan jiwanya yang tak lagi bersahabat oleh senyuman cinta dari manusia disekelilingnya. Namun malam itu, senyumnya seolah-olah telah lenyap terbawa garis-garis waktu. Hanya tampak guratan wajah kekecewaan dibalik kerut-keriput wajahnya yang datang menghampirinya saat menunggu janji-janji yang belum juga ditepati oleh sanak keluarganya, lebih lagi oleh nelangsah jiwa saat rasa sakit menyeruak menyesakkan dada.

Rambutnya yang dulunya rapi mengkilap warna hitam, kini semerawut dalam gores warna putih beruban karena tak pernah terurus lagi. Pak Zainuddin sudah satu jam terbaring lemas diatas ranjang pasien yang tersedia didalam ruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Satu-satunya tempat tidur pasien yang tersedia dipojok selatan, dibawah jendela berukuran 2x1 meter yang terpasang permanen didinding tembok untuk menyambut angin sepoi-sepoi yang terkadang datang menghibur menemani sinar temaran cahaya rembulan saat ingin menyelinap masuk menyapa para perawat yang sedang bertugas melayani pasien-pasiennya, termasuk pula menyapa pak Zainuddin yang kini terbaring dalam kondisi lemas tak berdaya, seakan-akan malaikat enggan melihat kondisinya yang telah rapuh diusik waktu. Melihat laki-laki paruh baya yang tergeletak diruang perawatan itu hanya akan menyisakan torehan bathin berbahasakan iba mendalam. Sesekali terdengar nafasnya yang tersengal-sengal tak bertenaga, kedengarannya Zainuddin benar-benar mengidap penyakit asma kronis, sebagaimana penuturan tim dokter RSU kota Selong saat pertama kali mendiagnosis penyakitnya beberapa tahun sebelumnya.

Sesekali tangannya terlihat menggaruk-garuk kepala, sedang mata sipitnya menatap lepas melihat pojok langit yang tak bertepi dari jendela yang masih terbuka korden-nya. Kelihatannya Dia sedang menyesali betapa naifnya dirinya setelah tergerus janji dan sikap keluarganya yang berceloteh tentang peralatan medis yang akan dibelikan yang nantinya bisa dipergunakan ketika serangan asmanya datang menggerus tubuhnya, lebih lagi oleh sikap seronoh yang tak menggambarkan cinta kasih berbahasakan kelembutan dari mereka-mereka yang menganggap dirinya hidup dalam segudang kemewahan. Padahal, sejatinya pak Zainuddin memiliki sanak keluarga yang tergolong mampu untuk membelikannya peralatan medis sederhana suatu ketika penyakitnya itu kambuh kembali, namun entah mengapa, beberapa diantara anak-anaknya memperlihatkan sikap kesombongan mereka, dan bahkan menorehkan sikap acuh tak acuh terhadap kondisi Zainuddin yang tergeletak dalam sakit yang dideritanya.

Zainuddin menggenggam tangannya keras-keras. Dia membuang nafas lepas, sembari. Wajahnya sumringah, namun tak mampu menghapuskan kerutan wajahnya yang sederhana.

"Astagfirullah-Astagfirullah, Ya Rahman Ya Rahiim!" kata Zainuddin lirih. Berkali-kali ia menyuarakan kata-kata itu, seakan-akan lantunan nyanyian kekecewaan dari dalam batinnya yang sedang mengadu. Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam bathinnya, namun apa mau dikata, semuanya sedang duduk menemani dirinya, ingin mengingatkan agar tak lagi perduli kehidupan dunia yang sudah dipenuhi oleh harapan semu manusia yang telah terkikis ego, lantas menggelincirkan cinta mereka yang tulus dari dalam jiwa.

Sakit asma kronis dan CAD telah menghancurkan Zainuddin dan kehidupannya. Gara-garanya, saat masih muda, Zainuddin acap kali bersahabat dengan Rokok. Wajar jika ia kini harus bertemu berkali-kali diruang yang sama dan dirawat intensif oleh dokter Zakiah, dokter spesialis penyakit dalam yang bertugas PUSKESMAS Tersebut. Lebih lagi, kondisi Zainuddin diperparah oleh sanak keluarganya yang tak lagi harmonis seperti dahulunya. Semua itu berawal dari sikap Emi yang tergolong keras kepala, anaknya pak Zainuddin yang ke empat. Betapa tidak, sejak emi menikah dan kini memiliki 3 orang anak, kehidupannya sudah berbeda dari sebelum-sebelumnya. Emi yang dahulu hidupnya biasa-biasa saja, kini terlihat lebih “waaah” atau bahkan bisa dibilang megah. Barangkali uang sudang menghipnotisnya atau mungkin ada suatu hal lain hingga menjadikannya anak yang tak lagi perduli terhadap kondisi orang tuanya yang kerap kali dibawa ke PUSKESMAS, bahkan beberapakali harus menginap di Rumah Sakit Umum kota Selong, begitu seterusnya. Bisa dibilang, Seakan-akan RSU dan PUSKESMAS adalah rumah kedua bagi Zainuddin. Begitulah pembicaraan para tetangganya didesa.

Belum lagi oleh Ulah Zakir, Anaknya yang kelima yang kerapkali membuat sesuatu yang aneh-aneh yang memperparah kondisi pak Udin. Delapan bulan yang lalu, Zakir mencalonkan diri sebagai kandidat calon Kepala Desa yang dianggapnya pembaharu dari kalangan generasi muda, walaupun harus meraup uang saku yang bisa dibilang banyak, maklum ongkos kampanye dan administrasi. Sayangnya, ia gagal total. Lain lagi konflik berkepanjangan antar sanak keluarga yang tak pernah menuai ujung setelah parade pemilu berakhir. Tekanan-demi tekanan terus saja mendera. Sakit fisik ditambah lagi tekanan bathin menjadikan Zainuddin harus merelakan separuh hidupnya tergeletak diruang perawatan dokter.

Bayangkan saja, betapa menderitanya Pak Udin. Acapkali datang dirumah sakit ataupun dipuskesmas, Ia hanya berteman istri dan terkadang ditemani oleh cucu-cucunya saat libur panjang, maklum semua cucunya Pak Udin sudah menginjakkan kaki dibangku perkuliahan, Dunia yang betul-betul menyibukan dengan serangkaian aktifitas akademisi yang menyita waktu lebih. Tidak heran jika pak Udin ditemani cucu-cucunya diwaktu lengang saat libur panjang saja.

Kesedihan beranak pinak dan seperti suara beduk bertalu-talu memecah genderang telinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Tapi, entah siapa yang salah dan yang harus dipersalahkan tentang semua yang telah terjadi ini? Entahlah, barangkali “Kesalahanlah” yang memang harus dipersalahkan agar tak lagi ada yang dikambing hitamkan, atau barangkali semua yang terjadi sedang Mengingatkan pak Zainuddin untuk benar-benar mengingat kembali usianya yang sudah tidak lagi muda agar tak lagi terkecoh oleh ulah dan peringai sanak keluarganya yang notabenenya telah menggerus arus kehidupan yang sesungguhnya, semua itu telah terjadi yang kerapkali membuatnya terbaring sakit diruang perawatan akibat perasaan stress yang mendera.

Semua kejadian itu tumpang tindih, dan terus saja terjadi. Dan kini, dimalam ini, Pak Udin sudah ke empat belas kalinya harus menerima perawatan medis di PUSKESMAS Aikmel sejak beberapa tahun sebelumnya dibawa keruang perawatan dokter, belum lagi perawatan yang diterimanya di Rumah Sakit Umum kota selong, jumlahnya satu, dua, tiga, empat, lima… aaah, jumlahnya sudah hampir dua puluh kali, mungkin tidak perlu lagi untuk dihitung jumlahnya, hanya akan menyesakkan dada melihat apa yang sedang terjadi menimpa pak Zainuddin.

Selang infus menancap ditangan kanannya, terkadang pula harus dialihkan ditangan kirinya. Belum lagi alat medis yang mengeluarkan asap tebal yang menyesakkan, berisi cairan aquades yang ditambahkan salbutamol didalamnya, padahal, larutan salbutamol yang diterima saat menjalani terapi membuatnya berdebar-debar tak berdaya, bahkan membuatnya tidak bisa menikmati tidur lelap dimalam hari, memang begitulah adanya, asap yang membumbung berisikan salbutamol akan sangat menyakitkan bagi mereka yang sedang mengidap gangguan kardiovaskuler, namun apa mau dikata, semuanya serba salah. Terapi ini dan itu sudah dicoba, apalah yang harus dicoba lagi, hanya bisa menerima perlakuan dari dokter yang merawatnya, dan pasrah jualah sebagai jalan satu-satunya agar bisa menerima segala yang terjadi, segala kenaifan yang menimpa.

Bayangkan saja betapa sengsaranya pak Udin harus menerima Penderitaan seperti ini diakhir usianya. Raut wajahnya yang menampak keriput dan rambut putih beruban, sesekali diusapnya oleh handuk kecil berwana putih yang dibawanya saat berkunjung keruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Perasaannya tak menentu, sesekali telinganya menyimak deru motor yang sedang parkir didepan UGD, berharap isterinya datang untuk menemani malamnya di PUSKESMAS.

Astagfirullah-Astagfirullah.” Pak Zainuddin terus saja mengucapkan lantunan istigfar (islam; permohonan maaf) untuk menenangkan kerisauan hatinya, terus dan terus diucapkannya.

Assalamu’alaikum…” Tiba-tiba terdengar suara salam dari seorang laki-laki jangkung berkulit putih menyapa Pak Udin. “tak-tik-tak-tik-tuk…” Suara kakinya semakin mendekat, dan lebih dekat lagi dari tempat tidur perawatan yang ditempati pak Udin.

Bagaimana kondisinya kek?” Sapa Putra, cucu Pak Udin dari anaknya yang kedua, Rosida.

Alhamdu-Lill-Laah,,, suu-daah Lumayaan membaiik.” Suara pak Udin terbata-bata, namun ia berusaha menampakkan ketegarannya, ingin sekali menyembunyikan kegalauan dalam bathinnya.

Pak zainuddin menatap atap ruang perawatan, ditarik nafasnya panjang-panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan, lalu ia memulai ceritanya tentang cukilan-cukilan kehidupan masa lalunya, mulai dari cerita yang biasa-biasa saja hingga cerita yang mampu membangkitkan perasaan iba mendalam saat mendengar penuturan polosnya. Ia bercerita banyak tentang semua yang menimpanya hingga membuatnya harus berulang kali menerima sentuhan jarum-jarum infuse yang menyakitkan, belum lagi daftar resep obat-obatan yang jumlahnya lumayan banyak, mulai dari obat asma, jantung, hipertensi, dan obat penenang dari dokter yang memberikan perawatan. Yang tidak pernah ketinggalan adalah tabung oksigen untuk membantu pernafasan ditambah oleh tusukan jarum infuse pengganti cairan dan asupan makanan. Kelihatannya Pak Zainuddin benar-benar merasakan kepedihan mendalam. Lagi-lagi ia melanjutkan cerita kehidupan masa lalunya kepada Putra, cucunya yang memang ingin menguraikan seluruh kesakitan bathin yang mendera dengan menyempatkan waktunya mendengar jeritan bathin kakeknya yang renta.

Tidak terasa, jam dinding yang terpasang didinding pintu masuk ruang perawatan telah menunjukkan jam sebelas malam, sudah dua jam lamanya Pak Zainuddin menceritakan semua kesedihan yang mendera kehidupannya. Terlihat kekusutan wajahnya mulai menghilang sedikit demi sedikit, satu atau dua garis kesedihan perlahan memudar setelah bercerita cukilan episode kehidupan masa lalu, atau mungkin semuanya perlahan-lahan menghilang bersama rasa kantuk yang sudah menyeruak ingin dihilangkan sejenak kala mata telah terpejam. Putra menatap wajah kakeknya yang terlihat semakin sayu. Kelihatannya ia masih mengenang cukilan kisah dalam episode-episode kehidupan masa lalu.

Kek,,,Kelihatannya kondisi kakek butuh istirahat banyak. Kakek istirahat saja yaaach. Nanti kami yang bakal menunggu kakek selama dirawat dipuskesmas.” Sesekali tangan Putra memijat kaki kakeknya, ia berharap kondisi kakeknya membaik.

Nanti kalau kakek butuh sesuatu, kami bakal masuk keruang perawatan kok kek. Diluar ada Wahyu, Dicky, Agung, Sama Riezwandi. Oya kek, malam ini nenek nggak bisa datang ke PUSKESMAS, maklum kondisinya juga lagi nggak enak badan, beliau juga butuh istirahat. Kakek istirahat saja, yaaach.” Lanjut Putra menasihati sambil membuka selimut warna biru tua yang dibawanya dari rumah untuk menutup tubuh kakeknya yang tergeletak lemas tak bertenaga.

Kelihatannya laki-laki paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya menengadah kearah jendela, menatap langit yang tak berujung. Sesekali Dilihat wajah cucunya yang kini berada disampinya, diujung Ranjang tempatnya terbaring, tepat diseblah kakinya yang kiri. Tak ada kata yang diucapkannya. Ia benar-benar terdiam dan terdiam.

************************************

Sehari, dua hari, tiga hari, telah berlalu begitu cepatnya. Zainuddin masih terlihat disudut ruang perawatan di PUSKESMAS Aikmel. Namun pagi itu ada yang berbeda, dan benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya, raut wajahnya yang dahulu semerawut tak terawat, kini telah mekar merona, menampak aura bahagia dari dalam jiwa. Seakan-akan wajah itu ingin bercerita tentang kebahagiaan tak terkira yang sedang dirasakannya, layaknya sinar mentari pagi yang datang dengan kehangatan, menyinari dengan keceriaan, membawakan manusia sekeranjang motifasi untuk memulai hidup baru, menepis kegelapan kesedihan, menyuguhkan cahaya baru bagi kehidupan lebih baik dimasa kini dan mendatang.

Wajah bahagia itu tidak bisa ditutu-tutupi lagi, walau dalam keadaan sakit, Pak Udin merasakan suatu keajaiban luar biasa, ia merasa benar-benar sembuh, barangkali perasaan bahagia itu datang dari pesan cucu-cucunya yang telah menemaninya selama tiga hari dipuskesmas tersebut.

Putra yang setiap saat selalu mengatakan, "Sabar kek. Pastilah kondisi kakek akan semakin membaik, tidak perlu lagi kakek memikirkan hal-hal yang membuat kakek terbeban. Serahkan semuanya kepada Tuhan." setiap kali dinasihati demikian, Zainuddin Merasa ada yang berbeda yang dirasakannya, Ia merasakan sentuhan lembut dan perhatian yang selama ini di-idam-idamkannya.

Lain lagi dengan pesan Agung, “Kakek harus sehat. Jangan lupa minum obatnya. Pasti kakek nggak bakal sakit lagi.”

Kakek nggak perlu lagi dirawat ditempat ini. Sekarang kakek harus lebih lapang dada. Kakek bisa, Pasti bisa, okey” ujar Riezwandi.

Lain lagi cara unik Wahyu dan Dicky menghibur kakeknya, canda tawa yang khas membuat pak Udin terlihat ceria, sesekali tertawa.

Akhirnya, apa yang dilakukan Dicky, Agung, Putra, Riezwandi dan Wahyu membawa hasil, mereka telah mampu mengusir segala kesedihan yang selama ini menjegal kehidupan pak Zainuddin, begitupula memenjarakan tubuhnya dari penyakit yang kerap kali muncul akibat stress yang mendera. Hal ini terungkap ketika ada inspeksi pemeriksaan dari dokter yang memeriksa perkembangan kondisi Pak Zainuddin. Menurut keterangan Dokter, kondisi Pak Zainuddin membaik dan bisa dipulangkan dari ruang perawatan PUSKESMAS, hari ini juga… END…

Salam satu jiwa. Salam sehat Jiwa untuk menggapai hidup bahagia…

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar