Saat sekarang ini, bangsa indonesia dihadapkan oleh setumpuk
problema kebangsaan yang begitu kompleks, sampai-sampai membuat bingung
untuk menentukan mana ujung dan mana pangkalnya. Mulai dari kasus
korupsi para pejabat tinggi, anarkisme mahasiswa diberbagai perguruan
tinggi, perkelahian antar etnis, penggerusan aset-aset bangsa, minimnya
pendidikan, pengangguran yang semakin hari semakin meningkat pesat, dan
masih banyak lagi masalah lainnya yang tentu saja kesemuanya itu
mengharapkan titik terang dan jalan keluar agar cita-cita bangsa ini tak
lagi sekedar mimpi, yakni mencerdaskan bangsa dan memakmurkan seluruh
rakyatnya. Namun, melihat kenyataan yang sedang terjadi, miris sekali
hati ini untuk menatap betapa sakitnya bangsa ini. Belum selesai satu
persoalan, muncul persoalan baru lagi. Tidak hanya itu, bahkan bangsa
ini dikategorikan sedang menderita akumulasi penyakit yang sangat
beragam, yang dalam bahasa medis diistilahkan konflikasi penyakit.
Sebenarnya, bangsa ini adalah bangsa memiliki sumber daya
alam (SDA) yang sangat melimpah, bangsa ini juga memiliki idealisme dan
cita-cita kebangsaan yang sangat agung dan luhur yang pernah diturunkan
oleh para nenek moyang kita. Namun karena generasi manusia indonesia
sekarang sedang mengalami dekadensi moral baik itu dari kalangan elit
pemerintah, pejabat tinggi dan masyarakatnya yang sedang menderita
penyakit HIV AIDS, maka tidak mengherankan jika bangsa ini sulit
tersembuhkan.
Tentu saja HIV AIDS yang saya maksud bukanlah penyakit HIV AIDS yang
oleh kalangan ahli medis dikategorikan sebagai penyakit sangat
mengerikan sekaligus mematikan itu. Akan tetapi HIV AIDS ini berbeda
dari istilah medis yang dikenal oleh banyak orang. Perlu diketahui,
penyakit ini juga bisa mematikan, dan bahkan lebih mematikan dari
penyakit yang pertama tadi. Penyakit yang saya maksudkan merupakan
akronim dari 7 penyakit jiwa; Hedonis, Intimidasi, Vocal doank, Angkuh,
Iri, Dengki, dan Serakah.
Sebenarnya penyakit ini sudah ada sejak zaman purba,
dimana manusia pertama diciptakan. Namun, Sampai saat ini penyakit
tersebut belum juga ada obatnya, atau jangan-jangan manusia memang
sengaja melupakan obatnya? Sungguh Ironis memang. Mmmm, anda boleh
setuju atau tidak, yang pasti hal ini merupakan indikasi bahwa betapa
dahsyatnya penyakit tersebut bagi kehidupan ummat manusia, khususnya
manusia Indonesia.
Sekarang, marilah kita mencoba menganalisa satu persatu penyakit tersebut. Penyakit Pertama yakni “Hedonis”.
Ini adalah penyakit iblis yang sangat dikutuk oleh Tuhan. Penyakit ini
pada mulanya bukan bagian dari diri manusia, namun karena penyakit yang
satu ini selalu dibisikkan oleh iblis kepada ummat manusia, maka
penyakit inipun menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tak
terpisahkan, dan bahkan diturunkan dari generasi pertama ummat manusia
ke generasi berikutnya. Mengapa demikian? Coba kita renungkan kembali
ceritra nenek moyang kita, yakni manusia pertama, Adam. Betapa tuhan
telah memberikan seluruh isi syurga lengkap dengan segala kenikmatan
yang ada didalamnya, hanya saja ada satu syarat dimana Adam tidak boleh
mendekati satu pohon yang dilarang tuhan, yakni pohon Khuldi; Pohon
keabadian. Namun nyatanya, Adam melanggar aturan tersebut karena
di-iming-imingi kenikmatan yang lebih besar lagi agar mendekati pohon
tersebut, lebih dari itu, ia bahkan memakan buahnya.
Penyakit yang satu ini adalah bentuk dari dorongan nafsu
yang menjadikan manusia tak pernah terpuaskan untuk mencari kepuasan
demi kepuasan. Mereka melakukan itu semua bukan semata-mata karena tidak
beralasan, sungguh dorongan nafsu yang kuat untuk bisa menikmati hidup
menjadikan pikiran tak lagi jernih. Yang ada dalam benak pikiran orang
yang berperinsip hodonis ini adalah bagaimana menikmati hidup didunia
ini. Bagaimanapun caranya, cukuplah pemuasan kenikmatan sebagai tujuan
utama dari serangkaian sikap dan tingkah laku yang tampak ditengah
kehidupan.
Bahkan terkadang dorongan nafsu untuk mendapatkan pleasure/ kepuasan
telah menapikan sisi kemanusiaan kita yang sesungguhnya; yakni manusia
berpikir dan makhluk sprituil. Jika demikian ceritanya, pola hidup
hedonisme meniscayakan manusia budak yang siap menjadi pesuruh, bukan
lagi sebagai seorang pengendali dan tuan atas kehidupannya sendiri.
Sikap ini benar-benar telah menggerogoti elit pemerintahan dan pejabat
tinggi negara ini. Mereka tidak lagi bertindak untuk rakyat, yang ada
adalah bagaimana kesempatan yang saat ini dipegang dikursi jabatan
sebagai kendaraan memuaskan segala keinginan. Bukan lagi berbicara
kebutuhan hidup dan kepentingan orang banyak sebagai suatu acuan dalam
prosesi kehidupan. Yang ada adalah diri sendiri dan kepuasan.
Jujur saja, tentu semua orang ingin agar kebutuhan hidupnya
tercukupkan. Siapapun orang, baik itu saya, anda dan juga mereka, tentu
saja membutuhkan sandang, pangan dan papan untuk mencukupi kebutuhan
jasmaninya. Bahkan terkadang dalam mencukupi kebutuhan jasmani, kita
begitu banyak terlena dan seringkali membuat diri tidak terkontrol.
Padahal, kebutuhan jasmani adalah sebatas kendaraan yang bisa kita
tumpangi untuk mencapai kebahagiaaan yang sesungguhnya; yakni kehidupan
yang tercerahkan dan pencapaian kedekatan dengan tuhan. Namun sayangnya,
kita manusia seringkali menganggap kebutuhan jasmani sebagai goal;
tujuan utama dari perjalanan ditengah kehidupan. Bukan lagi
menggunakannya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan, justru yang ada
adalah menjadikan kendaraan sebagai tujuan itu sendiri; untuk pemuasan
diri.
Ada satu hal perlu kita renungkan lantaran itu mendatangkan kesadaran
dari dalam, semakin sering kita memanjakan kebutuhan-kebutuhan jasmani,
semakin membuat kita terjebak pada rutinitas yang membosankan dan
selalu menuntut kepuasan semu yang tak pernah terpuaskan, sama seperti
ceritra seorang yang haus ditengah lautan. Karena hausnya, ia meminum
air lautan tersebut. Semakin diminum semakin bertambah rasa hausnya. Ini
mengingatkan kita betapa bahayanya dorongan nafsu yang hanya ingin
terpuaskan. Bahkan lebih dari itu, hidup menjadi makin terkekang pada
batasan kebutuhan ragawi saja. Padahal Allah memberikan kita semua
karunia ini, bukan semata-mata untuk pemuasan ragawi belaka, namun
sebenarnya bertujuan untuk mengantarkan kita pada pencapaian yang lebih
tinggi yakni kedekatan dengan sumber segala karunia yang ada ini secara
tepat guna, proporsional dan relevan dengan tuntunan dan ajaran yang
diperintahakan Tuhan.
Namun apa mau dikata. Jika boleh jujur, kehidupan manusia
kebanyakan adalah mereka yang menjadikan kebutuhan ragawi sebagai suatu
prioritas utama. Tidak mengherankan jika banyak manusia yang
berkejar-kejaran guna mendapatkan kebutuhan ragawi, semata-mata bukan
untuk mencukupi kebutuhan hari ini, namun yang ada sifat dan sikap
kerakusan yang kerap kali muncul mendominasi.
Lagi-lagi kita harus melirik keatas sana. Coba saja kita
tengok kehidupan para elit birokrasi dan kalangan pejabat tinggi.
Semuanya berlomba-lomba mencetak rekor tertinggi dalam merampas,
mencuri, dan pencucian uang negara. Walaupun ada sebagian diantara
mereka yang masih menjadikan hati nurani sebagai kompas untuk
menciptakan ketenteraman dan kebahagiaan sebagai milik semua, namun itu
hanya golongan kecil saja. Mungkinkah indonesia akan menjadi lebih baik
oleh demokrasi yang banyak di isi oleh para pencari kepuasan diri
mengingat Betapa banyaknya para kalangan elit berlomba-lomba melakukan
tindak korupsi. Sungguh, mereka semua melakukan itu Bukan semata-mata
karena mereka tidak memiliki uang atau harta dalam mencukupi diri dan
keluarga. Semua itu mereka lakukan karena dasar jiwa yang rapuh dan
kehilangan orientasi dalam memandang kendaraan hidup ini (harta dan
kekayaan; kebutuhan ragawi).
Penyakit Kedua; Intimidasi. Untuk menciptakan kehidupan
berbangsa yang adil dan makmur, tentu saja dibutuhkan seorang pemimpin
yang memiliki jiwa merakyat, ini artinya panggilan jiwa seorang pemimpin
selalu bergaung atas nama rakyat dan untuk rakyat, bukan lagi mengatas
namakan kelompok, lebih lagi kepentingan individu semata, bahkan seorang
pemimpin hadir untuk membawa rakyatnya yang rapuh lantas mengayominya
dan menempatkan serta memberikan kesejahteraan yang memang menjadi hak
mereka. Rasanya akan sulit kita bisa menemukan seorang pemimpin yang
berjuang atas nama rakyat kecil, yang kebanyakan adalah pemimpin atas
nama kelompok, dan melakukan arogansi terhadap kalangan kecil yang tak
berdaya. Initmidasi semacam ini adalah bentuk awal dari kehancuran suatu
bangsa, termasuk juga Indonesia.
Melihat kondisi demikian. Terkadang dalam hati kecil bertanya,
Akankah indonesia mampu menjadi negara makmur jika hanya bangsa ini
dimiliki oleh segelintir orang dan dipimpin oleh mereka yang suka
menyelewengkan peran dan fungsinya untuk mengayomi rakyatnya? Kemana
lagi kita akan menaruh harapan, terkecuali kepada mereka yang siap
membawa amanah untuk kesejahteraan, bukan tekanan lantas mendatangkan
kemerosotan.
Penyakit yang ketiga adalah Vocal doank. Siapa sich yang
tidak bisa berbicara dan menyampaikan aspirasinya? Tentu semua orang
bisa karena oleh Yang Maha Kuasa, kita dibekali mulut untuk berbicara,
terkecuali mereka yang bisu. Namun sesungguhnya, seorang bisu sekalipun,
sedang berbicara dengan caranya sendiri agar orang lain memahami apa
yang ingin disampaikan dengan bahasa tulisan atau bahasa isyarat
sekalipun. Bahkan ada yang mengatakan demikian, “manusia mendapatkan
jati dirinya melalui serangkaian peroses interaksi dan komunikasinya
dengan orang lain.”
Namun yang dimaksudkan disini bukanlah apa yang saya uraikan
sebelumnya terkait komunikasi, yang menjadi perhatian adalah bagaimana
manusia kebanyakan yang hanya bisa berkomentar tanpa memberikan suatu
solusi ataupun cara untuk bertumbuh bersama membangun Indonesia yang
lebih maju di era mendatang. Sejatinya penyakit “Vocal alias ngomong
doank” sedang menjangkiti para elit pemerintahan dan elit politik negeri
ini.
Bagaimana tidak, coba saja lihat bagaimana mereka terus saling
menjejal dengan ragam komentar yang menghujat satu sama lain atau
sejenisnya, bahkan apa yang sering mereka lontarkan hanya sebagai tameng
untuk pembelaan diri dan perkataan yang tidak mencerminkan kualitas
pendidikan mereka, padahal mereka sendiri adalah kalangan akademisi yang
sudah lama duduk dibangku sekolah yang harapannya untuk melahirkan
generasi cerdas yang bermoralitas tinggi. Namun kenyataannya mereka
tidak mencerminkan karakter seorang pengemban amanah rakyat dan seorang
akademisi. Kenyataannya mereka hanya melakukan pembelaan demi
pembelaaan, melontarkan perkataan yang tidak mencerminkan seorang yang
memiliki integritas kebangsaan. Anehnya, ketika mereka diamanahkan
memimpin negeri ini tak mampu berbuat banyak untuk negeri ini. Hanya
menambah daftar kesengsaraan rakyat. Pantaskan kita berkiblat kepada
mereka yang hanya bisa berkomentar tanpa bukti nyata untuk kemajuan
negeri ini?
Penyakit selanjutnya adalah Angkuh. Ini adalah penyakit yang
menjangkiti Iblis dan para pengikutnya. Penyakit inilah yang menjadi
sebab musabbab dimana iblis menolak untuk bersujud dihadapan Adam
sebagaimana yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Dengan gampangnya ia
menjawab; “Aku diciptakan dari api, sedangkan adam diciptakan dari
tanah. Bukankah aku memiliki kedudukan yang lebih mulia ketimbang adam.
Lantas mengapa aku harus sujud menghormatinya?”
Pembaca yang budiman. Cobalah sejenak kita menengok betapa bangsa ini
telah telah dicemari oleh sikap elit pemerintah dan politik yang hidup
dalam keangkuhan. Semua merasa diri besar lantaran itu memojokkan yang
kecil. Bukannya duduk berdampingan merumuskan langkah startegis untuk
memajukan peradaban bangsa, justru sikap angkuh membuat mereka semakin
semena-mena menjatuhkan yang tak berdaya. Perekonomian bangsa juga
demikian, Yang kaya hanya memperhatikan diri mereka, yang mampu tak
pernah memperdulikan rakyat yang tak berdaya, bahkan tidak salah jika
ada orang yang berkata demikian; “kita telah menjadi budak dirumah
sendiri”. Begitu banyaknya rakyat kecil menjadi korbannya. Padahal
tujuan kemakmuran itu adalah memberikan penghidupan yang layak dan
merata kepada seluruh rakyatnya. Namun karena keangkuhan para elit
pemerintah jualah yang menjadikan idealisme bangsa pupus untuk menjadi
bangsa yang kokoh dan sejahtera.
Penyakit berikutnya adalah Iri dan Dengki. Penyakit ini seringkali
disamakan oleh semua orang. Padahal dalam subtansinya penyakit ini
berbeda satu sama lain. Iri merupakan sikap dimana ketidak senangan
melihat kebahagiaan pada orang lain dan dengki adalah tindak lanjut dari
sifat pertama yang lebih menekankah pada aksinya.
Coba kita bercermin sejenak dari sejarah kehidupan ummat manusia
pertama. Tentu Anda masih ingat cerita habil dan qabil, bukan? Cerita
tersebut menggambarkan bagaimana sifat Iri dan Dengki telah mengawali
tindakan keji terhadap saudara sendiri. Sifat inilah yang mengawali
pertupahan darah pertama dalam sejarah kehidupan manusia. Sifat ini pula
yang secara turun temurun menjadikan suatu bangsa hilang dipermukaan
lantas hanya meninggalkan puing-puing peradaban yang hancur berantakan.
Sifat-sifat ini merupakan salah satu sebab pangkal kejahatan, karena
dari sifat ini kita bisa menyebabkan berbuat buruk kepada orang lain.
Ingatlah bahwa Iri dan dengki akan merusak kehidupan seseorang,
begitu juga terhadap kehidupan bermasyarakat. Sifat inilah yang
menyebabkan iblis harus menerima ketetapan tuhannya untuk keluar dari
syurga hanya karena sifat iri dan kedengkian yang bercokol didalam
dirinya. Iri hati atau dengki adalah suatu sifat yang tidak senang
nikmat yang didapat oleh orang lain dan cenderung berusaha untuk
menyainginya. Sifat ini sangat berbahaya jika menghinggapi bathin para
elit pemerintahan republik ini. Sifat iri hati dan dengki kepada orang
lain merupakan sifat yang merugikan diri kita sendiri, orang lain dan
bahkan seringkali menciptakan hubungan yang tidak baik secara turun
temurun. Akankah bangsa ini harus hancur karena kedigjayaan mentalitas
elit yang tak bermoral?
Penyakit yang terakhir adalah Serakah. Orang yang selalu merasa
kekurangan padahal nyatanya sudah memiliki limpahan materi dalam
kehidupannya, biasa disebut dengan istilah serakah atau tamak. Orang
serakah biasanya menginginkan agar dirinya memiliki sesuatu paling
banyak dari orang lain, tidak puas dengan kepemilikian ini dan itu, jiwa
orang-orang yang memiliki sifat serakah hampa tak bermakna karena
ujung-ujungnya menuntut dirinya untuk merampas apa yang dimiliki orang
lain. Keinginannya itu tidak pernah berhenti ataupun terpuaskan. Apa
yang sudah dimiliki, sekalipun sudah terlalu banyak, masih selalu dirasa
kurang, dan karena itu masih ingin berusaha menambahnya dan
menambahnya.
Gambaran seperti itu menunjukkan bahwa keinginan memang tidak ada
batasnya. Lagi lagi ibarat seorang yang meminum air laut, semakin
diminum, semakin bertambahlah rasa hausnya itu. Jika nafsu itu tidak
bisa dikendalikan, maka berapapun harta yang ada, tidak akan mencukupi.
Sifat itu tidak saja menjadikan seseorang menderita penyakit kekurangan
ini dan itu, tetapi juga berakibat buruk terhadap orang lain, bahkan
lebih dari itu, akan sangat berdampak bagi kemerosotan suatu bangsa
secara keseluruhan. Buktinya, indonesia yang memiliki limpahan Sumber
daya alam disana sini, memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah,
bahkan jumlah rakyat miskin semakin bertambah dari hari ke hari. Adakah
yang salah dengan Sumber Daya Alam? Atau jangan-jangan mereka yang duduk
dikursi pemerintahan sedang dilanda penyakit yang sangat mematikan ini:
Serakah!!! Sehingga kesejahteraan menjadi barang langka, bahkan menjadi
sebatas mimpi yang tak mungkin tercapai oleh mereka yang tak berdaya.
Orang serakah atau tamak sangat membahayakan kehidupan dirinya
sendiri, pun juga terhadap kehidupan orang lain. Negeri yang kaya sumber
alam sekalipun, seperti negeri kita ini, ternyata rakyatnya masih
banyak yang miskin, hanya karena disebabkan oleh banyaknya orang serakah
atau tamak itu. Mereka terlalu mencintai harta, dan selalu berusaha
memenuhi keinginannya, tanpa peduli dengan rakyatnya yang miskin.
Jelas sudah, Indonesia sedang menderita penyakit yang sangat
mematikan; HIV AIDS. Jika saja ini dibiarkan berlarut-larut, Indonesia
tidak akan pernah mampu bersaing dengan bangsa lain dibelahan dunia
manapun. Jangankan bersaing, memajukan kualitas peradaban diri sendiri
akan terasa sulit jika roda pemerintahan ini ditunggangi oleh mereka
yang sedang menderita penyakit HIV AIDS. Akankah Indonesia mampu
melewati penderitaan ini? Semoga Tuhan Melimpahkan Kasihnya sehingga
terlahir generasi-generasi yang Sehat lahir dan bathin untuk memajukan
idealisme kebangsaan menuju masa depan yang cerah. Wallahu a'lam. Keep
spirit For Our Life Better.
The Spirit Of Motivation's Life is God
Selasa, 08 Januari 2013
AHA.... Semarakkan hidup anda, Sekarang juga!!!
Dalam hidup ini, terkadang datang suatu masa dimana kita
benar-benar dihadapkan pada kondisi bathin yang membuat kita benar-benar
merasakan suatu penderitaan sehingga kita merasakan kegelisahan luar
biasa yang membuat segala sesuatunya terlihat tak bermakna. Dalam
kondisi yang demikian itu, tidak mengherankan jika begitu banyak orang
berlomba-lomba mencari solusinya dengan cara mengejar kesuksesan demi
kesuksesan ini dan itu seperti halnya mencari harta, pangkat dan lain
sebagainya. Semua itu dijalani agar terhindar dari kondisi mental yang
membuat segalanya tak berati yaitu “kegelisahan” atau dalam bahasa anak
muda sekarang disebut dengan istilah; “GALAU”. Istilah yang cukup keren
sekaligus beken, namun menjadi momok yang sangat menyeramkan, bukan?
Inilah mengapa semua orang berusaha terlepas dari penderitaan hidup yang demikian, dengan cara apapun itu. Pada dasarnya semua orang sedang bergerak maju untuk mencapai kesuksesan masing-masing dengan cara mengumpulkan segala keperluan yang dipersepsikan mampu membawa kehidupannya menjadi lebih menawan sekaligus menabjubkan, seperti misalnya mencari harta kekayaan dan kekayaan, dan lagi lagi kekayaan. Dalam yakin mereka, kekayaan jualah yang nantinya mampu membeli kebahagiaan yang selama ini mereka cari-cari dalam hidup ini. Namun dibalik kesibukannya mencari harta kekayaan, terkadang mereka lupa satu hal; menikmati kehidupan saat ini dan detik ini juga dengan suka cita.
Sebenarnya hidup ini tidak menuntut banyak untuk bisa merasakan kehidupan luar biasa penuh kebahagiaan. Kita akan bisa merasakan kebahagiaan dalam segala kondisi tanpa berbekal apapun selain kebahagiaan itu sendiri. Bagaimana caranya menikmati hidup tanpa bekal sepersenpun???
Untuk berbahagia, banyak orang yang berorientasi pada sesuatu diluar dirinya; seperti halnya mengharapkan kekayaan yang banyak. Padahal banyak sekali orang yang memiliki seuatu ini dan itu tetapi tidak dapat menikmati kehidupannya sendiri. Itu karena mereka terus dituntut untuk memikirkan yang lain lagi. Ini bukti, bahwa kepemilikan menuntut untuk memiliki sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Selalu saja berkejaran dan berkejaran tanpa pernah berhenti, menuntut untuk dipenuhi, bahkan terkadang sangat membosankan sekaligus mengkhawatirkan. Jika ceritanya demikian, tidak akan pernah ada kepuasaan terhadap apa yang dikaruniakan tuhan kepadanya. Ini artinya, kekayaan yang berlimpah, belum tentu memiliki keberlimpahan berkah didalamnya.
Jika boleh berterus terang, sesungguhnya didalam pikiran kita ini seringkali diisi oleh sesuatu yang belum kita miliki, berharap untuk dimiliki. Padahal, untuk bisa menikmati hidup ini, kita harus merasa cukup dengan apa yang ada saat ini, yaitu mengisi pikiraan kita dengan apa yang tuhan karuniakan saat ini.
Sebenarnya yang membuat kita galau adalah merasa tak berdaya dengan apa yang ada dalam diri, pun juga ditambah dengan ragam tuntutan-tuntutan yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Inilah mengapa, kebahagiaan hanya milik mereka yang mampu bersyukur atas apa yang dikaruniakan tuhan dalam kehidupannya, sekecil apapun itu, jika rasa syukur selalu ada dan selalu berperasangka baik bahwa betapa kasihnya tuhan dalam kehidupan, maka kehidupan ini mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya.
Ini mengingatkan kita satu hal, tak perlu kaya dahulu untuk bisa menikmati kehidupan ini, karena setiap orang berhak untuk bahagia. Baik itu, saya, anda dan juga mereka. Kita semua berhak untuk merasakan kebahagiaan, karena dalam kebahagiaan itulah tersimpan kehidupan yang menabjubkan dimana kita bisa merasakan makna hidup disetiap harinya, lebih-lebih merasakan kehadiran tuhan yang telah melimpahkan karunia kehidupan kepada manusia.
Hanya saja, tidak semua orang tahu caranya. Yang ada justru mereka yang berharap memiliki ini dan itu, lantaran itu mereka bahagia. Ketahuilah, bukan karena kepemilikan yang membuat kita bahagia, namun bagaimana kita menikmati hidup dengan apa yang ada sebagai suatu karunia yang luar biasa, itulah sumber kebahagiaan yang membuat kita merasakan bahwa hidup ini benar-benar luar biasa.
Ketahuilah, sejatinya kebahagiaan tidak dinanti hari esok ataupun tahun depan, namun kita bisa merasakannya saat ini juga. Kita bisa merasakan kehadiran kebahagiaan yang sesungguhnya. Dalam hidup ini, kita merasa suatu hal yang luar biasa sedang terjadi, sehingga segala sesuatu terasa indah untuk kita jalani, semua terlihat berlimpah dalam kebahagiaan, semua itu muncul dari diri yang benar-benar membuka diri terhadap nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Bukankah Yang Maha Kasih pernah berpesan demikian, “Jika kalian bersyukur, maka akan aku tambahkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan jika kalian menginggkarinya, maka sungguh azab-Ku sangat pedih”. Masih ingatkah anda dengan pesan suci tersebut? Atau jangan-jangan kita memang sengaja melupakannya. Keep spirit for our life better...
Inilah mengapa semua orang berusaha terlepas dari penderitaan hidup yang demikian, dengan cara apapun itu. Pada dasarnya semua orang sedang bergerak maju untuk mencapai kesuksesan masing-masing dengan cara mengumpulkan segala keperluan yang dipersepsikan mampu membawa kehidupannya menjadi lebih menawan sekaligus menabjubkan, seperti misalnya mencari harta kekayaan dan kekayaan, dan lagi lagi kekayaan. Dalam yakin mereka, kekayaan jualah yang nantinya mampu membeli kebahagiaan yang selama ini mereka cari-cari dalam hidup ini. Namun dibalik kesibukannya mencari harta kekayaan, terkadang mereka lupa satu hal; menikmati kehidupan saat ini dan detik ini juga dengan suka cita.
Sebenarnya hidup ini tidak menuntut banyak untuk bisa merasakan kehidupan luar biasa penuh kebahagiaan. Kita akan bisa merasakan kebahagiaan dalam segala kondisi tanpa berbekal apapun selain kebahagiaan itu sendiri. Bagaimana caranya menikmati hidup tanpa bekal sepersenpun???
Untuk berbahagia, banyak orang yang berorientasi pada sesuatu diluar dirinya; seperti halnya mengharapkan kekayaan yang banyak. Padahal banyak sekali orang yang memiliki seuatu ini dan itu tetapi tidak dapat menikmati kehidupannya sendiri. Itu karena mereka terus dituntut untuk memikirkan yang lain lagi. Ini bukti, bahwa kepemilikan menuntut untuk memiliki sesuatu yang lebih dari sebelumnya. Selalu saja berkejaran dan berkejaran tanpa pernah berhenti, menuntut untuk dipenuhi, bahkan terkadang sangat membosankan sekaligus mengkhawatirkan. Jika ceritanya demikian, tidak akan pernah ada kepuasaan terhadap apa yang dikaruniakan tuhan kepadanya. Ini artinya, kekayaan yang berlimpah, belum tentu memiliki keberlimpahan berkah didalamnya.
Jika boleh berterus terang, sesungguhnya didalam pikiran kita ini seringkali diisi oleh sesuatu yang belum kita miliki, berharap untuk dimiliki. Padahal, untuk bisa menikmati hidup ini, kita harus merasa cukup dengan apa yang ada saat ini, yaitu mengisi pikiraan kita dengan apa yang tuhan karuniakan saat ini.
Sebenarnya yang membuat kita galau adalah merasa tak berdaya dengan apa yang ada dalam diri, pun juga ditambah dengan ragam tuntutan-tuntutan yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Inilah mengapa, kebahagiaan hanya milik mereka yang mampu bersyukur atas apa yang dikaruniakan tuhan dalam kehidupannya, sekecil apapun itu, jika rasa syukur selalu ada dan selalu berperasangka baik bahwa betapa kasihnya tuhan dalam kehidupan, maka kehidupan ini mengantarkan kita pada kebahagiaan yang sesungguhnya.
Ini mengingatkan kita satu hal, tak perlu kaya dahulu untuk bisa menikmati kehidupan ini, karena setiap orang berhak untuk bahagia. Baik itu, saya, anda dan juga mereka. Kita semua berhak untuk merasakan kebahagiaan, karena dalam kebahagiaan itulah tersimpan kehidupan yang menabjubkan dimana kita bisa merasakan makna hidup disetiap harinya, lebih-lebih merasakan kehadiran tuhan yang telah melimpahkan karunia kehidupan kepada manusia.
Hanya saja, tidak semua orang tahu caranya. Yang ada justru mereka yang berharap memiliki ini dan itu, lantaran itu mereka bahagia. Ketahuilah, bukan karena kepemilikan yang membuat kita bahagia, namun bagaimana kita menikmati hidup dengan apa yang ada sebagai suatu karunia yang luar biasa, itulah sumber kebahagiaan yang membuat kita merasakan bahwa hidup ini benar-benar luar biasa.
Ketahuilah, sejatinya kebahagiaan tidak dinanti hari esok ataupun tahun depan, namun kita bisa merasakannya saat ini juga. Kita bisa merasakan kehadiran kebahagiaan yang sesungguhnya. Dalam hidup ini, kita merasa suatu hal yang luar biasa sedang terjadi, sehingga segala sesuatu terasa indah untuk kita jalani, semua terlihat berlimpah dalam kebahagiaan, semua itu muncul dari diri yang benar-benar membuka diri terhadap nikmat yang dikaruniakan kepadanya. Bukankah Yang Maha Kasih pernah berpesan demikian, “Jika kalian bersyukur, maka akan aku tambahkan nikmat-Ku kepada kalian. Dan jika kalian menginggkarinya, maka sungguh azab-Ku sangat pedih”. Masih ingatkah anda dengan pesan suci tersebut? Atau jangan-jangan kita memang sengaja melupakannya. Keep spirit for our life better...
Jumat, 28 September 2012
Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam bathin
Malam
yang sunyi senyap bertabur keindahan bintang gemintang dilangit kota
Aikmel, seakan-akan sedang menggoda mata yang telah jenuh memandang
dunia yang tak lagi bersahabatkan cinta manusia, yang kini tersisa
disusut-sudut kota adalah manusia-manusia yang telah tersihir ego,
jabatan dan sekeranjang emas permata. Semburat mega merah jingga
masih bertengger diatas semesta mewarnai hamparan langit biru
sehingga tampak simfoni keindahan bercengkerama mengigaukan bait-bait
kemesraan yang membuat hati menelusuk masuk dalam rengkuh kedamaian
sempurna. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan namun mampu membuat
hati orang-orang yang sedang duduk diruang tunggu pasien, PUSKESMAS
Aikmel terusik dalam belai
dan dekapan
syahdu sang dingin yang mencungkil dan menggerogoti kulit, hingga
terasa meremukkan tulang belulang yang tersimpan rapi dibalik raga.
Suasana
yang mempesona ini nampaknya tidak sedang dinikmati oleh Zainuddin,
Laki-laki berperawakan tinggi sedang dengan wajah oval dan kulit
putih serta senyuman yang sangat menawan, pak Udin, begitulah sapaan
akrab yang biasa dipanggil oleh para tetangganya. Walau usianya pak
Udin sudah tidak lagi muda, nyatanya laki-laki paruh baya itu masih
mampu menghibur kekalutan jiwanya yang tak lagi bersahabat oleh
senyuman cinta dari manusia disekelilingnya. Namun malam itu,
senyumnya seolah-olah telah lenyap terbawa garis-garis waktu. Hanya
tampak guratan wajah kekecewaan dibalik kerut-keriput wajahnya yang
datang menghampirinya saat menunggu janji-janji yang belum juga
ditepati oleh sanak keluarganya, lebih lagi oleh nelangsah jiwa saat
rasa sakit menyeruak menyesakkan dada.
Rambutnya
yang dulunya rapi mengkilap warna hitam, kini semerawut dalam gores
warna putih beruban karena tak pernah terurus lagi. Pak Zainuddin
sudah satu jam terbaring lemas diatas ranjang pasien yang tersedia
didalam ruang UGD PUSKESMAS Aikmel. Satu-satunya tempat tidur pasien
yang tersedia dipojok selatan, dibawah jendela berukuran 2x1 meter
yang terpasang permanen didinding tembok untuk menyambut angin
sepoi-sepoi yang terkadang datang menghibur menemani sinar temaran
cahaya rembulan saat ingin menyelinap masuk menyapa para perawat yang
sedang bertugas melayani pasien-pasiennya, termasuk pula menyapa pak
Zainuddin yang kini terbaring dalam kondisi lemas tak berdaya,
seakan-akan malaikat enggan melihat kondisinya yang telah rapuh
diusik waktu. Melihat laki-laki paruh baya yang tergeletak diruang
perawatan itu hanya akan menyisakan torehan bathin berbahasakan iba
mendalam. Sesekali terdengar nafasnya yang tersengal-sengal tak
bertenaga, kedengarannya Zainuddin benar-benar mengidap penyakit asma
kronis, sebagaimana penuturan tim dokter RSU kota Selong saat pertama
kali mendiagnosis penyakitnya beberapa tahun sebelumnya.
Sesekali
tangannya terlihat menggaruk-garuk kepala, sedang mata sipitnya
menatap lepas melihat pojok langit yang tak bertepi dari jendela yang
masih terbuka korden-nya. Kelihatannya Dia sedang menyesali betapa
naifnya dirinya setelah tergerus janji dan sikap keluarganya yang
berceloteh tentang peralatan medis yang akan dibelikan yang nantinya
bisa dipergunakan ketika serangan asmanya datang menggerus tubuhnya,
lebih lagi oleh sikap seronoh yang tak menggambarkan cinta kasih
berbahasakan kelembutan dari mereka-mereka yang menganggap dirinya
hidup dalam segudang kemewahan. Padahal, sejatinya pak Zainuddin
memiliki sanak keluarga yang tergolong mampu untuk membelikannya
peralatan medis sederhana suatu ketika penyakitnya itu kambuh
kembali, namun entah mengapa, beberapa diantara anak-anaknya
memperlihatkan sikap kesombongan mereka, dan bahkan menorehkan sikap
acuh tak acuh terhadap kondisi Zainuddin yang tergeletak dalam sakit
yang dideritanya.
Zainuddin
menggenggam tangannya keras-keras. Dia membuang nafas lepas, sembari.
Wajahnya sumringah, namun tak mampu menghapuskan kerutan wajahnya
yang sederhana.
"Astagfirullah-Astagfirullah,
Ya Rahman Ya Rahiim!" kata Zainuddin lirih. Berkali-kali
ia menyuarakan kata-kata itu, seakan-akan lantunan nyanyian
kekecewaan dari dalam batinnya yang sedang mengadu.
Ingin rasanya menyibak seluruh penderitaan yang sedang bercokol dalam
bathinnya, namun apa mau dikata, semuanya sedang duduk menemani
dirinya, ingin mengingatkan agar tak lagi perduli kehidupan dunia
yang sudah dipenuhi oleh harapan semu manusia yang telah terkikis
ego, lantas menggelincirkan cinta mereka yang tulus dari dalam jiwa.
Sakit
asma kronis dan CAD telah menghancurkan Zainuddin dan kehidupannya.
Gara-garanya, saat masih muda, Zainuddin acap kali bersahabat dengan
Rokok. Wajar jika ia kini harus bertemu berkali-kali diruang yang
sama dan dirawat intensif oleh dokter Zakiah, dokter spesialis
penyakit dalam yang bertugas PUSKESMAS Tersebut. Lebih lagi, kondisi
Zainuddin diperparah oleh sanak keluarganya yang tak lagi harmonis
seperti dahulunya. Semua itu berawal dari sikap Emi yang tergolong
keras kepala, anaknya pak Zainuddin yang ke empat. Betapa tidak,
sejak emi menikah dan kini memiliki 3 orang anak, kehidupannya sudah
berbeda dari sebelum-sebelumnya. Emi yang dahulu hidupnya biasa-biasa
saja, kini terlihat lebih “waaah” atau bahkan bisa dibilang
megah. Barangkali uang sudang menghipnotisnya atau mungkin ada suatu
hal lain hingga menjadikannya anak yang tak lagi perduli terhadap
kondisi orang tuanya yang kerap kali dibawa ke PUSKESMAS, bahkan
beberapakali harus menginap di Rumah Sakit Umum kota Selong, begitu
seterusnya. Bisa dibilang, Seakan-akan RSU dan PUSKESMAS adalah rumah
kedua bagi Zainuddin. Begitulah pembicaraan para tetangganya didesa.
Belum
lagi oleh Ulah Zakir, Anaknya yang kelima yang kerapkali membuat
sesuatu yang aneh-aneh yang memperparah kondisi pak Udin. Delapan
bulan yang lalu, Zakir mencalonkan diri sebagai kandidat calon Kepala
Desa yang dianggapnya pembaharu dari kalangan generasi muda, walaupun
harus meraup uang saku yang bisa dibilang banyak, maklum ongkos
kampanye dan administrasi. Sayangnya, ia gagal total. Lain lagi
konflik berkepanjangan antar sanak keluarga yang tak pernah menuai
ujung setelah parade pemilu berakhir. Tekanan-demi tekanan terus saja
mendera. Sakit fisik ditambah lagi tekanan bathin menjadikan
Zainuddin harus merelakan separuh hidupnya tergeletak diruang
perawatan dokter.
Bayangkan
saja, betapa menderitanya Pak Udin. Acapkali datang dirumah sakit
ataupun dipuskesmas, Ia hanya berteman istri dan terkadang ditemani
oleh cucu-cucunya saat libur panjang, maklum semua cucunya Pak Udin
sudah menginjakkan kaki dibangku perkuliahan, Dunia yang betul-betul
menyibukan dengan serangkaian aktifitas akademisi yang menyita waktu
lebih. Tidak heran jika pak Udin ditemani cucu-cucunya diwaktu
lengang saat libur panjang saja.
Kesedihan
beranak pinak dan seperti suara beduk bertalu-talu memecah genderang
telinga bagi siapa saja yang mendengarnya. Tapi, entah siapa yang
salah dan yang harus dipersalahkan tentang semua yang telah terjadi
ini? Entahlah, barangkali “Kesalahanlah” yang memang harus
dipersalahkan agar tak lagi ada yang dikambing hitamkan, atau
barangkali semua yang terjadi sedang Mengingatkan pak Zainuddin untuk
benar-benar mengingat kembali usianya yang sudah tidak lagi muda agar
tak lagi terkecoh oleh ulah dan peringai sanak keluarganya yang
notabenenya telah menggerus arus kehidupan yang sesungguhnya, semua
itu telah terjadi yang kerapkali membuatnya terbaring sakit diruang
perawatan akibat perasaan stress yang mendera.
Semua
kejadian itu tumpang tindih, dan terus saja terjadi. Dan kini,
dimalam ini, Pak Udin sudah ke empat belas kalinya harus menerima
perawatan medis di PUSKESMAS Aikmel sejak beberapa tahun sebelumnya
dibawa keruang perawatan dokter, belum lagi perawatan yang
diterimanya di Rumah Sakit Umum kota selong, jumlahnya satu, dua,
tiga, empat, lima… aaah, jumlahnya sudah hampir dua puluh kali,
mungkin tidak perlu lagi untuk dihitung jumlahnya, hanya akan
menyesakkan dada melihat apa yang sedang terjadi menimpa pak
Zainuddin.
Selang
infus menancap ditangan kanannya, terkadang pula harus dialihkan
ditangan kirinya. Belum lagi alat medis yang mengeluarkan asap tebal
yang menyesakkan, berisi cairan aquades yang ditambahkan salbutamol
didalamnya, padahal, larutan salbutamol yang diterima saat menjalani
terapi membuatnya berdebar-debar tak berdaya, bahkan membuatnya tidak
bisa menikmati tidur lelap dimalam hari, memang begitulah adanya,
asap yang membumbung berisikan salbutamol akan sangat menyakitkan
bagi mereka yang sedang mengidap gangguan kardiovaskuler, namun apa
mau dikata, semuanya serba salah. Terapi ini dan itu sudah dicoba,
apalah yang harus dicoba lagi, hanya bisa menerima perlakuan dari
dokter yang merawatnya, dan pasrah jualah sebagai jalan satu-satunya
agar bisa menerima segala yang terjadi, segala kenaifan yang menimpa.
Bayangkan
saja betapa sengsaranya pak Udin harus menerima Penderitaan seperti
ini diakhir usianya. Raut wajahnya yang menampak keriput dan rambut
putih beruban, sesekali diusapnya oleh handuk kecil berwana putih
yang dibawanya saat berkunjung keruang UGD PUSKESMAS Aikmel.
Perasaannya tak menentu, sesekali telinganya menyimak deru motor yang
sedang parkir didepan UGD, berharap isterinya datang untuk menemani
malamnya di PUSKESMAS.
“Astagfirullah-Astagfirullah.”
Pak Zainuddin terus saja mengucapkan lantunan istigfar (islam;
permohonan maaf) untuk menenangkan kerisauan hatinya, terus dan terus
diucapkannya.
“Assalamu’alaikum…”
Tiba-tiba terdengar suara salam dari seorang laki-laki jangkung
berkulit putih menyapa Pak Udin. “tak-tik-tak-tik-tuk…” Suara
kakinya semakin mendekat, dan lebih dekat lagi dari tempat tidur
perawatan yang ditempati pak Udin.
“Bagaimana
kondisinya kek?” Sapa Putra, cucu Pak Udin dari anaknya yang kedua,
Rosida.
“Alhamdu-Lill-Laah,,,
suu-daah Lumayaan membaiik.” Suara pak Udin terbata-bata, namun ia
berusaha menampakkan ketegarannya, ingin sekali menyembunyikan
kegalauan dalam bathinnya.
Pak
zainuddin menatap atap ruang perawatan, ditarik nafasnya
panjang-panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan, lalu ia memulai
ceritanya tentang cukilan-cukilan kehidupan masa lalunya, mulai dari
cerita yang biasa-biasa saja hingga cerita yang mampu membangkitkan
perasaan iba mendalam saat mendengar penuturan polosnya. Ia bercerita
banyak tentang semua yang menimpanya hingga membuatnya harus berulang
kali menerima sentuhan jarum-jarum infuse yang menyakitkan, belum
lagi daftar resep obat-obatan yang jumlahnya lumayan banyak, mulai
dari obat asma, jantung, hipertensi, dan obat penenang dari dokter
yang memberikan perawatan. Yang tidak pernah ketinggalan adalah
tabung oksigen untuk membantu pernafasan ditambah oleh tusukan jarum
infuse pengganti cairan dan asupan makanan. Kelihatannya Pak
Zainuddin benar-benar merasakan kepedihan mendalam. Lagi-lagi ia
melanjutkan cerita kehidupan masa lalunya kepada Putra, cucunya yang
memang ingin menguraikan seluruh kesakitan bathin yang mendera dengan
menyempatkan waktunya mendengar jeritan bathin kakeknya yang renta.
Tidak
terasa, jam dinding yang terpasang didinding pintu masuk ruang
perawatan telah menunjukkan jam sebelas malam, sudah dua jam lamanya
Pak Zainuddin menceritakan semua kesedihan yang mendera kehidupannya.
Terlihat kekusutan wajahnya mulai menghilang sedikit demi sedikit,
satu atau dua garis kesedihan perlahan memudar setelah bercerita
cukilan episode kehidupan masa lalu, atau mungkin semuanya
perlahan-lahan menghilang bersama rasa kantuk yang sudah menyeruak
ingin dihilangkan sejenak kala mata telah terpejam. Putra menatap
wajah kakeknya yang terlihat semakin sayu. Kelihatannya ia masih
mengenang cukilan kisah dalam episode-episode kehidupan masa lalu.
“Kek,,,Kelihatannya
kondisi kakek butuh istirahat banyak. Kakek istirahat saja yaaach.
Nanti kami yang bakal menunggu kakek selama dirawat dipuskesmas.”
Sesekali tangan Putra memijat kaki kakeknya, ia berharap kondisi
kakeknya membaik.
“Nanti
kalau kakek butuh sesuatu, kami bakal masuk keruang perawatan kok
kek. Diluar ada Wahyu, Dicky, Agung, Sama Riezwandi. Oya kek, malam
ini nenek nggak bisa datang ke PUSKESMAS, maklum kondisinya juga lagi
nggak enak badan, beliau juga butuh istirahat. Kakek istirahat saja,
yaaach.” Lanjut Putra menasihati sambil membuka selimut warna biru
tua yang dibawanya dari rumah untuk menutup tubuh kakeknya yang
tergeletak lemas tak bertenaga.
Kelihatannya
laki-laki paruh baya itu sedang memikirkan sesuatu. Wajahnya
menengadah kearah jendela, menatap langit yang tak berujung. Sesekali
Dilihat wajah cucunya yang kini berada disampinya, diujung Ranjang
tempatnya terbaring, tepat diseblah kakinya yang kiri. Tak ada kata
yang diucapkannya. Ia benar-benar terdiam dan terdiam.
************************************
Sehari,
dua hari, tiga hari, telah berlalu begitu cepatnya. Zainuddin masih
terlihat disudut ruang perawatan di PUSKESMAS Aikmel. Namun pagi itu
ada yang berbeda, dan benar-benar berbeda dari sebelum-sebelumnya,
raut wajahnya yang dahulu semerawut tak terawat, kini telah mekar
merona, menampak aura bahagia dari dalam jiwa. Seakan-akan wajah itu
ingin bercerita tentang kebahagiaan tak terkira yang sedang
dirasakannya, layaknya sinar mentari pagi yang datang dengan
kehangatan, menyinari dengan keceriaan, membawakan manusia
sekeranjang motifasi untuk memulai hidup baru, menepis kegelapan
kesedihan, menyuguhkan cahaya baru bagi kehidupan lebih baik dimasa
kini dan mendatang.
Wajah
bahagia itu tidak bisa ditutu-tutupi lagi, walau dalam keadaan sakit,
Pak Udin merasakan suatu keajaiban luar biasa, ia merasa benar-benar
sembuh, barangkali perasaan bahagia itu datang dari pesan
cucu-cucunya yang telah menemaninya selama tiga hari dipuskesmas
tersebut.
Putra
yang setiap saat selalu mengatakan, "Sabar kek. Pastilah kondisi
kakek akan semakin membaik, tidak perlu lagi kakek memikirkan hal-hal
yang membuat kakek terbeban. Serahkan semuanya kepada Tuhan."
setiap kali dinasihati demikian, Zainuddin Merasa ada yang berbeda
yang dirasakannya, Ia merasakan sentuhan lembut dan perhatian yang
selama ini di-idam-idamkannya.
Lain
lagi dengan pesan Agung, “Kakek harus sehat. Jangan lupa minum
obatnya. Pasti kakek nggak bakal sakit lagi.”
“Kakek
nggak perlu lagi dirawat ditempat ini. Sekarang kakek harus lebih
lapang dada. Kakek bisa, Pasti bisa, okey” ujar Riezwandi.
Lain
lagi cara unik Wahyu dan Dicky menghibur kakeknya, canda tawa yang
khas membuat pak Udin terlihat ceria, sesekali tertawa.
Akhirnya,
apa yang dilakukan Dicky, Agung, Putra, Riezwandi dan Wahyu membawa
hasil, mereka telah mampu mengusir segala kesedihan yang selama ini
menjegal kehidupan pak Zainuddin, begitupula memenjarakan tubuhnya
dari penyakit yang kerap kali muncul akibat stress yang mendera. Hal
ini terungkap ketika ada inspeksi pemeriksaan dari dokter yang
memeriksa perkembangan kondisi Pak Zainuddin. Menurut keterangan
Dokter, kondisi Pak Zainuddin membaik dan bisa dipulangkan dari ruang
perawatan PUSKESMAS, hari ini juga… END…
Salam
satu jiwa. Salam sehat Jiwa untuk menggapai hidup bahagia…
Mustafid
Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Sabtu, 22 September 2012
Bahwasanya semua orang sedang bertumbuh dalam kehidupan yang luar biasa; SAYA, ANDA dan juga MEREKA
Banyak diantara kita begitu berharap jalan mulus diatas
kehidupan, sehingga lebih sering menjadikan kita menghindar dari sebuah
hambatan yang menghadang. Sungguh, Bukan karena sebuah hambatan yang
menghadang menjadikan langkah kaki tak karuan, bahkan tak ingin lagi
melangkah kedepan untuk mencapai tujuan, namun pikiran picik-lah yang
menjadikan kita lumpuh tak berdaya, tertatih-tatih tanpa arah, terseret
dalam kubangan penderitaan. Sejatinya setiap hambatan yang menghadang
adalah bagian kehidupan yang tak bisa dipungkiri oleh setiap insan.
Cobalah menengok sejenak betapa kuatnya kita dengan apa yang
dikaruniakan tuhan didalam diri kita.
Bukankah dengan bekal kemauan dan tekad yang kuat menjadikan hambatan bagian dari perosesi kehidupan yang notabenenya sebagai penghias indahnya sebuah perjalanan. Barangkali, perlu kiranya untuk kita terus belajar bagaimana menghargai kehidupan, menghargai diri bahwasanya Tuhan telah menitipkan potensi dalam diri setiap insan agar hambatan yang ada merupakan moment untuk bisa melihat kehidupan dari sisi yang lain, sisi yang membuat kita bisa berpikir lebih dewasa, sisi kehidupan dimana kita bisa membuka mata bahwasanya tidak ada kehidupan yang tak memiliki jalan setapak penuh cobaan, sisi lain dari sebuah realita hidup; tak ada kemegahan bagi mereka yang takut menatap hamparan luas kehidupan. Jika begini ceritanya, adakah diantara kita masih saja beranjak pergi dan tak mau perduli untuk menciptakan kehidupan luar biasa bagi diri sendiri dan orang lain?
Mungkin selama ini kita menutup mata, atau mungkin juga tidak pernah ingin tahu potensi apa yang sebenarnya yang ada dalam diri ini, sehingga kita lengah untuk terus berkarya. Boleh jadi hari ini kita lebih sering menikmati hasil jerih payah orang tua, atau mungkin menengadahkan tangan kepada mereka yang ada disana, namun esok hari, siapalah yang akan mengulurkan tangan terkecuali diri kita yang siap untuk berdiri tegak diatas kehdiupan dengan segala konsekuensi yang menunggu didepan. Adalah diri kita yang lengah dan tak mau membuka mata, menyibak tabir jiwa dan melangkah maju menghadapi episode kehidupan yang akan datang didepan mata.
Bagaimana mungkin kita bisa menempuh sesuatu yang luar biasa tanpa iringan tekad dan doa teruntuk yang maha Kuasa. Inilah hari dimana kita harus belajar untuk memulai dan memandang kehidupan sebagai suatu karunia. Bukankah hari ini adalah kesempatan emas untuk kita bangkitkan jiwa dan raga agar tak lagi ada penyesalan sebelum akhir perjalanan datang menyapa?????
Kita mungkin seringkali tidak menyadari tentang satu hal; bahwasanya semua orang sedang bertumbuh dalam kehidupan yang luar biasa; menjadi sosok pribadi yang terampil secara profesional dan menjadi seorang yang layak dinobatkan sebagai seorang pemenang diatas pentas kehidupan. Namun karena kita tidak pernah menyadarinya, inilah membuat kita lupa untuk bisa bangkit dan bertumbuh maju teruntuk kehidupan lebih baik dihari esok hari. Barangkali pandangan sempit terhadap diri sendiri ini yang telah menjadikan kita seringkali larut dibawa arus keterhinaan. Kita lupa bahwa semua manusia bertumbuh dalam prestasi yang gemilang ketika menumbuhkan kebajikan disetiap langkah kehidupannya, Mereka yang siap maju tidak mencitrakan diri dalam kungkungan pencitraan negatif, namun sejatinya mereka yang siap maju adalah berani untuk melangkah dengan penuh keberanian. Beranikah Kita melangkah merelalisasikan mimpi agar hidup selalu bahagia??? Tidak ada seorangpun yang menghalangi langkah kaki hari ini, selain dari diri kita sendiri. Jika begini ceritanya, singsingkan lengan baju dan raihlah segalanya...!!! Keep spirit For Our Life Better
Salam Satu Jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
Bukankah dengan bekal kemauan dan tekad yang kuat menjadikan hambatan bagian dari perosesi kehidupan yang notabenenya sebagai penghias indahnya sebuah perjalanan. Barangkali, perlu kiranya untuk kita terus belajar bagaimana menghargai kehidupan, menghargai diri bahwasanya Tuhan telah menitipkan potensi dalam diri setiap insan agar hambatan yang ada merupakan moment untuk bisa melihat kehidupan dari sisi yang lain, sisi yang membuat kita bisa berpikir lebih dewasa, sisi kehidupan dimana kita bisa membuka mata bahwasanya tidak ada kehidupan yang tak memiliki jalan setapak penuh cobaan, sisi lain dari sebuah realita hidup; tak ada kemegahan bagi mereka yang takut menatap hamparan luas kehidupan. Jika begini ceritanya, adakah diantara kita masih saja beranjak pergi dan tak mau perduli untuk menciptakan kehidupan luar biasa bagi diri sendiri dan orang lain?
Mungkin selama ini kita menutup mata, atau mungkin juga tidak pernah ingin tahu potensi apa yang sebenarnya yang ada dalam diri ini, sehingga kita lengah untuk terus berkarya. Boleh jadi hari ini kita lebih sering menikmati hasil jerih payah orang tua, atau mungkin menengadahkan tangan kepada mereka yang ada disana, namun esok hari, siapalah yang akan mengulurkan tangan terkecuali diri kita yang siap untuk berdiri tegak diatas kehdiupan dengan segala konsekuensi yang menunggu didepan. Adalah diri kita yang lengah dan tak mau membuka mata, menyibak tabir jiwa dan melangkah maju menghadapi episode kehidupan yang akan datang didepan mata.
Bagaimana mungkin kita bisa menempuh sesuatu yang luar biasa tanpa iringan tekad dan doa teruntuk yang maha Kuasa. Inilah hari dimana kita harus belajar untuk memulai dan memandang kehidupan sebagai suatu karunia. Bukankah hari ini adalah kesempatan emas untuk kita bangkitkan jiwa dan raga agar tak lagi ada penyesalan sebelum akhir perjalanan datang menyapa?????
Kita mungkin seringkali tidak menyadari tentang satu hal; bahwasanya semua orang sedang bertumbuh dalam kehidupan yang luar biasa; menjadi sosok pribadi yang terampil secara profesional dan menjadi seorang yang layak dinobatkan sebagai seorang pemenang diatas pentas kehidupan. Namun karena kita tidak pernah menyadarinya, inilah membuat kita lupa untuk bisa bangkit dan bertumbuh maju teruntuk kehidupan lebih baik dihari esok hari. Barangkali pandangan sempit terhadap diri sendiri ini yang telah menjadikan kita seringkali larut dibawa arus keterhinaan. Kita lupa bahwa semua manusia bertumbuh dalam prestasi yang gemilang ketika menumbuhkan kebajikan disetiap langkah kehidupannya, Mereka yang siap maju tidak mencitrakan diri dalam kungkungan pencitraan negatif, namun sejatinya mereka yang siap maju adalah berani untuk melangkah dengan penuh keberanian. Beranikah Kita melangkah merelalisasikan mimpi agar hidup selalu bahagia??? Tidak ada seorangpun yang menghalangi langkah kaki hari ini, selain dari diri kita sendiri. Jika begini ceritanya, singsingkan lengan baju dan raihlah segalanya...!!! Keep spirit For Our Life Better
Salam Satu Jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia
Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain
HarapKu, Engkaulah CINTA
Kegelapan Malam bersama terpaan gerimis
kesedihan langit telah Menguak segala isak tangis yang membuat jiwa
iba melihat ratapanku kali ini. Aku telah tertunduk malu dibawah
ratapan kesedihanku yang terus saja menderu layaknya angin yang
melaju lepas menyibak dedaunan ditaman bunga. Berharap seorang yang
kucintai masih mendengar segala impianku untuk bisa terus bersamanya
dalam suka dan duka, hidup berdampingan bersamanya disetiap waktu.
Malam itu aku benar-benar terbawa dalam lamunan, mengingatkan kisah
kenangan yang pernah tertorehkan diatas goresan tapal waktu saat
pertama kali mengenal wanita yang saat ini sedang berada dihadapanku.
Sebut saja namanya, Kasfiyyaana Alfina Fitria Alisha Anjali Amnaniya
Saputri. Wanita yang akrab aku panggil; Kasfiyya, begitupula
panggilan akrab yang seringkali disuarakan oleh teman dekatnya.
Kasfiyya adalah Perawat yang sudah bekerja di Puskesmas Peraya
semenjak kelulusannya dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, Selong,
satu tahun lalu.
Imajinasi bayangan masa lalu beranjak dari putaran waktu masa kini, berputar balik Mengingat cukilan-cukilan kenangan indah yang tak seorangpun mampu merasakan keindahan dan semerbak aroma bahagianya terkecuali hati kami yang sudah berbalut selimut cinta didalam labirin jiwa, terutama sekali saat pertemuan kami kali pertama sejak duduk dibangku SMA. Namun kini, aku benar-benar melihat pemandangan yang jauh sekali berbeda dari apa yang aku rasakan saat menemukan mutiara bahagia dari dalam jiwanya waktu lalu. Kini ia sungguh telah berubah, Dalam lemas terkulai ia tak mampu lagi berkata apa-apa selain suara nafas tersengal-sengal dari derita penyakit yang mengayomi tubuhnya. Barangkali penyakit aneh itu yang sedang bercokol ditubuhnya sebagaimana yang telah didiagnosa oleh dokter; Asma.
Betapa takutnya bathin ini menatap seluruh tubuhnya yang terkulai lemas tak berdaya, seakan-akan tak bernyawa. Selang infus masih tertancapkan diujung kedua tangannya, belum lagi alat-alat medis lainnya yang masih menghiasi pemandangan disekujur tubuh indahnya. Tak kuasa lagi bathin ini menyaksikan tontonan kesedihan berteman rasa pilu dalam bathin, hanya mampu mengucapkan sebaris doa untuk meminta kesembuhannya kepada Sang Maha Pencipta. Tubuhnya yang tak berdaya menyeruakkan tangis bathin ini lebih keras dari tiupan hembusan angin muson, atau mungkin terpaan ombak dilautan yang menyapa tepian pantai. Tidak mampu lagi diri ini menyaksikan tubuhnya terbuai dalam detik-detik penantian, “akankah kematian akan datang menjemputnya.” Begitu bathin ini berucap dalam tangisan yang tak sempat terusap oleh kain kering dari jiwa dikedalaman sana. Begitulah suara lantang ketakutan semakin menyisakan tangisan dan ketidak percayaan akan kenyataan yang sedang ditampakkan oleh kehidupan ini dengan ragam cobaan didalamnya.
Sungguh, Batin ini merasa kecut dan benar-benar telah digerogoti seluruh tubuh ini dengan irama music rasa ketakutan yang tak berkesudahan. Tak mampu lagi pikiran sadar melihat benang merah yang tuhan berikan diatas pentas kehidupan, yang ada hanyalah bahasa ketakutan dan ketakutan demi ketakutan, membusungkan diri didalam jiwa ini. Seakan-akan semua harapan yang telah terukirkan indah dalam bingkai impian telah pupus entah kemana perginya, meninggalkan diri ini sendiri ditengah goncangan deru derita, rasa-rasanya impian yang pernah ada telah sirna terbawa hembusan angin penderitaan kali ini. Dalam isak tangis dibimbing geletar pengharapan, terucap doa untuk meminta kasih Sang Pencipta, berbisik pesan sederhana untuknya, sang kekasih hati.
“Sayang… Jangan Pernah MeninggalkanKu sendiri dalam tangis ini. Sayang… Kita masih memiliki seribu harapan untuk menjalai kehidupan bersama. Tolong… Jangan pernah meninggalkanKu sendiri, Sayang.”
Aku semakin didera rasa putus asa, mencabut semangat yang pernah ada dalam jiwa ini. Betapa tidak, Kekasih hati yang telah lama mendampingi kehidupan ini telah membisu layaknya batu dalam belaian sakit yang dideritanya. Tubuhnya terkulai lemas bagaikan kain yang diterpa air, tak bergeming, diam membisu. Warna cerah nan indah yang pernah berceritra dalam kisah masa lalu terbuai oleh tangisan pilu. Mencakar seluruh asa dan mengaburkan mimpi-mimpi untuk bisa menggapai kehidupan penuh senyuman.
Sesekali terlihat helaan nafasnya tersendat-sendat seolah-olah ada beban yang mengapit seluruh tubuhnya. Nampak jelas dari gelembung udara dari tabung oksigen yang dipasangkan para perawat Rumah sakit disekujur tubuhnya pagi tadi. Aku mencoba mengambil Sehelai tangannya yang sudah terkulai tak berdaya. Mencoba untuk memberikan sapaan lembut kepada sang kasih agar nantinya janji suci penuh pengharapan terikrarkan diatas pelaminan. Empat bulan yang lalu kami sudah bertunangan, cincin menghiasi kebahagiaan kami didepan keluarga terpampang jelas dijari manis kami berdua, menjadikan pintu-pintu kehidupan terbuka lepas dan bebas, sebagai bukti abdi kasih teruntuk kesucian diantara dua insan yang menasihati diri untuk berjanji setia sehidup se-mati. Tapi, saat ini hati benar-benar kecut menatap dirinya yang sudah tak berdaya, akankah jalinan cinta ini akan bertabur mutiara bahagia didalam ikatan suci cinta? Ataukah berujung cerita sedih adanya?
“Kasfiyyaa, Bangun-lah dek…!”
“Berjanjilah untuk tidak meninggalkanKu sendiri”
“Kaulah satu-satunya penguat bathinKu ini. Jangan Diam Seperti Ini Sayang...!
Apapun yang kucoba sampaikan kepadanya sia-sia belaka. Sekonyong-konyong mencoba untuk membuka kedua kelopak matanya dengan ungkapan rasa mebisikkan bahasa sukma, tak juga membuahkan hasil apa-apa selain diam membisu layaknya batu. Hanya diri ini yang begitu naïf mencoba bicara kepada seorang yang kritis, tak sadarkan diri. Namun kusadari sepenuhnya akan kekuatan dibalik rasa ini, sungguh akan bermakna walau saat ini ia tidak mendengar apapun yang kusampaikan kepadanya. Walau begitu, aku tak putus asa untuk mencoba dan terus mencoba menyapanya, lagi kucoba berbisik disamping tempat tidurnya agar ia dengarkan bahasa cinta yang menjelmakan diri dalam derita, dan kini begitu ketakutan kehilangan sang kekasih Jiwa.
“Bangunlah sayang, Kakak ada disampingMu. Kakak berjanji untuk selalu ada disisiMu, Yank..!”
Setiap kata yang aku ungkapkan mewarnai kepedihan dan ketakutan akan kehilangan dia, sang kekasih yang sangat aku cintai sepenuh hati. Wanita yang kini menjadi Tunanganku, calon dan akan menjadi bagian kehidupanku dalam kehidupan rumah tanggaku, calon ibu dari anak-anakku yang terlahir dari kelembutan kasih. Sungguh Kasfiyyaa, Tunanganku benar-benar lumpuh dalam derita yang mendera fisiknya.
*****
Sudah dua hari Kasfiyyaa terkulai lemas tak berdaya diatas ranjang warna putih itu, berbau khas aroma anyir rumah sakit, menusuk masuk kedalam hidung, membuat sinus merasa terusik. Betapa tidak, Kasfiyyaa, tunanganku itu sedang dirawat dirumah sakit dengan ragam selang-selang infuse dikiri dan kanan, belum lagi oksigen yang menancap dihidungnya semenjak sesak nafas yang dideritanya mendera seluruh tubuhnya dalam penderitaan luar biasa, hingga ia belum juga sadarkan diri setelah dua hari bercokol dengan oksigen yang masih menancap dihidungnya, ditambah lagi oleh selang infuse yang terus menetes mengisi pembuluh Vena.
Aku benar-benar tidak mengerti semua ini terjadi. Padahal resepsi perkawinan kami akan digelar tiga minggu lagi. Tidak akan mungkin pernikahan itu kami langsungkan dihadapan semua kerabat dan keluarga jika Kondisi Kasfiyyaa belum juga sadarkan diri seperti ini. Dalam kebingungan itu, kucoba yakinkan diri diatas persujudan. Malam itu, kuharap Kasfiyyaa sadarkan diri. “Ya Allah, Berikanlah kesembuhan atasnya. Ya Robbi, sembuhkanlah ia.”
Doa itu terus saja mengalir dari mulut yang berselimut rasa takut. Selang beberapa saat, terdengar suara lirih dari atas ranjang. Keajaiban terjadi seketika. Barangkali malaikat sedang berbaik hati sebagaimana yang diperintahkan tuhan atasnya, Ternyata suara itu tidak lain dari tubuh lemas tak berdaya yang sedang berbaring dalam kungkungan selang infuse dan alat kesehatan lainnya. “Kasfiyya… Adek sudah siuman!?” Tanyaku, mencoba menyambut kehidupan baru layaknya tunas yang telah dipangkas oleh tuannya, dan kini tunas itu tumbuh kembali mengisi kehidupan. Memberikan kabar gembira bagi orang yang telah menyiraminya dengan kelemah lembutan.
“Akuuu diii,,maa,maanaaa!?” Tanya Kasfiyya. Kata-kata yang diucapkan terbata-bata, bersemaikan geletar sendu dalam lemas tak bertenaga, namun aku masih bisa mendengarnya.
“Sayang… Adek lagi dirawat dirumah sakit.” Jawabku lembut sambil menatap wajahnya yang telah sepenuhnya berwarna pucat tak berdaya akibat sakit yang mendera seluruh tubuhnya, mencoba menenagkan penderitaan yang sedang mencabik-cabik sekujur tubuhnya. Barangkali dengan cara itu ia mampu menerima kondisinya kali ini.
“Kaak, mi-min-nnumm..”
“Sebantar sayang… Nanti kakak yang ambilkan. Dek, Jangan terlalu banyak bergerak… Kondisi adek masih belum sepenuhnya baikan.”
Kucoba ulurkan sebotol air putih kepada Kasfiyyaa yang masih lemas dalam derita sakitnya setelah tiga hari tak sadarkan diri. Perlahan-lahan kuangkat kepalanya dengan tangan kiriku, lantas kucoba membantunya untuk meneguk beberapa tetes dari air yang ada ditanganku. Perlahan-lahan air itu masuk kedalam kerongkongannya. Menyejukkan rasa haus yang telah mendera sekujur tubuh lemasnya itu.
“Kaaak, Ma-Maaf-kan adek yaa.” Pintanya dalam suara lemas tak bertenaga.
“Adek tidak ada salah-apa-apa kok. Sekarang adek tenangkan pikiran adek. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Adek istirahat, yaaa..!”
“Ma-Maafkan Adeeekk” lagi-lagi suara lemas terkulai tak berdaya itu terdengar dari Mulut tipisnya yang berwana pucat itu.
“Adeekk, Adek nggak ada salah apa-apa kok. Kakak gak Kepingin adek berpikir yang tidak-tidak. Yaaach, Sekarang adek istirahat, jangan terlalu banyak bergerak, biar adek lekas sembuh. Yaaa….” Jawabku, mencoba menenangkan kegalauannya, lantas kuselimuti tubuhnya agar sapaan lembut sang angin malam dalam hembusan dinginnya tidak merengkuh tubuh kekasihku yang sudah tergeletak lemas tak bertenaga.
Sunguh bathin ini semakin mengadu dalam pilu. Sungguh, yang aku herankan dan masih terpingkal-pingkal dalam pikiran, Entah mengapa terlontar permintaan maaf dari mulut tipisnya itu. Hatiku semakin tak menentu, namun begitu, kucoba tetap tegar dihadapannya, memberikan senyum sapa agar ia bisa terlepas bebas dari derita yang dialaminya.Sungguh benar apa yang dikatakan orang, dalam derita sakit, siapapun orang akan mengingat keberadaan dirinya. Begitulah yang kini aku saksikan didepan mata kepalaku, dan telah membuat aku benar-benar melihat rasa kecut dalam hati mendengar permintaan maaf kekasih hati yang saat ini terkulai lemas, tatapan matanya hanya menerawang tak menentu entah kemana, hanya terlihat menatap langit-langit kamar rumah sakit, diruang penyakit dalam, nomor 19, Rumah Sakit Islam, Kota Mamben.
Aku mencoba mengelak dari semua pikiran negative yang orang-orang penah katakan kepadaku. Entah benar atau tidaknya, aku masih berdebat dengan ragam pikiran naïf itu. sekonyong-konyong mencoba menepisnya, namun pikiran akan kepergian sang kekasih membuat aku semakin takut. Sungguh apa yang mereka katakan membuatku benar-benar didera ketakutan luar biasa, mereka pernah bercerita demikian dengan lugasnya, “Jika seorang yang sedang sakit meminta maaf kepada orang-orang disekelilingnya saat itu, suatu pertanda tidak lama lagi ia memang harus pergi. Jika demikian, tuntun saja ia mengucapkan kalimat tauhid dan pengagungan kepada Tuhan.”
Mengingat pesan itu, gemetar rasanya seluruh persendianku. Antara yakin dan tidak apa yang pernah mereka ucapkan itu. Aku sungguh benar-benar tak berdaya, mengingat apa yang pernah mereka sampaikan beberapa waktu lalu. Benar atau tidaknya, entah mereka membaca dari sumber dan refrensi terpercaya atau sekedar bualan belaka yang tidak jelas benar salahnya, namun demikian sungguh tetap saja bathin ini bertengger dalam perdebatan yang tak kunjung usai.
Kucoba keluar dari ruang perawatan, menghirup udara segar yang telah dibentangkan Tuhan, menenangkan kemelut pertentangan dan perdebatan yang terus melaju dan bermunculan silih berganti. Seakan-akan menginginkan dirinya didengarkan, dan sepenuhnya menjelmakan ketakutan. Kubuka pintu ruang perawatan pasien dimana Kasfiyyaa dirawat didalamnya, beranjak keluar dalam langkah kaki terkulai lemas tak berdaya layaknya musafir yang sedang didera kehausan dalam perjalanan kaki yang telah menguras tenaga dan membuat langkah kaki tertatih tak mampu bangkit, lantas tubuhku tergeletak diatas kursi diruang tunggu pasien yang berjejer rapi dibawah jendela, layaknya tentara yang sudah siap mati. Kucoba hembuskan nafas, mencari ketenangan bathin yang sedang didera ragam kemelekatan.
Hembusan angin malam berbahasakan sapaan kelembutan sedikit mampu merontokkan pikiran yang tidak menentu didalam benak dan pikiranku. Pikiran itu benar-benar Berlarian layaknya anak kecil yang tidak tahu bahaya dari apa yang mereka lakukan. Pandangan mata tertuju keatas langit, namun mata bathin menembus jendela yang telah tertutup tirani. Semua itu telah mengaburkan pesona bintang diatas langit cakrawala, yang ada hanyalah wajah cantik Kasfiyyaa dalam warna pucat bau anyir obat-obatan. Dalam bathin menyemburkan seribu harap atas kesembuhan Kasfiyyaa, kekasih hati yang begitu lembut perangainya semenjak menjalin hubungan dengannya. Berharap bisa hidup berdua dalam ikrar janji suci ikatan keluarga.
Pikiran tersentak, mendengar lantunan music sendu dari ponsel salah seorang keluaga pasien yang keberadaannya entah dimana, didalam ruangnkah atau dimana? Sungguh alunan itu Terdengar jelas, berbisik nyanyian kepahitan yang menyeruakkan pikiran galau kali ini.
Jauh kau pergi meninggalkan diriku…
Disini aku, merindukan dirimu. Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi yang seperti dirimu oooh kekasih…
Entah siapa yang memutar music itu. Bathin ini rasanya diingatkan kembali akan ketakutan yang sempat mendera jiwa beberapa saat yang lalu. Sungguh, bathin ini benar-benar mengelak lantas bertanya-tanya, “siapa yang memutar music itu?” ingin rasanya menghentikan senandung lagu itu dan menggantikannya dengan music lain, namun sudahlah tak ada gunanya memarahi ataupu mengomeli orang lain, barangkali lagi itu adalah lagu Kesukaannya.
Tersigap tubuhku untuk segera membuka pintu, menatap kekasih hati yang sedang berbaring diatas ranjang perawatan rumah sakit. Benar-benar tatapan mataku tertuju kepadanya. Kucoba mendekat dan memastikan keadaannya. Kupegang pergelangan tangannya layaknya perawat Profesional (Palpasi), mencoba memastikan kondisinya saat itu. ternyata Kasfiyyaa baik-baik saja. Ia bahkan tertidur nyenyak dalam keanggunan raut wajahnya walau terlihat pucat. Ia tetap menampak cantik. “Engkau Cantik sekali sayang, semoga engkau lekas sembuh.” Begitu hati bergumam sambil terkesima melihat raut wajahnya. Rasanya tenang bathin ini. hingga benar-benar tersibak kedamaian saat ada disampingnya, penuh harap akan kesembuhan sang belahan jiwa.
Imajinasi bayangan masa lalu beranjak dari putaran waktu masa kini, berputar balik Mengingat cukilan-cukilan kenangan indah yang tak seorangpun mampu merasakan keindahan dan semerbak aroma bahagianya terkecuali hati kami yang sudah berbalut selimut cinta didalam labirin jiwa, terutama sekali saat pertemuan kami kali pertama sejak duduk dibangku SMA. Namun kini, aku benar-benar melihat pemandangan yang jauh sekali berbeda dari apa yang aku rasakan saat menemukan mutiara bahagia dari dalam jiwanya waktu lalu. Kini ia sungguh telah berubah, Dalam lemas terkulai ia tak mampu lagi berkata apa-apa selain suara nafas tersengal-sengal dari derita penyakit yang mengayomi tubuhnya. Barangkali penyakit aneh itu yang sedang bercokol ditubuhnya sebagaimana yang telah didiagnosa oleh dokter; Asma.
Betapa takutnya bathin ini menatap seluruh tubuhnya yang terkulai lemas tak berdaya, seakan-akan tak bernyawa. Selang infus masih tertancapkan diujung kedua tangannya, belum lagi alat-alat medis lainnya yang masih menghiasi pemandangan disekujur tubuh indahnya. Tak kuasa lagi bathin ini menyaksikan tontonan kesedihan berteman rasa pilu dalam bathin, hanya mampu mengucapkan sebaris doa untuk meminta kesembuhannya kepada Sang Maha Pencipta. Tubuhnya yang tak berdaya menyeruakkan tangis bathin ini lebih keras dari tiupan hembusan angin muson, atau mungkin terpaan ombak dilautan yang menyapa tepian pantai. Tidak mampu lagi diri ini menyaksikan tubuhnya terbuai dalam detik-detik penantian, “akankah kematian akan datang menjemputnya.” Begitu bathin ini berucap dalam tangisan yang tak sempat terusap oleh kain kering dari jiwa dikedalaman sana. Begitulah suara lantang ketakutan semakin menyisakan tangisan dan ketidak percayaan akan kenyataan yang sedang ditampakkan oleh kehidupan ini dengan ragam cobaan didalamnya.
Sungguh, Batin ini merasa kecut dan benar-benar telah digerogoti seluruh tubuh ini dengan irama music rasa ketakutan yang tak berkesudahan. Tak mampu lagi pikiran sadar melihat benang merah yang tuhan berikan diatas pentas kehidupan, yang ada hanyalah bahasa ketakutan dan ketakutan demi ketakutan, membusungkan diri didalam jiwa ini. Seakan-akan semua harapan yang telah terukirkan indah dalam bingkai impian telah pupus entah kemana perginya, meninggalkan diri ini sendiri ditengah goncangan deru derita, rasa-rasanya impian yang pernah ada telah sirna terbawa hembusan angin penderitaan kali ini. Dalam isak tangis dibimbing geletar pengharapan, terucap doa untuk meminta kasih Sang Pencipta, berbisik pesan sederhana untuknya, sang kekasih hati.
“Sayang… Jangan Pernah MeninggalkanKu sendiri dalam tangis ini. Sayang… Kita masih memiliki seribu harapan untuk menjalai kehidupan bersama. Tolong… Jangan pernah meninggalkanKu sendiri, Sayang.”
Aku semakin didera rasa putus asa, mencabut semangat yang pernah ada dalam jiwa ini. Betapa tidak, Kekasih hati yang telah lama mendampingi kehidupan ini telah membisu layaknya batu dalam belaian sakit yang dideritanya. Tubuhnya terkulai lemas bagaikan kain yang diterpa air, tak bergeming, diam membisu. Warna cerah nan indah yang pernah berceritra dalam kisah masa lalu terbuai oleh tangisan pilu. Mencakar seluruh asa dan mengaburkan mimpi-mimpi untuk bisa menggapai kehidupan penuh senyuman.
Sesekali terlihat helaan nafasnya tersendat-sendat seolah-olah ada beban yang mengapit seluruh tubuhnya. Nampak jelas dari gelembung udara dari tabung oksigen yang dipasangkan para perawat Rumah sakit disekujur tubuhnya pagi tadi. Aku mencoba mengambil Sehelai tangannya yang sudah terkulai tak berdaya. Mencoba untuk memberikan sapaan lembut kepada sang kasih agar nantinya janji suci penuh pengharapan terikrarkan diatas pelaminan. Empat bulan yang lalu kami sudah bertunangan, cincin menghiasi kebahagiaan kami didepan keluarga terpampang jelas dijari manis kami berdua, menjadikan pintu-pintu kehidupan terbuka lepas dan bebas, sebagai bukti abdi kasih teruntuk kesucian diantara dua insan yang menasihati diri untuk berjanji setia sehidup se-mati. Tapi, saat ini hati benar-benar kecut menatap dirinya yang sudah tak berdaya, akankah jalinan cinta ini akan bertabur mutiara bahagia didalam ikatan suci cinta? Ataukah berujung cerita sedih adanya?
“Kasfiyyaa, Bangun-lah dek…!”
“Berjanjilah untuk tidak meninggalkanKu sendiri”
“Kaulah satu-satunya penguat bathinKu ini. Jangan Diam Seperti Ini Sayang...!
Apapun yang kucoba sampaikan kepadanya sia-sia belaka. Sekonyong-konyong mencoba untuk membuka kedua kelopak matanya dengan ungkapan rasa mebisikkan bahasa sukma, tak juga membuahkan hasil apa-apa selain diam membisu layaknya batu. Hanya diri ini yang begitu naïf mencoba bicara kepada seorang yang kritis, tak sadarkan diri. Namun kusadari sepenuhnya akan kekuatan dibalik rasa ini, sungguh akan bermakna walau saat ini ia tidak mendengar apapun yang kusampaikan kepadanya. Walau begitu, aku tak putus asa untuk mencoba dan terus mencoba menyapanya, lagi kucoba berbisik disamping tempat tidurnya agar ia dengarkan bahasa cinta yang menjelmakan diri dalam derita, dan kini begitu ketakutan kehilangan sang kekasih Jiwa.
“Bangunlah sayang, Kakak ada disampingMu. Kakak berjanji untuk selalu ada disisiMu, Yank..!”
Setiap kata yang aku ungkapkan mewarnai kepedihan dan ketakutan akan kehilangan dia, sang kekasih yang sangat aku cintai sepenuh hati. Wanita yang kini menjadi Tunanganku, calon dan akan menjadi bagian kehidupanku dalam kehidupan rumah tanggaku, calon ibu dari anak-anakku yang terlahir dari kelembutan kasih. Sungguh Kasfiyyaa, Tunanganku benar-benar lumpuh dalam derita yang mendera fisiknya.
*****
Sudah dua hari Kasfiyyaa terkulai lemas tak berdaya diatas ranjang warna putih itu, berbau khas aroma anyir rumah sakit, menusuk masuk kedalam hidung, membuat sinus merasa terusik. Betapa tidak, Kasfiyyaa, tunanganku itu sedang dirawat dirumah sakit dengan ragam selang-selang infuse dikiri dan kanan, belum lagi oksigen yang menancap dihidungnya semenjak sesak nafas yang dideritanya mendera seluruh tubuhnya dalam penderitaan luar biasa, hingga ia belum juga sadarkan diri setelah dua hari bercokol dengan oksigen yang masih menancap dihidungnya, ditambah lagi oleh selang infuse yang terus menetes mengisi pembuluh Vena.
Aku benar-benar tidak mengerti semua ini terjadi. Padahal resepsi perkawinan kami akan digelar tiga minggu lagi. Tidak akan mungkin pernikahan itu kami langsungkan dihadapan semua kerabat dan keluarga jika Kondisi Kasfiyyaa belum juga sadarkan diri seperti ini. Dalam kebingungan itu, kucoba yakinkan diri diatas persujudan. Malam itu, kuharap Kasfiyyaa sadarkan diri. “Ya Allah, Berikanlah kesembuhan atasnya. Ya Robbi, sembuhkanlah ia.”
Doa itu terus saja mengalir dari mulut yang berselimut rasa takut. Selang beberapa saat, terdengar suara lirih dari atas ranjang. Keajaiban terjadi seketika. Barangkali malaikat sedang berbaik hati sebagaimana yang diperintahkan tuhan atasnya, Ternyata suara itu tidak lain dari tubuh lemas tak berdaya yang sedang berbaring dalam kungkungan selang infuse dan alat kesehatan lainnya. “Kasfiyya… Adek sudah siuman!?” Tanyaku, mencoba menyambut kehidupan baru layaknya tunas yang telah dipangkas oleh tuannya, dan kini tunas itu tumbuh kembali mengisi kehidupan. Memberikan kabar gembira bagi orang yang telah menyiraminya dengan kelemah lembutan.
“Akuuu diii,,maa,maanaaa!?” Tanya Kasfiyya. Kata-kata yang diucapkan terbata-bata, bersemaikan geletar sendu dalam lemas tak bertenaga, namun aku masih bisa mendengarnya.
“Sayang… Adek lagi dirawat dirumah sakit.” Jawabku lembut sambil menatap wajahnya yang telah sepenuhnya berwarna pucat tak berdaya akibat sakit yang mendera seluruh tubuhnya, mencoba menenagkan penderitaan yang sedang mencabik-cabik sekujur tubuhnya. Barangkali dengan cara itu ia mampu menerima kondisinya kali ini.
“Kaak, mi-min-nnumm..”
“Sebantar sayang… Nanti kakak yang ambilkan. Dek, Jangan terlalu banyak bergerak… Kondisi adek masih belum sepenuhnya baikan.”
Kucoba ulurkan sebotol air putih kepada Kasfiyyaa yang masih lemas dalam derita sakitnya setelah tiga hari tak sadarkan diri. Perlahan-lahan kuangkat kepalanya dengan tangan kiriku, lantas kucoba membantunya untuk meneguk beberapa tetes dari air yang ada ditanganku. Perlahan-lahan air itu masuk kedalam kerongkongannya. Menyejukkan rasa haus yang telah mendera sekujur tubuh lemasnya itu.
“Kaaak, Ma-Maaf-kan adek yaa.” Pintanya dalam suara lemas tak bertenaga.
“Adek tidak ada salah-apa-apa kok. Sekarang adek tenangkan pikiran adek. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Adek istirahat, yaaa..!”
“Ma-Maafkan Adeeekk” lagi-lagi suara lemas terkulai tak berdaya itu terdengar dari Mulut tipisnya yang berwana pucat itu.
“Adeekk, Adek nggak ada salah apa-apa kok. Kakak gak Kepingin adek berpikir yang tidak-tidak. Yaaach, Sekarang adek istirahat, jangan terlalu banyak bergerak, biar adek lekas sembuh. Yaaa….” Jawabku, mencoba menenangkan kegalauannya, lantas kuselimuti tubuhnya agar sapaan lembut sang angin malam dalam hembusan dinginnya tidak merengkuh tubuh kekasihku yang sudah tergeletak lemas tak bertenaga.
Sunguh bathin ini semakin mengadu dalam pilu. Sungguh, yang aku herankan dan masih terpingkal-pingkal dalam pikiran, Entah mengapa terlontar permintaan maaf dari mulut tipisnya itu. Hatiku semakin tak menentu, namun begitu, kucoba tetap tegar dihadapannya, memberikan senyum sapa agar ia bisa terlepas bebas dari derita yang dialaminya.Sungguh benar apa yang dikatakan orang, dalam derita sakit, siapapun orang akan mengingat keberadaan dirinya. Begitulah yang kini aku saksikan didepan mata kepalaku, dan telah membuat aku benar-benar melihat rasa kecut dalam hati mendengar permintaan maaf kekasih hati yang saat ini terkulai lemas, tatapan matanya hanya menerawang tak menentu entah kemana, hanya terlihat menatap langit-langit kamar rumah sakit, diruang penyakit dalam, nomor 19, Rumah Sakit Islam, Kota Mamben.
Aku mencoba mengelak dari semua pikiran negative yang orang-orang penah katakan kepadaku. Entah benar atau tidaknya, aku masih berdebat dengan ragam pikiran naïf itu. sekonyong-konyong mencoba menepisnya, namun pikiran akan kepergian sang kekasih membuat aku semakin takut. Sungguh apa yang mereka katakan membuatku benar-benar didera ketakutan luar biasa, mereka pernah bercerita demikian dengan lugasnya, “Jika seorang yang sedang sakit meminta maaf kepada orang-orang disekelilingnya saat itu, suatu pertanda tidak lama lagi ia memang harus pergi. Jika demikian, tuntun saja ia mengucapkan kalimat tauhid dan pengagungan kepada Tuhan.”
Mengingat pesan itu, gemetar rasanya seluruh persendianku. Antara yakin dan tidak apa yang pernah mereka ucapkan itu. Aku sungguh benar-benar tak berdaya, mengingat apa yang pernah mereka sampaikan beberapa waktu lalu. Benar atau tidaknya, entah mereka membaca dari sumber dan refrensi terpercaya atau sekedar bualan belaka yang tidak jelas benar salahnya, namun demikian sungguh tetap saja bathin ini bertengger dalam perdebatan yang tak kunjung usai.
Kucoba keluar dari ruang perawatan, menghirup udara segar yang telah dibentangkan Tuhan, menenangkan kemelut pertentangan dan perdebatan yang terus melaju dan bermunculan silih berganti. Seakan-akan menginginkan dirinya didengarkan, dan sepenuhnya menjelmakan ketakutan. Kubuka pintu ruang perawatan pasien dimana Kasfiyyaa dirawat didalamnya, beranjak keluar dalam langkah kaki terkulai lemas tak berdaya layaknya musafir yang sedang didera kehausan dalam perjalanan kaki yang telah menguras tenaga dan membuat langkah kaki tertatih tak mampu bangkit, lantas tubuhku tergeletak diatas kursi diruang tunggu pasien yang berjejer rapi dibawah jendela, layaknya tentara yang sudah siap mati. Kucoba hembuskan nafas, mencari ketenangan bathin yang sedang didera ragam kemelekatan.
Hembusan angin malam berbahasakan sapaan kelembutan sedikit mampu merontokkan pikiran yang tidak menentu didalam benak dan pikiranku. Pikiran itu benar-benar Berlarian layaknya anak kecil yang tidak tahu bahaya dari apa yang mereka lakukan. Pandangan mata tertuju keatas langit, namun mata bathin menembus jendela yang telah tertutup tirani. Semua itu telah mengaburkan pesona bintang diatas langit cakrawala, yang ada hanyalah wajah cantik Kasfiyyaa dalam warna pucat bau anyir obat-obatan. Dalam bathin menyemburkan seribu harap atas kesembuhan Kasfiyyaa, kekasih hati yang begitu lembut perangainya semenjak menjalin hubungan dengannya. Berharap bisa hidup berdua dalam ikrar janji suci ikatan keluarga.
Pikiran tersentak, mendengar lantunan music sendu dari ponsel salah seorang keluaga pasien yang keberadaannya entah dimana, didalam ruangnkah atau dimana? Sungguh alunan itu Terdengar jelas, berbisik nyanyian kepahitan yang menyeruakkan pikiran galau kali ini.
Jauh kau pergi meninggalkan diriku…
Disini aku, merindukan dirimu. Kini kucoba mencari penggantimu
Namun tak lagi yang seperti dirimu oooh kekasih…
Entah siapa yang memutar music itu. Bathin ini rasanya diingatkan kembali akan ketakutan yang sempat mendera jiwa beberapa saat yang lalu. Sungguh, bathin ini benar-benar mengelak lantas bertanya-tanya, “siapa yang memutar music itu?” ingin rasanya menghentikan senandung lagu itu dan menggantikannya dengan music lain, namun sudahlah tak ada gunanya memarahi ataupu mengomeli orang lain, barangkali lagi itu adalah lagu Kesukaannya.
Tersigap tubuhku untuk segera membuka pintu, menatap kekasih hati yang sedang berbaring diatas ranjang perawatan rumah sakit. Benar-benar tatapan mataku tertuju kepadanya. Kucoba mendekat dan memastikan keadaannya. Kupegang pergelangan tangannya layaknya perawat Profesional (Palpasi), mencoba memastikan kondisinya saat itu. ternyata Kasfiyyaa baik-baik saja. Ia bahkan tertidur nyenyak dalam keanggunan raut wajahnya walau terlihat pucat. Ia tetap menampak cantik. “Engkau Cantik sekali sayang, semoga engkau lekas sembuh.” Begitu hati bergumam sambil terkesima melihat raut wajahnya. Rasanya tenang bathin ini. hingga benar-benar tersibak kedamaian saat ada disampingnya, penuh harap akan kesembuhan sang belahan jiwa.
Kemana lagi aku berpaling terkecuali untukMu, Cinta
Bumi telah larut dan tenggelam dalam kubangan air hujan
Menggenang tangis air mata duka dan derita bertahtakan nestapa
Diatas tanah kerontang, memekik suara lantang berpendar luka panas yang kerap kali menerpa
Kini semuanya telah sirna berganti seruan lembut bahasa kebahagiaan dari dalam jiwa
Berterima kasihlah kepada sang langit yang telah mendatangkan seribu karunia
Menumbuhkan tunas-tunas baru diatas sayatan luka
Kini semuanya menampak baru dengan raut wajah keindahannya
Panorama alam yang dahulunya terlihat duka lara, berganti keceriaan berselimutkan bahagia
Berubah wujud menjadi taman-taman surga, layaknya firdaus didataran dunia
Bersujudlah kepada sang langit yang telah meminjamkan mentarinya dipagi hari
Mengikhlaskan keindahan lentera malam dari setiap sudut pancaran bintang dan rembulan
Mengirimkan awan-awan putih berisikan kado kebahagiaan
Menungkan kesejukan diatas tandusnya bumi kehidupan
Bukankah demikian itu suatu karunia luar biasa yang setiap harinya Engkau pinta
Wahai sang Bumi, sungguhpun tanpa pernah engkau mengelus-elus dalam sanjungan puji
Meminta kepada sang langit dengan seribu janji
Atau terkadang memberontak dan memaki-maki saat kegersangan itu tertancapkan disana sini
Walau demikian, Tetaplah ia memberi dan mengasihi sepenuh hati
Ikhlas disetiap tetesan, menjadi penerang dengan penuh ketulusan
Dan… Wahai Engkau sang langit, lantunkanlah sembah sucimu kepada sang Pencipta
Yang telah memberikanmu sejuta karunia tanpa pernah ia meminta balik dari apa yang Ia beri
Sudah sejak awal ia menitipkan ragam keindahan karunia kebahagiaan bagimu
Wahai sang langit, saatnya engkau malu dan menatap luas dirimu yang sesungguhnya
Dialah sang kasih dalam ke-maha Luasan-Nya
Begitupula engkau, wahai sang bumi
Dalam rela maupun terpaksa, datanglah menghadap-Nya atas segala karunia
Kesedihan itu berlalu karena Tangan Kasih-Nya
Berganti senyuman bahagia, bersimfoni disetiap waktu dalam pengayoman kelembutan
Sentuhan lembut keindahan Cinta-Nya kepada makhluk, teruntuk semesta
Bukankah lentera malam itu adalah salah satu dari sekian banyak wujud cintanya
Tidakkah terpikirkan dalam benak dan pikiran dikedalaman sana
Betapa indahnya panorama semesta saat hijaunya bumi bersemi menyemaikan keanggunannya
Layakkah diri sang langit, bumi, maupun sang Jiwa merogoh kesombongan
Mengabaikan segala pemberian-Nya yang begitu banyak itu
Kemana lagi kita ingin berpaling, tidak lain teruntuk Sang Pencipta
Begitulah keindahan mengejawantahkan diri saat persimpuhan bersiul bahasa kemesraan
Menyanyikan lagu dan syair-syair kesyukuran disetiap waktu
Keep spirit For Our Life Better…
Menggenang tangis air mata duka dan derita bertahtakan nestapa
Diatas tanah kerontang, memekik suara lantang berpendar luka panas yang kerap kali menerpa
Kini semuanya telah sirna berganti seruan lembut bahasa kebahagiaan dari dalam jiwa
Berterima kasihlah kepada sang langit yang telah mendatangkan seribu karunia
Menumbuhkan tunas-tunas baru diatas sayatan luka
Kini semuanya menampak baru dengan raut wajah keindahannya
Panorama alam yang dahulunya terlihat duka lara, berganti keceriaan berselimutkan bahagia
Berubah wujud menjadi taman-taman surga, layaknya firdaus didataran dunia
Bersujudlah kepada sang langit yang telah meminjamkan mentarinya dipagi hari
Mengikhlaskan keindahan lentera malam dari setiap sudut pancaran bintang dan rembulan
Mengirimkan awan-awan putih berisikan kado kebahagiaan
Menungkan kesejukan diatas tandusnya bumi kehidupan
Bukankah demikian itu suatu karunia luar biasa yang setiap harinya Engkau pinta
Wahai sang Bumi, sungguhpun tanpa pernah engkau mengelus-elus dalam sanjungan puji
Meminta kepada sang langit dengan seribu janji
Atau terkadang memberontak dan memaki-maki saat kegersangan itu tertancapkan disana sini
Walau demikian, Tetaplah ia memberi dan mengasihi sepenuh hati
Ikhlas disetiap tetesan, menjadi penerang dengan penuh ketulusan
Dan… Wahai Engkau sang langit, lantunkanlah sembah sucimu kepada sang Pencipta
Yang telah memberikanmu sejuta karunia tanpa pernah ia meminta balik dari apa yang Ia beri
Sudah sejak awal ia menitipkan ragam keindahan karunia kebahagiaan bagimu
Wahai sang langit, saatnya engkau malu dan menatap luas dirimu yang sesungguhnya
Dialah sang kasih dalam ke-maha Luasan-Nya
Begitupula engkau, wahai sang bumi
Dalam rela maupun terpaksa, datanglah menghadap-Nya atas segala karunia
Kesedihan itu berlalu karena Tangan Kasih-Nya
Berganti senyuman bahagia, bersimfoni disetiap waktu dalam pengayoman kelembutan
Sentuhan lembut keindahan Cinta-Nya kepada makhluk, teruntuk semesta
Bukankah lentera malam itu adalah salah satu dari sekian banyak wujud cintanya
Tidakkah terpikirkan dalam benak dan pikiran dikedalaman sana
Betapa indahnya panorama semesta saat hijaunya bumi bersemi menyemaikan keanggunannya
Layakkah diri sang langit, bumi, maupun sang Jiwa merogoh kesombongan
Mengabaikan segala pemberian-Nya yang begitu banyak itu
Kemana lagi kita ingin berpaling, tidak lain teruntuk Sang Pencipta
Begitulah keindahan mengejawantahkan diri saat persimpuhan bersiul bahasa kemesraan
Menyanyikan lagu dan syair-syair kesyukuran disetiap waktu
Keep spirit For Our Life Better…
Mengapa engkau terlihat layu nan sayu menatap mentari pagi ini, jiwaku?
Mengapa engkau terlihat layu nan sayu menatap mentari pagi ini, jiwaku?
Kaudapatikah segala kelemahan yang melekat didalam dirimu ditengah perjalanan waktu?
Atau mungkin engkau tlah mendengar caci dan makian mereka tentang dirimu?
Aku melihat tetesan air mata yang menetes diantara luka yang menghiasi sekujur tubuhmu
Aku pun mendengar isak tangis yang engkau nyanyikan saat kepedihan menyapa kehidupan
Akankah engkau kini sudah tidak lagi terlihat tegar menapaki garis waktu diatas hidup ini?
Sampai kapan engkau meratapi diri dan kesedihan ini dalam isak tangis dan pilu?
Tidakkah engkau mencoba menikmati betapa indahnya senyumanmu waktu dulu
Memoar kisah kenangan yang pernah tertorehkan disetiap perjalanan dan persinggahan waktu
Wahai jiwaku. Engkau dahulunya raja yang mampu menundukkan segala ratapan kesedihan
Menundukkan hadirnya wajah sayu dan layu dengan kemegahan kesadaranmu
Tetapi mengapa engkau kini meringkuk membeku didalam penjara duka yang tak berkesudahan
Engkau layaknya budak dan hamba sahaya yang hanya hidup dibawah perintah tuannya
Mengapa engkau tertatih dan terlunta-lunta penuh derita, Jiwaku?
Akankah semua kesedihan itu hadir karena tuntutan demi tuntutan yang memperbudakmu?
Ataukah engkau terlalu banyak mencibir kekurangan yang telah menempel disekujur tubuhmu?
Mengapa engkau selalu berkata “Mengapa waktu tidak pernah berpihak kepadaku?”
Bahkan terkadang engkau hanya memimpikan kehidupan didepan sana?
Mungkinkah engkau ingin meninggalkan wujud asli dirimu dan mengais-ngais kesengsaraanmu?
Mengapa jiwaku tidak lagi seperti dulu, berlaku bijak dalam melihat artian kehidupan ini?
Cobalah untuk berlaku adil kepada dirimu yang kini menangis dalam sesal dan pilu
Cobalah mengingat pisau maut yang suatu saat datang menghampirimu dipenghujung waktu
Engkau tidak pernah tahu kapan akhir kedipan waktu, Jiwaku.
Akhiri saja penderitaan ini dan jangan pernah tangisi ia lagi
Dan maafkanlah aku wahai jiwaku. Maafkanlah daku yang selalu memojokkanmu
Kau sepenuhnya telah mencicipi betapa getirnya kesedihan duka dalam wujud aslinya
Engkaupun telah merengkuh kehidupan indah saat kesadaran menjadi temanmu disetiap waktu
Maafkanlah masa lalu… Maafkanlah apa yang telah berlalu, jiwaku.
Telah kau liputi segenap waktu dengan kerelaanmu yang tulus itu
Hapuslah segala kesalahan yang mencabik-cabik seluruh tubuhmu
Sembuhkanlah semua luka yang masih membekas itu dengan balutan Maafmu
Bangkitlah dari keterpurukanmu… Bangkitlah dan lekas berdiri menundukkan kelumpuhanmu
Telah kau singkirkan segala penderitaan yang telah mematahkan semangat juangmu
Buanglah segala beban yang membebani punggungmu dalam wajah tuntutan tak berkesudahan
Singsingkanlah segala ke-naifan yang selama ini menundukkan keberanianmu
Tataplah warna terindah kehidupan ini, jiwaku
Rasakan segala kerinduan yang dikaruniakan Sang kasih ditengah pergolakan kehidupan
Hapuslah tetesan air mata yang mengalir agar engkau mampu menatap keindahan panorama
Sudahi saja rintihan pilu yang memerahkan ranumnya bola mata
Berlarilah engkau wahai jiwaku. Berlarilah melintasi gurun waktu
Langkahi saja gunung yang menjulang tinggi dihadapanmu
Tinggalkan segala kesengsaraan yang tergeletak lemas tak berdaya didasar jurang
Kali ini engkau akan sampai dipucuk kehidupan, menatap lepas artian indah yang membentang
Tetaplah berlari dan Tumpahkanlah saja rasa sakit yang menusuk relung hati yang paling dalam
Cabut saja perih yang menempel dikaki dan sudahi rasa perih yang telah sepenuhnya melukai
Wahai jiwaku. Bergegaslah engkau pergi meninggalkan kehidupan yang fatamorgana ini
Bentangkan saja sayap kesadaran yang sepenuhnya mengilhami pemahaman terdalam
Dan ayunkan saja untaian tasbihmu kepada Sang Kasih yang telah mencelupkan Ilmu dan Iman
Bergegaslah engkau terbang menuju Tarian semesta yang menyuguhkan kebahagiaan
Sudahi saja segala tangis kesedihan diatas pijakan bumi manusia
Dan berikanlah senyuman terindahmu sebagai wujud kasih dan kesyukuran
Keep Spirit For Our Life Better.
Kaudapatikah segala kelemahan yang melekat didalam dirimu ditengah perjalanan waktu?
Atau mungkin engkau tlah mendengar caci dan makian mereka tentang dirimu?
Aku melihat tetesan air mata yang menetes diantara luka yang menghiasi sekujur tubuhmu
Aku pun mendengar isak tangis yang engkau nyanyikan saat kepedihan menyapa kehidupan
Akankah engkau kini sudah tidak lagi terlihat tegar menapaki garis waktu diatas hidup ini?
Sampai kapan engkau meratapi diri dan kesedihan ini dalam isak tangis dan pilu?
Tidakkah engkau mencoba menikmati betapa indahnya senyumanmu waktu dulu
Memoar kisah kenangan yang pernah tertorehkan disetiap perjalanan dan persinggahan waktu
Wahai jiwaku. Engkau dahulunya raja yang mampu menundukkan segala ratapan kesedihan
Menundukkan hadirnya wajah sayu dan layu dengan kemegahan kesadaranmu
Tetapi mengapa engkau kini meringkuk membeku didalam penjara duka yang tak berkesudahan
Engkau layaknya budak dan hamba sahaya yang hanya hidup dibawah perintah tuannya
Mengapa engkau tertatih dan terlunta-lunta penuh derita, Jiwaku?
Akankah semua kesedihan itu hadir karena tuntutan demi tuntutan yang memperbudakmu?
Ataukah engkau terlalu banyak mencibir kekurangan yang telah menempel disekujur tubuhmu?
Mengapa engkau selalu berkata “Mengapa waktu tidak pernah berpihak kepadaku?”
Bahkan terkadang engkau hanya memimpikan kehidupan didepan sana?
Mungkinkah engkau ingin meninggalkan wujud asli dirimu dan mengais-ngais kesengsaraanmu?
Mengapa jiwaku tidak lagi seperti dulu, berlaku bijak dalam melihat artian kehidupan ini?
Cobalah untuk berlaku adil kepada dirimu yang kini menangis dalam sesal dan pilu
Cobalah mengingat pisau maut yang suatu saat datang menghampirimu dipenghujung waktu
Engkau tidak pernah tahu kapan akhir kedipan waktu, Jiwaku.
Akhiri saja penderitaan ini dan jangan pernah tangisi ia lagi
Dan maafkanlah aku wahai jiwaku. Maafkanlah daku yang selalu memojokkanmu
Kau sepenuhnya telah mencicipi betapa getirnya kesedihan duka dalam wujud aslinya
Engkaupun telah merengkuh kehidupan indah saat kesadaran menjadi temanmu disetiap waktu
Maafkanlah masa lalu… Maafkanlah apa yang telah berlalu, jiwaku.
Telah kau liputi segenap waktu dengan kerelaanmu yang tulus itu
Hapuslah segala kesalahan yang mencabik-cabik seluruh tubuhmu
Sembuhkanlah semua luka yang masih membekas itu dengan balutan Maafmu
Bangkitlah dari keterpurukanmu… Bangkitlah dan lekas berdiri menundukkan kelumpuhanmu
Telah kau singkirkan segala penderitaan yang telah mematahkan semangat juangmu
Buanglah segala beban yang membebani punggungmu dalam wajah tuntutan tak berkesudahan
Singsingkanlah segala ke-naifan yang selama ini menundukkan keberanianmu
Tataplah warna terindah kehidupan ini, jiwaku
Rasakan segala kerinduan yang dikaruniakan Sang kasih ditengah pergolakan kehidupan
Hapuslah tetesan air mata yang mengalir agar engkau mampu menatap keindahan panorama
Sudahi saja rintihan pilu yang memerahkan ranumnya bola mata
Berlarilah engkau wahai jiwaku. Berlarilah melintasi gurun waktu
Langkahi saja gunung yang menjulang tinggi dihadapanmu
Tinggalkan segala kesengsaraan yang tergeletak lemas tak berdaya didasar jurang
Kali ini engkau akan sampai dipucuk kehidupan, menatap lepas artian indah yang membentang
Tetaplah berlari dan Tumpahkanlah saja rasa sakit yang menusuk relung hati yang paling dalam
Cabut saja perih yang menempel dikaki dan sudahi rasa perih yang telah sepenuhnya melukai
Wahai jiwaku. Bergegaslah engkau pergi meninggalkan kehidupan yang fatamorgana ini
Bentangkan saja sayap kesadaran yang sepenuhnya mengilhami pemahaman terdalam
Dan ayunkan saja untaian tasbihmu kepada Sang Kasih yang telah mencelupkan Ilmu dan Iman
Bergegaslah engkau terbang menuju Tarian semesta yang menyuguhkan kebahagiaan
Sudahi saja segala tangis kesedihan diatas pijakan bumi manusia
Dan berikanlah senyuman terindahmu sebagai wujud kasih dan kesyukuran
Keep Spirit For Our Life Better.
Langganan:
Postingan (Atom)