Sabtu, 22 September 2012

HarapKu, Engkaulah CINTA

-->
Kegelapan Malam bersama terpaan gerimis kesedihan langit telah Menguak segala isak tangis yang membuat jiwa iba melihat ratapanku kali ini. Aku telah tertunduk malu dibawah ratapan kesedihanku yang terus saja menderu layaknya angin yang melaju lepas menyibak dedaunan ditaman bunga. Berharap seorang yang kucintai masih mendengar segala impianku untuk bisa terus bersamanya dalam suka dan duka, hidup berdampingan bersamanya disetiap waktu. Malam itu aku benar-benar terbawa dalam lamunan, mengingatkan kisah kenangan yang pernah tertorehkan diatas goresan tapal waktu saat pertama kali mengenal wanita yang saat ini sedang berada dihadapanku. Sebut saja namanya, Kasfiyyaana Alfina Fitria Alisha Anjali Amnaniya Saputri. Wanita yang akrab aku panggil; Kasfiyya, begitupula panggilan akrab yang seringkali disuarakan oleh teman dekatnya. Kasfiyya adalah Perawat yang sudah bekerja di Puskesmas Peraya semenjak kelulusannya dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, Selong, satu tahun lalu.

Imajinasi bayangan masa lalu beranjak dari putaran waktu masa kini, berputar balik Mengingat cukilan-cukilan kenangan indah yang tak seorangpun mampu merasakan keindahan dan semerbak aroma bahagianya terkecuali hati kami yang sudah berbalut selimut cinta didalam labirin jiwa, terutama sekali saat pertemuan kami kali pertama sejak duduk dibangku SMA. Namun kini, aku benar-benar melihat pemandangan yang jauh sekali berbeda dari apa yang aku rasakan saat menemukan mutiara bahagia dari dalam jiwanya waktu lalu. Kini ia sungguh telah berubah, Dalam lemas terkulai ia tak mampu lagi berkata apa-apa selain suara nafas tersengal-sengal dari derita penyakit yang mengayomi tubuhnya. Barangkali penyakit aneh itu yang sedang bercokol ditubuhnya sebagaimana yang telah didiagnosa oleh dokter; Asma.


Betapa takutnya bathin ini menatap seluruh tubuhnya yang terkulai lemas tak berdaya, seakan-akan tak bernyawa. Selang infus masih tertancapkan diujung kedua tangannya, belum lagi alat-alat medis lainnya yang masih menghiasi pemandangan disekujur tubuh indahnya. Tak kuasa lagi bathin ini menyaksikan tontonan kesedihan berteman rasa pilu dalam bathin, hanya mampu mengucapkan sebaris doa untuk meminta kesembuhannya kepada Sang Maha Pencipta. Tubuhnya yang tak berdaya menyeruakkan tangis bathin ini lebih keras dari tiupan hembusan angin muson, atau mungkin terpaan ombak dilautan yang menyapa tepian pantai. Tidak mampu lagi diri ini menyaksikan tubuhnya terbuai dalam detik-detik penantian, “akankah kematian akan datang menjemputnya.” Begitu bathin ini berucap dalam tangisan yang tak sempat terusap oleh kain kering dari jiwa dikedalaman sana. Begitulah suara lantang ketakutan semakin menyisakan tangisan dan ketidak percayaan akan kenyataan yang sedang ditampakkan oleh kehidupan ini dengan ragam cobaan didalamnya.

Sungguh, Batin ini merasa kecut dan benar-benar telah digerogoti seluruh tubuh ini dengan irama music rasa ketakutan yang tak berkesudahan. Tak mampu lagi pikiran sadar melihat benang merah yang tuhan berikan diatas pentas kehidupan, yang ada hanyalah bahasa ketakutan dan ketakutan demi ketakutan, membusungkan diri didalam jiwa ini. Seakan-akan semua harapan yang telah terukirkan indah dalam bingkai impian telah pupus entah kemana perginya, meninggalkan diri ini sendiri ditengah goncangan deru derita, rasa-rasanya impian yang pernah ada telah sirna terbawa hembusan angin penderitaan kali ini. Dalam isak tangis dibimbing geletar pengharapan, terucap doa untuk meminta kasih Sang Pencipta, berbisik pesan sederhana untuknya, sang kekasih hati.


“Sayang… Jangan Pernah MeninggalkanKu sendiri dalam tangis ini. Sayang… Kita masih memiliki seribu harapan untuk menjalai kehidupan bersama. Tolong… Jangan pernah meninggalkanKu sendiri, Sayang.”


Aku semakin didera rasa putus asa, mencabut semangat yang pernah ada dalam jiwa ini. Betapa tidak, Kekasih hati yang telah lama mendampingi kehidupan ini telah membisu layaknya batu dalam belaian sakit yang dideritanya. Tubuhnya terkulai lemas bagaikan kain yang diterpa air, tak bergeming, diam membisu. Warna cerah nan indah yang pernah berceritra dalam kisah masa lalu terbuai oleh tangisan pilu. Mencakar seluruh asa dan mengaburkan mimpi-mimpi untuk bisa menggapai kehidupan penuh senyuman.

Sesekali terlihat helaan nafasnya tersendat-sendat seolah-olah ada beban yang mengapit seluruh tubuhnya. Nampak jelas dari gelembung udara dari tabung oksigen yang dipasangkan para perawat Rumah sakit disekujur tubuhnya pagi tadi. Aku mencoba mengambil Sehelai tangannya yang sudah terkulai tak berdaya. Mencoba untuk memberikan sapaan lembut kepada sang kasih agar nantinya janji suci penuh pengharapan terikrarkan diatas pelaminan. Empat bulan yang lalu kami sudah bertunangan, cincin menghiasi kebahagiaan kami didepan keluarga terpampang jelas dijari manis kami berdua, menjadikan pintu-pintu kehidupan terbuka lepas dan bebas, sebagai bukti abdi kasih teruntuk kesucian diantara dua insan yang menasihati diri untuk berjanji setia sehidup se-mati. Tapi, saat ini hati benar-benar kecut menatap dirinya yang sudah tak berdaya, akankah jalinan cinta ini akan bertabur mutiara bahagia didalam ikatan suci cinta? Ataukah berujung cerita sedih adanya?


“Kasfiyyaa, Bangun-lah dek…!”
“Berjanjilah untuk tidak meninggalkanKu sendiri”
“Kaulah satu-satunya penguat bathinKu ini. Jangan Diam Seperti Ini Sayang...!

Apapun yang kucoba sampaikan kepadanya sia-sia belaka. Sekonyong-konyong mencoba untuk membuka kedua kelopak matanya dengan ungkapan rasa mebisikkan bahasa sukma, tak juga membuahkan hasil apa-apa selain diam membisu layaknya batu. Hanya diri ini yang begitu naïf mencoba bicara kepada seorang yang kritis, tak sadarkan diri. Namun kusadari sepenuhnya akan kekuatan dibalik rasa ini, sungguh akan bermakna walau saat ini ia tidak mendengar apapun yang kusampaikan kepadanya. Walau begitu, aku tak putus asa untuk mencoba dan terus mencoba menyapanya, lagi kucoba berbisik disamping tempat tidurnya agar ia dengarkan bahasa cinta yang menjelmakan diri dalam derita, dan kini begitu ketakutan kehilangan sang kekasih Jiwa.

“Bangunlah sayang, Kakak ada disampingMu. Kakak berjanji untuk selalu ada disisiMu, Yank..!”
Setiap kata yang aku ungkapkan mewarnai kepedihan dan ketakutan akan kehilangan dia, sang kekasih yang sangat aku cintai sepenuh hati. Wanita yang kini menjadi Tunanganku, calon dan akan menjadi bagian kehidupanku dalam kehidupan rumah tanggaku, calon ibu dari anak-anakku yang terlahir dari kelembutan kasih. Sungguh Kasfiyyaa, Tunanganku benar-benar lumpuh dalam derita yang mendera fisiknya.

*****

Sudah dua hari Kasfiyyaa terkulai lemas tak berdaya diatas ranjang warna putih itu, berbau khas aroma anyir rumah sakit, menusuk masuk kedalam hidung, membuat sinus merasa terusik. Betapa tidak, Kasfiyyaa, tunanganku itu sedang dirawat dirumah sakit dengan ragam selang-selang infuse dikiri dan kanan, belum lagi oksigen yang menancap dihidungnya semenjak sesak nafas yang dideritanya mendera seluruh tubuhnya dalam penderitaan luar biasa, hingga ia belum juga sadarkan diri setelah dua hari bercokol dengan oksigen yang masih menancap dihidungnya, ditambah lagi oleh selang infuse yang terus menetes mengisi pembuluh Vena.

Aku benar-benar tidak mengerti semua ini terjadi. Padahal resepsi perkawinan kami akan digelar tiga minggu lagi. Tidak akan mungkin pernikahan itu kami langsungkan dihadapan semua kerabat dan keluarga jika Kondisi Kasfiyyaa belum juga sadarkan diri seperti ini. Dalam kebingungan itu, kucoba yakinkan diri diatas persujudan. Malam itu, kuharap Kasfiyyaa sadarkan diri. “Ya Allah, Berikanlah kesembuhan atasnya. Ya Robbi, sembuhkanlah ia.”


Doa itu terus saja mengalir dari mulut yang berselimut rasa takut. Selang beberapa saat, terdengar suara lirih dari atas ranjang. Keajaiban terjadi seketika. Barangkali malaikat sedang berbaik hati sebagaimana yang diperintahkan tuhan atasnya, Ternyata suara itu tidak lain dari tubuh lemas tak berdaya yang sedang berbaring dalam kungkungan selang infuse dan alat kesehatan lainnya. “Kasfiyya… Adek sudah siuman!?” Tanyaku, mencoba menyambut kehidupan baru layaknya tunas yang telah dipangkas oleh tuannya, dan kini tunas itu tumbuh kembali mengisi kehidupan. Memberikan kabar gembira bagi orang yang telah menyiraminya dengan kelemah lembutan.


“Akuuu diii,,maa,maanaaa!?” Tanya Kasfiyya. Kata-kata yang diucapkan terbata-bata, bersemaikan geletar sendu dalam lemas tak bertenaga, namun aku masih bisa mendengarnya.
“Sayang… Adek lagi dirawat dirumah sakit.” Jawabku lembut sambil menatap wajahnya yang telah sepenuhnya berwarna pucat tak berdaya akibat sakit yang mendera seluruh tubuhnya, mencoba menenagkan penderitaan yang sedang mencabik-cabik sekujur tubuhnya. Barangkali dengan cara itu ia mampu menerima kondisinya kali ini.

“Kaak, mi-min-nnumm..”
“Sebantar sayang… Nanti kakak yang ambilkan. Dek, Jangan terlalu banyak bergerak… Kondisi adek masih belum sepenuhnya baikan.”

Kucoba ulurkan sebotol air putih kepada Kasfiyyaa yang masih lemas dalam derita sakitnya setelah tiga hari tak sadarkan diri. Perlahan-lahan kuangkat kepalanya dengan tangan kiriku, lantas kucoba membantunya untuk meneguk beberapa tetes dari air yang ada ditanganku. Perlahan-lahan air itu masuk kedalam kerongkongannya. Menyejukkan rasa haus yang telah mendera sekujur tubuh lemasnya itu.

“Kaaak, Ma-Maaf-kan adek yaa.” Pintanya dalam suara lemas tak bertenaga.
“Adek tidak ada salah-apa-apa kok. Sekarang adek tenangkan pikiran adek. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Adek istirahat, yaaa..!”
“Ma-Maafkan Adeeekk” lagi-lagi suara lemas terkulai tak berdaya itu terdengar dari Mulut tipisnya yang berwana pucat itu.

“Adeekk, Adek nggak ada salah apa-apa kok. Kakak gak Kepingin adek berpikir yang tidak-tidak. Yaaach, Sekarang adek istirahat, jangan terlalu banyak bergerak, biar adek lekas sembuh. Yaaa….” Jawabku, mencoba menenangkan kegalauannya, lantas kuselimuti tubuhnya agar sapaan lembut sang angin malam dalam hembusan dinginnya tidak merengkuh tubuh kekasihku yang sudah tergeletak lemas tak bertenaga.

Sunguh bathin ini semakin mengadu dalam pilu. Sungguh, yang aku herankan dan masih terpingkal-pingkal dalam pikiran, Entah mengapa terlontar permintaan maaf dari mulut tipisnya itu. Hatiku semakin tak menentu, namun begitu, kucoba tetap tegar dihadapannya, memberikan senyum sapa agar ia bisa terlepas bebas dari derita yang dialaminya.Sungguh benar apa yang dikatakan orang, dalam derita sakit, siapapun orang akan mengingat keberadaan dirinya. Begitulah yang kini aku saksikan didepan mata kepalaku, dan telah membuat aku benar-benar melihat rasa kecut dalam hati mendengar permintaan maaf kekasih hati yang saat ini terkulai lemas, tatapan matanya hanya menerawang tak menentu entah kemana, hanya terlihat menatap langit-langit kamar rumah sakit, diruang penyakit dalam, nomor 19, Rumah Sakit Islam, Kota Mamben.


Aku mencoba mengelak dari semua pikiran negative yang orang-orang penah katakan kepadaku. Entah benar atau tidaknya, aku masih berdebat dengan ragam pikiran naïf itu. sekonyong-konyong mencoba menepisnya, namun pikiran akan kepergian sang kekasih membuat aku semakin takut. Sungguh apa yang mereka katakan membuatku benar-benar didera ketakutan luar biasa, mereka pernah bercerita demikian dengan lugasnya, “Jika seorang yang sedang sakit meminta maaf kepada orang-orang disekelilingnya saat itu, suatu pertanda tidak lama lagi ia memang harus pergi. Jika demikian, tuntun saja ia mengucapkan kalimat tauhid dan pengagungan kepada Tuhan.”


Mengingat pesan itu, gemetar rasanya seluruh persendianku. Antara yakin dan tidak apa yang pernah mereka ucapkan itu. Aku sungguh benar-benar tak berdaya, mengingat apa yang pernah mereka sampaikan beberapa waktu lalu. Benar atau tidaknya, entah mereka membaca dari sumber dan refrensi terpercaya atau sekedar bualan belaka yang tidak jelas benar salahnya, namun demikian sungguh tetap saja bathin ini bertengger dalam perdebatan yang tak kunjung usai.


Kucoba keluar dari ruang perawatan, menghirup udara segar yang telah dibentangkan Tuhan, menenangkan kemelut pertentangan dan perdebatan yang terus melaju dan bermunculan silih berganti. Seakan-akan menginginkan dirinya didengarkan, dan sepenuhnya menjelmakan ketakutan. Kubuka pintu ruang perawatan pasien dimana Kasfiyyaa dirawat didalamnya, beranjak keluar dalam langkah kaki terkulai lemas tak berdaya layaknya musafir yang sedang didera kehausan dalam perjalanan kaki yang telah menguras tenaga dan membuat langkah kaki tertatih tak mampu bangkit, lantas tubuhku tergeletak diatas kursi diruang tunggu pasien yang berjejer rapi dibawah jendela, layaknya tentara yang sudah siap mati. Kucoba hembuskan nafas, mencari ketenangan bathin yang sedang didera ragam kemelekatan.


Hembusan angin malam berbahasakan sapaan kelembutan sedikit mampu merontokkan pikiran yang tidak menentu didalam benak dan pikiranku. Pikiran itu benar-benar Berlarian layaknya anak kecil yang tidak tahu bahaya dari apa yang mereka lakukan. Pandangan mata tertuju keatas langit, namun mata bathin menembus jendela yang telah tertutup tirani. Semua itu telah mengaburkan pesona bintang diatas langit cakrawala, yang ada hanyalah wajah cantik Kasfiyyaa dalam warna pucat bau anyir obat-obatan. Dalam bathin menyemburkan seribu harap atas kesembuhan Kasfiyyaa, kekasih hati yang begitu lembut perangainya semenjak menjalin hubungan dengannya. Berharap bisa hidup berdua dalam ikrar janji suci ikatan keluarga.


Pikiran tersentak, mendengar lantunan music sendu dari ponsel salah seorang keluaga pasien yang keberadaannya entah dimana, didalam ruangnkah atau dimana? Sungguh alunan itu Terdengar jelas, berbisik nyanyian kepahitan yang menyeruakkan pikiran galau kali ini.
Jauh kau pergi meninggalkan diriku…
Disini aku, merindukan dirimu. Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi yang seperti dirimu oooh kekasih…


Entah siapa yang memutar music itu. Bathin ini rasanya diingatkan kembali akan ketakutan yang sempat mendera jiwa beberapa saat yang lalu. Sungguh, bathin ini benar-benar mengelak lantas bertanya-tanya, “siapa yang memutar music itu?” ingin rasanya menghentikan senandung lagu itu dan menggantikannya dengan music lain, namun sudahlah tak ada gunanya memarahi ataupu mengomeli orang lain, barangkali lagi itu adalah lagu Kesukaannya.

Tersigap tubuhku untuk segera membuka pintu, menatap kekasih hati yang sedang berbaring diatas ranjang perawatan rumah sakit. Benar-benar tatapan mataku tertuju kepadanya. Kucoba mendekat dan memastikan keadaannya. Kupegang pergelangan tangannya layaknya perawat Profesional (Palpasi), mencoba memastikan kondisinya saat itu. ternyata Kasfiyyaa baik-baik saja. Ia bahkan tertidur nyenyak dalam keanggunan raut wajahnya walau terlihat pucat. Ia tetap menampak cantik. “Engkau Cantik sekali sayang, semoga engkau lekas sembuh.” Begitu hati bergumam sambil terkesima melihat raut wajahnya. Rasanya tenang bathin ini. hingga benar-benar tersibak kedamaian saat ada disampingnya, penuh harap akan kesembuhan sang belahan jiwa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar