Sabtu, 30 Juni 2012

Ajarkanlah aku cinta yang tulus dari dalam jiwa

Pagi buta sebelum datangnya sang fajar itu, Fiyyani; kekasihku ungkapkan rasa terima kasih atas segalanya lewat telpon genggam yang biasa menemani hari-hariku. Aku tak tahu untuk apa ucapan itu. Untuk sebuah rasa didalam relung hati yang dia anggap suatu kebahagiaan besar bertajuk rasa syukur ataukah kerinduan yang membuat jiwanya membisu untuk berlari dari apa yang sedang menjelma dikedalaman sana!? Ah, sudahlah, jangan pikirkan hal-hal yang telah berlalu, dan terukir indah diatas kanvas kenangan masa lalu. Sungguhpun semuanya telah sirna dimakan rayap-rayap waktu yang terus berdenting mengibaskan keangkuhannya.

Bagiku, Fiyyani adalah sosok perempuan yang sungguh menakjubkan. Ya, Dia telah menjelma sebagai seorang Juliet, dan aku sebagai Romeonya, meski mungkin yang terjadi adalah sebaliknya. Atau, akulah seorang Adam yang terus melangkah menyisir garis bumi untuk menemukan sang hawa yang telah tuhan peruntukkan bagi cinta, penggenap rasa yang terus bergejolak didalam bathinku.

Aku terbungkam membisu dan tidak tahu harus berkata apa kepadanya yang telah datang Meruntuhkan hatiku dari bangunan teori-teori dan prinsip relatifitas ataupun absolutifitas dari para pakar dan teroritikus handal. Mungkin karena aku tidak pernah sekolah, atau terlalu bodoh untuk mendefinisikan semua itu. Apakah semua kisah akan mengawali ceritra indah antara aku dengannya hanya dengan sebuah sapaan lembut dimalam pekat berselimut keheningan tebal, ketika waktu seakan tak berjarak antara jiwaku dan senyumannya yang lembut itu dikejauhan sana, dan ruang menjadi hinggap pada dentingan waktu yang tak lagi pasti?

“Cinta adalah sebuah pengorbanan dan keihlasan” ujar Fiyyani satu hari saat aku berdiri didepan wanita cantik berkulit putih dengan balutan jilbab putih yang bertengger diatas kepalanya. Waktu itu kami menikmati suasana malam yang indah ditaman rumah sambil berbagi cerita terkadang canda dan tawa. Dan aku hanya tertawa mendengar ungkapan polosnya yang berceritra arti cinta yang sesungguhnya, bak seorang filosuf handal yang merenungi makna cinta. Aku benar-benar tak mampu lagi menahan tawa bak seorang pendengar ceritra lelucon yang menghempaskan jiwa dengan tutur kocak penuh canda dan tawa.

“Ah, kau seorang penyair cinta” jawabku.

“Iya mas, kau telah membuatku mengabdikan diri pada cinta ini. Tahu nggak, aku telah kehabisan kata-kata untuk menuturkan segala rasa?”

“Mengapa semuanya menjadi sulit?” tanyaku kepadanya, seolah-olah ingin menelusuk masuk kedalam rahasia bathin yang tersimpan didalam jiwanya tentang cinta yang sulit untuk kumengerti, apalagi untuk dimaknai, dikedalaman sana.

“Entahlah. Aku sebenarnya cemburu padamu yang bisa memaknai cinta” ungkap Fiyyani, manja. Wajahya merunduk, mengatup bak bunga yang sedang menyimpan aroma segar dari kelopaknya. Sepertinya perasaan malu telah membuatnya tak berkutik untuk mengatakan sepatah apapun yang begitu indah untuk diceritakan, seperti hendak menyembunyikan sesuatu namun tak kuasa. Ah, mungkin juga analisaku salah, ah, mungkin aku hanya bisa mengestimasi dari apa yang bisa aku tangkap dari cukilan-cukilan kata.

“Ya sudah, apapun itu, sungguh aku sangat menyayangimu. Kaulihat bintang yang sedang melintasi garis cakrawala itu gak?” tanyaku kepada Fiyyani yang saat itu bermandikan rasa malu bercampur harap saat mendengar ungkapan tulus dari dalam bathinku.

Fiyyani mendongak mencari bintang jatuh yang sedang melintasi cakrawala. Mencari-cari, lalu ia berkata kepadaku. “Bintang yang mana mas? Aku tidak melihatnya?”

“Yang itu tuuuch. Dinda sudah melihatnya kaan?” Jari telunjukku mencoba menuntun bola matanya untuk melihat keindahan malam yang tak terkira, seakan-akan akupun sedang menuntun jiwanya untuk bersimpuh pada getaran sukma untuk berdoa disaat semesta menyuguhkan panorama yang sungguh indah, sulit untuk dilukiskan kata-kata. Begitulah yang aku tahu, berdoa disaat gejala alam menampakkan keindahannya, Tuhan yang Maha Pemurah akan benar-benar membuka pintu rahmatnya bagi jiwa-jiwa yang tergetar hatinya untuk menuturkan seuntai pengharapan kepada Yang Maha Kuasa.

***>>***

Aku seharusnya ingin tetap bersamanya, dan bahkan berusaha melarikan diri dari tempat jauh yang telah memisahkanku dengan raga seorang yang begitu aku cintai. Bukan aku tak kuat berada ditempat jauh ini, sekali lagi bukan karena alasan itu, tapi hari-hari yang kulalui terasa semakin berat ketika berjauhan dengannya, mungkinkah aku sedang merindu ataukah cinta telah membuatku masuk kedalam keindahan untuk selalu memanjakan wajah Fiyyani didalam labirin jiwaku atau mungkin menyebutnya disetiap ungkapan tulus dalam lirik doaku, berharap Sang Kasih memepersatukan kita dalam rajutan makna terindah mahkota cinta. Ya, sebab rindu bukan hanya membuat seseorang terhunus geletar yang berdesir lembut didalam rongga dada, namun juga mampu mengantarkan imajinasi seseorang memasuki taman surga, tapi juga adalah realitas saat jiwa telah sepenuhnya terpaut rasa. Yang menusuk-nusuk bak seorang pasien yang sedang mengidap angina.

Terkadang dalam malamku, merenung sejenak akan kisah yang terus berjalan antara aku dengan Fiyyani. Mungkin dia adalah sosok orang yang muncul pada ruang dan waktu dan tak pernah alpa dalam ungapan do’aku. Seperti sebuah garis tebal yang menempel di lukisan monalisa. Indah, dan menyimpan sejuta rahasia didalamnya.

Terkadang pula batinku mengadu, “Maafkan aku kasihku, jikalau aku harus meninggalkanmu dan berjarak oleh ruang dan waktu. Sungguh bukan niatan hati ini untuk menjauh darimu. Barangkali ini adalah suaratan takdir yang harus kita terima untuk bisa lebih dewasa dan berfokus dalam mengukir cita-cita.” Aku tak kuasa membuka setiap senyumanmu yang tersimpan didalam layar handphone-ku, sungguh tak sanggup menanggungkan kerinduan yang sedang bergejolak dalam hatiku. Dan tahukah engkau wahai kekasihku, jika bermalam-malam ditempat ini, seakan-akan batinku berkata lantang dan mencoba menggedorku dengan kenangan indah akan hari-hari saat bersamamu, hari-hari seekor kumbang yang terus mendekati kelopak bunga dengan cinta yang membara.

***>>***

Aku benar-benar dihinggapi rasa kebingungan dengan semua ini. Mengapakah sosok seorang yang aku cintai begitu kokoh saat aku berada diruang dan waktu yang terpisah dengannya. Dengan ikhlas ia merelakanku untuk bisa meraih mimpi yang sedang bercokol dalam harapanku.


Suatu waktu, handpone-ku bergetar, pertanda ada panggilan masuk dari seorang yang aku kenal, bahkan sangat aku mengenalinya. Dari pembicaraan panjang antara aku dengannya, ada sepatah kata yang begitu sulit terlupakan oleh ingatanku dan tak pernah ada niatan batinku untuk melupakannya, “Mas... Dinda sangat merindukanmu. Ingin rasanya menikmati suasana seperti dulu.” Batinku tergetar mendengar isak kerinduannya yang sedang mendorongku untuk merangkul jiwanya, bersama lantas terbang mengitari semesta. Ingin aku menuturkan sesuatu kepadanya namun aku malu, “ mengapa engkau tak menangis saja, biar air mata itu meruntuhkan seluruh beban kerinduanmu?” Sungguh aku tak berani mengatakannya. Aku tahu Fiyyani, kekasihku adalah seorang wanita yang melekat dengan senyuman indah saat kebahagiaan maupun kesedihan sedang mencungkil kehidupannya. Yang aku tahu, ia wanita yang sungguh tegar dalam menjalani segala aral yang terbentang didepan mata. Keep spirit for our life better

Selasa, 26 Juni 2012

Abadikanlah cinta ini dalam keindahan sebagaimana engkau telah mengabadikan keindahan disetiap ciptaanMu

Ombak berlarian mencapai pesisir pantai. Buih-buih ombak menyuarakkan teriakannya kemudian menghilang disambut teriakan baru yang terus berdebam, seperti sorak-sorai yang tak pernah kunjung usai. Ketika Vhya dan Amnaniya. Dua orang sahabat karib menatap mentari yang kian memerah memuncakkan warna mega kuning diujung cakrawala diufuk timur sana. Matahari perlahan-lahan memunculkan wajah aslinya dari dasar lautan, tepat di ujung laut sebelah timur, dikejauhan sana. Lalu beranjak dari peraduannya perlahan-lahan menjunjung sinarnya keatas angkasa, mengimbangi lambaian nyiur-nyiur yang berdiri tegak sepanjang pesisir pantai sambil mengibaskan kelembutannya menyambut pagi.

Di tepi laut itu, Dua sahabat karib berjalan mengejar buih putih yang dipersembahkan oleh sang ombak di antara pasir putih yang tak kunjung bosan-bosannya menyambut tarian samudra. Mereka berdua sama sekali tidak menghiraukan burung camar yang meliuk-liuk diantara mega yang memulai memudar yang kini menampakkan wajah cerah membusung diatas cakrawala, menyembunyikan kemerlap bintang kejora yang sudah semalaman menemani tidur lelap manusia. Sesekali suara ombak dan liuk-liuk suara burung camar memekikkan telingga dengan suara lantang menyambut panorama alam yang bertutur keindahannya dipagi hari.

Kamu merasa senang berada ditempat ini gak?” kata Amnaniya mencoba mencairkan suasana pagi diantara liuk-liuk langkah sabat karibnya. Tegur sapa Amnaniya berhasil memecah kesunyian.

Ya, senang sekali, tumben saya bisa menikmati suasana pagi dipinggir pantai ini. Setelah lama meninggalkan keindahannya Sejak diperantauan. Entah kapan lagi saya bisa menikmati keindahan seperti ini. Kalau kamu bagaimana?” jawab Vhya singkat. Sesingkat cerita yang telah berjalan dipagi buta. Walaupun suara Vhya tidak terdengar seriang nada ombak yang sahut menyahut dipinggir pantai yang menandakan gejolak kegembiraan tiada tara, namun suara tersebut menyusup masuk kedalam rasa yang mempertemukan mereka sebagai seorang sahabat.

Yaaach, Lumayan juga sich, walau setiap minggunya saya menikmati suasana seperti ini. Sebenarnya yang membuat suasana pagi kali ini berbeda ada satu lho... tahu gak??? Senyumanmu.. lumayan, sudah lama kita tidak bertemu semenjak keberangkatanmu ke tanah perantauan.” Jawab Amnaniya. Mencoba menelusuk masuk kedalam kerinduan yang telah terbangun diantara jari-jemari persahabatan mereka. kini mereka pun mulai lagi terbawa ke alam bawah sadar masing-masing. Menguak ceritra masa lalu. Terkadang Menghayalkan dan memikirkan sesuatu yang bakal terjadi atau sama sekali tidak akan pernah terjadi. Sambil terus melangkahkan kaki menjauhi keramaian. Keramaian yang penuh dengan suara bising dan hingar bingar khas kehidupan perkotaan yang tak mengenal keheningan.

Amnaniya tidak peduli lagi dengan langkahnya yang semakin jauh. Setapak demi setapak yang meninggalkan bekas dan kemudian di sapu oleh ombak yang kian mendekati bibir pantai.

Amnani.... tunggu dooonk...” seru Vhya...
Waaah, jalannya lemot sich,, buruan.” Teriak Amnaniya.

Langkah Vhya berderu mengimbangi tarian ombak, menyeruakkan kerinduan, mendekati sang sahabat yang telah lama tak menatap wajahnya.
Mmmmm, jalannya cepat banget sich.” Kata Vhya.
Iya dooonk. Hari gini jalan lemot, bakal ketinggalan kereta dech.”

Kamu tahu gak,,, Ternyata Salim CLBK lagi lho sama Rima.” Lanjut Amnaniya, mengingatan cungkilan kisah masa lalu yang sudah usang ditutupi debu-debu masa kini, dan kini kembali menyeruak kepermukaan dalam bingkai ceritra yang terkadang membawa imajinasi seakan-akan sedang duduk dipangkuan masa lalu.

Masa sich, Yang benar sajja dech?”. Vhya seakan-akan tidak percaya kabar terbaru sahabat lama yang ia tinggalkan merantau. Sosok seorang Salim yang pernah mengungkapkan perasaan cinta kepadanya. Namun Vhya lebih memlih untuk berdiam diri, tak memberi jawaban sepatah katapun kepada Salim; sahabat dekatnya sejak duduk dibangku SMA. Bathinnya tahu dan benar-benar menyadari kesalahan besar yang akan diperbuatnya jika menerima seorang salim; sahabat dekatnya. Batinnya menasihati; tak akan mungkin tega untuk menyakiti hati sahabatnya yang sudah lebih dahulu menjalin hubungan dengan Salim. Rima, wanita yang pernah ada dihati salim, wanita niaf yang seringkali diacuhkan oleh salim, laki-laki bertubuh atletis, wajah ovale khas aktor korea yang banyak dikagumi para wanita se-saentro pertiwi.

Sebenarnya bukan alasan itu yang membuat Vhya harus terdiam dan tak memberi jawaban sepatah atau dua patah kata. Sesungguhnya, jauh menelusuk dalam ruang bathin yang paling dalam. Ada kisah yang tak mungkin terlupakan olehnya. Ada getaran yang tak mungkin terbahasakan selain kehalusan jiwanya untuk mengatakan sejujurnya apa yang sedang dirasa didalam jiwa.

Mereka jadian lagi lho... Maklum, Rima nggak mungkin melepas cowok seganteng Salim.” Jawab Amnaniya.

Tapi kaan... Rima sudah seringkali disakiti. Kaan kasihan banget kalau terus-terusan kayak begini terus kisah cinta mereka.” Seakan-akan Vhya tidak percaya, tapi apa mau dikata. Rasa empati berselimutkan simpati kepada sahabat dekatnya; rima, hanya sekedar empati memelas wajah kasihan belaka, yang terjadi tetaplah terjadi tanpa bisa menghadangnya dengan kekuatan tubuh kasar yang tak lagi berdaya.

sudahlah... kelihatannya Salim sudah taubat tuuuch. Kayaknya sifat playboy-nya sudah kagak laku lagi, makanya dia balik lagi sama Rima. Tahu gak?!?!? Tiga bulan yang lalu, salim nembak Eny, temannya Hikmi, anak kelas ipa yang terkenal cantiknya itu lhooo, tapi Salim ditolak mentah-mentah. Jadi wajar kalau Salim harus tahu diri. Masa pacarnya sendiri disia-siakan kayak gitu. Kayak gak mengerti perasaan cewek. Huuuh”

ooooo, Salim habis nembak Eny yach. Ckckck. Kayaknya saya jadi korban juga nich. Tapi syukurlah gak kebawa rayuan gombal salim.” Celetuk Vhya, manja.
Maksudnya gemana nich??? Cerita dooonk” raut wajah Amnaniya berdecak penasaran, suaranya memelas lembut.

Begini ceritanya, enam bulan yang lalu, Salim sering colak-colek lewat facebook. Perhatian banget pokoknya. Kirim pesan lewat inbox, tempel ini-itu didinding fb. Eeeh, tiba-tiba seminggu kemudian dia ungkapin perasaannya. Tapi nggak tak respon sich, kasihan rima. Jarang lho ada cewek sesabar rima.”

Ooooo,,, ternyata vhya jadi targetnya yach? Hahahaha”
Lhoooo, kok tertawa sich??? Ada yang aneh?”
nggak aneh sich. Iya lucu ajja. Ternyata diam-diam Salim suka sama vhya.”

Uuuups, jangan salah. Nggak salim doank kok yang suka. Cowok-cowok dikelas kita dulu banyak yang ungkapin perasaanya lewat fb lhooo. Mereka berani ungkapin perasaan setelah berpisah. Mmmm, kagak usah heran, maklum artis. Hahahahaha.” Gelegak tawa Vhya memekik teriakan sang ombak dilautan lepas. Sisa langkah mereka terhapus sudah oleh air laut yang datang mengusap lembut pesisir pantai, seakan-akan sedang mencoba menarik kaki dua sahabat yang sedang asyik menikmati suasana pagi dipesisir pantai labuhan hajji, pesisir pantai yang keindahannya tidak diragukan lagi oleh para pelancong dari dalam dan luar negeri, khususnya para pelancong dari negeri seberang; Mamben, para pelancong yang tidak pernah ketinggalan dalam menikmati suasana alam.

Semburat mega telah sirna tak bersisa, cahaya terang sang mentari pagi memenuhi jagad semesta, menyapa alam untuk memulai kisah dipagi hari dengan sentuhan lembut keceriaan bak mentari pagi terbit dalam rengkuh semangat yang tak pudar hingga senja datang menyapa. Dan bersama pasir putih yang ikhlas dijamah oleh sentuhan lidah-lidah ombak dan membawanya menuruni bibir pantai, bersama kesetiaan yang tak pernah hilang antara kasih sang obak dan ketulsan pesisir yag tak pernah jemu untuk bercumbu.

Vhya... pulang yuuuks, sudah siang nich.” Seru Amnaniya.
Bentar lagi... Asyiii nich. Iiii, ada kepiting nich. Coba lihat, imuut lhooo.”
iiiiih, kayak orang yang nggak pernah lihat ajja. Tak tunggu diparkiran yach... okey!!!”
Okey..”

Vhya tak jua meninggalkan jejak kakinya dipesisir pantai, seakan-akan ia telah tersihir oleh keindahannya atau mungkin ada alasan lain yang membuatnya tak beranjak pergi dari keindahan deru ombak yang semakin hangat dalam sentilan suara merdunya yang berdebam tak kenal henti.

Mas Afid, masih ingat di mana kita pertama kali bertemu, gak. Sekarang Vhya sedang menikmati indahnya suasana pagi seperti kita pernah menikmatinya dua tahun yang lalu.” Guamnya lembut dalam relung hati. Mata Vhya menerawang bebas menatap apapun yang bertengger didepan kelopak mata. Seolah-olah ia sedang berkata dengan seorang yang begitu dikenalnya. Namun entah itu siapa. Hanya ada batu karang yang tercecer ditemani oleh lambaian daun nyiur yang meliuk dan menari menyongsong pagi. Barangkali itu sekedar lamunan dan bahkan benar-benar khayalan imajinasi yang sedang bergejolak, tersemburkan semburat rindu, lepas mengisi kehidupannya masa kini.

Vhya berdiri tegak diatas pasir putih dipesisir pantai, memancing semua kenangan dengan mengingatkan sejarah penting antara dirinya dan Afid; laki-laki yang sangat dicintainya yang saat ini sedang duduk dibangku kuliah, semester delapan, fakultas kedokteran di jakarta. Mengingatkan kejadian dua tahun yang lalu yang membuat vhya mengenal Afid lebih dalam lagi. Yang menyiratkan butiran-butiran cinta sejak ungkapan perasaan hati antara mereka dipesisir pantai itu.

Dan yang membawa Vhya kembali mengenang masa-masa itu dipagi ini atas nama cinta, iya benar-benar atas nama cinta. Seakan-akan Vhya mencoba menghidupkan kembali lentera kenangan yang telah berlalu yang menurut sukma jiwanya sangat manis dan kenangan yang teramat manis untuk dilupakan.

Ya,.. kita pertama kali mengungkapkan rasa ditempat ini, dipantai ini persis seperti ini. Saat langit bermandikan semburat mega keemasan. Itulah awal dari semuanya ini, awal dari kisah cinta kita. Kanda...” gumam Vhya, dalam hati. Lagi lagi ia berbicara lirih dengan aroma segar masa lalu yang bangkit kembali kepermukaan jiwanya. Ia terus menatap lepas merasakan keindahan alam yang menari bersama kenangan indah kisah kasihnya dengan Afid; laki-laki bermata sipit, kulit putih dan rambut hitam lurus. Sesekali ia melemparkan batu karang kelautan lepas yang memunculkan percikan air yang tak berarti Dan menghentikan langkah dan menatap jauh ketengah deburan ombak di tengah laut yang sangat jauh. Jauh sekali. Sampai Vhya tidak mengerti seberapa jauh pandangan mata memandang. Memang itulah pertemuan kita, batin Vhya berujar lugas membenarkan ucapannya yang sedang mencoba merasuk memori emas yang tak pernah tergantikan.

Saat Sang lentera terus memuncakkan diri dengan kehangatan tegur sapanya memenuhi jagat dan lidah ombak yang menghiasi laut serta nyanyian camar yang terus berderu, Vhya mencoba memejamkan mata, menarik nafas perlahan merasakan keindahan yang sedang menjamah jiwanya dalam-dalam. Dengan lirih batinnya berbicara dengan mesra, menyampaikan seutas doa sederhana; “Tuhan, abadikanlah cinta kami ini dalam keindahan sebagaimana engkau telah mengabadikan keindahan dan keagunganmu disetiap ciptaan-Mu.”

Sebenarnya Vhya tidak ingin mengingatkan masa silam yang penuh dengan kenangan, masa lalu yang sudah terpatri dengan damai laksana lukisan indah para malaikat keindahan yang diutus tuhan dipuncak gunung Rinjani. Namun Vhya hanya ingin memecah keheningan yang menghinggapi relung bathinnya dalam kerinduan yang tak terkira, dipinggir pantai ini beserta seluruh cinta yang berbicara dalam bahasa pengharapan dan sentuhan lembut kasih sayang dalam kerinduan yang memekik keteduhan bagi sang jiwa. Keep spirit for our life better...

Selasa, 19 Juni 2012

Melukis pelangi kehidupan diatas kanvas ketulusan Yuuuks


Selama ini kita telah banyak mengukir sesuatu ditengah bentangan hidup ini, entah itu mendapatkan predikat terbaik dibidang tertentu, memperoleh title tertinggi dimata orang lain, mendapatkan keberlimpahan materi dan segenap perolehan lainnya. Namun entahlah, sampai saat ini kita tidak jua mampu menemukan diri kita sampai saat sekarang ini. Apalah artinya jika saja kita hanya mengukur diri kita dari sudut pandang yang lebih terikat dalam dimensi yang terukur dalam bentuk materi belaka. Apakah kita hanyalah seonggok materi yang hanya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu atau hanya sekedar sebuah kebanggaan? Tentu saja bukan. Adalah diri kita menganggap materi sebagai tolak ukur atas setiap prestasi yang pernah kita raih. Benarkah demikian? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Apapun jawaban yang muncul, semua itu tidak lain dari konstruksi pengalaman dan pengetahuan serta serangkaian manifestasi lain yang telah berkontribusi dalam kehidupan kita.

Betapa banyak ragam penilaian terhadap diri sendiri dalam bentuk yang terlintas didalam indra penglihatan atau indra lainnya, namun jarang sekali kita menilainya dalam penilaian yang lebih bermakna terhadap diri sendiri dan orang lain, dan penilaian yang lebih tinggi dimata Tuhan Sang Pencipta Alam semsta ini. Memberikan orang lain sesuatu yang dibutuhkan tentu saja sangat bermakna, namun jika saja pemberian itu hanya untuk melonjakkan nama besar atau hanya ingin dipandang sebagai orang baik dimata orang lain, apalah artinya sebuah pemberian jika dibarengi kesombongan dan atau beragam sikap negative lainnya. Memiliki predikat terbaik dimata diri sendiri dan orang lain adalah sesuatu yang mampu mencitrakan diri kita dimasa sekarang dan juga esok hari, namun jika saja predikat itu justru berdampak negatif bagi perkembangan kesadaran jiwa kita dimasa mendatang.

Apalah arti semua itu jika tidak memberikan sesuatu yang lebih positif bagi pertumbuhan diri kita dimasa mendatang. Tentu saja hal serupa terjadi dalam kisah kehidupan lain disetiap harinya. Jadi sesungguhnya apa yang sebenarnya menjadi tolak ukur atas keberhasilan diri sendiri? “Ketulusan”. Benarkah demikian? Mari sejenak kita renungkan betapa berartinya sebuah ketulusan untuk melonjakkan nilai kebaikan, meningkatkan kadar keberhasilan, memberdayakan potensi kesadaran dan mempertemukan diri kita yang sesungguhnya pada pencapaian keberhasilan ditengah kehidupan.

Ketulusan dalam menerima kenyataan adalah tahapan yang pertama untuk kita bisa terus bertumbuh disetiap harinya. Betapa tidak, sampai saat ini kita telah mampu bertahan hidup sampai hari ini juga, semua itu tidak lain karena ketulusan dalam menerima ragam peristiwa yang telah menimpa hidup kita sampai saat sekarang ini. baik ataupun buruk, pahit ataupun manis telah kita lalui, dan sampai saat ini kita telah membuktikan bahwa ketulusan penerimaan membuat kita benar-benar belajar banyak atas apa yang sesungguhnya sudah terlewatkan. Ketulusan penerimaan telah membawa kita pada kehidupan sekarang. Diakui atau tidak, ketulusan penerimaan inilah yang sesungguhnya cara tuhan menitipkan proses sadar dalam diri kita untuk bisa mengaplikasikan potensi alamiah yang ada dalam diri kita masing-masing. Dengan sendirinya kita akan belajar dari ketulusan penerimaan itu sendiri. Namun mengapa kita melupakan begitu saja peroses panjang tersebut?

Barangkali layak untuk kita kaji tahapan-tahapan berikutnya agar kita tidak salah dalam memahami arti sebuah pencapaian yang selama ini telah kita torehkan diatas bentangan kehidupan. Betapa banyak orang yang telah mampu melewati segala macam aral dan rintangan yang membentang ditengah hidup ini namun nyatanya mereka melupkan begitu saja ragam peroses disetiap peristiwa untuk bisa belajar darinya. Tentu saja hal ini karena ketulusan pembelajaran telah kita lupakan. Ketulusan untuk terus menerpa diri dalam rasa keingin tahuan yang kuat akan benar-benar membentuk pencitraan ketulusan pembelajaran dalam diri setiap individu, entah itu saya, anda dan juga mereka atau siapapun juga.

Ketulusan pembelajaran telah menjadikan sebagian besar mereka yang telah berhasil menjadi seorang yang sangat peka terhadap perkembangan pun juga peka dalam mengambil sebuah keputusan yang lebih matang karena mereka mampu merekonstruksi pengalaman tersebut sehingga mereka tidak jatuh dalam lubang kehidupan yang sama atau lubang kegamangan yang itu-itu saja; keterhinaan. Bukankah kita seringkali jatuh dalam lubang kehidupan yang sama: Keterhinaan, merasa bersalah, menghakimi diri sendiri dan orang lain, dll? Semua itu terjadi berulang kali karena hilangnya “ketulusan pembelajaran” dalam diri kita. Ketulusan untuk terus belajar terhadap segala sesuatu yang baru agar kita tidak menjadi manusia yang dikenal dengan istilah; keterbelakangan. Apalah artinya kesuksesan yang ada digenggaman tangan kehidupan yang saat sekarang ini menjadi sahabat sejati kita disetiap harinya, namun entah mengapa peroses pencapaian kita lupakan begitu saja, seolah-olah kita tidak tahu mengapa kita berada diatas puncak kehidupan.

Jika demikian adanya, kita tidak lebih hitungannya dengan mereka yang mengharapkan sesuatu namun mereka tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah mereka terima. Layakkah kita menuturkan keberhasilan bagi kehidupan orang lain agar bisa termotifasi dalam hidupnya untuk mencapai tangga kehidupan yang lebih tinggi dibandingkan kehidupan kita sekarang. Tentu saja semua itu butuh peroses pencapaian, peroses berlangsung dalam hitungan waktu, adalah ketulusan penerimaan dan pemahaman akan mengantarkan kita memahami secara keseluruhan. Tulus dan Ikhlas disini tidaklah terbatas dalam rangkuman pengertian didalam kamus yang tertulis dalam bentuk sederhana, lebih dari itu, lebih layak kamus kehidupan inilah yang akan mengartikan betapa luas makna yang dikandungnya.

Ketulusan pemahaman juga akan mampu membentuk citra diri yang lemah lembut serta mampu meresapi kebenaran dari segenap penjuru kehidupan tanpa harus melihat dari siapa yang mengajarkannya. Mereka mampu merengkuhkan diri diatas tahta tertinggi kehidupan dalam pemahaman yang luas menjadikan kesuksesn mereka sangat berarti. Namun kita manusia kebanyakan belum sepenuhnya meniti diri untuk terus belajar menjadi manusia Tulus dan ikhlas, tulus dalam pemahaman. Betapa banyak kita mengukuhkan diri menjadi manusia yang memiliki keterbelakangan, namun kita tidak menyadarinya. Misalnya saja dalam bentuk realitas kehidupan setiap harinya, Buktinya, banyak guru yang acuh tak acuh atas kebenaran yang disampikan oleh peserta didik mereka yang usianya relative lebih muda dari mereka. Mereka menganggap apa yang disampaikan hanya sebatas semilir angin yang tak berarti apa-apa, bahkan terkadang kebenaran itu membuat kuping terasa panas adanya. Begitu juga dengan contoh lain dipojokan kehidupan lainnya.

Semua itu terjadi karena mereka masih menggunakan baju keguruan atau baju apapun jua yang berlabelkan ego. Berbeda halnya dengan guru kehidupan yang selalu dibungkus sikap “ketulusan pembelajaran”. Dari siapapun mereka menerima kebaikan, akan mereka terima seperti apa adanya tanpa penghakiman ego dalam diri, layak jika kesuksesan akan terus bertumbuh dan menjadikan mereka semakin berarti dimasa mendatang.
Tangga ketiga menuju kehidupan bermakna tertata dalam tangga ketulusan jalan takdir. Semua kita telah terlahir tanpa adanya campur tangan diri kita sendiri, tanpa harus menginginkan diri kita seperti apa, bahkan orang tua kita tidak pernah merancang kehidupan kita dimasa mendatang seperti apa nantinya. Bukankah kita telah terlahir dari tangan kreatif takdir tuhan, tentu saja semua kita adalah orang-orang sukses dalam hidup ini, semua kita duduk dalam bagian masing-asing, jika memandang kehidupan dalam kebermaknaan seperti ini, kita terlahir dalam ketulusan untuk mengalir ditengah aliran air kehidupan tanpa penghakiman yang berlebihan. Hanya saja kita berjalan dalam fitrah kemanusiaan yang melekat dalam diri; bekerja, berdoa, berusaha, dan beragam bentuk cara untuk tetap eksis ditengah hiruk-pikuk kehidupan ini.

Ketulusan takdir inilah yang telah membuat kita mampu memupuk kesuksesan lebih dari sekedar kesuksesan tanpa makna. Kita terlahir untuk memupuk kesyukuran dalam diri, menerima takdir tuhan tanpa penghakiman, tersenyum atas segenap perolehan. Inilah ketulusan dan keikhlasan yang menopang kesadaran untuk terus bertumbuh menjadi pencitraan diri yang agung disetiap harinya.







Senin, 18 Juni 2012

Andai saja Tuhan gak berbuat baik kepada kita, apa jadinya hidup ini yach???


Betapa baiknya Tuhan kepada kita, bukankah tuhan memberikan lebih banyak nikmat dari apa yang sebenarnya kita butuhkan. Namun kenapa kita masih saja merasa kurang cukup. Jangan-jangan kita sudah di jejali syndrome kekurangan chronic. Kalau bergini terus, kapan kita akan merasa berkecukupan dan membuka diri agar mau mensyukuri nikmat yang telah tuhan berikan ini?.

Memang banyak kekurangan yang kita miliki, namun bukan berarti kita tidak memiliki kelebihan sama sekali dalam hidup ini. Mungkin hanya sekedar perasaan kita saja yang merasa diri kurang. Padahal begitu melimpahnya nikmat yang telah tuhan anugrahkan kepada kita semua tapi tetap saja kita merasa ada yang kurang dalam diri ini. Entah sampai kapan kita akan terus bersembunyi di balik label “kekurangan” ini tanpa merasa cukup untuk terdorong hasrat dari dalam hati mensyukuri segala karunia yang telah Tuhan berikan secara Cuma-Cuma.

Di zaman ini, siapa sich yang bakal menolak jika di berikan sesuatu secara Cuma-Cuma alias gratis.. wah, kalau hidup gratisan terus, enak banget tuch!!!. Tapi apakah iya kita akan terus menadahkan tangan ke atas, mengharapkan uluran tangan dari orang lain padahal kita sendiri memiliki kemampuan, kekuatan dan potensi luar biasa untuk membuat hidup kita jauh lebih baik. Mungkin saat ini kita kurang percaya diri kepada kemampuan yang kita miliki hingga kita lebih sering melihat ketidak mampuan kita di bandingkan potensi-potensi luar biasa yang sebenarnya ada dan barangkali saat ini potensi luar biasa tersebut sedang tidur lelap di dalam jiwa kita masing-masing.

Andai saja tuhan mengambil kembali, atau dengan bahasa kasarnya  mencabut salah satu nikmat yang telah di berikannya kepada kita, mungkin kita akan merasakan ada sesuatu yang kurang atau tidak beres dengan hidup kita sendiri. Kebanyakan manusia akan lebih mengerti arti sesuatu atas apa-apa yang dimiliki saat setelah kepemilikan itu tidak lagi ada di genggaman tangan kehidupannya. Entah mengapa kita selalu begitu, padahal tuhan telah memberikan segala sesuatu yang terbaik kepada kita sebagai hamba-hamba-Nya yang selalu di kasihinya.

Hanya saja kita jarang sekali mencintai diri kita sendiri sehingga kita melupakan naluri alamiah kita untuk mensyukuri apa yang kita miliki. Jangan-jangan merasa diri kurang telah menjadi suatu yang membuat kita terlena atau barangkali sifat demikian sudah menjadi habituatif (menjadi suatu; kebiasaan) kita sehari-harinya? Cukup di jawab dalam hati saja dech! Upppps, ntar ketahuan sama orang lain. Khan gak enak banget tuch kalau ada yang tahu. Heeemmm…

Kita seringkali tidak menyadari ketika mengatakan pada diri sendiri, saya kurang mumpuni melakukan hal seperti itu, jadi mana bisa saya melakukannya sebagaimana yang anda inginkan? Atau mungkin juga mengatakan demikian; saya memiliki banyak sekali kekurangan di bandingkan orang lain hingga saya sendiri tidak tahu hidup saya akan menjadi seperti apa?.

Jika masih ada ungkapan seperti itu menggaung keras dan selalu saja menghantui jiwa, kapan lagi kita akan berani menampilkan diri dengan gagah berani dan berucap demikian; “bahwa tuhan telah memberikan karunia lebih atas hidup saya saat sekarang ini dan sampai kapanpun itu dan akan selalu mensyukuri karunia tuhan ini.” Tuhan tidak pernah mempersempit kehidupan kita, namun justru kita sendirilah yang telah mempersempit ruang hidup kita sendiri.

Kita telah membuat jeruji besi bagi kehidupan kita sendiri, dan kitalah jualah yang bakal menikmati keterasingan ini. Saya teringat dengan kisah beberapa tahun yang lalu, mengingatkan kembali cerita seorang sahabat yang sedang menjalani masa tahanan di salah satu Rumah Tahanan Negeri (RUTAN) di Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Salah seorang klien yang saya anggap sudah menjadi sahabat, dia telah mau berbagi banyak dengan saya tentang kehidupannya, mengapa dia harus terkukung di balik jeruji besi.

Sahabat tersebut bercerita banyak tentang mengapa ia sampai menikmati sisa hidupnya di balik jeruji besi yang sangat tidak mengenakkan itu, ternyata semua itu tidak lain karena factor kesalahan diri yang sebenarnya ia sadari sepenuhnya bahwasanya perbuatan tersebut melanggar hukum (kasusnya gak boleh di pampang, rahasia lho, yang jelas pelanggaran hokum, cukup yach!). Namun apa mau di kata, ia kini harus menjalani sisa masa tahanannya sebagai akibat dari apa yang ia lakukan. Ia sadari sepenuhnya akan arti sebuah kebebasan hidup di saat ia telah mendekam di ruangan yangat sempit, di balik jeruji besi itulah ia kini harus berjuang untuk bisa menikmati kebebasan itu lagi.

Saatnyalah mengubah cara pandang kita akan arti hidup dan kehidupan sendiri, jangan sampai kita seperti sahabat tadi yang baru menyadari arti penting kebebasan hidupnya setelah mendekam di balik sel tahanan. Jangan-jangan kita seperti itu, terkurung dalam kehidupan sendiri karena ketidak bahagiaan akan karunia tuhan yang melimpah ini. merasa diri kurang di saat karunia nikmat itu ada di depan mata dan kita menyaksikannya sendiri secara langsung dengat mata telanjang (sorry dech kalau  pakai bahasa yang sedikit kurang enak di dengar, peace ^_^).

Andai saja kita meyakinkan diri dengan sepenuh hati bahwasanya kita benar-benar berani untuk melawati aral kehidupan ini, barangkali kita sudah sejak dahulu menjadi seorang mahapatih yang sangat di banggakan oleh kehidupan ini, tidak ada salahnya memulai saat sekarang ini sebelum semuanya terlambat, syukurilah apa yang kita miliki ini sebagai suatu persembahan terindah yang pernah di berikan oleh sang pencipta, dan yakinlah bahwa pemeberian itu adalah limited edition yang tidak di berikan kepada orang lain karena kita adalah manusia terpilih, percayalah pada diri sendiri bahwa kita mampu untuk mengurai atmosfir kehidupan ini menjadi indah.

Kita memiliki dua tangan untuk dapat menggenggam erat kehidupan ini supaya tidak pegi meninggalkan kita sendiri di sini, di tempat inilah banyak orang terlihat bebas namun pada hakikatnya hidup di belakang sel tahanan kehidupan, apakah kita menginginkah kehidupan yang demikian?. (sorry dech kalau bertanya terus, nggak enak kalau di bilang cerewet. hihi)

Tidak ada gunanya bertutur pada oang lain dan lebih-lebih kepada kehidupan akan segala macam kekurangan yang kita miliki, sungguh kita tidak akan pernah percaya diri sendiri jikalau hanya berlutut pada label “kekurangan” yang barangkali masih tertempel di wajah hati kita masing-masing.

Saatnya membuka label “kekurangan” tersebut dan menggantikannya dengan label “kelebihan dan kesyukuran” sehingga kita tidak lagi di stigmakan sebagai seorang pecundang kehidupan. Kapan lagi kita akan berani mencabutnya jika tidak memberanikan diri saat ini juga. Sungguh kendali kehidupan ini berada di tangan kita. Bukankah tuhan telah menunjuk makhluk yang luar biasa untuk menggantikannya di muka bumi ini sebagai seorang khalifah. Tahukah anda siapa makhluk yang luar biasa tersebut yang telah di tunjuk tuhan? Dialah manusia, dan manusia yang telah di tunjuk itu adalah tidak lain diri anda sendiri. Maka berbahagialah atas karunia ini. tuhan tidak salah orang dalam memberikan amanat yang sangat luar biasa ini.

Berkeyakinan bahwasanya kita pantas untuk menjadikan hidup kita lebih baik adalah perlambang kesyukuran yang tinggi. Mau untuk mengakui potensi luar biasa di dalam diri serta memupuk rasa syukur atas anugrah Sang Pencipta akan dapat menghadirkan rasa rendah hati dan akan mampu membebaskan kehidupan kita masing-masing dari segala macam bentuk kemelaratan yang suatu saat akan menggerogoti hidup kita secara perlahan namun pasti hingga pada akhirnya kita menjadi sosok seorang manusia yang sangat rapuh.

Bukankah dengan sikap kerendahan hati pula kita telah menjadi seorang manusia yang mau bertutur sejujurnya bahwa tuhan telah memberikan segala macam karunia tak terbatas atas kehidupan kita. Kehormatan kita akan semakin tinggi jika kita mengakui kekurangan yang ada di dalam diri ini dan mensyukuri kelebihan yang kita miliki. Suatu kearifan di dalam hidup ini karena kita telah saling melengkapi akan kurang kita pada kelabihan yang di miliki oleh orang lain, karena sejujurnya kita telah di ciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Inilah makna kesyukuran akan kekurangan dan kesyukuran atas karunia kelebihan yang tuhan berikan.

Rabu, 13 Juni 2012

Menjadi Orang yang selalu mendapat keberuntungan. Why Not!!!


Menjadi orang beruntung adalah cita-cita setiap orang yang mengisi planet biru ini; Bumi. keberuntungan adalah impian setiap orang agar hidupnya bisa tenang, nyaman dan tenteram, penuh dengan kedamaian untuk menerima kenyataan ditengah kehidupan ini. Namun ternyata dalam kenyataannya berbicara lain, seolah-olah tidak semua orang diciptakan memiliki keberuntungan dalam hidupnya, seolah-olah tuhan tidak adil dalam persepsi sebagian besar orang yang telah salah menilai makna sebuah keberuntungan. Mengapa demikian? Terus terang saja, keberuntungan manusia zaman sekarang lebih identik dengan kepemilikan sesuatu yang terlihat tampak oleh panca indera. Jika memiliki mobil mewah maka orang tersebut telah menilai hidupnya dalam keberuntungan. Memiliki rumah mewah dan megah juga demikian. Seakan-akan kita membenarkan bahwa mobil mewah ditambah rumah megah adalah suatu keberuntungan yang layak disyukuri. Dan ironinya, mereka yang memiliki rumah sederhana apa adanya dinilai tidak memiliki keberuntungan dalam hidupnya. Benarkah demikian?
SALAH. Jika saja menilai demikian, Saya, Anda dan juga mereka telah salah menilai. Jika anda membeberkan sedikit fakta tentang mereka yang hidupnya beruntung. Keberuntungan hidup seseorang tidaklah terletak pada sejumlah kepemilikiannya terhadap sesuatu yang terlihat tampak kasat mata saja, entah itu mobil mewah, rumah megah, tabungan melimpah. Dalam kenyataannya, banyak sekali mereka yang memiliki kekayaan melimpah namun mereka merasa hidupnya jauh dari keberuntungan. Dan tidak sedikit orang yang hidupnya sederhana ala apa adanya merasakan keberuntungan yang luar biasa dalam hidupnya dan semua itu layak untuk disyukuri. Persoalannya adalah tidak pada kepemilikan materi saja, sesungguhnya essensi dari sebuah keberuntungan adalah bagaimana kita bisa menerima segala sesuatu yang telah tuhan anugrahkan dalam kehidupan. Jika boleh membeberkan satu rumus kehidupan, Keberuntungan itu sama dengan Penerimaan + Kesyukuran. Hasilnya adalah kebahagiaan.
Tidak ada gunanya memiliki Rumah megah, mobil mewah dan harta melimpah namun dalam kenyataannya kita tidak pernah bisa merasakan ketenteraman, kenyamanan sekaligus kedamaian, lebih-lebih kebahagiaan. Jika saja tidur membutuhkan konsumsi sejumlah pil tidur setiap harinya, perasaan curiga terhadap setiap orang baru yang datang ingin berjumpa, ketidak harmonisan dalam ikatan rumah tangga, apalah artinya sebuah kekayaan yang melimpah. Keberuntungan tidak menawarkan hidup demikian. Menerima karunia kehidupan adalah anugrah, mensyukurinya adalah jalan untuk bisa membentuk pencitraan diri agar bisa merasakan hidup bahagia. Itulah sejatinya keberuntungan yang tidak tampak dalam tumpukan materi yang melimpah. Pada intinya, keberuntungan itu terletak pada penerimaan hati dengan tulus apa yang telah menjadi milik kita lantas memupuk pikiran dan perasaan dalam zona kesyukuran agar tidak melangkah dalam jurang kegamangan.
Bagi sebagian orang yang hidupnya sudah tercerahkan, apapun yang mereka terima adalah sebuah anugrah, pertanda hidup mereka dipenuhi keberuntungan. Sakit pun juga demikian, mereka tidak serta merta menyanyikan lagu kekisruhan saat tuhan memberikan mereka cobaan dalam hidup; sakit misalnya. Coba saja kita bercermin dari orang tua yang telah menuntun hidupnya dalam kebijaksanaan. Sakit, bagi mereka adalah keberuntungan. Karena bagi mereka sakit adalah kesempatan untuk menghapus segala dosa yang pernah ada, pun juga untuk menambah kedekatan kepada Sang Pencipta. Jadi layak untuk disyukuri, bahwasanya hidup ini penuh keberuntungan.
Berbeda halnya dengan mereka yang lebih sering menyanyikan lagi kekisruhan dalam kehidupan mereka setiap harinya. Dapat gaji berlimpah dirasakan tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka setiap harinya. Memiliki istri cantik tidak cukup untuk menemani kehidupan mereka, lantas apalagi yang mereka inginkan. Perdebatan dalam diri untuk terus menumpuk segala sesuatu yang diinginkan adalah sifat dasar setiap manusia, namun memenuhi segala keinginannya adalah kehendak ego yang layak untuk dikenali lantas dipahami agar hidup tidak terjerumus dalam keterhinaan. Boleh saja memiliki harta karena dengan harta itulah kita bisa menunjang keperluan hidup sehari-hari, memiliki istri cantik layak untuk disyukuri karena itu ada yang bisa menemani kehidupan kita setiap hari. Inilah keberuntungan yang patut dan layak untuk disyukuri.
Dengan cara pandang seperti inilah kita bisa menikmati hidup dalam keberuntungan yang tidak akan pernah lapuk ataupun usang. Tidak ada lagi penghakiman kepada Tuhan bahwasanya tidak semua orang mengalami keberuntungan dalam hidupnya. Jika pikiran dan perasaan kita telah memupuk diri dalam kecukupan, pola hidup sederhana ala apa adanya, maka sepenuhnya kita telah menjadi orang-orang yang beruntung dalam hidup. Jika saja memiliki rumah mewah sekaligus megah maka semua itu layak untuk kita syukuri karena dengan cara itulah tuhan telah memberikan lebih atas hidup ini.
Makna tertinggi sebuah keberuntungan terletak dalam penerimaan terhadap sesuatu yang tuhan anugrahkan bahwa ada satu keyakinan dalam diri, apapun yang menjadi milik kita adalah sesuatu yang teramat tinggi nilainya karena sesungguhnya tuhan telah memberikan sesuatu yang orang lain tidak miliki, tuhan memberikan yang layak untuk hidup ini, pun juga tuhan telah memberikan yang terbaik, namun sepenuhnya belum kita mengerti arti kehidupan dibalik rahasia kehidupan ini. Hanya dengan pemahaman mendalam kita akan bisa memaknai segala rahasia kehidupan yang telah tuhan titipkan diatas bentangan kehidupan yang sangat luas ini.

Selasa, 12 Juni 2012

WooOoooIiiiiii, Jangan Minder donk...!!!


Betapa seringnya kita merasa tidak mampu melakukan sesuatu padahal kita mampu melakukannya, betapa seringnya kita merasa diri tidak pantas untuk mendapatkan sesuatu yang seyogyanya pantas untuk kita miliki. Kita beranggapan bahwa diri kita hanyalah seorang pecundang yang hanya bisa menikmati hidup dalam keterpurukan. Jika perasaan dan pikiran seperti itu muncul suatu ketika orang lain mengomentari kekurangan kita lantas kita menilai diri kita buruk, maka semestinya musuh yang sebenarnya bukanlah orang yang sedang mengkritik atau mencoba menjatuhkan reputasi kita dimata orang lain, musuh terdekat itu tidak lain adalah diri kita sendiri.

Seberapa pun kuatnya suatu keritikan pedas dari orang lain yang memang sengaja dilontarkan untuk diri kita, tidak akan ada pengaruhnya terhadap jatuhnya mental dalam diri jika kita benar-benar menyadari diri kita sepenuhnya seperti apa adanya tanpa suatu penyangkalan dan penghakiman terhadap diri sendiri berupa buruk sangka ataupun pikiran negative lainnya. Inilah bedanya mentalitas seorang pemenang dengan mentalitas seorang pecundang. Orang yang berjiwa pemenang akan mengharagai dirinya terlebih dahulu, sehingga apapun yang orang lain katakan akan mampu membentuk pencitraan dirinya lebih kuat dari hari ke hari tanpa harus membuatnya jatuh lumpuh tak berdaya.

Berbeda halnya dengan mentalitas seorang pecundang, baru saja mendapat kritikan dari orang lain, jiwanya mulai rapuh. Beragam penyangkalan bermunculan dalam benaknya hingga membuatnya tak mampu lagi berdiri; menilai dirinya hina dan tak akan pernah mampu lagi berdiri untuk menumbangkan segala aral yang melintang didepan sana. Beribu-ribu alasan bahkan berjuta-juta alasan yang muncul mengapa ia tidak pantas lagi berdiri karena kritikan orang lain. Sepenuhnya semua itu muncul dari perasangka buruk terhadap diri kita sendiri. Bukankah perasangka buruk berdampak besar terhadap bagaimana Saya, Anda, dan juga mereka menjalani hidup ini? semua orang tahu itu, namun tidak semua orang memahami dengan sepenuh hati mengapa mereka hidup dalam pola seperti itu.

Barangkali tepat untuk kita renungkan, kita memiliki keterbatsan. Namun bukan berarti keterbatasan itu melumpukan hidup kita dimasa mendatang. Dengan keterbatasan itulah kita bisa memahami diri kita yang sesungguhnya. Jika saja ada orang yang mengkritik kekurangan kita. Why not, kita terima apa adanya lantas tidak menghakimi diri sendiri dalam keterpurukan dan keterhinaan. Tuhan memang sengaja menitipkan kekurangan dalam diri kita agar kita bisa belajar kesempurnaan ditengah kehidupan ini. disamping itu pula, bukankah tuhan telah menanamkan potensi luar biasa didalam diri kita masing-masing sebagai suatu kelebihan yang layak untuk disyukuri? Benar sahabat. Kita tidak semestinya jatuh dalam kesedihan jika suatu waktu ada orang yang mengkritik secara pedas didepan mata kepala. Yang perlu dibangun adalah keyakinan dalam diri serta menanggalkan prasangka buruk terhadap orang lain, lebih-lebih berperasangka buruk terhadap diri sendiri.

Intinya adalah bagaimana cara kita mengendalikan diri disaat kritikan pedas disampaikan orang lain terhadap diri kita. Seberapapun kuat musuh dari luar sana untuk menumbangkan diri kita, tidak akan pernah ada artinya jika kekuatan besar telah terbangun dalam diri. Semua itu akan mampu kita raih dengan cara menggali diri kita terlebih dahulu, menanggalkan ke-egoan dan melihat potensi yang kita miliki yang telah tuhan karuniakan. Dengan demikian kita telah mampu membentuk pencitraan diri dengan lebih baik. Wajar saja jika banyak tetua bijaksana berpesan demikian; “Cara terbaik untuk dihargai oleh orang lain adalah menghargai diri sendiri.”

Jangan pernah menghakimi diri anda sebagai seorang pecundang. Mungkin saja kali ini pernah terlintas pikiran seperti itu ataupun pernah terjadi dalam kehidupan masa lalu kita. Namun untuk hari esok jangan pernah terulang kembali untuk kesekian kalinya. Karena penghakiman seperti itu tidak pernah memberikan sesuatu yang berarti dalam hidup, kecuali perasaan bersalah yang tak pernah berujung atau penggerusan mentalitas dalam diri hingga menyisakan kelumpuhan berbalutkan keterhinaan. Ada baiknya untuk terus menumbuhkan pikiran dan perasaan positif terhadap diri serta mencoba menanggalkan perasangka buruk yang selama ini begitu suburnya didalam hidup kita setiap harinya. Memang sulit untuk kita lakukan, tapi bukan berarti tidak mungkin bisa terjadi.

Inilah seni menjalani hidup, semuanya butuh usaha, semua terjadi dalam serangkaian peroses. Dan suatu saat nanti semua itu akan menjadi sahabat kehidupan yang selalu menyatu dalam genggaman kepemilikan ditangan kehidupan, cukupkanlah diri kita saat ini dengan suatu keyakinan bahwa tuhan akan benar-benar memudahkan jalan pada setiap pencapaian atas segala impian yang tertorehkan dalam lembaran jiwa.

Senin, 11 Juni 2012

Petuh Bijak Sang Guru-Membuka kemelut topeng-topeng kehidupan


Mentari pagi baru saja menengadah ke atas tiang angkasa di ufuk timur sana, mega kuning masih terlihat menghiasi warna langit-langit bumi, sinar mentari belum sepenuhnya terpancarkan sempurna, namun suasana gelap sudah menyingsing ke tempat peraduannya. Suasana pagi terasa dingin, apalagi embun yang masih bersemai bersama dedaunan masih menguncupkan diri di setiap pucuk dedaunan hijau, lebih-lebih di atas padang rumput yang terhampar luas, masih terlihat anggun bersama selimut beningnya embun, begitulah sejatinya suasana yang Nampak di setiap paginya, seolah-olah alam tidak bosan-bosannya mengajarkan kita makna kesetiaan di balik kebersamaan dan jalinan kasih sayang.

Suasana layar kehidupan masih terlihat sepi, tidak banyak aktifitas manusia yang terlihat kontras. Hanya saja sebagian masyarakat di pedesaan sudah terlihat meninggalkan rumah-rumah mereka untuk beraktifitas di tengah sawah dan ladang mereka masing-masing untuk bercocok tanam. Begitulah suasana yang Nampak jelas di tengah masyarakat pedesaan, berbeda halnya dengan masyarakat yang hidup dan tinggal di daerah perkotaan yang umumnya mereka bekerja di kantoran, menempatkan diri pada skat-skat yang mereka buat sendiri, seolah-olah gambaran kehidupan mereka lebih mengutamakan otoritas diri dan menomor duakan rasa persaudaraan dan kebersamaan. Sangat terlihat begitu kontras pola kehidupan itu, dalam perbedaannya itu akan memunculkan pola yang berbeda pula dalam mensintesakan kehidupan pada proporsi cara berfikir dan bertindak di dalam kehidupan mereka masing-masing.

Di pagi itu pula, di tengah padepokan yang jaraknya tidak jauh dari pemukiman penduduk, di sana terlihat seorang guru mengajarkan murid-muridnya tentang dasar-dasar kasih sayang tanpa harus menggunakan topeng-topeng kehidupan. Dengan seksama, murid-murid mendengarkan segala uraian yang di sampaikan oleh guru mereka.

Guru tersebut menguraikan beberapa hal yang harus di pahami oleh setiap orang yang mendambakan kehidupan yang lebih baik, dalam urainnya Sang Guru yang terkenal dengan ke arifan dan kebijaksanaan itu menjelaskan arti cinta kasih terhadap kehidupan tanpa harus mencintai dengan menggunakan wajah bertopeng. "sungguh kehidupan kita tidak akan pernah menuai kebijaksanaan dan kedamaian sebagaimana mestinya-di mana pencapaian itu sesuai dengan apa yang kita inginkan yaitu menemukan sejatinya kehidupan ini." Tiga orang muridnya tertegun mendengarkan uraian-uraian hikmah yang di tuturkan oleh Sang Guru Bijak.

Setelah beberapa saat kemudian, salah satu di antara murid yang paling muda, sebut saja namanya Amna mencoba bertanya tentang pri-hal kehidupan bertopeng, dengan suara lantang penuh semangat ia bertanya. "Guru, Apakah selama ini kehidupan kami yang tetap bertahan dalam wajah keterpurukan adalah merupakan manifestasi dari topeng-topeng yang kami buat sendiri untuk menutupi wajah kehidupan yang sebenarnya?".

Dengan wajah berseri-seri Sang Guru bijak Pun tersenyum mendengarkan pertanyaan yang di ajukan untuknya, dengan wajah mantap Sang guru bijak menjawab. "Iya, Sungguh benar demikian adanya wahai murid-muridKu. Selama ini kita seringkali tidak menyadari bahwasanya kita selalu menutup diri dari jalan kebahagiaan. Sungguh kita tidak pernah akan bisa melihat wajah-wajah kita sendiri secara nyata di depan cermin kehidupan ini jika kita sendiri masih mengenakan topeng.

Kita tidak akan mungkin bisa mengenal kekurangan dan kelebihan kita sendiri. Pada hakikatnya tidak ada kesempurnaan dalam diri setiap manusia ini, mereka adalah makhluk yang lemah dan tak berdaya, mengenali dan mengakui kekurangan diri sendiri bukanlah suatu kebodohan, namun pengakuan itu adalah cara tuhan untuk membimbing kita pada sikap keterbukaan. Jika sudah sikap keterbukaan itu menjadi bagian dalam hidup kita, tidak mungkin tidak kebahagiaan akan menjadi milik Kita."

Mendengar uraian-uraian bijak dari sang guru, semua murid tertegun seraya merenungkan setiap kata-kata yang terucap. Tidak beberapa saat kemudian, murid yang paling muda di antara murid-murid lainnya mencoba bertanya, walaupun masih terlihat muda, ia begitu bersemangat dalam menimba pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak dimilikinya, sebut saja namanya Umary, Dengan sikap antusias ia bertanya kepada sang guru. "Guru, jika memang topeng-topeng kehidupan ini masih melekat dalam diri setiap manusia, termasuk dalam diri kami, adakah cara atau metode yang bisa di gunakan untuk membuka topeng tersebut? Bukankah semua kita mendambakan kehidupan yang penuh dengan aroma kebahagiaan?."

"Wahai murid-muridKu! Tuhan tidak akan melepaskan kita begitu saja, Dialah Yang Maha bijaksana selalu menuntun kita pada jalan kebenaran, melalui pengetahuan yang luas dari akal yang cerdas akan dapat membuka segala rantai-rantai kehidupan yang selama ini mengekang jalan kita dalam upaya menemuka sejatinya kehidupan. Meresapi setiap pristiwa dan atau kejadian di alam semesta, membuka diri pada pelajaran hikmah yang telah di bentangkan di segenap layar semesta ini akan mampu membuka wawasan dan menambah pengetahuan.

Oleh karena itu, sikap keterbukaan, berani mengakui kesalahan, memiliki kemauan yang kuat untuk selalu belajar dari kehidupan, menghargai kehidupan ini dengan sikap welas asih, dan bertanggung jawab atas segala perilaku yang telah kita munculkan di tengah kehidupan akan dapat membuka topeng-topeng yang menutupi wajah kehidupan ini. Jika sudah demikian, kebahagiaan layaknya pendamping hidup yang tidak akan pernah lekang oleh waktu atau apapun itu, termasuk kemelakan diri yang tak pernah berakhir."

"Wahai murid-MuridKu, Jauhkanlah oleh kalian sikap-sikap kesombongan yang masih menempel di dalam hati. Sungguh kesombongan itu adalah pangkal kemelekatan pada kehinaan dan kesengsaraan, ketidak jujuran pada rangkaian peroses yang terjadi di setiap jengkal dalam kehidupan adalah ujung dari kesombongan itu sendiri yang masih bersemayam di dalam diri. Kesombongan itu tidak hanya menjauhkan jiwa dari jalan kebahagiaan, namun juga kesombongan akan membuat hati berkarat. Ibaratnya besi yang tidak menginginkan di tempali oleh api (Ujian-Ujian Hidup), merasa diri sudah memiliki kelayakan-kelayakan dalam hidup, sungguh mereka yang demikian itu tidak akan pernah mampu membuka topeng-topeng kesengsaraan yang dapat menjadikan hidup mereka terkekang untuk selama-lamanya. Hindarilah olehMu sifat yang demikian itu wahai murid-muridku jika kalian mengharapkan kasih tuhan di segenap kehidupan." Begitulah uraisan Nasihat sang guru saat sebelum mengakhiri pertemuan mereka pada pagi itu.

"Terima kasih atas segala budi baik Guru, Kami akan selalu mengingat dan mencoba mengaplikasikan/ mengamalkan segala petuah dan nasihat guru yang sungguh-sungguh sangat berharga bagi kehidupan kami di masa kini dan mendatang. Mudah-mudahan kami kelak dapat membuka diri pada sejatinya kehidupan serta mencoba untuk mengikis habis sifat-sifat kesombongan yang masih bersemayam di dalam hati kami.

Doakanlah kami guru, semoga tuhan menuntun jalan kami pada jalan kebijaksanaan sebagaimana kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup yang melekat pada guru yang semua itu tidak lain adalah anugrah dari Allah. Terima kasih banyak Guru sekali lagi terima kasih." Ucap sang murid sambil undur diri dan memberi hormat di hadapan Gurunya yang Arif dan bijaksana.

Sang guru memandang murid-muridnya pergi meninggalkan tempat persemaian ilmu sampai mereka tak tampak lagi bayangannya. Ia tersenyum puas melihat kemajuan yang Nampak di wajah kehidupan murid-muridnya untuk menemukan jalan kebijaksanaan. Kini Tidak terasa mentari sudah menaiki tangga cakrawala, pagi sudah terasa hangat, embun-embun di atas pucuk dedaunan sudah mulai mencair dan mengilhami kehidupan pada makna keteduhan. Tunas-tunas baru kehidupan ini sudah mulai bertumbuh mengisi tanah kebijaksanaan, kehadirannya sangat din nanti-nantikan di masa mendatang untuk menggantikan pohon induknya. Begitulah siklus kehidupan terjadi, mereka selalu mengajarkan kita keseimbangan hidup untuk dapat menemukan kebahagiaan sebagai anugrah Kasih Tuhan.

Berbekal potensi luar biasa menjadikan kita sebagai manusia profesional dalam menghargai hidup. ^_^


Kadang kita bertanya-tanya, apa sebenarnya kelebihan yang kita miliki? Adalah tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut di atas. Namun jika di tanyakan demikian; “apa saja kekurangan yang engkau miliki?” kita akan menjawabnya langsung tanpa perlu menguras pikiran terlebih dahulu, sungguh amat gampang, bukan?. Gue punya kekurangan ini dan itu, entah itu kurang pintar, kurang ganteng, kurang seksi, kurang putih, kurang ng-trend, dan masih banyak lagi kekurangan lainnya yang belum terlampirkan sebagai jawaban atas sejumlah kekurangan yang kita rasakan benar-benar ada dalam hidup kita, syukur-lah kita tidak termasuk dalam kategori kurang ajar.

Konotasinya negatif banget tuch, jadi gak ada yang kepengen di bilang kurang ajar, bukan? Barangkali menjawab pertanyaan pertama terlihat lebih sulit di bandingkan menjawab pertanyaan yang kedua. Padahal jika kita merenungkannya lebih mendalam, Tuhan telah menciptakan diri kita beserta atribut potensi diri yang ada di dalam diri kita masing-masing.

Walau demikian, pertanyaan pertama menjadi teka-teki dalam kehidupan kita, jujur saja, terasa sulit untuk menjawabnya secara tegas dan lugas dengan suara yang lantang. Seiring pertumbuhan usia yang semakin hari semakin bertambah, kita merasa lebih mudah mengatakan kekurangan kita pada orang lain atau entah itu kepada diri kita sendiri.

Terlebih lagi kekurangan itu terlihat sangat kontras sekali jika kita membandingkan diri dengan orang lain yang lebih mumpuni kehidupannya di bandingkan diri kita yang kita rasakan pas-pasan atau bahkan merasa banyak kurangnya, sehingga tidak jarang hal tersebut membuat kita semakin frustasi melihat realitas kehidupan ini. Padahal kalau kita sadari, bahwasanya tuhan telah menanamkan potensi yang sangat luar biasa di dalam diri kita, namun kita tidak pernah menyadarinya karena terlalu sering melihat diri dari cermin kekurangan yang membuat hidup terpojokkan, termarjinalkan menjadi sosok individu yang selalu ketakutan melihat hidup dan kehidupan diri sendiri yang terpuruk.

Coba tanyakan dan tegaskan pertanyaan sekaligus penyataan beriku; Bukankah Tuhan selalu memberikan kita kelebihan masing-masing yang berbeda satu sama lainnya?

Tidak jarang diantara kita membandingkan diri dengan orang lain tanpa terlebih dahulu melihat kedalam diri masing-masing. Artinya melihat diri sendiri seutuhnya, bercermin dari potensi yang ada akan membuat kita lebih percaya diri akan potensi alamiah yang kita miliki. Kita tidak pernah tahu kelebihan apa yang sebenarnya ada di dalam diri kita masing-masing tanpa mencoba mengasahnya di dalam kehidupan ini, sayangnya talenta luar biasa yang ada terabaikan begitu saja.

Boleh saja kita melihat sisi kurangnya dalam hidup yang melekat bersama kehidupan pribadi kita masing-masing, namun jangan sampai membuat hal demikian itu menghambat pertumbuhan jiwa. seharusnya bertambahnya hari menjadikan kita lebih tahu diri arti kehidupan kita di muka bumi ini, menyelami samudra kehidupan di kedalam yang jauh di sana tentulah menghadirkan kesadaran yang luar biasa.

Tidak ada yang sempurna, namun dengan cara merefleksikan kesadaran diri akan kesempurnaan Yang Maha Sempurna akan menganugrahkan kepercayaan diri yang amat luar biasa untuk mengasah talenta-talenta luar biasa yang selama ini tertidur lelap di atas pembaringan kehidupan yang sangat empuk ini. Waah, kalau empuk, tidur lagi ahhhh.... jadi teringat lagunya embah surip dech.... hehehe nyanyi bareng yuuks “bangun tidur, tidur lagi, banguuuun, tidur lagi.... hahahaha.” Cocok juga lagunya yach.
Berbicara banyak mengenai topik “kekurangan”, saya tahu persis about my self, Saya sangat tahu betul kekurangan saya di bidang matematis, sehingga seringkali nilai ujian saya di bidang matematika atau hal-hal yang berbau matematis seringkali pas-pasan saja. Syukur banget yach gak di bidang mistis, pastinya serem banget tuch. Tapi kalau menghitung uang, insyaallah saya masih bisa ngatasi, Hehehe.

Terus terang saja, kemampuan menghitung saya sangat rendah sekali di bandingkan dengan teman-teman lainnya yang kebanyakan lebih ahli dalam bidang matematis, namun kekurangan itu tidak sampai membuat saya harus menutup jurnal kehidupan saya saat sekarang ini, karena tidak wajar kalau harus mati gantung diri karena tidak bisa menghitung. Iiihh serem banget yach, mati gantung diri, bisa gentayangan donk. Nggak banget dech. Mari kita teriakkan selogan; “NO GANTUNG DIRI, NO BUNUH DIRI.” Kita semestinya sadar akan kelebihan kita di bidang lainnya, dan kita akan memahami betul potensi yang ada di dalam diri ini jika kita terus menerus mengasahnya dengan suatu usaha yang maksimal dan sikap rill/ realistis yang bisa di pertanggung jawabkan.

Apakah kelebihan itu memang ada pada diri kita? Iya, memang ada! Sungguh kita memang mempunyai potensi luar biasa yang tidak di miliki oleh orang lain, boleh saja identik satu sama lain namun padadasarnya memiliki karaktristik yang berbeda-beda. Kita pada dasarnya individu yang unik dan tercipta memiliki kelebihan luar biasa. Tidak salah kalau misalnya ada orang yang mengatakan kita terlihat unik, karena pada dasarnya kita benar-benar individu yang unik.

Berbekal potensi luar biasa di dalam diri yang berbeda satu sama lain, menjadikan kita sebagai manusia profesional dalam menghargai hidup. Kalau boleh meminjam istilah prekonomian ala nenek moyang, barangkali tepat jika kita meminjam istilah barter, mengadakan barter atas potensi diri orang lain yang tidak kita miliki untuk kita saling mengisi satu sama lain.

Kita percaya bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun sangat di sayangkan jika hanya terfokus pada kekurangan yang kita miliki saja. Tidak ada gunanya menutup diri dengan beragam alasan yang sebenarnya tidak perlu di kemukakan, yaitu alasan akan segala macam dan bentuk kekurangan yang kita miliki, toh juga orang lain tidak akan menaruh rasa belas kasihan jika kita menyertakan beragam alasan kekurangan yang kita miliki secara berlebihan.

Apakah terus-terusan kita akan bertopeng “kekurangan”? Sampai kapan kita akan melepaskan topeng tersebut dari wajah kehidupan ini yang sangat mengharapkan kehadiran sosok seorang pemberani? Hanyalah kesia-siaan yang akan kita dapatkan bagi kehidupan diri sendiri jika tetap bertahan pada kemanisan topeng kekurangan.

Sungguh berbeda dengan mereka yang meyakini diri sepenuh hati, percaya terhadap potensi yang mereka miliki karena memang mereka di lahirkan di muka bumi ini menjadi seorang yang mampu mengasah anugrah sang pencipta berupa pemeberian potensi ataupun suatu kelebihan yang tidak di miliki oleh orang lain, dalam keyakinan mereka; bahwasanya mereka di ciptakan untuk menjadi seorang yang tangguh sekaligus pemberani untuk menaklukkan segala aral dan rintangan di tengah kehidupan ini, percaya diri bukan berarti kesombongan akan kelebihan yang ada, justru percaya terhadap kelebihan yang ada merupakan suatu bentuk kesyukuran yang tinggi akan karunia Tuhan yang di tempatkan di dalam diri kita masing-masing.

Apakah untuk menjadi diri sendiri di butuhkan postur tubuh yang tinggi? Atau juga mungkin suatu keharusan untuk memiliki tubuh yang langsing? Sesungguhnya kita di nilai oleh orang lain dari kacamata kebaikan yang pernah kita torehkan, bukan hanya sekedar bentuk belaka, orang lain lebih menghargai kebaikan yang kita miliki, menghargai rasa percaya diri kita untuk melakukan sesuatu atas potensi yang pada dasarnya melekat di dalam diri kita masing-masing untuk kita maksimalkan bagi kemajuan personal dan juga untuk kebaikan bagi orang lain.


Rabu, 06 Juni 2012

Ikhlas Memaafkan Donk...!!!

    Seorang remaja, sebut saja namanya Afid, datang ke rumah seorang Ustadz yang begitu tersohor namanya dimasyarakat desa Cucook. Kedatangan Afid sore itu tidak lain untuk menanyakan sesuatu yang sedang mengganjal didalam benaknya.

Afid: Pak ustadz, Saya ingin bertanya sesuatu. Boleh gak!?

Ustadz Preketek: Oooo.. Boleh-Boleh. Apa yang ingin Engkau tanyakan, nak?

Afid: Pak Ustadz... Saya telah mencuri seekor kambing. Apakah tuhan akan memaafkan dosa saya atas apa yang telah saya perbuat sebelumnya?

Ustadz Preketek: Oooh, Pasti. Bukankah Tuhan Maha Memaafkan atas segala dosa yang pernah diperbuat hamba-hamba-Nya. Jadi percayalah pengampuinan Tuhan. Syaratnya, kamu harus bertemu pemiliknya terlebih dahulu dan meminta maaf agar Tuhan mengampuni dosamu, nak..

Afid: Saya Takut Pak Ustadz.

Ustadz Preketek: Kenapa harus Takut?

Afid: Saya Takut dimarah sama pemiliknya.

Ustadz Preketek: Mmmm, begitu tooh. Tidak usah takut. Tooh juga niatmu baik.

Afid: Begini masalahnya pak ustadz, Kambing itu sudah saya masak dan saya makan bersama teman-teman.

Ustadz Preketek: Oooh, Begitu tooh. JUJUR saja.. Pemilik kambing itu pasti mengikhlaskannya kok.

Afid: Syukurlah kalau begitu pak Ustadz.

Ustadz: By The Way... Kambing siapa yang kamu curi?????

Afid: Kambingnya Bapak.....

Ustadz Preketek: Haah

    Mendengar Jawaban Afid, Wajah Ustadz Preketek langsung memerah. Seakan-akan ia sedang ditimpa oleh petir disiang bolong. Tanpa pikir panjang, Ustadz Preketek langsung berdiri dan bergegas menghampiri Afid lantas memegang telinga kanan Afid.

Ustadz Preketek: Ooohhh, Jadi kamu biang keladinya Haah....

Afid: Aduuuuhhhh... Sakit Pak ustad,,,... sakit... Sakiit. Perasaan Tadi pak ustadz Bilang kalau pemilik kambingnya bakal mengikhlaskannya... Iyya kaan???

Ustadz Preketek: ?!?!?!?^_^****?!@@@

ATTENTION!!! Cerita diatas hanyalah FIKTIF belaka. Jika ada kesamaan tokoh, tempat dan peritiwa, kesemuanya itu hanyalah sebuah kebetulan belaka karena memang sengaja direkayasa. Sueeer Tie Keweeer-Keweeer dech.
WARNING!!! Dilarang Memperbanyak TAWA apalagi sampai membuat anda GILA karena akan dapat menjadikan ANDA sebagai salah satu PASIEN Rumah Sakit Jiwa). ===> Sebagian atau seluruh isi diluar tanggung jawab penulis jika membuat anda tersinggung dan atau tertawa sampai GILA.

    Sahabat Pembaca yang budiman. Bagi anda yang suka cerita Canda dan tawa, bolehlah anda tertawa sewajarnya selama tertawa itu belum termasuk dalam daftar LARANGAN yang dilarang oleh Undang-Undang Negara maupun kode etik adat serta norma agama. Bagi anda yang lebih terfokus pada pembelajaran makna, maka inilah kesempatan untuk kita bisa bersama-sama membuka mata, membuka diri lantas melihat dunia apa adanya.

    Sahabat Pembaca yang budiman. Dalam hidup ini, betapa seringnya kita melakukan sesuatu  yang merugikan diri kita sendiri-mencidrai reputasi diri, termasuk juga merugikan orang lain padahal kita sendiri telah berulangkali mengucapkannya didepan publik, yakni mengingatkan orang lain agar saling memaafkan dan mengikhlaskan segala keburukan yang telah diperbuat dimasa lalu. Tidak sedikit orang yang mengucapkan kata maaf dengan embel-embel “Ikhlas”, namun dalam realitasnya tidak sepenuhnya memaafkan. Jika demikian ceritanya, siapa lagi tempat kita meminta maaf yang sebenarnya yang memberikan kita titik terang?

    Mmmmm... Siapapun anda, bebas memberikan jawaban! Terpenting dari semua itu, Maafkanlah orang-orang yang telah mencidrai hati, ikhlaskanlah pengampunan sebagaimana Tuhan mencitrakan kuasa-Nya dalam pengampunan sempurna. TO BE CONTINUED...

SOMBONG dikit... Boleeh dooonk...!!!

Dua pemuda sedang asyik bercakap-cakap dipinggir jalan didesa Mamben.


Oni: “Fauzi, Kamu tahu tidak. Didesa ini, Cuma saya yang punya sepada motor keren kayak gini nich. Mana ada orang yang punya motor racing. Tampilannya aduhai banget nich. Tahu gak, kecepatannya kagak bisa yang menandinginya. Pokoknya, Cuma gue doank yang punya, yang lain lewaaat donk…”


Fauzi: “Jangan sombong doonk mas brow. Ntar lhoo kualat, baru tahu rasa dech.”


Oni: “Hariii gini masih percaya KUALAT, Aaaah, mana mungkin. please dech aaah. Gue nggak percaya sama hal begituan. Sumpah dech”


Fauzi: “Mmmmm,,, Orang sombong pasti kena azab. Suer tie kewer-keweer dech. Lihat saja nanti mas brow…


Oni: “Sudahlaaah, kagak perlu percaya sama istilah aneh KUALAT kayak orang tua dulu, Hari gini masih mikir ala nenek moyang, cape deeech… Ini lihat motor baru gua, pasti kenceng banget dech…”


Breeeem-breeemmm… Tiba-tiba suara sepeda motor Oni melesat melaju dengan sangat kencang memecah kesunyian. Tidak lama kemudian, Tiba-tiba saja Oni terperosok kedalam parit diujung jalan.


Fauzi: “Tu kaan… Apa gue bilang. Itu namanya kualat. Makanya jangan sombong jadi orang”


Oni: “Beruntung Cuma gue yang terperosok kedalam parit. Syukur-syukur bukan sepeda motor gue yang keren ikut terperosok.”


Fauzi: “Haaaah?!?!?!?!?”


Cerita diatas hanyalah FIKTIF belaka dan benar-benar REKAYASA. Jika ada kesamaan tokoh, nama, tempat dan peritiwa dalam cerita, kesemuanya itu hanyalah sebuah kebetulan belaka karena memang sengaja direkayasa untuk suatu kepentingan lelucon belaka

WARNING!!! Bagi anda yang mengalami stres dan depresi serta penyakit sedih lainnya, DIHARAPKAN untuk tertawa sampai GILA...


Salam satu jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia...

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain

Senin, 04 Juni 2012

Jangan TAKUT bersaing donk...!!! Saya, Anda, dan juga mereka punya kesempatan yang sama Lhooo...!!!


Begitu banyak diantara kita yang seringkali terkecoh dengan apa yang nampak dipermukaan ketika melihat apa yang ada didalam diri orang lain. Banyak orang menyangka bahwasanya mereka sedang dihadapkan dengan musuh yang sesungguhnya karena melihat orang lain memiliki suatu kelebihan, sedangkan mereka tidak memiliki apa-apa selain perasaan kerdil tak berdaya. Inilah anggapan yang terlihat sepele namun besar dampaknya dalam diri setiap orang untuk meraih kehdiupan yang menabjubkan.

Begitu banyak orang merasa bahwa manusia yang lain adalah saingan hidup yang layak untuk dikalahkan karena hidup adalah kompetisi untuk melumpuhkan yang lainnya. Tidak heran jika prinsip demikian dijadikan sebagai alat untuk bersaing dan mengalahkan yang lainnya dengan ragam cara yang diyakini mampu meningkatkan kualitas daya saingnya dihadapan orang lain. Dalam konsep ini, orang lain bukan lagi sebagai mitra kehidupan untuk bisa tumbuh bersama dan saling melengkapi satu sama lain, justru yang terjadi adalah rasa permusuhan, ketidak puasan. Begitulah pemahaman lazim dalam benak kebanyakan orang yang sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan hidup dimasa mendatang. Dalam pemahaman sempit demikian, prestasi orang lain menjadikan mereka semakin kerdil, seakan-akan mereka sudah tidak pantas lagi untuk bersaing dengan manusia lain ketika melihat orang lain memiliki prestasi yang tidak dimiliki.

Inilah kenyataan dalam hidup yang seringkali menjadikan penyakit mental bersarang dalam diri seseorang sehingga individu bersangkutan lunglai lemah tak berdaya melihat apa yang sedang terbentangkan didepan mata kepala. Melihat kenyataan demikian, banyak orang telah dihinggapi penyakit infriority conflict illness, suatu penyakit baru yang menghinggapi alam pikir manusia yang melihat persaingan sebagai cara mereka untuk menduduki tempat terendah yaitu kekalahan yang tidak dapat lagi terelakkan karena pandangan sempit bahwa mereka bukan apa-apa ketika bersanding dengan orang lain. Penyakit inilah menjadi penyebab utama mengapa manusia tidak lagi menikmati perasaan bahagia ketika melihat apa yang dimiliki orang lain, justru terlahir perasaan bersalah dan tak berdaya ketika melangkahkan kaki dalam kehidupan selanjutnya.

Sebagai manusia, tentu saja kita menyadari bahwa orang lain memiliki suatu kelebihan yang terkadang sulit untuk kita jangkau, disatu sisi yang lain mereka pula memiliki kekurangan yang tak dapat dipungkiri, bahkan terkadang diantara mereka berdecak kagum melihat potensi yang ada dalam diri kita, walau terkadang kita tidak menyadarinya. Ini mengingatkan kita satu hal bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Namun dalam kenyataannya, melihat kelebihan pada diri orang lain menjadikan sebagian diri manusia menjadi pribadi yang lemah yang menganggap diri mereka telah kalah dalam bersaing. Perasaan minder dan tak berharga tidak luput mengisi alam pikir sehingga menjadikan mereka tidak lagi produktif untuk berkarya dan melakukan hal-hal terbaik demi kemajuan hidup mereka dimasa mendatang.

Melihat kelebihan orang lain dari presfektif yang lebih dewasa tentu saja mengajarkan manusia bertumbuh dalam kebijaksanaan hidup yang menjadikannya tersadar bahwa memang semua sedang berjalan menuju cahaya terang penuh makna. Namun kita tidak bisa bungkiri, ada sebagian orang yang melihat kelebihan orang lain sebagai cambuk yang menjadikan mereka takut menatap dunia dengan apa adanya. Perasaan tak berguna dan tak memiliki apa-apa menggelayuti alam pikir hingga membuat hidup terasa hampa.

Apakah kita sedang berpikir demikian sehingga menjadikan kita menutup mata? Jika memang demikian, adalah diri kita memiliki kesempatan emas hari ini untuk mengubah semua itu sebelum terlambat. Karena bagaimanapun juga, semua orang pantas menjadi pemenang untuk bisa meraih kehidupan yang menabjubkan dikemudian harinya.

Sejatinya orang yang telah kalah dalam hidupnya adalah orang yang memandang orang lain sebagai musuh. Melihat kelebihan orang membuat jiwa semakin gaduh, melihat keberlimpahan dalam kehidupan orang lain menjadikan kebahagiaan semakin jauh rasanya. Perasaan tak berdaya inilah yang menggerus kemajuan diri untuk melihat dunia luas adanya. Mentalitas negatif yang seperti inilah yang menjadikan manusia tidak bisa bergerak melaju dalam potensi maha karya yang mengagumkan.

Berbeda halnya dengan orang-orang yang siap menjadi seorang pemenang yang dipenuhi oleh keyakinan dan sikap percaya diri. Dalam keyakinan mereka tersirat satu pesan penuh makna; semua orang berkesempatan untuk menumbuhkan potensi yang dikaruniakan Tuhan dalam dirinya. Kelebihan orang lain tidak lagi menjadi boomerang, justru dengan adanya kelebihan dalam diri orang lain menjadikan mereka melihat dunia penuh warna, dan berkesempatan untuk bisa melatih diri untuk menggali potensi yang ada, ini semua akan menjadi realita jika mensyukuri apa yang ada lantas ikhlas untuk bersikap menjadi individu yang layak menduduki pentas terbaik hidup ini.

Melihat kelebihan orang lain sebagai pemacu keberhasilan tentu saja langkah awal untuk bisa meraih kesuksesan. Model pemikiran inilah yang menyadarkan kita bahwa sejatinya hidup penuh warna. Dengan memacu diri untuk bertumbuh menjadi individu yang sadar fungsinya dalam kancah kehidupan bermasyarakat menjadikan harapan untuk maju semakin subur dan menjadikan semangat baru bertumbuh setiap harinya. Harapan untuk maju, tentu saja menjadi dambaan setiap orang yang memiliki harapan menjadi manusia yang menabjubkan sekaligus mengagumkan.

Kemajuan dalam hidup akan sangat bergantung dari kepercayaan diri yang kuat bahwa semua sedang bertumbuh menjadi manusia pilihan. Namun dalam realitasnya, hanya sedikit orang yang menjadi pemenang diatas pentas kehidupan. Tentu saja sangat ironis sekali apa yang sedang menimpa setiap diri manusia yang berharap kualitas hidupnya bertumbuh maju disetiap waktu, namun sedang didera ketidak percayaan diri melihat kelebihan yang ada dalam diri orang lain. Mentalitas seorang pemenang bukan karena ia mengalahkan orang lain, sejatinya seorang pemenang adalah mereka yang menyadari apa yang dikaruniakan tuhan dalam dirinya lantas mengembangkan apa yang ada sebagai cara untuk memuji dan mempersembahkan syukur kepada Illahi. Lestari jiwa saat menerima diri dan terus berusaha menjadi diri yang terbaik. Itulah cara untuk bisa menjadi seorang pemenang yang layak dibanggakan.

Salam satu jiwa. Salam sehat jiwa untuk menggapai hidup bahagia.

Mustafid Amna Umary Erlangga Kusuma Perdana Saputra Zain